Matheo : Jurnal Teologi/Kependetaan
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

6
(FIVE YEARS 6)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia

2723-6102, 2088-8562

2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 84-93
Author(s):  
Yusak Setianto ◽  
Ferry Mahulette

Abstract Ruwatan is a form of ceremony in Javanese society that aims to free people from bad luck and the disasters that will befall on them. Some Javanese Christians who still perform the Ruwatan ceremony. The Ruwatan ceremony itself was rejected by the church and priests, especially the Javanese Christian Church/ Gereja Kristen Jawa (GKJ). This article itself aims to understand the Ruwatan model by Javanese Christians and to review it in a christian ethics related to the implementation of Ruwatan by Javanese Christian. The method used is a qualitative method with a field observation approach. The speakers were Javanese Christians who participated in Ruwatan, cultural practitioner, and priests of GKJ. We found the fact that there are two models of Ruwatan done by Javanese Christians. We give the terms with Javanese Christians A and B. Javanese Christians A do Ruwatan as in general, namely the style of Yogyakarta and Surakarta. While the Javanese Christian B performs Ruwatan that has been contextualized in the form of bidston/ pandonga worship. The Church and GKJ Priests themselves support the Ruwatan model carried out by Javanese Christian B which presents Jesus as the Human Guardian. In conclusion after being reviewed in christian Ethics, the Ruwatan carried out by Javanese Christian A cannot be justified in terms of both the motive and the action. Contrary, the Javanese Christianity B can be accepted and implemented because it is not in conflict with the Bible.   Keywords: ruwatan; javanese christians; bidston/ pakempalan pandonga; javanese christian church; christian ethics   Abstrak Ruwatan merupakan suatu bentuk upacara di masyarakat Jawa yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari nasib buruk maupun malapetaka yang akan menimpa dirinya. Tidak sedikit orang Jawa Kristen yang masih melakukan upacara Ruwatan. Upacara Ruwatan sendiri ditolak pelaksanaannya oleh gereja dan pendeta, khususnya Gereja Kristen Jawa (GKJ).  Artikel ini sendiri bertujuan untuk memahami model Ruwatan yang dilakukan orang Jawa Kristen serta meninjauan nya secara etika Kristen terkait pelaksaan Ruwatan oleh orang Jawa Kristen. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan observasi lapangan. Narasumbernya merupakan Orang Jawa Kristen peserta Ruwatan, budayawan, serta pendeta GKJ. Peneliti menemukan fakta bahwa terdapat dua model Ruwatan yang dilakukan oleh orang Jawa Kristen. peneliti memberi istilah dengan Orang Jawa Kristen A dan B. Orang Jawa Kristen A melakukan Ruwatan seperti pada umumnya yaitu bergaya Yogyakarta dan Surakarta. Sedangkan orang Jawa Kristen B melakukan Ruwatan yang telah dikontekstualisasikan dalam bentuk ibadah bidston/ pakempalan pandonga. Gereja dan Pendeta GKJ sendiri mendukung model Ruwatan yang dilakukan oleh orang Jawa Kristen B yang mana menghadirkan Yesus sebagai Juru Ruwat Manusia. Kesimpulannya setelah ditinjau secara etika Kristen, maka Ruwatan yang dilakukan oleh orang Jawa Kristen A tidak dapat dibenarkan baik secara motif dan tindakan pelaksanaannya. Sebaliknya, Ruwatan orang Jawa Kristen B dapat diterima dan dilaksanakan karena tidak bertentangan dengan Alkitab.   Kata Kunci: ruwatan; orang jawa kristen; bidston/ pakempalan pandonga; gereja kristen jawa; etika kristen


2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 52-63
Author(s):  
Ivonne Sandra Sumual ◽  
Rini Trivosa

