story telling
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

1184
(FIVE YEARS 312)

H-INDEX

27
(FIVE YEARS 2)

2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 1014-1028
Author(s):  
Heni Pridia Rukmini Sari ◽  
Lioe Lyly Soemarni ◽  
Dewi Turgarini
Keyword(s):  

Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara memiliki keanekaragaman warisan budaya sebagai penopang wisata gastronomi yang tetap melestarikan budaya lokal, sebagai produk wisata asli yang unik, dan otentik. Daya tarik wisata ini menjadi salah satu pilihan bagi para wisatawan lokal, nusantara dan mancanegara untuk mendapatkan pengalaman saat melakukan kegiatan wisata mencicipi aneka menu sebagai hidangan asli Ternate di restoran sebagai specialities restaurant, membeli aneka suvenir oleh-oleh khas Ternate,  melihat atraksi pembuatan makanan dan minuman Ternate lengkap dengan story telling sebagai identitas etnik penduduk asli Kota Ternate. Lokasi tujuan wisata gastronomi yang banyak mengakibatkan pengunjung sulit mencari lokasi dan restoran yang sarat makna dan sesuai dengan yang diinginkan apalagi dengan rute perjalanan di Kota Ternate yang memiliki beberapa titik yang hanya satu arah. Adanya perkembangan teknologi mobile berbasis linux seperti android sebagai sistem operasi smartphone yang cukup populer di kalangan masyarakat umum. Android memiliki biaya yang tergolong murah dan bersifat opensource memungkinkan pengguna dapat mengembangkan fitur pemetaan yang komprehensif dengan komponen atraksi wisata gastronomi di Kota Ternate seperti restoran, pusat oleh-oleh, tempat penyelenggaraan cooking class, dan lainnya. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploratif serta deskriptif analisis untuk mengumpulkan data yang memiliki komponen sebagai atraksi wisata yaitu nama restoran/pusat oleh-oleh/cooking class, lokasi, aksesibilitas, amenitas, pengelola, deskripsi, nilai unik dan unggul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat desain android aplikatif tentang sistem informasi pemetaan wisata gastronomi yang komprehensif di Kota Ternate sebagai atraksi wisata yang dapat diakses secara online.


Author(s):  
Immaculate Kizito Namukasa

This paper presents analysis of evidence on the ways in which the connection between technology and scholarship supported a Community of Practice (CoP) for instructors in a faculty of education in Canada. The goal is to reflect on different types of pedagogical practices of CoP members. We discuss the ways in which both social learning and online technology were harnessed to support professional learning. We based the analysis on notions of collective learning and Bandura’s (1986) social cognitive theory that inform studies on professional development. The main unit of analysis is the learning community (Wenger, 1998). CoP members jointly analyzed data from aggregated questionnaires, anonymized notes, and audio and textual recordings of selected meetings, resources archived and follow-up reflection by CoP members. The results showed that four pedagogies were most highly ascribed by CoP members: Culturally Responsive Pedagogies (11.63%; e.g., caring pedagogies, Healing, Global Transformative and Reconciliatory pedagogies), Hands-on and Digital Pedagogies (11.63%; e.g., Maker Education and Materiality pedagogies), Story Telling Pedagogies (13.95%; e.g., Deep, Imaginative, Surprise, Participatory, Story Telling and Learners as Curriculum Makers pedagogies), and 21st Century Teaching (16.28%; e.g., Blended, Digital and Online pedagogies). The findings provide evidence that there is potential in harnessing digital technology for social learning environments within the context of faculty responding to changing higher education institutional factors, including those motivated by the neoliberal management culture.


2021 ◽  
Vol 19 (2) ◽  
pp. 63-75
Author(s):  
Francesco Pipparelli

Marginalization, radicalization, and encountering the Other are undoubtedly some of the topics on top of the agenda for social growth in our society. The roles that women, in general, and mothers, in particular, can play in prevention and inclusion strategies are certainly of great importance for an approach that goes beyond a simple intervention on effects, working on causes and facilitating intercultural dialogue. theatre and art have always been used as forms of storytelling, to generate emotions and make the audience identify with the stories they hear or watch. For this reason, in the field of methodologies and tools for the inclusion of people and the prevention of marginalization, over time excellent examples of the application of artistic approaches to facilitate the processes of growth and empowerment have emerged. Theatre and story-telling workshops, especially those for migrant women, represent good cases of facilitating the process of discovering and defining one’s own identity in a healthy way. This represents the basis for a path of integration through art,giving awareness and inclusion to participants and at the same time making them “ambassadors” of the intercultural dialogue.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 1-6
Author(s):  
Iis Hidayati ◽  
Wahyu Sukartiningsih ◽  
Umi Anugerah Izzati

