Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

50
(FIVE YEARS 40)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Universitas Muhammadiyah Bengkulu

2622-3724, 2599-1892

Author(s):  
Wulan Widari Indah

ABSTRAK Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimanakah restitusi terhadap korban anak berdasarkan Peraturan PerUndang-Undangan dan bagaimanakah gagasan restitusi terhadap korban anak terkait peranan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam penanganan perkara pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian hukum normative yaitu penelitian hukum kepustakaan (Library Research), yaitu metode pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang terkait dengan penelitian ini. Sifat penelitiannya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran suatu kejadian yang terjadi secara jelas dan terperinci tentang gagasan terhadap restitusi korban anak terkait lembaga perlindungan saksi dan korban dalam penanganan perkara pidana.Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, Restitusi terhadap korban anak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tanggungjawab pelaku tindak pidana, pelaku tindak pidana yang pertamaadalahpelakutindakpidana yang tidak mampu secara keuangan. Restitusi anak memiliki kelemahanya itu tidak terdapatnya alat pemaksa dalam pelaksaan kewajiban restitusinya. Pelaku tindak pidana yang kedua adalah pelaku yang masih anak-anak. Dalam hal ini, pelaku yang masih anak-anak tidak dapat di bebankan kewajiban restitusi. Hal ini didasari oleh konsep diversi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, dimana konsep diversi ini mengatur mengenai pengalihan perkara anak dari proses peradilan pidana menjadi proses di luar peradilan pidana. Apabila pelaku yang melakukan tindak pidana adalah anak-anak maka akan dilakukan proses mediasi antara pihak keluarga korban tindak pidana dengan pelaku tindak pidana sehingga mencapai hasil damai di antara para pihak. Dan gagasan restitusi terhadap korban anak terkait peranan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam penanganan perkara pidana yaitu dimana restitusi anak diajukan oleh pihak keluarga korban yang terdiriatas orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana, ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana dan orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali atau ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana. Restitusi anak memiliki kekhususan yaitu pengajuan permohonan restitusi tidak hanya dapat diajukan oleh pihak anak korban tindak pidana, namun penyidik berkewajiban untuk memberitahukan kepada pihak anak korban bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan restitusi dan pihak penyidik wajib mendampingi pengajuan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).Kata Kunci: gagasan; restitusi korban anak; lembaga perlindungan saksi dan korbanABSTRACTRestitution is the payment of compensation which is charged to the offender based on a court decision that has permanent legal force for material and/or immaterial losses suffered by the victim or his heir. The main problem in this research is how the restitution of child victims is based on the Statutory Regulations and how the idea of restitution of child victims is related to the role of witness and victim protection institutions in handling criminal cases.The research method used is in this study, the author uses normative legal research that is library research, which is a method of collecting data by studying books, legislation, and writings related to this research. The nature of the research, this research is analytical descriptive, which provides a clear and detailed description of an incident that occurred on the idea of restitution of child victims related to witness and victim protection institutions in handling criminal cases.From the results of the study it can be concluded, Restitution of child victims is based on legislation in force in the implementation of the responsibility of the perpetrators of crime, the first offender is a criminal offender who is financially incapable. Children's restitution has the disadvantage that there is no coercive tool in carrying out its restitution obligations. The second criminal offender is a child offender. In this case, the perpetrators who are still children cannot be charged restitution obligations. This is based on the concept of diversion contained in Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System, where the concept of diversion regulates the transfer of child cases from criminal justice processes to processes outside of criminal justice. If the offender is a child, a mediation process will be conducted between the families of the victims of the crime and the perpetrators of the crime so as to achieve a peaceful outcome between the parties. And the idea of restitution of child victims is related to the role of witness and victim protection institutions in handling criminal cases, wherein the restitution of children is submitted by the victim's family consisting of parents or guardians of children who are victims of crime, child heirs who are victims of criminal acts and persons who is authorized by a parent, guardian or child heir who is a victim of a criminal offense. Child restitution has the specificity that submission of a request for restitution can not only be submitted by a child victim of a crime, but the investigator is obliged to inform the child victims that they have the right to apply for restitution and the investigator must accompany the submission to the Witness and Victim Protection Agency (LPSK).Keywords: ideas; child victim restitution; witness and victim protection institutions