Abstract The encounter of the Christian faith with local culture produces dynamic interactions. It can happen that the Christian faith is integrated with that culture. Christian faith can also replace local culture. This is proven when the Christian faith meets the Ma ’nenek culture in Toraja. This research was conducted to find out how the perception and impact of Ma' nenek culture on the Christian faith of the GPSDI Buntuminanga congregation, Toraja. By using a qualitative approach or method, it was found that even though this village became a Christian enclave (100% Christian), it turned out that they still believed in local cultures. These things state that some of the local people are Christians who practice syncretism, that is, there are 2 objects of belief or mixed beliefs. In addition there is also occultism, namely belief in the power of darkness. The presence of Ma' nenek has attracted the attention of the community, especially in Lembang Buntuminanga, that the spirits of the ancestors will come to bless, heal, help and save for families who perform this ritual. The purpose of this culture is as a form of respect for parents. There are still some Christians in Toraja who still believe in the efficacy of rituals in the Ma' nenek. However, in general, Ma' nenek is run by not crashing into the Christian faith in GPSDI Lembang Buntuminaga.   Keywords: grandmothers' culture; christian faith; respect for parents   Abstrak Pertemuan iman Kristen dengan kebudayaan lokal menghasilkan interaksi yang dinamis. Dapat terjadi bahwa iman Kristen menyatu dengan budaya tersebut. Dapat terjadi juga iman Kristen menggantikan budaya setempat. Hal tersebut yang nampak ketika iman Kristen bertemu dengan kebudayaan Ma’ nenek di Toraja. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi dan dampak kebudayaan Ma’ nenek terhadap iman Kristen jemaat GPSDI Buntuminanga, Toraja.  Dengan menggunakan pendekatan atau metode kualitatif, maka didapatkan bahwa sekalipun desa ini menjadi kantong Kristen (100% Kristen), tetapi ternyata mereka masih menganut kepercayaan terhadap budaya-budaya lokal. Hal-hal tersebut menyatakan bahwa sebagian dari masyarakat setempat merupakan orang Kristen yang menjalankan sinkretisme, yakni terdapat 2 objek kepercayaan atau percampuran keyakinan. Di samping itu juga terdapat okultisme, yakni kepercayaaan terhadap kuasa kegelapan. Kehadiran Kebudayan Ma’ nenek telah menarik perhatian masyarakat khususnya di lembang Buntuminanga, bahwa arwah dari leluhur akan datang memberkati, menyembuhkan, menolong dan menyelamatkan bagi keluarga yang melakukan ritual ini. Tujuan dilakukannya kebudayaan ini adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap Orang Tua. Masih ada beberapa orang Kristen di Toraja masih percaya dengan keampuhan ritual dalam budaya Ma’ nenek. Namun, secara umum, kebudayaan Ma’ nenek dijalankan dengan tidak menabrak iman Kristen di GPSDI Lembang Buntuminaga.   Kata Kunci: kebudayaan ma’ nenek; iman kristen; penghormatan terhadap orang tua


2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 12-22
Author(s):  
Dio A. Pradipta

Abstract The Pentecostal events that took place in the Acts 2, are believed to be the fulfillment of the prophecy of the prophet Joel (Joel 2: 28-32); at least, that is the Pentecostals’ perspective today. The problem that arises is that often the outpouring of the Holy Spirit is not seen as a precursor of change or transformation whether it is individual or ecclesiological (liturgical worship). People tend to ignore the contribution of Holy Spirit in the life of believers. The resurrection of Jesus Christ is indeed a very important event, but Pentecost is what drives the apostles to be witnesses of Christ. In this paper, we try to describe the impact of the outpouring of the Holy Spirit in Acts 2: 1-4 in two aspects namely the narrow (personal) aspect, and broad (ecclesiological) aspect. In a narrow aspect, Pentecost changes the lives of believers as empowerment for mission and the starting point for changing the character of believers in a positive direction. In a broad aspect, it turns out that the outpouring of the Holy Spirit also brought changes to the liturgy of the great worship that is seen today at Pentecostal vs. worship. non-Pentakota. Researchers argue, the striking difference is because the Pentecostals' response to the outpouring of the Holy Spirit itself is very accommodating and responsive. Pentecost worship is a worship that is sensitive to the empowerment of the Holy Spirit manifested in spiritual gifts. These spiritual gifts have a significant impact on communal growth.   Keywords: pentecost; transformation; ecclesiology; pneumatology; holy spirit   Abstrak Peristiwa Pentakosta yang terjadi di Kisah Para Rasul pasal yang ke-2, diyakini sebagai penggenapan nubuatan nabi Yoel (Yl. 2:28-32); setidaknya, itulah perspektif kaum Pentakosta sekarang ini. Permasalahan yang timbul adalah seringkali pencurahan Roh Kudus tidak dipandang sebagai sebuah prekursor atas perubahan atau transformasi baik itu bersifat individu maupun secara eklesiologi (liturgi ibadah). Pemahaman yang terlalu kritosentris cenderung mengabaikan sumbangsih pneumatologis di dalam kehidupan orang percaya. Kebangkitan Yesus Kristus memang peristiwa yang sangat penting, tetapi Pentakosta yang mendorong para rasul menjadi saksi Kristus. Di tulisan ini, peneliti berusaha menggambarkan dampak pencurahan Roh Kudus di dalam Kisah Para Rasul 2:1-4 di dalam dua aspek yaitu aspek yang sempit (pribadi), dan aspek yang luas (eklesiologi). Dalam aspek sempit, Pentakosta mengubahkan kehidupan orang percaya sebagai pemberdayaan untuk misi serta titik tolak perubahan karakter orang percaya ke arah yang positif. Dalam aspek luas, ternyata pencurahan Roh Kudus juga membawa perubahan pada liturgi ibadah raya yang sebagaimana dilihat sekarang ini di ibadah Pentakosta vs. non-Pentaksota. Peneliti berargumen, perbedaan mencolok adalah karena respons umat Pentakosta terhadap peristiwa pencurahan Roh Kudus sendiri yang sangat akomodatif dan responsif. Ibadah Pentakosta merupakan sebuah ibadah yang peka terhadap pemberdayaan Roh Kudus yang termanifestasi dalam karunia-karunia roh. Karunia roh tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan komunal.   Kata Kunci: pentakosta; transformasi; eklesiologi; pneumatologi; roh kudus


