Journal Of The Indonesian Medical Association
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

78
(FIVE YEARS 78)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Ikatan Dokter Indonesia

2654-3796, 2089-1067

2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 206-208
Author(s):  
Reynaldo Halomoan ◽  
Leonard Christianto Singjie ◽  
Jonny Setiawan

Chronic venous insufficiency (CVI) is a disease of the vein due to valve dysfunction, venous obstruction, or both. This results in increased vein pressure and related to disruption in the vein system.


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 215-219
Author(s):  
Nirwana Lazuardi Sary ◽  
Saiful Basri ◽  
Firjatullah
Keyword(s):  

Pendahuluan: Retinopati diabetik merupakan komplikasi dari penyakit diabetes dan merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Retinopati diabetik terjadi ketika pembuluh darah pada retina rusak dan hal ini berhubungan dengan hiperglikemi dan kondisi lainnya pada diabetes. Bevacizumab digunakan untuk mengobati retinopati diabetik dan penyakit lainnya yang menganggu retina. Injeksi Bevacizumab dilakukan untuk mencegah hilangnya penglihatan dengan memblok perkembangan yang abnormal dari pembuluh darah pada retina. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik serta gambaran tajam penglihatan pasien retinopati diabetik sebelum dan sesudah injeksi bevacizumab. Metode: Jenis Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dilakukan dengan pengumpulan data dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi. Data dikumpulkan pada periode 1 Januari tahun 2019 sampai 31 desember tahun 2019 yang berjumlah 69 mata dari 40 pasien sebagai sampel penelitian. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar mata mengalami NPDR yang berjumlah 55 (80%) mata. Sebelum injeksi bevacizumab tajam penglihatan 6/6 – 6/18 berjumlah 18%, tajam penglihatan 6/19 – 6/60 sebanyak 37.7% dan tajam penglihatan 5/60 – 1/∞ sebanyak 43.5%. Sesudah injeksi bevacizumab tajam penglihatan 6/6 – 6/18 berjumlah 27.5%, tajam penglihatan 6/19 – 6/60 sebanyak 42% dan tajam penglihatan 5/60 – 1/∞ sebanyak 30.4%. Pada penelitian ini mata yang tidak mengalami perubahan tajam penglihatan berjumlah 52.2%, mata yang mengalami perbaikan 34.8% dan mata yang mengalami penurunan 13%. Kesimpulan: Kesimpulannya sesudah di injeksi bevacizumab mata yang tidak mengalami perubahan tajam penglihatan lebih banyak setelah follow up 1 bulan yaitu 52.2%.


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 228-233
Author(s):  
Fatira Ratri Audita ◽  
Arini Ika Hapsari ◽  
Andi Marsa Nadhira ◽  
Muhammad Hafiz Aini
Keyword(s):  

Pendahuluan: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) memiliki tingkat keparahan dari flu ringan hingga gagal napas dan kematian. Diabetes melitus (DM) dianggap sebagai salah satu faktor risiko kerentanan infeksi dan tingkat keparahan penyakit pada COVID-19. Serial kasus ini melaporkan gejala klinis, penemuan pemeriksaan penunjang, dan mortalitas pada pasien COVID-19 berat dengan komorbid DM.Ilustrasi Kasus: Laporan ini merupakan serial kasus dari tiga pasien perempuan usia 50-68 tahun, dengan COVID-19 terkonfirmasi dan komorbid DM yang dirawat di perawatan intensif dari bulan April hingga Juli 2020. Dua pasien mengalami hiperglikemia pada presentasi awal. Selama perawatan, dua pasien cenderung mengalami hiperglikemia, sementara satu pasien lebih sering mengalami hipoglikemia. Dua pasien mengalami pneumonia terkait infeksi rumah sakit dan gagal ginjal akut selama perawatan. Satu pasien meninggal dunia.Diskusi: Ketiga subjek mengalami fluktuasi kondisi dan gula darah yang sulit dicapai selama perawatan. Satu pasien mengalami mengalami gagal napas dan meninggal dunia, sementara dua pasien lainnya dipulangkan setelah perbaikan keadaan. Kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia pada DM diperkirakan berperan dalam keparahan infeksi COVID-19.Kesimpulan: DM dapat memperburuk kondisi pasien yang terinfeksi COVID-19. Kadar gula darah normal saat presentasi awal tidak menjadi jaminan prognosis baik pada pasien; sehingga, kontrol gula darah pada pasien COVID-19 dengan DM merupakan hal yang krusial.