Author(s):  
Rido Rikardo

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana Tugas dan Kewenangan Kejaksaan dalam Penerapan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor: 02 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dalam kaitannya dengan perkara tindak pidana ringan Harta Kekayaan di dalam KUHP dalam proses Pra Penuntutan (Studi Kasus Perkara Pencurian di Kejaksaan Negeri Kampar) dan Apakah kendala dan hambatan yang dihadapi Jaksa Peneliti dalam Penerapan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor : 02 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dalam Tindak Pidana Ringan lingkup Harta Kekayaan. Penelitian ini dilakukan secara sosiologis yakni berdasarkan fakta fakta yang ada dilapangan. Hasil penelitian menemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan tugasnya dibidang para penuntutan dalam menerima berkas perkara Penyidikan oleh Pihak Kepolisian harus dengan seksama melihat apakah suatu perkara masuk dalam kategori Tindak Pidana Ringan yang dimaksudkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 atau tidak dengan berbagai pertimbangan yang dapat dipahami oleh Penyidik Kepolisian tentu saja hal ini akan memberikan rasa keadilan baik bagi Tersangka maupun bagi korban tindak pidana dan masyarakat pada umumnya.Kata kunci: kewenangan; penyelesaian; dendaABSTRACTThis study aims to find out and understand how the Duties and Authority of the Prosecutor's Office in Applying the Republic of Indonesia Supreme Court Regulation number: 02 of 2012 concerning the adjustment of minor criminal offenses and the amount of fines in the Criminal Code in relation to cases of minor criminal offenses. (Case Study of Theft Case in the Kampar District Prosecutor's Office) and What are the obstacles and obstacles faced by the Research Prosecutor in Applying the Republic of Indonesia Supreme Court Regulation No. 02/2012 concerning the adjustment of minor criminal offenses and the amount of fines in the Criminal Code in Minor Crimes in the scope of Assets. this is done sociologically, based on facts in the field. The results of the study found that the Public Prosecutor in carrying out his duties in the field of prosecution in receiving case files Investigations by the Police must carefully see whether a case is included in the category of Minor Crimes as intended by Supreme Court Regulation Number 2 of 2012 or not with various considerations that can understood by Police Investigators, of course this will give a sense of justice both to the Suspect and to victims of crime and the community at large.Keywords: authority; settlement; fines


Author(s):  
Tjahyo Kusumo

ABSTRAKPerkembangan dan pembaharuan hukum pidana sudah meningkat dengan adanya penerapan penggabungan hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana. Perumusan masalah:Bagaimana penerapan konsep lex spesialis sistematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan Dikaitkan Dengan Ajaran Perbarengan Dalam Hukum Pidana? Bagaimana kepastian hukum penerapan konsep lex spesialis sistematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dari sudut pandang keadilan ? Bagaimana implikasi hukum penerapan konsep lex spesialis sistematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dalam pembaharuan hukum pidana?Tujuan Penelitian Untuk menjelaskan penerapan konsep lex spesialis systematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan Dikaitkan Dengan Ajaran Perbarengan Dalam Hukum Pidana Untuk menjelaskan kepastian hukum penerapan konsep lex spesialis systematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dari sudut pandang keadilan.Untuk menjelaskan implikasi hukum penerapan konsep lex spesialis systematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dalam pembaharuan hukum pidana Jenis penelitian hukumnya adalah secara normatif . Kesimpulan Penerapan konsep lex spesialis sistematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan Dikaitkan Dengan Ajaran Perbarengan Dalam Hukum Pidana terdapat dalam beberapa dakwaan yang terhadap terdakwa yang diperiksa pada persidangan. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus putusan Nomor: 16/Pid.Sus-PK/2018/PT.DKI dengan kronologinya: Terdakwa Nur Alam selaku Gubernur Sulawesi Tenggara didakwa sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan perbuatan yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orangt lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Kepastian hukum penerapan konsep lex spesialis systematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dari sudut pandang keadilan yaitu bahwa Kebijakan hukum pidana melalui implementasi asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) merupakan upaya penting dalam harmonisasi dan sinkronisasi antar undang-undang yang terkandung sanksi pidana didalamnya, baik itu yang bersifat pure criminal act ataupun hukum pidana administrasi (administrative penal law). Asas kekhususan sistematis terdapat pada pasal 14 UU Tipikor. Interpretasi terhadap pasal ini tidak seragam sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya kriminalisasi kebijakan pejabat. Sehingga masih belum mencapai keadilan. Implikasi hukum penerapan konsep lex spesialis sistematis pada penegakan hukum tindak pidana korupsi di bidang Pertambangan dalam pembaharuan hukum pidana bahwa penegak hukum, JPU dan hakim,baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi, dalam menyikapi perkara pidana yang mempertemukan dua ketentuan hukum pidana khusus secara sistematis.ABSTRACTThe development and renewal of criminal law has increased with the application of the incorporation of law in the resolution of criminal cases. Formulation of the problem: How is the application of the concept of a systematic lex specialist on law enforcement of criminal acts of corruption in the field of Mining Associated with the Doctrine of Reform in Criminal Law? What is the legal certainty of the application of the concept of a systematic lex specialist on law enforcement for criminal acts of corruption in the Mining field from the point of view of justice? What are the legal implications of applying the concept of a systematic lex specialist to law enforcement for corruption in the field of Mining in the renewal of criminal law?Research Objectives To explain the application of the concept of systematic lex specialists in law enforcement for corruption in the Mining field Attributed to the Doctrine of Reform in Criminal Law To explain the legal certainty of the application of the concept of systemic specialist lex in law enforcement for corruption in the mining field from the perspective of justice. legal implications of the application of the concept of systematic specialist lex in law enforcement for criminal acts of corruption in the field of Mining in the renewal of criminal law The type of legal research is normative.Conclusion The application of the concept of systematic lex specialists to law enforcement of criminal acts of corruption in the field of Mining Associated with the Doctrine of Collaboration in Criminal Law is contained in a number of charges against the defendants examined at trial. This can be seen in the example of case ruling Number: 16 / Pid.Sus-PK / 2018 / PT.DKI with its chronology: Defendant Nur Alam as the Governor of Southeast Sulawesi was charged as the one who committed, ordered to do an act that unlawfully commits an act of enriching oneself or any other person or corporation that is detrimental to the State's finances or the State's economy. Legal certainty The application of the concept of systematic specialist lex to law enforcement of corruption in the mining sector from the perspective of justice is that the criminal law policy through the implementation of the principle of systematic specificity (systematische specialiteit) is an important effort in the harmonization and synchronization between the laws contained in criminal sanctions therein , both those that are pure criminal act or administrative criminal law. The principle of systematic specificity is found in article 14 of the Corruption Law. The interpretation of this article is not uniform so it often results in the criminalization of official policies. So it still hasn't reached justice. Legal implications of the application of the concept of a systematic lex specialist on law enforcement for criminal acts of corruption in the Mining sector in the renewal of criminal law that law enforcement, prosecutors and judges, both at the first level, appeals, and cassation, in addressing criminal cases that bring together two specific criminal law provisions systematic.