2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 37-51
Author(s):  
Johanes S. P. Rajagukguk ◽  
Lion Sugiono

Abstract This study aims to determine the congregation's understanding of Pentaskota worship values ​​and their impact on encouraging spiritual maturity. The research’s method in this paper is a qualitative research method. This qualitative research consists of library research and grounded research, namely by taking theories based on literature and conducting interviews with fifteen resource persons consisting of five Pentecostal churches in Bogor City. In this research, there are several steps which are carried out, namely data collection, data reduction, data presentation, drawing conclusions. The research data were analyzed using descriptive analysis, namely by explaining the results of the analysis obtained from interviews with informants. The results of this study indicate that understanding the Pentecostal liturgical elements does not have an impact on spiritual maturity. However, performing the Pentecostal liturgy will have an impact on spiritual maturity. Through a good understanding and understanding of the elements contained in the Pentecostal Liturgy, the congregation will be more sincere in carrying out the liturgical worship. Having a right understanding and doing liturgy can seriously improve spirituality and have a beneficial impact on spiritual growth and maturity. Therefore, there is an indirect correlation between the elements of Pentecostal worship and the spiritual maturity of Christians.   Keywords: liturgy; elements of pentecostal worship; spiritual maturity   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman jemaat terhadap nilai-nilai ibadah Pentaskota dan dampaknya untuk mendorong kedewasaan rohani. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini terdiri dari library research dan grounded research, yaitu dengan mengambil teori berdasarkan literatur dan melakukan wawancara terhadap lima belas orang narasumber yang terdiri dari lima gereja aliran Pentakosta.di Kota Bogor. Dalam penelitian ini terdapat beberapa tahap yang dilakukan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Data hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan analisa deskriptif, yaitu dengan menjelaskan hasil analisa yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap narasumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap unsur-unsur liturgi Pentakosta tidak memberikan dampak bagi kedewasaan rohani. Namun demikian, melakukan liturgi Pentakosta akan memberikan dampak bagi kedewasaan rohani. Melalui pengertian dan pemahaman yang baik terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam liturgi Pentakosta, maka jemaat akan lebih sungguh-sungguh dalam melaksanakan liturgi ibadah. Dengan memiliki pengertian yang benar dan melakukan liturgi dengan sungguh-sungguh dapat meningkatkan spiritualitas dan memberikan dampak yang berguna bagi pertumbuhan dan kedewasaan rohani. Karena itu, terdapat korelasi tidak langsung antara unsur-unsur ibadah Pentakosta dengan kedewasaan rohani orang Kristen.   Kata Kunci: liturgi; unsur-unsur ibadah pentakosta; kedewasaan rohani


2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 1-11
Author(s):  
Muryati ◽  
Christian Reynaldi

