scholarly journals FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KESEGARAN PADA WANITA VEGETARIAN

2012 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 38-45
Author(s):  
Restu Amalia Hermanto ◽  
Hesti Murwani Rahayuningsih

Latar Belakang : Kesegaran jasmani pada wanita penting untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Wanita  memiliki  tingkat  kesegaran  jasmani  lebih  rendah  daripada  pria,  hal  ini  terkait  dengan Indeks  Massa  Tubuh  (IMT),  persentase  lemak  tubuh,  dan  kadar  hemoglobin.  IMT  dan  persen lemak   tubuh   yang   rendah   meningkatkan   kesegaran   jasmani,   namun   keadaan   anemia   akan menurunkan tingkat kesegaran jasmani, sehingga hal ini menjadi kontroversi. Vegetarian diketahui memiliki IMT dan persen lemak tubuh lebih rendah daripada non vegetarian. Adanya pembatasan sumber  makanan  hewani  mengakibatkan  meningkatnya  risiko  anemia.  Belum  banyak  penelitian yang mengkaji tingkat kesegaran jasmani pada wanita vegetarian. Tujuan  : Mengetahui  tingkat  kesegaran  jasmani  pada  wanita  vegetarian  dan  faktor-faktor  yang mempengaruhinya Metode  : Penelitian  cross  sectional dengan  subjek  43  wanita  vegetarian  yang  diambil  secara consecutive sampling. Tingkat  kesegaran jasmani diukur dengan metode  Harvard step test, IMT dengan  pengukuran  antropometri,  presentase  lemak  tubuh  diukur  menggunakan  Bioelectrical Impedance Analyzer (BIA), kadar Hemoglobin diukur menggunakan metode cyanmethemoglobin, dan  tingkat   aktifitas   fisik   diukur   menggunakan   International   physical   activity   questionaire (IPAQ). Analisis data menggunakan korelasi Pearson Hasil : Sebagian  besar  subjek  memiliki tingkat  kesegaran  jasmani kategori sangat  rendah (69,8 %). Ada hubungan tingkat kesegaran jasmani dengan tingkat aktifitas fisik (r =  0,533 ; p = 0,001). Tidak ada hubungan yang bermakna antara IMT (r = -0,045 ; p = 0,777), persentase lemak tubuh (r = -0,243 ; p = 0,117), dan kadar Hb (r = 0,224 ; p = 0,149)   dengan tingkat  kesegaran jasmani. Simpulan  : Tingkat  kesegaran  jasmani wanita  vegetarian  sebagian  besar  dalam kategori sangat kurang  walaupun  sebagian  besar  wanita  vegetarian  tidak  anemia.  Faktor  yang  mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani wanita vegetarian adalah tingkat aktivitas fisik.

2013 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 214-222
Author(s):  
Asniya Rakhmawati ◽  
Fillah Fithra Dieny

Latar belakang : Gangguan siklus menstruasi berkaitan dengan penurunan fertilitas dan berbagai gangguan kesehatan organ reproduksi. Obesitas dan stress merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan obesitas dengan kejadian gangguan siklus menstruasi pada wanita dewasa muda setelah dikontrol dengan stress. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Populasi penelitian adalah seluruh wanita muda di 10 desa di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Cara pengambilan subjek sebanyak 60 (30 wanita yang mengalami obesitas dan 30 wanita dengan status gizi normal) menggunakan metode consecutive sampling. Data karakteristik subjek, gangguan siklus menstruasi, dan stress dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Persen lemak tubuh diukur dengan menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer (BIA). Data dianalisis dengan uji Chi Square dan Regresi Logistik Ganda. Hasil : Kejadian gangguan siklus mentruasi pada wanita yang mengalami obesitas 1,89 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan status gizi normal sedangkan subjek yang mengalami stress 2 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang tidak mengalami stress. Oligomenore merupakan jenis gangguan siklus menstruasi yang paling tinggi terjadi pada kelompok subjek yang mengalami obesitas (30,8%) dan pada subjek yang mengalami stress adalah polimenore (23,1%). Obesitas dan stress merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi. Setelah dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas dalam menyebabkan gangguan siklus menstruasi menjadi lebih kecil (OR=1; OR=2,8). Simpulan : Obesitas dan stress merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi. Setelah dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas dalam menyebabkan gangguan siklus menstruasi menjadi lebih kecil.


