scholarly journals Abundance of Mangrove Crab (Scylla Serrata) Its Linkage With The Bio-Physical Karasteristics Of Mangrove Forest In Karangsong Sub-District Indramayu District.

2021 ◽  
Author(s):  
Donny J. Prihadi ◽  
Zhang Gunghai ◽  
Noir P. Purba ◽  
Indah Riyantini ◽  
Vicky Soemantrie
2017 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Stivensian M. Tumbel ◽  
Gaspar D. Manu ◽  
Alex D. Kambey

Mud crab (Scylla serrata) is a ten-legged crustacean animal from Brachura infraordo, known to have a very short tail (in Greek: brachy = short, ura = tail). Mangrove crab is one of the aquatic biota that has significant economic value and its life is strongly influenced by the existence of mangrove forest. The purpose of this study is to identify and analyze the relationship of weight and growth patterns of mangrove crab (Scylla serrata). Sampling is obtained by catching activities using fishing gear that is bubu (chang). Based on the results of research conducted in the area of Mangrove Forest around Wet Laboratory Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Likupang Timur in August - September 2017. Mangrove crab (Scylla serrata) in the can through research obtained as many as 32 individuals.Keywords: Mangrove Crab (Scylla serrata), Long Weight Relation, Growth Pattern, East Likupang ABSTRAKKepiting bakau (Scylla serrata) adalah binatang anggota crustasea berkaki sepuluh dari infraordo Brachura, yang dikenal mempunyai ekor yang sangat pendek (dalam bahasa Yunani : brachy = pendek, ura = ekor). Kepiting bakau adalah salah satu biota perairan yang bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan panjang berat berserta pola pertumbuhan dari kepiting bakau (Scylla serrata). Pengambilan sampel diperoleh dengan melakukan kegiatan penangkapan menggunakan alat tangkap yaitu bubu (chang). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Daerah Hutan Mangrove sekitar Laboratorium Basah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Likupang Timur pada bulan Agustus – September 2017. Kepiting bakau (Scylla serrata) yang di dapat selama melalukan penelitian diperoleh sebanyak 32 individu. Kata Kunci : Kepiting Bakau (Scylla serrata), Hubungan Panjang Berat, Pola  Pertumbuhan, Likupang Timur.


Mycoscience ◽  
1995 ◽  
Vol 36 (4) ◽  
pp. 399-404 ◽  
Author(s):  
Kazuyo Nakamura ◽  
Miho Nakamura ◽  
Kishio Hatai ◽  
Zafran

2020 ◽  
Vol 21 (8) ◽  
Author(s):  
AGUS INDARJO ◽  
Gazali Salim ◽  
MUFRIDA ZEIN ◽  
DODDY SEPTIAN ◽  
STEPHANIE BIJA

Abstract. Indarjo A, Salim G, Zein M, Septian D, Bija S. 2020. The population and mortality characteristics of mangrove crab (Scylla serrata) in the mangrove ecosystem of Tarakan City, Indonesia. Biodiversitas 21: 3856-3866. The mangrove crab is an iconic species of Tarakan City and is often is used as a souvenir. However, the high demand for this species can cause its population to decline. This study aimed to characterize the mangrove crab (Scylla serrata) population in the mangrove ecosystem of Tarakan City, North Kalimantan, Indonesia. This study was designed using a quantitative descriptive method with a case study model. The samples of mangrove crabs were obtained from 6 different stations using a purposive sampling method. The mangrove crab specimens were caught using 35-50 units of crab traps known as the ambau brackets. The primary data included carapace length, carapace width, carapace thickness, sex, and the total weight of each mangrove crab specimen. The results showed that male mangrove crabs have positive allometric growth when the condition index was fat. However, female crabs exhibited negative allometric growth when the condition index was thin. The Von Bertalanffy growth model analysis showed that the maximum carapace length of male mangrove crab in the mangrove ecosystem of Tarakan City was approximately 11.1118 cm for 189 days, while the female length was 9.6474 cm for 80 days. The total mortality value of male and female crabs was 120.01% and 154.94%, the mortality due to fishing was 84.69% and 135.75%, and natural mortality was 35.32% and 19.2%, respectively. The estimated rate of exploitation of both male and female crabs was 70.57% and 87.61%, respectively. The exploitation of S. serrata in the mangrove ecosystem of Tarakan City was evident, hence, conservation efforts are urgently required.