Author(s):  
Winro Tumpal Halomoan

ABSTRAKPidana, pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan dan bagaimana merumuskan tujuan tersebut dalam konsep atau materi suatu undang-undang yang oleh pembentuknya ingin ditegakkan dengan mencantumkan pidana. Selain ditegakkan, di dalamnya juga terdapat tujuan pemidanaan dan syarat pemidanaan. Tujuan pemidanaan terdapat perlindungan masyarakat dan perlindungan/ pembinaan individu pelakunya. penerapan hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara terakhir (ultimum remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum remedium). Pidana penjara semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam. Pidana penjara ini merupakan bentuk perampasan hak-hak terpidana selama menjalani pidana di dalam lembaga penjara. Pemerintah Negara Inggris saja melarang pengadilan menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada para pelaku (first offender) kecuali tidak ada cara lain yang dianggap tepat untuk memperlakukan mereka.Untuk mengetahui lebih lanjut peneliti menuangkan dalam bentuk penulisan tesis dengan rumusan masalah pertama, bagaimanakah penerapan sanksi alternatif selain pidana penjara terhadap pelanggaran administrasi dalam tindak pidana?. Kedua, bagaimanakah idealnya sanksi pidana terhadap pelanggaran hukum pidana yang berasal dari pelanggaran administrasi?Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normative kajian tentang kriteria taraf sejarah hukum, karena membahas dan mengkaji mengenai penerapan sanksi alternatif selain pidana penjara terhadap pelanggaran administrasi dalam tindak pidana. Di dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data yang terdiri dari data primer, data sekunder dan data tertier. Teknik pengumpulan data yaitu kajian kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif serta menarik kesimpulan penulis menggunakan metode berfikir deduktif.Kesimpulan dari hasil penelitian ini adaah pertama, penerapan sanksi alternatif selain pidana penjara terhadap pelanggaran administrasi dalam tindak pidana tidak efektif dilakukan. Pidana berupa penjara dan kurungan merupakan jenis sanksi yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam system peradilan pidana di Indonesia. Pidana penjara dan kurungan dianggap sangat efektif dalam mencegah dan menaggulangi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Tentunya hal ini diakibatkan oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif yang cenderung memidana seseorang dengan pidana penjara. Padahal penegakan hukum pidana harus memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Namun saat ini terjadi pergeseran politik hukum (legal policy) mengenai penerapan hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara terakhir (ultimum remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum remedium). Dan Idealnya sanksi terhadap pelanggaran hukum pidana yang berasal dari pelanggaran administrasi bukanlah sanksi pidana penjara, melainkan sanksi pidana alternative, seperti sanksi administrasi, pidana bersyarat, pidana denda, pembebasan bersyarat, sanksi ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, serta rehabilitasi untuk perbuatan yang berhubungan dengan narkotika. Sehingga untuk pembaharuan hukum pidana untuk kedepannya mempunyai makna, hal ini juga merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofis dan sosio cultural masyarakat. Sehingga peraturan hukum yang akan datang (ius constituendum) khususnya peraturan mengenai pemidanaan yang ada dapat dirumuskan secara lebih baik, sesuai dengan tujuan pemidanaan.Kata kunci: sanksi alternatif; pidana penjara; tindak pidanaABSTRACTCriminal, in essence is a tool to achieve goals and how to formulate these objectives in the concept or material of a law which by its formers want to be enforced by including the criminal. In addition to being enforced, there are also criminal objectives and criminal terms. The purpose of punishment is the protection of society and the protection/coaching of individual perpetrators. the application of criminal law which was originally as an attempt/the last way (ultimum remedium) became the first attempt / way (primum remedium). Prison criminal increasingly plays an important role and shifts the position of capital punishment and corporal punishment which are considered cruel. This prison sentence is a form of deprivation of the rights of a convicted person while serving a crime in a prison institution. The British Government alone prohibits the court from imposing prison sentences on perpetrators (first offender) unless there is no other appropriate way to treat them.To find out more, researchers poured in the form of writing a thesis with the formulation of the first problem, how is the application of alternative sanctions other than imprisonment for administrative violations in criminal acts? Second, what is the ideal criminal sanction for violating criminal law originating from administrative violations?The research method used by the author is a normative legal research study of the criteria of the level of the history of the law, because it discusses and examines the application of alternative sanctions other than imprisonment for administrative offenses in criminal offenses. In this study, researchers collected data consisting of primary data, secondary data and tertiary data. The data collection technique is literature study. Data analysis was carried out qualitatively and drawing conclusions from the author using deductive thinking methods.The conclusion from the results of this study is the first, the application of alternative sanctions other than imprisonment for administrative violations in criminal acts is not effectively carried out. Crimes in the form of prisons and confinement are the types of sanctions that are most often imposed by judges in the criminal justice system in Indonesia. Prison and confinement penalties are considered to be very effective in preventing and overcoming crimes that occur in the community. Of course this is caused by legislation made by the legislature that tends to convict someone with imprisonment. Whereas criminal law enforcement must pay attention to the principle of ultimum remedium which requires the application of criminal law enforcement as a last resort after the application of administrative law enforcement is considered unsuccessful. But now there is a shift in legal politics (legal policy) regarding the application of criminal law which was originally as an attempt/last resort (ultimum remedium) to be the first attempt/way (primum remedium). And Ideally sanctions for violations of criminal law originating from administrative violations are not sanctions imprisonment, but alternative criminal sanctions, such as administrative sanctions, conditional penalties, criminal fines, parole, sanctions for compensation and environmental restoration, and rehabilitation for acts related to narcotics. So that for the renewal of criminal law to have meaning in the future, this is also an attempt to re-orient and reform criminal law in accordance with the central values of socio-political, socio-philosophical and socio-cultural society. So that future legal regulations (ius constituendum), specifically the existing criminal law regulations, can be formulated better, in accordance with the purpose of punishment.Keywords: alternative sanctions; prison crimes; criminal acts 


