scholarly journals Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kale (Brassica oleracea acephala) Sistem Vertikultur

2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 133-146
Author(s):  
Albertus Siga Laki ◽  
Maria Aditia Wahyuningrum ◽  
Reni Nurjasmi

Tanaman kale merupakan tanaman suku Brassicaceae atau kubis-kubisan yang kaya vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin C. Kale juga mengandung senyawa isotiosianat yang memiliki aktivitas antikanker. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Respati Indonesia pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2021. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok  dengan satu faktor yaitu jenis pupuk organik terdiri dari empat perlakuan yaitu pupuk NPK, kulit bawang merah, kotoran kelinci, kotoran burung. Setiap perlakuan  diulang lima ulangan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Variabel penelitian meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, berat akar, panjang akar, diameter batang, dan berat basah tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk organik berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, berat akar dan dan berat tanaman kale. Pupuk organik kotoran burung menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 25,50 cm tetapi berbeda tidak nyata dengan kotoran kelinci. Berat akar dan berat basah tanaman kale tertinggi dihasilkan perlakuan kotoran kelinci masing-masing yaitu 2,28 gram dan 30,37 gram serta berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kata Kunci:  Pupuk Organik, Kulit Bawang Merah, Kotoran Kelinci, Kotoran Burung, Tanaman Kale, Sistem Vertikultur

2018 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 45-52
Author(s):  
Ari Tri Astuti ◽  
Septriana Septriana

Latar belakang: Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialis memerlukan monitoring dan evaluasi asupan makan secara rutin. Rendahnya monitoring dan evaluasi pada asupan dapat berpengaruh pada status gizi dan kualitas hidup pasien. Tujuan: Mengetahui gambaran asupan energi, zat gizi makro, dan zat gizi mikro pada pasien hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan di Unit Hemodialisis RSUD Panembahan Senopati Bantul. Pemilihan subjek penelitian menggunakan purposive sampling (n=30). Data asupan diambil dengan food recall 24 jam selama 3 hari. Hasil : Rerata asupan pada responden adalah : energi 1149,34±401,09 kcal (23,15±7,39 kcal/kgBB/hari); karbohidrat 143,55±43,46 g, protein 39,38±16,53 g (0,79±0,32 g/kgBB/hari); dan lemak 49,01±26,82 g. Rerata asupan vitamin B1 adalah 0,38±0,14 mg; vitamin B2 0,49±0,24 mg; vitamin B6 0,64±0,25 mg; asam folat 0,68±0,94 mg; vitamin C 24,08±21,01 mg; dan vitamin A 397,31±536,14 μg. Rerata asupan natrium natrium 22,45±220,23 mg; kalium 1714,01±1153,91 mg ( 36,64±27,40 mg/kgBB/hari); kalsium 301,13±173,23 mg; dan fosfor 544,94±193,08 mg. Kesimpulan : Rerata asupan energi, zat gizi makro, dan vitamin pada pasien hemodialis di RSUD Panembahan Senopati Bantul masih kurang dari rekomendasi, sedangkan asupan natrium, kalsium, dan fosfor sesuai dengan rekomendasi Perhimpunan Nefrologi Indonesia.


BIOEDUKASI ◽  
2020 ◽  
pp. 41
Author(s):  
Soleman Sayuna ◽  
James Ngginak ◽  
Merpiseldin Nitsae

Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan tumbuhan berumpun yang memiliki fase tumbuh melalui tunas (rebung). Rebung memiliki kandungan fosfor, vitamin A, vitamin C, serat mineral dan protein yang baik untuk tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi penambahan gula terhadap kualitas sirup rebung betung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) untuk uji sifat organoleptik. Variasi penambahan gula yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50%, 55%, 60% dan 65%. Hasil uji vitamin C secara berturut - turut adalah 2,112%, 3,256%, 4,136%, dan 5,016%.  Hasil uji protein secara berturut – turut untuk setiap perlakuan adalah 0,25%, 0,15%, 0,24%  dan 0,17%. Hasil uji kadar air menunjukkan 0,073%, 0,063%, 0,056% dan 0,056%. Serta hasil uji oganoleptik (kekentalan, rasa dan kesukaan) menunjukkan perlakuan terbaik terdapat pada kosentrasi gula 65% dengan nilai 3.8000, 3.4667 dan 3.6000. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh variasi gula terhadap vitamin C, kadar air dan organoleptik, akan tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap kadar protein. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui nilai gizi lemak, Karbohidrat, Vitamin A, vitamin B1 (Thiamin), Vitamin B2 (Ribovlavin), Fe, K, Ca, P, Na dan uji mikrooganisme.