2017 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 81
Author(s):  
Khairiah Khairiah ◽  
Supriyono Eko Wardoyo ◽  
Pasril Wahid

Effect of Mutilation and Ablation to Molting of Mangrove Crab (Scylla serrata) as Soft Crab          Soft crabs that are more expensive than regular crab, that having hard carapace, in nature and in culture are very difficult to find. This study aimed to get the soft crabs more easily controlled the number  of molting in culture, by the method of mutilation and ablation. Thus the supply in market will be able to meet existing demand. Four treatment techniques had been implemented namely mutilation, ablation, ablation + mutilation, and controls which each performed four replications. Complete Randomized Desaign (CRD) was used because the experiment was conducted in a fairly homogeneous patch of tambak pond. Experimental unit in the form of bamboo pen cages with the size of 2x1x1m filled with 20 crabs.  All experimental crabs were ready for molting (dark color) even with 40-90 g of varied sizes. The results showed that each week until the third week, the average number of crabs per unit experiment with techniques of mutilation was always having highest of molting number, respectively 1.00, 3.25, and 11.00 crabs and having the lowest mortality rate, respectively  0. 25, 1.75, and 1.25 crabs, compared with the ablation, mutilations + ablation technique, and control. Statistically  four treatments in molting, in week two and  three was significantly different , eventhough in mortality was not (α = 5%).Keywords : mangrove crab (Scilla serrata), soft crabs, mutilation, ablation ABSTRAK                Kepiting lunak yang  harganya lebih mahal dari kepiting biasa bercangkang keras, di alam maupun dalam budidaya sangat susah ditemukan.  Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kepiting lunak yang lebih mudah terkontrol jumlahnya dalam budidaya, dengan metoda mutilasi dan ablasi.  Dengan demikian dalam  pasar ketersediaannya akan dapat memenuhi permintaan yang ada. Empat perlakuan telah dilaksanakan yaitu teknik mutilasi, ablasi, mutilasi+ablasi, dan kontrol dengan masing-masing dilakukan empat kali ulangan. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan karena percobaan ini dilakukan di suatu petak tambak yang cukup homogen. Unit percobaan berupa keramba bambu tancap ukuran 2x1x1m yang diisi 20 kepiting yang semua kepiting dalam percobaan siap molting (warnanya gelap) meskipun dengan ukuran yang bervariatif 40-90 g. Hasil penelitian menunjukan bahwa tiap minggu sampai pada minggu ke tiga  rata-rata jumlah kepiting per unit percobaan dengan teknik mutilasi selalu tertinggi terjadinya proses molting yaitu masing–masing 1,00; 3,25; dan 11,00 ekor dan mortalitasnya terendah yaitu 0,25; 1,75; dan 1,25 ekor dibanding dengan teknik ablasi, mutilasi+ablasi; dan kontrol.  Secara statistik ke empat perlakuan dalam molting pada minggu ke dua dan ke tiga berbeda nyata hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan mutilasi, meskipun dalam mortalitas tidak  berbeda nyata (selang kepercayaan 95 %).Kata Kunci : Kepiting bakau (Scilla serrata), kepiting lunak, mutilasi, ablasi.