Author(s):  
Bendry Almy

ABSTRAKPrinsip keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku di Indonesia hanya diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang diaplikasikan dalam bentuk diversi, namun diversi tersebut hanya ditujukan bagi pelaku tindak pidana anak bukan untuk pelaku dewasa, peraturan perundang-perundangan pidana Indonesia belum mengatur prinsip keadilan restoratif bagi pelaku dewasa. Dalam praktik penegakan hukum, penerapan prinsip keadilan restoratif bagi pelaku dewasa sebagian telah dilaksanakan melalui diskresi, namun secara teoritis dan pratik pelaksanaan diskresi masih bermasalah karena belum memenuhi tiga nilai dasar hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan, dan diskresi juga bisa menimbulkan permasalahan ketidakadilan, karena adanya perbedaan perlakuan dalam proses penegakan hukum, sehingga asas “equality before the law” tidak dilaksanakan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan prinsip keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku di Indonesia dan bagaimana penerapan diversi bagi pelaku dewasa dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif. Jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, untuk mencari dan menemukan data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan. Hasil penelitian diketahui bahwa peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia belum mengatur tentang prinsip keadilan restoratif bagi pelaku dewasa, prinsip keadilan restoratif diterapkan baru sebatas untuk pelaku anak yang diaplikasikan dalam bentuk diversi. Secara teoritis, historis, normatif dan praktik prosedural, diversi juga dapat diterapkan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, namun perlu adanya perubahan dan penyesuaian terutama dalam hal tujuan pelaksanaan, kwalifikasi jenis tindak pidana dan mekanisme atau prosedur pelaksanaannya.Kata kunci: kebijakan hukum pidana; anak; dewasa; diversi; keadilan restoratif.AbstractThe principle of restorative justice in criminal law regulations in force in Indonesia is only regulated in the Law on the Criminal Justice System for Children (SPPA) which is applied in the form of diversion, however the diversion is only intended for child offenders not for adult offenders, Indonesian criminal laws and regulations do not regulate the principle of restorative justice for adult offenders. In law enforcement practices, the application of the principle of restorative justice for adult offenders has been partially implemented through discretion, but theoretically and practically the implementation of discretion is still problematic because it does not meet the three basic legal values, namely justice, certainty and benefit, and discretion can also cause problems of injustice, due to differences in treatment in the law enforcement process, so the principle of "equality before the law" is not implemented. The research goal is to find out how the implementation of the principles of restorative justice in criminal legislation in Indonesia, and how the application of diversion for adult offenders in order to realize restorative justice. This type of research is normative research or library research, to search and find the data needed to answer the problem. The results of the study note that Indonesian criminal law regulations do not regulate the principles of restorative justice for adult offenders, the principle of restorative justice is applied only to the child offenders which is applied in the form of diversion. Theoretically, historically, normatively and procedural practice, diversion can also be applied to resolve cases by adult offenders, but there needs to be changes and adjustments especially in terms of implementation objectives, qualification of the type of crime and the mechanism or procedure for its implementation.Keywords: criminal law policy; children; adults; diversion; restorative justice.