Penelitian ini bertujuan untuk: Mendeskripsikan proses pengembangan digital story telling untuk menumbuhkan kebiasaan anak minumair; Menghasilkan produkpengembangan digital story telling untuk menumbuhkan kebiasaan anak minumair dan; Menghasilkan produk pengembangan digital story telling untuk menumbuhkan kebiasaan anak minumair. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa pengembagangan digital storytelling untuk menumbuhkan kebiasaan anak minum air meliputi tiga hal, yaitu Pengembangan digital storytelling untuk menumbuhkan kebiasaan anak usia minum air memenuhi kelayakan  dengan hasil  validasi dari tiga validator ahli yang meliputi  materi isi dengan skor 75,71 %, materi teknik storytelling skor 82,14 %,materi desain pengembangan digital storytelling skor 72,85 % dengan kategori sangat berkualitas; Pengembangan digital storytelling untuk menumbuhkan kebiasaan anak  minum air merupakan hasil pengembangan  media pembelajaran yang dapat membantu daring online guru disaat pandemi untuk tetap dapat mengedukasi yang menarik minat anak dan meningkatkan motivasi wawasan anak dan orang tua akan  pentingnya menumbuhkan kebiasaan minum air sejak dini dan; pengembangan digital storytelling untuk menumbuhkan kebiasaan anak  minum air cukup praktis dan efektif diimplementasikan karena dikemas dalam bentuk kanal youtobe,sehingga mudah di akses dengan mudah saat ini.


2021 ◽  
Vol 2 (53) ◽  
Author(s):  
Bronwyn Powell ◽  
Sarah Ransom

Looking back on COP26, we argue that there is power in telling stories about adaptation to water-related climate change impacts in Australia and the Pacific.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Fatimah Fatimah ◽  
Mahmuddin Mahmuddin
Keyword(s):  

AbstrakPermasalahan dalam  penelitian ini adalah rendahnya hasil perkembangan bahasa anak dalam memahami cerita dengan menyampaikan pesan tersirat didalam cerita. Hal ini terjadi karena menurun dan terbatasnya aktivitas belajar dalam kegiatan pembelajaran serta karena kurangnya variasi model belajar guru yang monoton sehingga anak bosan dan tidak memiliki minat belajar. Salah satu upaya yang dilakukan dalam Meningkatkan  aspek bahasa dalam memahami cerita menggunakan Model Story Telling dan Role Playing dengan Media Wayang Kertas  Kelompok A Tk Islam Bakti 1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskrisikan aktivitas guru, aktivitas anak, dan hasil perkembangan anak dalam memahami cerita. Setting penelitian pada anak kelompok A TK Islam Bakti, Banjarmasin dengan 10 anak. Indikator keberhasilan penelitian ini jika aktivitas guru memenuhi kriteria sangat baik dan aktivitas anak memenuhi Kriteria Sebagian Besar Aktif, dan Hasil perkembangan memenuhi kategori Berkembang Sangat Baik. Hasil penelitian menunjukan (1) aktivitas guru saat mengembangkan Kemampuan bahasa dalam menggunakan Model Story Telling dan Role Playing Dengan Media Wayang Kertas, dengan kriteria sangat baik, (2) aktivitas anak mendapatkan kriteria Berkembang Sangat Aktif, (3) hasil perkembangan aspek bahasa anak di setiap pertemuan terjadi peningkatan Berkembang Sangat Baik.Kata Kunci: Story telling role playing wayang kertas


2021 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 233
Author(s):  
Nilam - Wardasari ◽  
Yun Fitrahyati Laturrakhmi ◽  
Azizun Kurnia Illahi

