ray oldenburg
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

26
(FIVE YEARS 15)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Author(s):  
Martinus Dyon Lesmana ◽  
Dewi Ratnaningrum ◽  
Maria Veronica Gandha

The Covid-19 pandemic makes vertical housings vulnerable to mental health problems for residents. The cause of this problem is due to the small size of space, which is shrinking due to changes in urban patterns, which are not able to meet the needs of residents. The resident needs that are usually obtained outside the housing cannot be achieved due to social distancing or the lockdown. The closure of access also makes the residence must be able to become a place of work and entertainment space. As a result, the small dwellings are getting more and more cramped to live in. This problem encourages changes in new housing patterns that take into account the needs of each occupant. The use of a multidisciplinary approach by combining human psychology theory with architectural design theory is able to provide solutions in forming new residential patterns. Maslow's theory of human needs and Ray Oldenburg's theory of the Three Realms of Space form the basis of theory in designing. The design result is a residential unit module design that has all component place by Ray Oldenburg and fulfills Maslow's pyramid theory of needs. Key words: Covid-19 pandemic; Housing Pattern; Human Needs; Shrinking Space; Three Realms of Space AbstrakPandemi Covid-19 membuat hunian-hunian vertikal menjadi rentan terhadap permasalahan kesehatan mental penghuninya. Penyebab permasalahan ini dikarenakan ruang dengan ukuran kecil, yang menyusut akibat perubahan pola kota, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan penghuni. Kebutuhan yang biasanya didapatkan di luar hunian menjadi tidak dapat dijangkau karena adanya social distancing hingga lockdown. Penutupan akses juga membuat hunian harus mampu beradaptasi menjadi tempat kerja dan tempat hiburan. Akibatnya hunian yang kecil semakin sesak untuk ditinggali. Permasalahan ini mendorong perubahan pola hunian baru yang mempertimbangkan kebutuhan masing-masing penghuni. Penggunaan metode pendekatan multidisiplin dengan menggabungkan teori psikologi manusia dengan teori desain arsitektural mampu memberikan solusi dalam membentuk pola hunian baru. Teori Maslow tentang kebutuhan manusia dan teori Ray Oldenburg tentang Three Realms of Space menjadi dasar teori dalam merancang. Hasil rancangan berupa desain modul unit hunian yang memiliki karakteristik ketiga tempat oleh Ray Oldenburg dan memenuhi teori piramida kebutuhan Maslow.


Author(s):  
Wewin Febriana Dewi ◽  
Maria Veronica Gandha

Pondok Kelapa is an area located on the edge of East Jakarta and is dominated by settlements, according to data from BKKBN the dominance of age in Pondok Kelapa ranges from 6 years old to 22 years old, the age at which people prefer to gather to exchange information with their friends. The third place is a space for humans to meet and exchange information, this research of Third Place uses criteria from The Great Good Place, a book by Ray Oldenburg(1999). It is not home and it is not a place to work, the third place is often used as teenagers to gather. The third place has an important role for humans, therefore all humans have the right to have it in the environment they live. The lack of a third place in the Pondok Kelapa causes its citizens to go downtown where the third room is better and this causes traffics on weekends. The purpose of this research is to apply the criteria of the third place in the arts and culture building as a positive container as well as a community forum for the environment. Keywords:  Art and Culture; Expression; Third place Abstrak Pondok Kelapa adalah Kelurahan yang berada di tepi Jakarta Timur dan didominasi oleh pemukiman, menurut data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (disingkat BKKBN)[1] dominasi umur di pondok kelapa berkisar 6 tahun hingga 22 tahun, umur dimana lebih suka berkumpul bertukar informasi dengan teman seusianya. Ruang ketiga adalah ruang untuk manusia bertemu dan bertukar informasi, penilitian ini menggunakan kriteria dari buku Ray Olderburg tahun 1999 yang berjudul The Great Good Place. Ruang ketiga bukan rumah dan bukan tempat berkerja, Ruang Ketiga sering dijadikan remaja untuk berkumpul. Ruang Ketiga memiliki peran penting untuk manusia, maka dari itu semua manusia berhak memilikinya di lingkungan Ia tinggal. Kurangnya ruang ketiga di pondok kelapa menyebabkan warganya pergi ke pusat kota dimana ruang ketiga lebih baik dan hal ini menyebabkan kemacetan di akhir minggu. Tujuan dari penilitian ini adalah menerapkan kriteria ruang ketiga pada bangunan seni dan budaya sebagai wadah positif juga wadah komunitas bagi lingkungan.