Author(s):  
Rendi Lopiga Tarigan

ABSTRAKistilah kebijakan hukum pidana dapat pula dikenal dengan istilah politik hukum pidana, penal policy, criminal law policy, strafrechts-politiek. hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dari suatu negara, yang megadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, menentukan kapan dan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, menentukan dengan cara bagaiamana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang dapat disangka telah melanggar larangan tersebut. salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah indonesia adalah undang-undang nomor 3 tahun 2011 tentang transfer dana. secara umum ditemukan beberapa permasalahan dalam undang-undang ini diantaranya pada bab i ketentuan umum, bagian kesatu terkait definisi yang tidak sesuai dengan hal-hal kongkrit dan bab xii tentang ketentuan pidana pada pasal 85 yang belum menjamin kepastian hukum. jenis penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. ditemukan definisi yang tidak sesuai dengan hal-hal kongkrit dan ketentuan pidana pada pasal 85 yang belum menjamin kepastian hukum melakukan perubahan terhadap bab i ketentuan umum, bagian kesatu terkait definisi-defenisi tentang ketentuan umum pada undang-undang nomor 3 tahun 2011 tentang transfer dana dan melakukan perubahan terhadap pasal 85 undang-undang nomor 3 tahun 2011 bab xii tentang ketentuan pidana terkait ketentuan tindak pidanakata kunci: kebijakan hukum pidana, tindak pidana transfer danaABSTRACTthe term criminal law policy can also be known as the politics of criminal law, penal policy, criminal law policy, strafrechts-politiek. criminal law is part of the entire applicable law of a country, which establishes the basics and rules to determine which actions should not be carried out, which are prohibited, accompanied by threats or sanctions in the form of certain penalties for those who violate the ban, determine when and and what things to those who have violated the prohibitions can be imposed or convicted as threatened, determine in what way the imposition of the crime can be carried out if there are people who can be suspected of violating the prohibition. one of the policies issued by the indonesian government is law number 3 of 2011 concerning funds transfer.in general, several problems were found in this law, including in chapter i general provisions, the first part is related to definitions that are not in accordance with concrete matters and chapter xii concerning criminal provisions in article 85 that do not guarantee legal certainty. this type of research uses the normative juridical approach. found definitions that are not in accordance with concrete matters and criminal provisions in article 85 that do not guarantee legal certainty. amend changes to chapter i general provision, the first part relates to definitions of general provisions in law number 3 of 2011 concerning funds transfer and amendments to article 85 of law number 3 of 2011 chapter xii concerning criminal provisions relating to criminal provisionsKeywords: criminal law policy, criminal acts of fund transfer