Author(s):  
Maichel Arvan Pananggung ◽  
Ivor L. Labaro ◽  
Emil Reppie

ABSTRACT Mangrove crab (Scylla serrata) and swimming crab (Portunus pelagicus) are economically important marine commodities produced from the coastal waters of Sangihe Islands Regency. But those marine commodity products are usually only caught accidentally with a bottom gill net. There has been a special trap fishing gear for that resources, but not known well by local fishermen. Addition of squid oil extraction baits could increase the fishing power of mangrove crab and swimming crab traps. This research aims to study the effect of squid oil extract on traps bait to catch mangrove crab and swimming crab; and identify the types of biota captured. This research was done in coastal waters of Malise village, Tabukan Tengah District of Sangihe Islands Regency for 2 weeks September 2015; based on experimental method. Six unit traps were operated ten trips where three units of them used scad mackerel bait that injected with squid oil extract, and tree other units just used scad mackerel bait without extract; and the capture data were analyzed using t test. The catch was 142 individuals (135 mangrove crabs and 7 swimming crab); where 86 crabs was caught by scad mackerel bait with squid oil extract, and 56 crabs caught with bait without squid oil extract. The analysis showed that the use of squid oil extracts on trap baits increased the catch. Keywords: mangrove crab, swimming crab,trap baits, squid oil extract, Sangihe   ABSTRAK[1] Kepiting bakau (Scylla serrata) dan rajungan (Portunus pelagicus) merupakan komoditi hasil laut ekonomis penting yang dihasilkan dari perairan pantai Kabupaten Kepulauan Sangihe. Tetapi komoditi hasil laut tersebut biasanya hanya tertangkap tanpa sengaja (by catch) dengan jaring insang dasar. Sebenarnya telah ada alat tangkap bubu khusus untuk kepiting bakau dan rajungan, tetapi belum dikenal oleh nelayan lokal. Pemberian ekstrak minyak cumi pada umpan, diduga dapat meningkatkan kemampuan tangkap dari bubu kepiting bakau dan rajungan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ekstrak minyak cumi pada umpan bubu terhadap hasil tangkapan kepiting bakau dan rajungan, dan mengidentifikasi jenis-jenis biota yang tertangkap. Penelitian ini dilakukan di perairan Malise Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe; selama 2 minggu pada bulan September 2015; yang didasarkan pada metode eksperimental. Enam unit bubu dioperasikan selama sepuluh trip untuk mengumpulkan data; di mana tiga unit menggunakan umpan ikan layang yang disuntikan ekstrak minyak cumi, dan tiga unit lainnya hanya menggunakan umpan ikan laying tanpa ekstrak; dan data dianalisis dengan uji t. Tangkapan total berjumlah 142 ekor (135 ekor kepiting bakau dan 7 ekor rajungan); di mana 86 ekor tertangkap dengan umpan layang yang diberi ekstrak minyak cumi, dan 56 ekor tertangkap dengan umpan tanpa ekstrak. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak minyak cumi pada umpan bubu, memberikan hasil tangkapan yang sangat berbeda dibandingkan dengan umpan tanpa ekstrak minyak cumi. Kata-kata kunci: kepiting bakau, rajungan, umpan bubu, ekstrak minyak cumi, Sangihe  


2014 ◽  
Vol 19 (4) ◽  
pp. 202
Author(s):  
Djoko Suprapto ◽  
Ita Widowati ◽  
Ervia Yudiati ◽  
Subandiyono Subandiyono

Meningkatnya permintaan kepiting untuk ekspor terutama disebabkan kelezatan dan kandungan gizi dagingnya. Namun pada umumnya masih berasal dari hasil tangkapan dari alam, oleh karenanya peningkatan teknologi budidaya sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin, jenis pakan dan metode pembesaran terhadap pertumbuhan kepiting.Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, dalam menganalisis pengaruh variable menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 2x2x3. Laju pertumbuhan mutlak dan pertambahan berat diukur setiap minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepiting jantan dipelihara secara individu dengan pakan ikan mempunyai pertumbuhan mutlak tertinggi yaitu 1,07 g.hari-1 dan pertambahan berat (weight gain) tertinggi pula yaitu 84,73%. Pemeliharaan massal, kepiting betina dengan pakan ikan rucah memiliki laju pertumbuhan mutlak tertinggi yaitu 0,80 g.hari-1. Sedangkan weight gain tertinggi diperoleh pada kepiting jantan yang diberi pakan ikan yaitu 52,03%. Anova tes menunjukkan pengaruh jenis kelamin dan interaksinya berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kepiting dengan pakan ikan rucah lebih tinggi dibandingkan kepiting dengan pakan kerang dan campuran dari ikan dan kerang. Kepiting jantan yang dipelihara secara individu diberi pakan ikan rucah tumbuh lebih baik dibandingkan kepiting betina. Pertumbuhan Kepiting betina yang dipelihara secara massal dan diberi pakan ikan rucah memiliki peertumbuhan paling tinggi. Kata kunci: pertumbuhan, jenis kelamin, pakan alami, Scylla serrata, wadah pemeliharaan The increase of the export demand of crabs (Scylla serrata), among others caused by the good taste and have a very high nutrition value, but most of the crab still collected by fishing of natural stock. Therefore, technology of crabs culture should be enhanced. This research was aiming to understand the influence of sexual, feeding regime, environmental factors to the growth rate. This research was conducted experimentally using the randomized block design with factorial pattern 2x2x3. The growth rate and weight gain were measured weekly. The results show that male crab reared in individual aquarium fed by mixed fish revealed the quickest ultimate growth rate i.e. 1.07 g.day-1, as well as achieving the highest weight gain i.e. 84.73%. While in mass rearing method, female crab fed by mixed fish achieved the highest ultimate growth rate ie. 0.8 g.day-1, and the highest weight gain achieved in male crab fed by mixed fish i.e. 52.03%. Anova test reveal that sexual factor and it’s interaction was significantly different. The research conclude that the growth of the crab fed by mixed fish was higher than those fed by bivalve meat or combination of mixed fish with bivalve meat; male crab reared individually and fed with mixed fish revealed has higher growth rate then the female crab; and the growth rate of female crab reared in a mass and fed by mixed fish revealed the highest growth rate. Keywords : growth, sexual, natural feed, Scylla serrata, rearing media