2012 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 63-71
Author(s):  
Arofani Hermastuti ◽  
Muflihah Isnawati

Latar Belakang: Kepadatan tulang rendah dapat disebabkan IMT, massa lemak tubuh, asupan kalsium, dan aktivitas fisik yang rendah. Pada dewasa muda, kepadatan tulang rendah akan meningkatkan risiko osteoporosis. Namun, penelitian terbaru menyatakan risiko osteoporosis meningkat pada obesitas. Tujuan: Mengetahui hubungan IMT, massa lemak tubuh, asupan kalsium, aktivitas fisik dan kepadatan tulang pada wanita dewasa muda. Metode: Penelitian dilaksanakan di kampus Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang pada bulan Mei 2012, merupakan penelitian observasional dengan desain cross-sectional. Subjek adalah 38 wanita dewasa muda berusia 18-23 tahun. Pengukuran berat badan dan persentase massa lemak tubuh menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer (BIA), tinggi badan dengan mikrotoise, asupan kalsium melalui kuesioner FFQ, tingkat aktivitas fisik melalui kuesioner International Physical Activity Questionnaire, dan kepadatan tulang pada calcaneus diukur menggunakan densitometer ultrasound. Analisis data dengan Shapiro-Wilk, korelasi Pearson product moment dan korelasi rank-Spearman. Hasil: Sebagian besar subyek (60,5%) memiliki kepadatan tulang kategori normal dan 39,5% osteopeni. Sebanyak 55,3% subyek memiliki IMT normal, 63,2% memiliki massa lemak tubuh normal, 71,1% memiliki tingkat aktivitas fisik kategori sedang, dan 63,2% memiliki asupan kalsium kurang dari AKG. Asupan kalsium memiliki hubungan yang bermakna dengan kepadatan tulang (r =0,351; p<0,05). Namun, IMT, massa lemak tubuh dan aktivitas fisik tidak memiliki hubungan yang bermakna (p>0,05) dengan kepadatan tulang pada wanita dewasa muda. Kesimpulan: asupan kalsium berhubungan dengan kepadatan tulang pada wanita dewasa muda.


2017 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 180
Author(s):  
Ahaddini Septian Rujiantina ◽  
Nurmasari Widyastuti ◽  
Enny Probosari

Latar Belakang : Prevalensi ketidakteraturan siklus menstruasi pada vegetarian sebesar 26,5%. Diet vegetarian merupakan pola makan yang membatasi produk hewani dan mengonsumsi produk makanan nabati seperti buah, sayur, kacang dan biji-bijian yang merupakan sumber fitoestrogen. Vegetarian memiliki persentase lemak tubuh lebih rendah dari nonvegetarian. Fitoestrogen dan persentase lemak tubuh dapat mempengaruhi kadar estrogen dalam tubuh dan mengakibatkan gangguan siklus menstruasi.Tujuan : Mengetahui hubungan konsumsi fitoestrogen dan persentase lemak tubuh dengan siklus menstruasi pada wanita vegetarian.Metode : Desain penelitian cross sectional dengan 49 wanita vegetarian dipilih secara consecutive sampling. Persentase lemak tubuh diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Asupan zat gizi diperoleh melalui Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (SQFFQ) dan dianalisis menggunakan program software gizi. Aktivitas fisik diukur menggunakan International Physical Activity Questionaire  (IPAQ). Data siklus menstruasi diperoleh melalui kuesioner. Data dianalisis dengan uji Chi Square dan uji Regresi Logistik Ganda.Hasil : Sebanyak 49,0% wanita vegetarian mengalami gangguan siklus menstruasi. Tidak ada hubungan antara asupan energi, kerbohidrat, lemak, protein, serat dan aktivitas fisik dengan siklus menstruasi (p>0,05). Terdapat hubungan antara konsumsi fitoestrogen, persentase lamk tubuh dan riwayat gangguan siklus menstruasi pada keluarga dengan siklus menstruasi (p<0,05). Konsumsi fitoestrogen berhubungan dengan kejadian gangguan siklus menstruasi setelah dikontrol dengan persentase lemak tubuh dan riwayat gangguan menstruasi pada keluarga (p<0,05).Simpulan : Konsumsi fitoestrogen, persentase lemak tubuh dan riwayat gangguan siklus menstruasi pada keluarga berhubungan dengan siklus menstruasi.