Author(s):  
Pratiwi Suci Rosalin

ABSTRAKTindak Pidana Perdagangan Orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun tidak terorganisir. Indonesia sebagai Negara hukum telah memiliki paying hukum terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Aturan tersebut sebenarnya telah mengatur mengenai pidana minimal khusus, namun kenyataannya masih ada hakim yang memutus di bawah pidana minimal khusus, salah satunya adalah Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2018/PN.Bkn jo Putusan Nomor 72/Pid.Sus/2018/PT PBR. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui kebebasan hakim dalam mengambil putusan terhadap tindak pidana perdagangan orang berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana minimum khusus pada saat inisert auntuk mengkaji dan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan hakim memutus perkara di bawah sanksi minimum. Metode penelitian pada tesis ini menggunakan jenis penelitian digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder terhadap azas-azas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan. Hasil penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, kebebasan hakim dalam mengambil putusan terhadap tindak pidana perdagangan orang berdasarkan UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana minimum khusus menurut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dapat dilakukan karena hakim harus berperilaku adil. Sedangkan dalam Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2018/PN.Bkn jo Putusan Nomor 72/Pid.Sus/2018/PT PBR dikaitkan dengan paradigma positivisme sangatlah bertentangan, sebab tidak memebuhi prinsip bebas nilai serta menjawab pertanyaan why, sehingga jauh dari aturan yang ada. Kedua, Faktor-faktor yang menyebabkan hakim memutus perkara di bawah sanksi minimum ada tiga, yaitu: faktor hukum, faktor pribadi hakim, sertafaktorfaktahukumpersidangan. Terkait Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2018/PN.Bkn jo Putusan Nomor 72/Pid.Sus/2018/PT PBR yang diputus di bawah aturan minimum khusus disebabkan karena terdapat keadaan yang meringankan dalam fakta hukum persidanganKata Kunci: kebebasan hakim; tindak pidana perdagangan orang; paradigma positivisme.ABSTRACTHuman Trafficking has expanded in the form of organized and unorganized crime networks. Indonesia as a state of law already has a legal umbrella related to the Law on Elimination of Human Trafficking Crimes (Law No. 21/2007). The regulation has actually regulated the special minimal criminal law, but in reality there are still judges who decide under the special minimal criminal, one of which is Decision Number 475/Pid.Sus/2018/ PN.Bknjo Decision Number 72/Pid.Sus/2018/PT PBR. This study aims to examine and find out the freedom of judges in making decisions against trafficking in persons based on Law on Elimination of Human Trafficking Crimes (Law No. 21/2007) with specific minimum criminal threats at present as well as to examine and find out the factors that have caused judges to decide cases under minimum sanctions.The research method in this thesis uses the type of research used in writing this law is normative legal research, which is an approach carried out by examining library materials or secondary data on legal principles and case studies which in other words are often referred to as library law research. The results of the study can be divided into two, namely: first, the freedom of judges to take decisions on trafficking in persons based Law on Elimination of Human Trafficking Crimes (Law No. 21/2007) with specific minimum criminal threats according to the Code of Ethics and the Code of Conduct for Judges, can be done because judges must behave fairly. Whereas in Decision Number 475/Pid.Sus/2018/ PN.Bknjo Decision Number 72/Pid.Sus/2018/PT PBR is associated with the positivism paradigm is very contradictory, because it does not fulfill the principle of free values and answer the question why, so far from the rules which exists. Second, there are three factors that cause judges to decide a case under a minimum sanction, namely: legal factors, personal factors of judges, as well as legal facts in court proceedings. Regarding Decision Number 475/Pid.Sus/2018/PN.Bknjo Decision Number 72/Pid.Sus/2018/PT PBR which was decided under a special minimum rule is due to a mitigating situation in the legal facts of the trial.Keywords: freedom of judges; criminal trafficking in persons; positivism paradigm.


Author(s):  
Indra Efendi

ABSTRAKPerkembangan teknologi di bidang informasi yang semakin modern sering menyebabkan terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan oleh beberapa orang atau oknum yang tidak bertanggungjawab.Perumusan Masalah Bagaimana pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Bagaimana konsep usulan perbaikan dalam pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berdasarkan hukum progresif.Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Untuk mengetahui konsep usulan perbaikan dalam pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berdasarkan hukum progresif. Jenis penelitian hukumnya adalah secara normatif . Kesimpulan Pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah berjalan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun karena adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maka Sehubungan dengan kebebasan Pers atau media massa dan ancaman yang masih dirasakan adalah pemberlakuan pasal Fitnah atau pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan pada KUHP. Aturan ini dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat di masyarakat dan dianggap UU No. 40 Thn 1999 tentan Pers tidak berlaku. Konsep usulan perbaikan dalam pertanggungjawaban pidana pers melalui media online dikaitkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berdasarkan hukum progresif terutama sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran nama baik dalam dunia maya (cyber) , yang dimana penerapan hukum ini di tinjau dari KUHP dan UU ITE. Penerapan hukum terhadap tindak pidana pencemaran nama baik ini menggunakan asas Lex spesialis derogat legi generali yaitu dimana pengaturan pencemaran nama baik di dunia maya yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 UU ITE merupakan “Lex spesialis” dari Pasal 310 KUHP yang merupakan “Lex generali” dimana hubungan aturan ini menjadikan sinergi hukum atas kasus pencemaran nama baik. Sarannya antara lain harus ada pemisahan yang tegas terkait mana yang masuk kategori delik pers dan mana yang bukan delik pers; dan Harus dipertegas keberadaan (materiil sphere) dari UU tersebut apakah sebagai UU Tindak Pidana Umum atau Tindak Pidana Khusus, karena penanganannya akan berbeda; Perlu dipertegas apakah delik pers itu adalah delik aduan atau delik umum (laporan delik) karena masa penuntutannya akan berbeda dan apakah dapat ditarik atau tidak, dan pertanggungjawaban pidananya harus dipertegas apakah dilimpahkan kepada pimpinan redaksi, perorangan (wartawan) atau korporasinya; Faktor yang harus diperhatikan dalam pemberitaan adalah pers atau media massa harus bebas dari tekanan kelompok baik internal maupun eksternal, dan suatu berita ditulis dengan cermat, akurat, serta penulisan berita harus lengkap dan utuh, sehingga pihak lain tahu informasi dengan benar dan kesalahan serta ketidak akuratan wajib segera dikoreksi.Kata kunci: pertanggungjawaban pidana pers; media on line; Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ABSTRACTThe development of technology in the increasingly modern information field often leads to criminal defamation carried out by several people or irresponsible persons. Formulation of Problems How criminal liability of the press through online media is linked to Article 310 of the Criminal Law Act. How is the proposed improvement concept in criminal liability of the press through online media linked Article 310 of the Criminal Law Act based on progressive law.Research Objectives To find out To find out the criminal liability of the press through online media is linked Article 310 of the Criminal Law Code To find out the concept of the proposed improvement in criminal liability of the press through online media linked Article 310 of the Criminal Law Book based on progressive law. This type of legal research is normative.Conclusion Criminal liability of the press through online media is associated with Article 310 of the Criminal Law Act that has been running in accordance with the Criminal Law Act, but due to the Law Number 40 of 1999 concerning the Press, In connection with freedom of the Press or the mass media and threats that are still felt was the application of the article Defamation or defamation of good name by oral or written on the Criminal Code. This rule is considered to hamper many freedom of expression to express opinions in the community and is considered Law No. 40 of 1999 about the Press does not apply. The proposed concept of improvement in criminal liability of the press through online media is linked to Article 310 of the Criminal Law Act based on progressive law, especially criminal sanctions against perpetrators of cyber defamation, in which the application of this law is reviewed from the Criminal Code and the ITE Law. The application of the law against criminal defamation uses the principle of Lex specialist derogat legi generali, whereby the regulation of defamation in cyberspace regulated in Article 27 paragraph (3) and Article 45 of the ITE Law constitutes the "Lex specialist" of Article 310 of the Criminal Code which is a "Lex generali" where the relationship of this rule makes legal synergy over defamation cases.The suggestions are that there must be a strict separation related to what is included in press offenses and which are not press offenses; and The existence of the material (sphere) must be confirmed whether the Act is a General Criminal Act or a Special Criminal Act, because the handling will be different; It needs to be emphasized whether the press offenses are complaints or general offenses (offense reports) because the prosecution period will be different and whether it can be withdrawn or not, and criminal liability must be confirmed whether it is delegated to the editor in chief, an individual (journalist) or the corporation; The factor that must be considered in reporting is that the press or mass media must be free from internal and external group pressure, and that a news is written carefully, accurately, and news writing must be complete and complete, so that other parties know the information correctly and errors and inaccuracies must be corrected immediately.Keywords: criminal liability pressl; online media; Article 310 Of The Criminal Law Code