2017 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 26
Author(s):  
Yenni Ningsih Siringoringo ◽  
Desrita Desrita ◽  
Yunasfi Yunasfi

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu spesies kunci dalam ekosistem mangrove yang memegang peranan yang sangat penting. Hutan mangrove yang ada di Kelurahan Belawan Sicanang sudah banyak mengalami konversi lahan seperti tambak dan pemukiman. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan penurunan populasi untuk sumberdaya kepiting bakau akibat terjadinya kerusakan daerah asuhan dan mencari makan biota ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologi mangrove, untuk mengetahui kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata), untuk mengetahui pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian berlangsung pada Mei - Juni 2016. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah purposive sampling dan dibagi menjadi 3 stasiun berdasarkan aktivitas yang berbeda. Struktur populasi kepiting bakau (Scylla serrata) ditinjau dari kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata), hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi. Kualitas habitat kepiting bakau (Scylla serrata) dilihat dari kualitas air, tekstur substrat, C-organik, dan pasang surut. Hasil menunjukkan bahwa kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) 16300 - 17000 ind/ha, dengan pola pertumbuhan allometrik negatif (b<3), faktor kondisi berkisar antara 0 - 1 yang tergolong ke dalam pipih atau tidak gemuk. Kualitas air dan substrat yang dikaji termasuk ke dalam kualitas air yang menunjang kehidupan kepiting bakau (Scylla serrata), tekstur substrat yaitu lempung berpasir dan lempung liat berpasir, serta C-organik < 1% tergolong sangat rendah, dimana tipe pasang surutnya adalah mixed prevailing semidiurnal.Mangrove crab (Scylla serrata) is one of the keystone species in the mangrove ecosystem, which had a very important role. Mangrove forests existed in Village Belawan Sicanang have been many experienced land conversion as embankment and settlements. These conditions led to degradation in habitat quality and population decline for mangrove crab due to the occurrence of the damage to the nursery ground and the feeding ground. The research aimed to determine abundance mangrove crabs and to determine the growth of mangrove crab. The research took place in May - June 2016. The method used in the determination of the location is purposive sampling and divided into 3 stations based on different activities. The mangrove crab population structure in terms of the abundance of mangrove crab, carapace width relation with body weight, growth pattern, and factor condition. The quality habitat mangrove crab viewed the water quality, the substrate texture, C-organic, and tides. The results showed that the growth pattern was negative allometric (b < 3), factor condition ranges between 0 - 1 which classified into flat or not fat. The water quality and substrate were assessed included in the water quality that supported life mangrove crab, the substrate texture was sandy loam and sandy clay loam, C-organic classified < 1% was very low, the type of tides was mixed semidiurnal prevailing.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document