2015 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 350-357
Author(s):  
Citra Juliandari Ruseno ◽  
Hesti Murwani Rahayuningsih

Latar Belakang: Kepadatan tulang rendah disebabkan oleh persen lemak tubuh tinggi, asupan kalsium rendah, asupan vitamin D rendah, asupan protein rendah, aktivitas fisik rendah, dan gaya hidup sedentari. Lingkar pinggang besar dapat dijadikan prediktor obesitas abdominal. Obesitas abdominal dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif, seperti osteoporosis.Tujuan: Menganalisis perbedaan kepadatan tulang antara lingkar pinggang normal dan obesitas abdominal, serta mengetahui hubungan persen lemak tubuh, asupan kalsium, asupan vitamin D, asupan protein, asupan lemak, dan aktivitas fisik terhadap kepadatan tulang pada wanita.Metode: Penelitian observasional dengan desain cross-sectional yang dilaksanakan di Kelurahan Lamper Kidul Kecamatan Semarang Selatan. Subjek penelitian adalah wanita dewasa usia 30-55 tahun sebanyak 32 subjek yang terdiri dari 16 subjek dengan lingkar pinggang ≤80 cm dan 16 subjek dengan lingkar pinggang >80 cm. Data kepadatan tulang diukur menggunakan densitometer ultrasound, data lingkar pinggang menggunakan metline, data persen lemak tubuh menggunakan Bioelectrical Impedance Analyzer (BIA), data asupan gizi (kalsium, vitamin D, protein, lemak) menggunakan kuesioner semi quantitative food frequency, dan data aktivitas fisik menggunakan formulir IPAQ. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square. Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.Hasil: Pada kategori lingkar pinggang normal, subjek dengan kepadatan tulang osteopenia lebih banyak (75%) dibandingkan subjek dengan kepadatan tulang normal (25%). Sedangkan pada kategori lingkar pinggang obesitas abdominal, subjek dengan kepadatan tulang normal lebih banyak (56,3%) dibandingkan subjek dengan kepadatan tulang osteopenia (43,8%). Tidak terdapat perbedaan kepadatan tulang antara kategori lingkar pinggang normal dan obesitas abdominal pada wanita dewasa (p=0,072). Aktivitas fisik memiliki hubungan paling kuat dengan kepadatan tulang setelah disesuaikan dengan asupan lemak dan persen lemak (p=0,014).Kesimpulan: Tidak ada perbedaaan kepadatan tulang antara kategori lingkar pinggang normal dan obesitas abdominal pada wanita dewasa. Aktivitas fisik berhubungan dengan kepadatan tulang setelah disesuaikan dengan asupan lemak dan persen lemak.


2021 ◽  
Vol 11 (1) ◽  
Author(s):  
Myoung Hoon Jung ◽  
Kak Namkoong ◽  
Yeolho Lee ◽  
Young Jun Koh ◽  
Kunsun Eom ◽  
...  

AbstractBioelectrical impedance analysis (BIA) is used to analyze human body composition by applying a small alternating current through the body and measuring the impedance. The smaller the electrode of a BIA device, the larger the impedance measurement error due to the contact resistance between the electrode and human skin. Therefore, most commercial BIA devices utilize electrodes that are large enough (i.e., 4 × 1400 mm2) to counteract the contact resistance effect. We propose a novel method of compensating for contact resistance by performing 4-point and 2-point measurements alternately such that body impedance can be accurately estimated even with considerably smaller electrodes (outer electrodes: 68 mm2; inner electrodes: 128 mm2). Additionally, we report the use of a wrist-wearable BIA device with single-finger contact measurement and clinical test results from 203 participants at Seoul St. Mary’s Hospital. The correlation coefficient and standard error of estimate of percentage body fat were 0.899 and 3.76%, respectively, in comparison with dual-energy X-ray absorptiometry. This result exceeds the performance level of the commercial upper-body portable body fat analyzer (Omron HBF-306). With a measurement time of 7 s, this sensor technology is expected to provide a new possibility of a wearable bioelectrical impedance analyzer, toward obesity management.