Author(s):  
Jumieko Andra

ABSTRAKDisparitas pidana juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimanakah disparitas putusan hakim jika dihubungkan dengan asas Nulla Poena sine lege dalam memberi batasan pada hakim dihubungkan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Bangkinang khususnya pada Tahun 2019. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut, jenis dan sifat penelitian dari sudut metode yang di pakai dalam penelitian ini, maka penelitian ini berupa penelitian hukum normatif atau kepustakaan Dengan teknik pengumpulan data studi dokumen dan studi kepustakaan. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun yang sosiologis) karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif, Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penulis mencoba memberikan gambaran secara rinci mengenai disparitas putusan hakim pengadilan negeri bangkinang dalam perkara tindak pidana narkotika.Dilihat dari dua pokok pembahasan dan penelitian diatas maka penulis dapat menyimpulkan, pertama, disparitas putusan hakim jika dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege dalam memberi batasan pada hakim dihubungkan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: Asas nulla poena sine lege terdapat dalam pasal 1 kuhp guna memberikan batasan agar hakim tidak sewenang-wenang dalam memberikan putusan pemidanaan, akan tetapi dalam praktiknya hakim bebas memberikan putusan tanpa intervensi, Asas nulla poena sine lege warisan belanda tidak selaras dengan pasal 4 ayat 1 undang-undang republik indonesia no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Kedua, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di wilayah hukum pengadilan bangkinang khususnya pada tahun 2019, hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut: Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta / hal-hal yang terbukti dalam persidangan. Kata kunci: disparitas; putusan hakim; tindak pidana narkotikaABSTRACTCriminal disparity is also often associated with the independence of judges. The criminal punishment model regulated in legislation (the formulation of maximum criminal sanctions) also contributes. In passing a decision, a judge may not be intervened by any party. The formulation of the problem examined in this study is firstly, how is the disparity in the decision of the judge if it is related to the principle of Nulla Poena sine lege in giving limitations to the judge related to Article 4 Paragraph (1) of the Law of the Republic of Indonesia No. 48 of 2009 concerning Judicial Power. Second, what is the basis of the judge's judgment in imposing a criminal decision on narcotics offenders in the Legal Area of the Bangkinang Court, especially in 2019.In conducting this research, the author uses the following research methods, types and nature of research from the point of view of the method used in this study, then this research is in the form of normative legal research or literature. Document study is the first step of any legal research (both normative and sociological) because legal research always departs from the normative premise, while the nature of this research is descriptive, meaning that the writer tries to give a detailed description of the disparity in decisions of the district court judges in criminal cases narcotics.Judging from the two points of discussion and research above, the writer can conclude, first, the disparity in the decision of the judge if it is related to the principle of nulla poena sine lege in giving limits to the judge connected with Article 4 Paragraph (1) of the Republic of Indonesia Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power: The principle of nulla poena sine lege is contained in article 1 of the Kuhp in order to provide a limitation so that judges are not arbitrary in giving criminal decisions, but in practice judges are free to give decisions without intervention, the nulla poena sine lege principle is not inherited from the Dutch legacy. in line with article 4 paragraph 1 of the law of the Republic of Indonesia no. 48 of 2009 concerning judicial authority. Second, the basic consideration of judges in issuing criminal decisions against narcotics offenders in the jurisdiction of the Bangkinang court, especially in 2019, in essence the judges' considerations should also contain the following matters: Principal issues and matters that are recognized or arguments that are recognized not denied. There is a juridical analysis of the verdict on all aspects concerning all facts / proven matters in the trial.Keywords: disparity; judge decision; narcotics crime