Vitamins Introduction 94 Vitamin A (retinol) and carotenoids 94 Vitamin E 98 Vitamin D (calciferols) 100 Vitamin K 102 Vitamin C (ascorbic acid) 104 Riboflavin (vitamin B2) 106 Niacin (nicotinamide, nicotinic acid, vitamin B3) 108 Thiamin (vitamin B1) 110 Folate (folic acid) 112 Vitamin B6 ...


2020 ◽  
pp. 31-41
Author(s):  
Ahure Dinnah ◽  
Mulak Desmond Guyih ◽  
Mike O. Eke

The purpose of this study was to produce cookies from wheat, almond and carrot flour blend, evaluate the vitamin content and storage parameters. Wheat, almond and carrot flour were blended in the ratio: 100:0:0, 90:10:0, 90:0:10, 80:15:5, 70:20:10 and were labeled A, B, C, D and E respectively to produce cookies. The control sample A was without almond and carrot flour. The cookies produced were analysed for vitamin content and were stored for 7weeks at relative humidity corresponding to wet and dry season condition (70% and 30% respectively). The cookies were then analysed for pH, moisture and fungi content in an interval of every 2 weeks using standard methods, at the end of the storage, the sensory attributes and vitamin content of the cookies were analysed. The vitamin content range: from 341.53 to 653.27 µg/100 g for vitamin A, 1.523 to 2.450 mg/g for vitamin B1, 0.65 to 0.92 mg/g for vitamin B2, 3.12 to 3.52 mg/g for vitamin B3 and 2.093 to 3.007 mg/g for vitamin C. All cookies samples were generally accepted by sensory panelist before storage and at the end of storage time. At the end of storage, pH value ranged from 5.5 to 7.8 for wet season condition cookies and from 5.5 to 5.7 for dry season condition cookies. The moisture content ranged from 4.5 to 6.17% for wet season condition cookies and 1.33 to 1.63% for dry season condition cookies. The vitamin A content after storage ranged from 341.53 to 653.23 IU/100 g for wet season condition cookies and 336.61 to 653.01 IU/100 g for dry season condition cookies, while vitamin C ranged from 2.093 to 3.007 mg/g and 2.11 to 3.01 mg/g for wet and dry season condition cookies respectively. 1CFU of fungi was identified for each sample of cookie. The study provides evidence that wheat, almond and carrot are suitable for cookies production and variation of storage conditions did not cause spoilage of cookies.


1992 ◽  
Vol 21 (5) ◽  
pp. 929-934 ◽  
Author(s):  
WEN-HARN PAN ◽  
MAY MEEI-SHYUAN LEE ◽  
SU-LIN YU ◽  
PO-CHAO HUANG

2019 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 256-263
Author(s):  
Joko Prasetyo ◽  
Kamsiatun Eka Pratama ◽  
Anang Lastriyanto
Keyword(s):  

Tomat merupakan buah yang mengandung sejumlah nutrisi penting untuk tubuh seperti, karbohidrat, vitamin C, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, likopen, zat besi, serat, mineral, dan lain sebagainya.  Disisi lain, tomat termasuk buah klimaterik, sehingga buah ini akan membusuk jika tidak segera dikonsumsi. Berdasarkan kondisi tersebut perlu dilakukan pengolahan buah tomat menjadi produk potensial, salah satunya yaitu pasta tomat. Umumnya pembuatan pasta tomat dilakukan dengan proses evaporasi untuk menghilangkan sebagian kadar air. Namun pemberian panas pada evaporasi dapat merusak kandungan nutrisi pasta. Electroosmosis dewatering (EOD) merupakan metode dalam pengurangan kadar air dengan menempatkan suspensi koloid diantara dua elektroda. Metode ini menjadi hal yang menarik untuk memekatkan suspensi pasta buah yang peka terhadap panas. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian untuk mengetahui pengaruh elektroosmosis terhadap pengurangan kadar air pada pasta buah tomat. Dalam penelitian ini variasi tegangan DC yang digunakan adalah 0 V, 4.5 V, 9 V, 18 V dan 36 V dengan waktu proses 100 menit. Parameter yang diukur berdasarkan variasi tersebut adalah perubahan arus DC selama proses EOD dan kadar air pasta tomat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arus listrik DC semakin menurun dengan semakin lama waktu proses, dan semakin meningkat dengan adanya peningkatan tegangan yang diberikan. Aliran arus listrik pada variasi tegangan terendah, yaitu 4.5 V DC adalah di antara 41.40 mA – 59.7 mA, sedangkan arus listrik pada variasi tegangan tertinggi yaitu 36 V DC mencapai 231.86 mA – 776.67 mA. Semakin meningkatnya tegangan DC, maka kadar air pasta tomat semakin berkurang, sehingga tegangan terbaik untuk proses dewatering adalah 36 V.