2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 21
Author(s):  
Deny Yudi Fitranti ◽  
Bunga Syifarahmi ◽  
Martha Ardiaria ◽  
Nurmasari Widyastuti

<p>Proses penuaan mempengaruhi peningkatan distribusi lemak abdominal dengan indikator lingkar pinggang (LP) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP). Penimbunan lemak abdominal menyebabkan disfungsi jaringan adiposa sehingga mempengaruhi biomarker proinflamasi yaitu kadar serum <em>high-sensitivity C-reactive Protein</em> (hs-CRP). Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan LP dan RLPP dengan kadar hs-CRP lansia wanita. Rancangan penelitian <em>cross sectional</em> pada 53 subjek dipilih secara <em>consecutive sampling</em>. Antropometri yang diukur adalah LP dan RLPP. Pengukuran kadar serum hs-CRP dianalisis dengan metode <em>enyme-linked immunosorbent assay</em> (ELISA). Wawancara yang dilakukan yaitu data diri, asupan, aktivitas fisik, dan riwayat konsumsi obat. Data asupan diperoleh dengan metode <em>food recall</em> 3x24 jam. Aktivitas fisik diperoleh menggunakan <em>International Physical Activity Questionnaire</em> (IPAQ). Analisis data digunakan uji korelasi <em>Spearman</em>. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase LP pada lansia wanita yang berisiko sebesar 90,6%, RLPP yang berisiko sebesar 98,1%, dan kadar hs-CRP tinggi sebesar 30,2%. Terdapat hubungan positif antara LP dengan kadar serum hs-CRP (r=0,417 ; p=0,002). Dalam penelitian ini RLPP, aktivitas fisik, asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin D,vitamin E, dan selenium tidak berkorelasi dengan kadar hs-CRP. Simpulan penelitian ini adalah LP berkorelasi positif dengan kadar serum hs-CRP, namun RLPP tidak berkorelasi dengan kadar serum hs-CRP</p>


2021 ◽  
Vol 40 (1) ◽  
Author(s):  
Tomohiro Nishimura ◽  
Atsushi Hagio ◽  
Kanako Hamaguchi ◽  
Toshiyuki Kurihara ◽  
Motoyuki Iemitsu ◽  
...  

Abstract Background Locomotive syndrome (LS) is a condition of reduced mobility due to a disorder of the locomotive system. Increasing moderate to vigorous physical activity (MVPA) has been recommended to prevent LS. However, to increase daily MVPA is difficult for older people with LS. The MVPA consists of not only locomotive activities such as walking but also non-locomotive activities such as household activities. The aim of this study was to examine the associations between locomotive/non-locomotive MVPA and physical performance in older females with and without LS. Methods Participants of this cross-sectional study were 143 older community-dwelling Japanese females. The participants were divided into two groups based on the results of the stand-up test: the normal group (NL) (n = 86) and the LS group (n = 57). Both the locomotive and non-locomotive PA seperately measured with its intensity. The intensity of physical activity (PA) was calculated as METs and classified as sedentary behavior (SB 1–1.5 metabolic equivalent tasks (METs)), low-intensity physical activity (LPA 1.6–2.9 METs), and MVPA (≥ 3 METs). For example, locomotive LPA is slow walking speed of 54 m/min, and locomotive MVPA is walking speed of 67 m/min. While non-locomotive LPA is office work and cooking, non-locomotive MVPA is housecleaning. Physical function was evaluated by handgrip strength, walking speed, and 2-step test. Results Walking speed, hand-grip strength, 2-step test, daily step counts, and all PA measurements were not significantly different between two groups. In the LS, locomotive MVPA (r = 0.293, p < 0.05) and total MVPA (r = 0.299, p < 0.05) was significantly correlated with walking speed, but not in the NL. Conclusions Walking speed was positively correlated with locomotive MVPA and total MVPA in the LS group, but not in NL group. This result suggests that slow walking speed in older people with LS occur in connection with lower locomotive MVPA and total MVPA.


1990 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 140-148 ◽  
Author(s):  
N. Kay Covington ◽  
Darlene A. Kluka ◽  
Phyllis A. Love

This investigation compared the percentage of body fat obtained using the bioelectrical impedance technique and the anthropometric technique on a black pediatric population consisting of 196 subjects, 93 girls and 103 boys, ages 5-11 years. Subjects were measured utilizing the Bioelectrical Impedance Analyzer-103 (RJL Systems, Inc.). In order to simulate a realistic school environment, protocol was deliberately not followed. Anthropometric measurements were obtained at two sites: triceps and medial calf. The anthropometric and BIA percentages of body fat were compared using the Pearson product-moment coefficient or correlation and an ANOVA. The overall relationship between the groups was .809. Use of the BIA appears to lead to an overestimation of fatness in black children.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document