Author(s):  
Teresa Natalia ◽  
Dewi Ratnaningrum

Ray Oldenburg, in his book entitled "The Great Good Places" explains a concept of initial space, by which one can find comfort aside from the house (first place) and workplace (second place). Unfortunately, these days, this concept of place are not familiar within the community. Alternative Green Space of Pademangan is a place which accommodates the needs and interests of the community in daily life from where visitors can interact with others in a natural environment. Lacking in open space, various potential activities by the community, and the use of road as a public space are some of the reasons behind this project. Based on field study and regional analysis, this project seeks to become a third place that provides individually and communally. Regardless to it main focus on the surrounding community, this project also opens to public and allows visitors from outside the region, making it a comfortable place to socialized. Aiming to create a light and transparent building, and with the method of critical regionalism that responds to the region, this project attempts to create a spacious place and safe haven for visitors.  Keywords: green; pademangan; third Place Ray Oldenburg, dalam bukunya yang berjudul “The Great Good Places” menawarkan sebuah konsep ruang ketiga, di mana seseorang dapat menemukan zona nyamannya di luar dari rumah (first place) dan tempat kerja (second place). Namun, sayangnya, saat ini third place belum menjadi bagian dari seluruh masyarakat, padahal third place memungkinkan seseorang untuk beristirahat sejenak dan bersosialisasi dengan sesama. Ruang Hijau Alternatif Pademangan merupakan sebuah wadah yang berusaha menjawab kebutuhan dan ketertarikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari di mana pengunjung tidak hanya dapat berinteraksi satu dengan yang lain tetapi juga dapat berinteraksi dengan ‘unsur hijau’. Kurangnya ruang terbuka hijau, banyaknya potensi kegiatan di dalam masyarakat, serta penggunaan ruang jalan sebagai ruang publik adalah beberapa alasan yang melatarbelakangi proyek ini. Berdasarkan hasil survey lapangan dan analisis kawasan, proyek ini berusaha untuk menjadi third place yang yang dapat dimanfaatkan baik secara individual maupun komunal. Terlepas dari fokus utamanya yang tertuju pada masyarakat sekitar, proyek ini juga terbuka untuk umum dan memungkinkan untuk pengunjung dari luar kawasan, menjadikannya sebuah tempat yang mampu menciptakan interaksi sekaligus memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya. Dengan konsep bangunan yang ringan dan transparan, dan dengan metode critical regionalism yang berusaha menjawab kebutuhan kawasan, proyek ini berusaha  untuk menjadi tempat yang dapat  memberikan kesan lega dan menjadi tempat yang dapat diandalkan masyarakat setempat untuk beristirahat. 


Author(s):  
Ruliana Ruliana ◽  
Maria Veronica Gandha

Based on site analysis in Wijaya Kusuma, there is social gap between two social groups which are living side by side but rarely interacting to each other because there isn’t any place to accommodate their interactions, this region’s population mostly are school-aged children and there’s a large number of schools in this region, so Wijaya Kusuma Playscape as a third place hopefully could be the answer of the problem, by using playing as a medium where can be a place for the two social groups to interact, as well as a non-formal education forum for local residents. Using observation and interview methods to collect the data and using analogy method as the design method. Using tree house as the design concept to build playful ambience and the theory of the third place by Ray Oldenburg also applied in this project. Hopefully Wijaya Kusuma Playscape could be a place where people can meet, interact, play, and learn in Wijaya Kusuma. Keywords:  interact; play; third place Abstrak Berangkat dari investigasi tapak di Kelurahan Wijaya Kusuma, berdasarkan analisis kawasan, dilihatnya ada kesenjangan sosial dimana terdapat dua golongan sosial yang hidup berdampingan namun kurang berinteraksi karena tak ada wadah yang mempertemukan, dominasi penduduk yang berusia anak sekolah dengan jumlah sekolah yang banyak pada kawasan ini, maka dibuatlah Wijaya Kusuma Playscape sebagai ruang ketiga yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari analisis masalah yang ditemukan, dengan menggunakan media bermain dapat menjadi wadah kedua golongan sosial tersebut untuk berinteraksi, serta menjadi wadah pendidikan non-formal bagi warga sekitar. Menggunakan metode observasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan metode analogi sebagai metode perancangan. Konsep perancangan menggunakan konsep rumah pohon untuk menciptakan suasana bermain yang asik dan menerapkan teori ruang ketiga dari Ray Oldenburg ke dalam perancangan. Diharapkan Wijaya Kusuma Playscape dapat menjadi tempat berkumpul, berinteraksi, bermain, dan belajar di Kelurahan Wijaya Kusuma.