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 241-247
Author(s):  
Setyo Handryastuti

Kejang demam (KD) adalah kejang yang berkaitan dengan kenaikan suhu tubuh di atas 38°C, bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan elektrolit maupun metabolik, dapat terjadi pada usia 6 bulan sampai 6 tahun. Kejang demam merupakan penyebab tersering kejang pada anak, dengan perjalanan penyakit yang benign, mempunyai prognosis yang baik dan menghilang pada usia 6 tahun. Diagnosis KD adalah diagnosis klinis, yang perlu diperhatikan adalah menyingkirkan infeksi SSP, terutama pada KD kompleks. Dari telaah literatur, indikasi pemeriksaan penunjang serta tata laksana mengalami banyak perubahan. Pemeriksaan penunjang laboratorium, elektroensefalografi, maupun pencitraan hanya atas indikasi sesuai rekomendasi. Tatalaksana meliputi terapi simtomatik dan profilaksis. Rekomendasi tata laksana meliputi tatalaksana pada saat kejang dan terapi profilaksis intermiten maupun rumatan jangka panjang. Rekomendasi terapi profilaksis telah disusun dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Kejang demam kerap menyebabkan kecemasan yang berlebihan pada orang tua sehingga diperlukan edukasi yang baik tentang prognosis, perjalanan penyakit, risiko dan manfaat pemberian terapi profilaksis. Dokter umum, dokter anak, maupun dokter neurologi anak diharapkan menerapkan rekomendasi yang telah disusun agar pemeriksaan penunjang dan tatalaksana yang berlebihan dapat dihindari.


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 234-240
Author(s):  
Lanny Christine Gultom ◽  
Valensia Vivian The

Introduction: Developmental regression is always an alarming symptom in children as it is an early sign of some genetic disorders, one of which is neuronal ceroid lipofuscinosis (NCL). NCL is a group of rare neurodegenerative disorder caused by accumulation of intracellular ceroid lipofuscin. Since 2017 an enzyme replacement therapy (ERT) has been approved by Food and Drug Administration (FDA) for this disease. The symptoms of NCL could be managed by ERT if detected early, and the child could live normally.Case: We present a case of a 6-year-and-5-month-old boy with developmental regression, speech delay, recurrent seizure, and visual impairment, who was diagnosed with NCL type 2 after genetic testing. Compound heterozygous mutations in tripeptidyl-peptidase 1 (TPP1) gene was revealed, consistent with very low level of TPP1 enzyme in this patient.Discussion: NCL is a fatal disease which is often misdiagnosed in early stage. Diagnostic delay of NCL often occurs due to lack of awareness which often leads to premature death.Conclusion: Knowledge regarding the disease is important for early detection and to slow down the disease progression.  


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 209-214
Author(s):  
Agus Syahrurachman ◽  
Atna Permana

Introduction: There is no susceptibility data of E. coli and K. aeromobilis in Indonesia, even data regarding minimal inhibitory concentration (MIC)-based susceptibility of E. coli and K. aeromobilis towards single antibiotic or combination of fosfomycin (FOS) and sulbactam-cepoferazone (SUL-CPZ) is very scarce, even though the data is required by clinicians. Methods: A descriptive observational study was carried out at the Microbiology Clinical Laboratory of the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Thirty strains each of clinical isolates of E. coli and K. aeromobilis were subjected to MIC determination against FOS and SUL-CPZ. For susceptibility criteria, we adopted the Eucast guideline. The synergism of the combined antibiotics was determined by checkerboard titration. One strain of E. coli and K. aeromobilis showing a synergistic and independent effect against the combined antibiotics was subjected to a time-kill assay. The post-antibiotic effect (PAE) was determined on a strain of E. coli showing synergism against the combined antibiotics. Results: The MIC level of all strains decreased when the bacteria were exposed to the combined antibiotics. Synergism was observed in 53.3% of E. coli and 56.8% of K. aeromobilis. No antagonism was observed. Higher bacterial death during the first four hours occurred with the isolate, showing synergism compared to the isolate showing an independent effect. The PAE of E. coli was longer when exposed to combined antibiotics. Conclusion: In vitro synergism of FOS and SUL-CPZ was observed in the majority of isolates and could be used as the basis for further research on empirical treatment


2021 ◽  
Vol 71 (5) ◽  
pp. 220-227
Author(s):  
Rizaldy Taslim Pinzon ◽  
Carmelia Anggraini

Pendahuluan: Angka kejadian gangguan kognitif yang ditimbulkan akibat stroke iskemik saat ini semakin meningkat. Gangguan kognitif pascastroke iskemik seringkali terlambat didiagnosis. Penelitian yang mengidentifikasi faktor prediktor gangguan kognitif pascastroke iskemik akut masih terbatas dilaporkan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor prediktor terhadap gangguan kognitif pada pasien pascastroke iskemik akut ringan-sedang.Metode: Penelitian kohort terhadap pasien berusia >18 tahun yang terdiagnosis stroke iskemik akut dan telah menjalani pemeriksaan Mini - Mental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) pada hari ke – 30 di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta diikutkan dalam penelitian. Luaran dari penelitian ini merupakan hasil MSSE dan CDT pada hari ke -30. Analisis penelitian ini menggunakan metode Chi-square intuk mengukur hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung yang dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik. Nilai p <0,05 dianggap bermakna.Hasil: Sebanyak 140 pasien diikutkan dalam penelitian dengan rata-rata usia 62,8 tahun. Subjek berjenis kelamin laki – laki berjumlah 86 (61,4%) dan perempuan 54 (38,6%). Sembilan puluh satu subjek (65%) mengalami gangguan kognitif pascastroke iskemik akut. Analisis multivariat menunjukkan usia >70 tahun, tingkat pendidikan ≤ 6 tahun, skor Barhtel Index ≤4 dan skor mRS >3 saat terdiagnosis, jumlah lesi multipel dan lokasi lesi korteks merupakan faktor prediktor independen yang mempengaruhi gangguan kognitif 30 hari pascastroke iskemik akut. Kesimpulan: Usia >70 tahun, tingkat pendidikan ≤ 6 tahun, skor Barhtel Index ≤4 dan skor mRS >3 saat terdiagnosis, jumlah lesi multipel dan lokasi lesi korteks merupakan faktor prediktor independen terjadinya gangguan kognitif 30 hari pascastroke iskemik akut.