Author(s):  
Andrio Loka Saputra

ABSTRAKHukuman kebiri mengandung unsur penyiksaan, sementara hal itu bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk melindungi warga negara untuk bebas dari ancaman penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Tulisan ini membahas mengenai penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak dikaitkan dengan asas legalitas dan mengenai pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Metode penelitian adalah penelitian hukum normatif kajian tentang asas hukum, peneliti mengumpulkan data yang terdiri dari data primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan data yaitu kajian kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif serta menarik kesimpulan penulis menggunakan metode berfikir deduktif.Kesimpulan dari penelitian ini adalah jika dikaitkan dengan asas legalitas, maka perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan itu dilakukan (lextemporis delictie). Namun, apabila setelah perbuatan tersebut dilakukan terjadi perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga dengan demikian lextemporis delictie tersebut dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP. Penerapan asas legalitas dalam penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak akan menunjang berlakunya suatu kepastian hukum dan perlakuan yang sama. Dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada para pelaku kejahatan seksual pada anak tertcantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Penjatuhan hukuman kebiri kimia bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual kepada anak dan untuk mengatasi kondisi kejahatab seksual pada anak, yang saat ini semakin meningkat terus-menerus. Saran penulis untuk kedepannya penjatuhan hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur harus lebih di pertegas lagi. Agar anak sebagai generasi penerus bangsa bisa terjaga dan terlindungi. Untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual khususnya terhadap anak di bawah umur serta dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan khususnya terhadap anak dan keluarganya, selain itu dengan pemberlakuan hukum saat ini tidak ada lagi kasus-kasus tentang kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur.Kata Kunci: Kebiri Kimia, Kejahatan Seksual, Asas Legalitas.ABSTRACTCastration punishment contains an element of torture, while it is contrary to Indonesia's commitment to protect citizens from being free from the threat of cruel, inhuman and degrading punishment. This paper discusses the imposition of chemical castration sentences on perpetrators of sexual crimes on children associated with the principle of legality and about the judges' consideration in imposing chemical castration sentences on perpetrators of sexual crimes against children in accordance with statutory regulations. The research method is a normative legal research study of legal principles, researchers collect data consisting of primary, secondary and tertiary data. The data collection technique is literature study. Data analysis was carried out qualitatively and drawing conclusions from the author using deductive thinking methods.The conclusion of this study is that if it is associated with the principle of legality, then a person's actions must be judged according to the rules in force at the time the act was committed (lextemporis delictie). However, if after the act is carried out a change in legislation, the mildest rules for the defendant are used, as determined in Article 1 paragraph (2) of the Criminal Code, so that the lextemporis delictie is limited by Article 1 paragraph (2) of the Criminal Code. The application of the principle of legality in imposing chemical castration sentences on perpetrators of sexual crimes on children will support the enactment of a legal certainty and equal treatment. And the consideration of judges in imposing chemical castration sentences on perpetrators of sexual crimes against children is in accordance with the laws and regulations for perpetrators of sexual crimes against children listed in the Law of the Republic of Indonesia Number 17 Year 2016 Regarding the Establishment of Government Regulations in Lieu of Law Number 1 Year 2016 Concerning the Second Amendment to Law Number 23 Year 2002 concerning Child Protection becomes Law. The castration of castration punishment aims to prevent the occurrence of sexual crimes against children and to overcome the condition of sexual abuse in children, which is currently increasing constantly.The author's suggestion for the future imposing castration punishment on perpetrators of sexual crimes against minors should be emphasized even more. So that children as the next generation of the nation can be protected and protected. To prevent the occurrence of sexual crimes, especially against minors and can provide a sense of justice and security, especially against children and their families, besides that with the enactment of the law there are currently no more cases of sexual crimes against minors.Keywords: Chemical Castration, Sexual Crime, Principle of Legality.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document