Even though some measures to reduce the incidence rate of child marriage have being undertaken for years, the implementation of the marriage act, Undang-undang No.16/2019, has been strengthening the implementation of Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), a national program to reduce the incidence rate of child marriage in Indonesia. Under these circumstances, communication holds an essential role in that program, mainly to reach behavioral and social changes among community as the main target of the program. A number of previous research still focused on the role of communicators and the communication effectiveness of the program. Through narrative paradigm framework, the present study is conducted to explore story-telling strategies performed by extension agents in Kabupaten Pasuruan, a distric where the incidence rate of child marriage is relatively high. Data gathered through FGDs and indepth interviews which involved extension agents of Program PUP in Kabupaten Pasuruan, local authority that concerns in family welfare and women empowerment, and Muslimat NU – those directly involved in the communication and education process towards PUP Program. Through interactive analysis presented by Miles, Huberman & Saldana (2014), this study revealed that within their strory-telling strategies, the extension agents as a story-teller tends to performed themselves in a more symmetrical relationship with their audiences. In order to involve their audiences to their stories, the extension agents employed Islamic based stories. From the structural narration, it is clear that they use humor and mitos to convince their audiences to avoid child marriage. The stories used also performed both structural and characterological coherence. However, in some stories, there are still lack of material coherence.  Meskipun penanganan masalah pernikahan usia anak telah sejak lama dilakukan, berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan semakin memperkuat pelaksanaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) sebagai langkah konkret penanganan tingginya pernikahan usia anak di Indonesia. Komunikasi pada akhirnya turut memegang peranan kunci dalam proses pelaksanaan program khususnya untuk mencapai perubahan dalam level masyarakat sasaran. Berkaitan dengan PUP, berbagai riset terdahulu masih banyak berfokus pada peran komunikator serta efektivitas proses pengomunikasian program. Melalui kerangka narrative paradigm, penelitian ini hadir dengan tujuan mengeksplorasi strategi komunikasi berbasis storry-telling yang telah dilakukan oleh para penyuluh lapangan di wilayah Kabupaten Pasuruan, wilayah dengan jumlah pernikahan usia anak yang cukup tinggi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui FGD dan wawancara dengan melibatkan para penyuluh lapangan Program PUP di Kabupaten Pasuruan, dinas terkait, serta Muslimat NU yang terlibat langsung dalam proses edukasi terkait PUP. Melalui analisis interaktif Miles et al (Miles, M.B; Hubberman, A.M,; Saldana, 2014), disimpulkan bahwa melalui strategi story-telling yang digunakan, para penyuluh selaku pencerita berusaha memposisikan dirinya dengan membawakan cerita yang didasarkan pada penggunaan kisah-kisah dalam sejarah Islam untuk melibatkan target audiens di dalam cerita mereka. Dari struktur narasi yang digunakan, secara umum cerita yang disampaikan melibatkan humor dan mitos dan telah dapat memenuhi koherensi struktural dan karakterologis. Akan tetapi, terdapat beberapa cerita yang belum menunjukkan koherensi material.  


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 35-46
Author(s):  
Leszek Kleszcz ◽  
Krzysztof Sztalt

One of the most fundamental existential experiences is the “indifference of the world”. Faced with the awareness of the insignificance of human fate, the lack of meaning, the indifference of the world, man creates various strategies of depotentialising reality. One of them is “story-telling”, working on a myth. Nietzsche also believed that “life needs a protective atmosphere woven from illusions, dreams, delusions”, so he tried to create a myth to fill the void left by the “death of God”. He began with Wagner’s “aesthetic myth” and went on to create a “myth of the aestheticisation of existence”. His next attempts to give meaning to human life were the story of the Übermensch and the revitalization of the myth of eternal return. Another myth which can be found at the core of Nietzsche’s philosophy is “the myth of the myth-maker”.


2021 ◽  
Author(s):  
Judith Binney

'Story telling is an art deep within human nature.'  A timely collection of writings on history, from one of Aotearoa New Zealand's most distinguished scholars. These essays bring forth important questions for New Zealand history about autonomy, restoration and power that continue to reverberate today. They also serve as a pathway into the rigorous and imaginative scholarship that characterised Judith Binney's acclaimed historical writing.


2021 ◽  
pp. 247-258
Author(s):  
Emilie Taylor-Pirie

AbstractIn this epilogue, Taylor-Pirie analyses the ‘heroic biography’ mode that still characterises popular histories of medicine as a legacy of the collision of science and empire at the fin de siècle. After considering the challenges inherent in writing contextual histories of science, and the human penchant for linear story-telling, she broadens her view to take into account political discourses surrounding the Covid-19 pandemic. Taylor-Pirie argues that stories of science and stories of empire shaped each other in ways that are contingent on this historical moment but that continue to inflect and occlude our self-knowledge. She contends that by paying attention to cultural encounters between medicine and the humanities in the past, we gain important insights into the relationship between science and society in the present.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document