2018 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 18-25
Author(s):  
Diane Paparang ◽  
Nurpudji A. Taslim ◽  
Haerani Rasyid ◽  
A. Yasmin Syauki

Pendahuluan Proses penyembuhan luka post amputasi dan luka bakar dengan luas 25% dan kedalaman derajat III serta hipoalbuminemia sedang (albumin 2,6g/dL) dan status gizi kurang memerlukan terapi gizi spesifik tinggi protein. Laporan Kasus Tn.I, laki-laki, 28 tahun dikonsul oleh bagian bedah dengan luka post amputasi dan  luka bakar listrik derajat III luas 25%. Keluhan utama asupan makan kurang sejak 16 hari terakhir karena nafsu makan kurang akibat nyeri pada luka post amputasi dan luka bakar. Ada nyeri ulu hati dan demam menggigil. Asupan 24 jam 1000kkal. Pasien didiagnosis dengan status gizi kurang (LLA=80,7%), status metabolik anemia normositik normokrom (Hb 9.7 g/dl), deplesi sedang sistem imun (TLC 940/µL), hipoalbuminemia (albumin 2,6g/dL) dan status gastrointestinal fungsional. Terapi nutrisi dengan energi 2500 kkal, protein 2 gr/kgBBI/hari (23%), karbohidrat 57% dan lemak 20 %, melalui oral berupa makanan biasa 1250 kkal, ONS glutamine 2.5g/hari, suplementasi 6 butir putih telur (protein 31,5g/hari), vitamin C 1g/24jam, vitamin A 6.000IU/12jam, vitamin B1-100mg, vitamin B6-200mg, vitamin B12-200mg, Zinc 50mg/24jam, selenium 55µg, Curcuma 400mg/8jam dan ekstrak ikan gabus 2 kapsul/8 jam. Setelah perawatan 30 hari, terjadi perbaikan dalam penyembuhan luka, peningkatan LLA menjadi 23,5cm, peningkatan hemoglobin 9.3g/dl, peningkatan sistem imun (TLC 2064/µL), peningkatan albumin 3.9g/dL. Kesimpulan Terapi nutrisi spesifik dengan protein 2 gr/kgBBI dapat meningkatkan kadar albumin dan mempercepat penyembuhan luka pada pasien luka bakar.


2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-10
Author(s):  
Margherita Suppini Sumardi ◽  
Nurpudji A. Taslim ◽  
A. Yasmin Syauki

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling sering ditemukan pada usia produktif. Data unit luka bakar rumah sakit di Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan mortalitas. Pada luka bakar berat terjadi hipermetabolisme dan proteolisis yang tinggi sehingga diperlukan terapi nutrisi yang tepat dan dini. Dilaporkan kasus seorang laki-laki, 18 tahun dengan keluhan nafsu makan melalui oral menurun dengan diagnosis severe protein energy malnutrition, luka bakar listrik 48% grade II-III. Terapi nutrisi yang diberikan adalah diet energi 3350 kkal melalui oral dan parenteral dengan komposisi protein: karbohidrat: lemak = 14,3%: 50%: 35,7%. Diet dimulai dengan 40% lalu 80% dan 100% dari total energi (hari ke-III). Kebutuhan protein 2,0 g/kg/hari dengan suplementasi parenteral glutamin (13,46 g/hari). Suplementasi mikronutrien berupa zink 40 mg/24 jam, ekstrak ikan gabus 480 g/hari, vitamin B1 4 mg/8 jam, vitamin C 500 mg/12 jam, vitamin A 10.000 IU/24 jam. Perbaikan balans nitrogen dari -7,7 menjadi +5,36. Albumin dan protein total mengalami perbaikan dari 2, 4 g/dl menjadi 3,5 g/dl dan 6,8 g/dl menjadi 6,8 g/dl. Penyembuhan luka terjadi dengan baik (inflamasi-repair dan remodeling) selama tiga puluh tiga hari masa perawatan. Kesimpulan: suplementasi glutamin dengan asupan tinggi protein dapat mempercepat penyembuhan luka, dan mencegah mortalitas pada pasien luka bakar berat.