Abstract How does the New Testament view role of women in Christian community? The answers to that questions can be found in a number of books in the New Testament. Of these, one that stands out is the Gospel of Luke. In this article we argues that Luke presents the story of the gospel by highlighting minorities, especially women. This is proven from many sections in the Gospel of Luke, for example: Luke 1. We explore three stories in Luke 1 namely: the birth of John the Baptist foretold (vv. 5-25), the birth of Jesus foretold (vv. 26-38) , and Mary visits Elizabeth (vv. 39-45). All three stories show the significance of Mary and Elizabeth's role as women who receive gifts from God. To this gift they show an appropriate faith response. Mary is told as a woman who is obedient and ready to carry out God's message through the angel Gabriel. Elizabeth is told as a woman who is barren but has integrity, and shows faith in the movement of the Holy Spirit within her. Both have an important role in the birth of Jesus Christ, the Messiah and the Savior. Both figures show that women can be used by the Holy Spirit. Through empowerment by the Holy Spirit women have gifts that can be used for the common good in the Christian community. The New Testament never ruled out the role of women in the Christian community.   Keywords: : women; gospel; gift; luke   Abstrak Bagaimana Perjanjian Baru memandang peran perempuan dalam komunitas Kristen? Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah kitab di Perjanjian Baru. Dari sekian kitab tersebut, salah satu yang menonjol adalah Injil Lukas. Dalam artikel ini peneliti berargumentasi bahwa Lukas mempresentasikian kisah Injil dengan menonjolkan kaum minoritas, khususnya kaum perempuan. Hal ini nampak dari banyak bagian di dalam Injil Lukas, salah satunya adalah Lukas 1. Peneliti mengeksplorasi tiga kisah dalam Lukas 1 yaitu: pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis (ay. 5-25), pemberitahuan tentang kelahiran Yesus (ay. 26-38), dan perjumpaan Maria dengan Elisabet (ay. 39-45).  Ketiga kisah tersebut memperlihatkan signifikansi peran Maria dan Elisabet sebagai perempuan yang mendapatkan karunia dari Tuhan Allah. Terhadap karunia tersebut mereka menunjukkan respon iman yang tepat. Maria dikisahkan sebagai perempuan yang taat dan siap melaksanakan pesan Tuhan melalui malaikat Gabriel.  Elisabet dikisahkan sebagai perempuan yang mandul tetapi berintegritas, dan menunjukkan iman kepada gerakan Roh Kudus di dalam dirinya. Keduanya mempunyai peran penting di dalam kelahiran Yesus Kristus, Sang Mesias dan Juruselamat. Kedua tokoh tersebut memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipakai oleh Roh Kudus. Melalui pemberdayaan oleh Roh Kudus perempuan mempunyai karunia yang dapat dipakai demi kepentingan bersama dalam komunitas Kristen. Perjanjian Baru tidak pernah mengesampingkan peran perempuan dalam komunitas Kristen.   Kata Kunci: perempuan; injil; karunia; lukas


2020 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 23-36
Author(s):  
Gernaida K. R. Pakpahan ◽  
Abraham Yosua Taneo

Abstract This theological socio-ethical study intends to highlight the state of social morality of Christians in Alak District, Kupang - East Nusa Tenggara (NTT). The problem that arises is that Christians in Alak tend to become perpetrators of crime in society. This condition is really ironic because Christians are the majority there, so the they can’t be role models for people around. With a qualitative approach it is found that social life of Christians who live in Alak are people who are able to adapt to the surrounding environment, by applying social values ​​that generally apply within Alak community groups, such as tolerance, mutual cooperation, mutual respect, guarding, and so on. Furthermore, when viewed from an ethical theological perspective, it is found that in the midst of a society that lives in harmony, there has been an increase in social crime rates especially in Alak and the majority of perpetrators of social crimes are members of the church. This proves that not a few Christians in Alak experience "moral deficiency." Moral deficiencies / defects are conditions of individuals whose lives are delinquent, often commit crimes, behave asocially, or are anti-social. He does not experience organic deviations in the functioning of his intellect, only his intellect does not function, resulting in a chronic moral freeze.   Keywords: sociology; christian ethics; interaction; morality; christianity   Abstrak Kajian sosio – etis teologis ini hendak menyoroti keadaan moralitas sosial umat Kristen yang berada di Kecamatan Alak, Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT). Persoalan yang muncul adalah orang-orang Kristen di Alak cenderung menjadi pelaku kejahatan di dalam masyarakat. Kondisi ini sungguh ironis sebab orang-orang Kristen adalah mayoritas di sana, sehingga peran sebagai teladan bagi orang-orang sekitar tidak dapat terlaksana. Dengan pendekatan kualitatif didapatkan bahwa secara kehidupan bersosial, umat Kristen yang berdomisili di Alak adalah masyarakat yang mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dengan menerapkan nilai-nilai sosial yang secara umum berlaku di dalam kelompok masyarakat Alak, seperti nilai toleransi, gotong royong, saling menghargai, menjaga, dan lain sebagainya. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan perspektif etis teologis, maka ditemukan bahwa di tengah-tengah masyarakat yang hidup di dalam kerukunan, terjadi peningkatan angka kejahatan sosial khususnya di Alak dan mayoritas pelaku tindak kejahatan sosial ialah anggota gereja. Hal ini membuktikan bahwa tidak sedikit umat Kristen di Alak mengalami “Defisien/defek moral.” Defisien/ defek moral merupakan sebuah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), sering melakukan kejahatan, berperilaku a-sosial, atau anti-sosial. Ia tidak mengalami penyimpangan organik pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis.   Kata Kunci: sosiologi; etika kristen; interaksi; moralitas; kekristenan


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document