2021 ◽  
Vol 71 (4) ◽  
pp. 187-193
Author(s):  
Putu Astawa ◽  
Made Agus Maharjana ◽  
Surya Adisthanaya ◽  
Made Winatra Satya Putra ◽  
Agus Suarjaya Putra ◽  
...  

Introduction: Displaced supracondylar fracture in children is a challenging injury that may result in impaired functional and cosmetic outcome if not well-treated. Utilization of Closed Reduction and Percutaneus Pinning (CRPP) increased for this pathology, some authors believe ORIF results better anatomical reduction and lower rate of loss of reduction. Study aims to compare CRPP and ORIF for pediatric supracondylar humerus fracture. Method: Systematic review was conducted based on PRISMA guideline. Inclusion criteria were age <18 years old, comparing CRPP and ORIF for Supracondylar Humerus Fractures Gartland Type II, II.Studies of one surgical technique, Gartland type I, case reports were excluded. For meta-analysis, 6 studies were included and fixed effect model used to pool the result. In each study, mean difference (MD) with 95% confidence interval (CI) was calculated for dichotomous outcomes using Review Manager. Result: Total of 252 patients aged 0-15 years old were included. CRPP more often performed than ORIF. Satisfactory outcomes measured by Flynn’s criteria were achieved in 87.74% in CRPP and 86.73% in ORIF patient group, indicating significant difference (Heterogeneity, I2 = 23%; WMD, 1.26; 0.58 to 2.73; P =0.56). Conclusion: Current systematic review and meta-analysis suggest that for displaced supracondylar humerus fractures, ORIF offers a comparable functional and cosmetic outcome compared to CRPP.


2021 ◽  
Vol 71 (4) ◽  
pp. 170-176
Author(s):  
Idham Adyasa Manggala Putra ◽  
Dian Adi Syahputra ◽  
Muhammad Yusuf ◽  
Muntadhar Muhammad Isa ◽  
Safrizal Rahman ◽  
...  
Keyword(s):  

Pendahuluan: Apendisitis akut adalah inflamasi yang terjadi pada apendiks vermiformis. Respon inflamasi pada apendisitis akut ditandai dengan aktivasi efektor seluler dan molekuler, termasuk rekrutmen dan aktivasi neutrofil. Rasio Neutrofil-Limfosit (RNL) adalah perbandingan jumlah neutrofil dengan limfosit digunakan sebagai tolak ukur sederhana. Metode: Penelitian uji diagnostik observasional analitik, desain studi cross sectional retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien apendisitis akut di RSU Zainal Abidin tahun 2018-2019. Subjek saat kedatangan dilakukan pemeriksaan darah, kemudian dihitung RNL, hasil hitung RNL dibandingkan dengan pemeriksaan patologi anatomi posapendektomi. Data dianalisis dengan analisis statistik deskriptif, kurva ROC dan uji diagnostik. Hasil: Sebanyak 176 pasien yang datang ke IGD dengan diagnosis apendisitis akut, didapatkan usia terbanyak 17-25 tahun (31,2%), 81 orang penderita laki-laki (46%), 95 orang penderita perempuan (54%). Dari hasil patologi anatomi (PA) terdapat 129 apendisitis akut dan 47 apendisitis kronik. Dari AUC ROC 0,96 didapatkan cut off point RNL > 3,209. Uji diagnostic didapatkan nilai sensitivitas 83,72% spesifisitas 82,98%, nilai duga positif 97,71% dan nilai duga negatif 65,00% dengan akurasi 83,52%. Kesimpulan: NLR dapat mendiagnosis apendisitis akut dengan NLR > 3,209, sensitivitas 93,72%, spesifisitas 82,98%.


2021 ◽  
Vol 71 (4) ◽  
pp. 158-160
Author(s):  
Arifah Nur Shadrina ◽  
Irene Yuniar

Shock in children remains public health importance and causes significant morbidity and mortality worldwide. Hypoperfusion in shock results in decreased oxygen delivery to the tissues, causing a shift from more efficient aerobic pathways to anaerobic metabolism, which results in lactate as the end product. Unlike blood lactate measurement, near-infrared spectroscopy (NIRS) monitoring system is safe and easy to use in measuring tissue oxygenation non-invasively. However, NIRS monitoring has yet to be validated against a standard measure of regional oxygenation. The primary objective of this article is to review the role of cerebral oxygen saturation (rSO2) measured by NIRS in evaluating the outcome of pediatric shock resuscitation.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document