Author(s):  
А.К. ГОРЕЛКИНА ◽  
И.В. ТИМОЩУК ◽  
Н.С. БАГДОНАС

Изучена стойкость нутриентов молокосырья – белков, лактозы, витаминов С и группы В, используемого в производстве сывороточных напитков в присутствии приоритетных органических контаминантов – трихлорэтилена, хлороформа и дихлорэтана, которые обладают токсическим и канцерогенным действием и образуются при хлорировании в процессе водоподготовки в воде, применяемой для производства восстановленных и рекомбинированных молочных продуктов. Содержание белков, лактозы в восстановленной сыворотке определяли методом рефрактометрии; водорастворимых витаминов – методом капиллярного электрофореза; хлороформа, трихлорэтилена и дихлорэтана – методом газожидкостной хроматографии. Установлено, что хлороформ в воде не оказывает влияния на сохранность лактозы, белков и витаминов при приготовлении восстановленной сыворотки. Отмечено снижение содержания белков сыворотки, приготовленной на воде в присутствии трихлорэтилена и дихлорэтана, на 11%, лактозы – на 32% в сравнении с контрольными образцами, произведенными на воде без органических контаминантов. Содержание витаминов в восстановленной молочной сыворотке в присутствии трихлорэтилена снизилось: С – на 19%, В1 – на 28%, В2 – на 53%, В6 – на 8%; для дихлорэтана содержание витаминов снизилось: С – на 17%, В1 – на 36%, В2 – на 38%, В6 – на 36% в сравнении с контрольными образцами без органических примесей. Теоретически обоснован механизм взаимодействия белков, лактозы, витаминов восстановленной сыворотки с трихлорэтиленом и дихлорэтаном. Предложено для предотвращения снижения качества готового продукта воду, используемую для производства сывороточных напитков, подвергать дополнительной очистке от галогенорганических контаминантов. The stability of milk raw materials’ nutrients – proteins, lactose, vitamins C and B used in the production of whey beverages in the presence of priority organic contaminants – trichloroethylene, chloroform and dichloroethane, which have a toxic and carcinogenic effect and are formed during chlorination during water treatment in water used for the production of reduced and recombined dairy products was studied. The content of proteins and lactose in the reduced serum was determined by refractometry; water-soluble vitamins – by capillary electrophoresis; chloroform, trichloroethylene and dichloroethane – by gas-liquid chromatography. It was found that chloroform in water does not affect the safety of lactose, proteins and vitamins in the preparation of reduced whey. There was a decrease in the content of serum proteins prepared in water in the presence of trichloroethylene and dichloroethane by 11%, and lactose – by 32% in comparison with control samples produced in water without organic contaminants. Vitamin C content in the recovered whey in the presence of trichloroethylene has declined by 19%, vitamin B1 – 28%, vitamin B2 – 53%, vitamin B6 – 8%; for dichloroethane content of vitamin C decreased by 17%, vitamin B1 – 36%, vitamin B2 – 38%, vitamin B6 – 36% in comparison with control samples without organic impurity. The mechanism of interaction of proteins, lactose, and reduced serum vitamins with trichloroethylene and dichloroethane is theoretically justified. Therefore, to prevent a decrease in the quality of the finished product, the water used for the production of whey beverages must first be subjected to additional purification from organohalogen contaminants.


2021 ◽  
Vol 2021 ◽  
pp. 1-5
Author(s):  
Lin Yang ◽  
Chen Yang ◽  
Fumin Chi ◽  
Xuedong Gu ◽  
Yahui Zhu

In this study, the content of vitamins and of toxic and beneficial (macro- and micro-) minerals in milk from yaks raised at different altitudes (3,215, 4,340, and 5,410 m) was investigated. For comparison, the components in cow’s milk were also measured. At higher altitudes, a significant ( P < 0.05 ) increase in vitamin A and vitamin E was observed in the yak’s milk, whereas the opposite was observed for vitamin B1 and vitamin B2. No significant statistical difference in vitamin C, Ca, P, Na, K, and Mg concentrations was observed in milk from yaks raised at different altitudes. The concentrations of Zn in milk from yaks raised at different altitudes showed no statistical difference, whereas the Mn and Fe concentrations in milk from yaks raised at 3,215 m were lower than those raised at higher altitudes. The concentrations of Pb and Cd in yak’s milk did not exceed the maximum permissible concentrations (Codex Alimentarius Commission), whereas their concentrations were higher in milk from yaks raised at 3,215 m than at higher altitudes. These findings indicated that the contents of vitamins and minerals in yak milk varied in different altitudes.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document