Author(s):  
Nathaniel Edbert ◽  
Dewi Ratnaningrum

Muara Angke is one of the poorest areas in Jakarta. One of the reasons is the lack of education owned by the surrounding population so that many families do not have a good life. In addition, as one of the areas located on the seafront, the Muara Angke area is one area that is busy with warehousing activities that trade in marine products so that part of the existing land is used as a place to work and trade. This causes problems in this area, such as the reduction of green land and public space for the surrounding population. The observations, data, and aspirations of community needs that have been collected will form a building that will answer the problem with a project design that will apply the third place concept introduced by Ray Oldenburg, then will use the architectural approach of regionalism in building designs and materials in buildings this. The project will be a space for interaction of local residents who have the main function as a container for the activities of surrounding residents and side functions that support the potential of culinary tourism to serve outside visitors with the concept of buildings that resemble oases in this dense area. In addition to being a place of entertainment, this building will also be a place of education for local people who teach them to be able to have a good education to help their lives. Keywords:  education; fisherman; interaction space; muara angke AbstrakMuara Angke merupakan salah satu kawasan miskin yang ada di Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pendidikan yang dimiliki oleh penduduk sekitar sehingga banyak keluarga yang tidak memiliki kehidupan yang baik. Selain itu, sebagai salah satu kawasan yang berada di pinggir laut, kawasan Muara Angke merupakan salah satu daerah yang sibuk dengan aktivitas pergudangannya yang memperdagangkan hasil laut sehingga sebagian tanah yang ada digunakan sebagai tempat bekerja dan tempat berdagang. Hal ini menimbulkan masalah pada kawasan ini, seperti berkurangnya lahan hijau dan ruang publik untuk penduduk sekitar. Hasil pengamatan, data-data, dan aspirasi kebutuhan masyarakat yang sudah dikumpulkan akan membentuk bangunan yang akan menjawab masalah tersebut dengan rancangan proyek yang akan menerapkan konsep tempat ketiga yang diperkenalkan oleh Ray Oldenburg, kemudian akan menggunakan pendekatan arsitektur regionalisme dalam membangun desain dan material pada bangunan ini. Proyek akan menjadi ruang interaksi warga sekitar yang memiliki fungsi utama sebagai wadah kegiatan penduduk sekitar dan fungsi sampingan yang mendukung potensi wisata kuliner untuk melayani pengunjung luar dengan  konsep bangunan yang menyerupai oase pada kawasan yang padat ini. Selain menjadi tempat hiburan, bangunan ini juga akan menjadi wadah edukasi bagi masyarakat lokal yang mengajarkan mereka agar dapat memiliki pendidikan yang baik untuk membantu kehidupan mereka.


Author(s):  
Leonard Natanael

The development of a city has now developed rapidly, especially the City of Jakarta. The development of the shape of the building, industry and technology affect social life in urban areas. Urban communities tend to be individualistic creatures, so issues begin to emerge about a third place. The presence of a third place becomes one of the places that humans need amid routine activities. According to Ray Oldenburg, the third place is between the first place which is the residence area and the second place which is the work area, where the third place is a place to relax, relax, and socialize with a new atmosphere of routine. Third place exists as a place that can be accessed by everyone because it is open and neutral so that it does not see elements of class, ethnicity, position, etc. This open nature is needed to strengthen the spirit of socialization among individuals from the gap of society groups. Examples of existing third place in Jakarta are parks or RPTRA, which are facilities that are available in every environment which is not so much in number. To answer this problem the author designed the Bukit Duri Recreation and Arts Facility for the community of Bukit Duri Village. This facility provides a place for the community to present interesting activities and activities that can be enjoyed by all residents openly. The main facilities that are offered include recreational areas, art galleries and commercial areas. The facility aims to provide an green open area while reviving the spirit of art in the Bukit Duri Village. Keywords:  facilities; netral; socialization; third place AbstrakPerkembangan sebuah kota kini sudah berkembang secara cepat, khususnya Kota Jakarta. Perkembangan dari bentuk bangunan, industri maupun teknologi berpengaruh terhadap kehidupan sosial di perkotaan. Masyarakat kota cenderung menjadi makhluk individualis, oleh karena itu mulai muncul isu-isu mengenai sebuah third place. Kehadiran sebuah third place menjadi salah satu tempat yang dibutuhkan manusia ditengah kesibukan rutinitas. Menurut Ray Oldenburg, third place berada di antara first place yang merupakan area tempat tinggal dan second place yang merupakan area kerja, dimana third place merupakan tempat untuk bersantai, berelaksasi, dan bersosialisasi dengan suasana yang baru dari rutinitas yang dilakukan. Third place hadir sebagai tempat yang dapat diakses oleh semua orang oleh karena itu bersifat terbuka dan netral sehingga tidak melihat unsur golongan, suku, jabatan, dll. Sifat terbuka ini diperlukan untuk mempererat jiwa sosialisasi antar individu dari kesenjangan golongan masyarakat. Contoh eksisting third place di Jakarta yaitu berupa taman atau RPTRA, yang merupakan fasilitas yang tersedia di setiap lingkungan yang jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk menjawab permasalahan ini penulis merancang Fasilitas Rekreasi dan Kesenian Bukit Duri untuk masyarakat Kelurahan Bukit Duri. Fasilitas ini menyediakan wadah bagi masyarakat untuk menghadirkan kegiatan dan aktivitas yang menarik yang dapat dinikmati semua warga secara terbuka. Fasilitas utama yang diharirkan berupa area rekreasi, sanggar seni, dan area komersil. Fasilitas tersebut bertujuan untuk menyediakan area terbuka hijau sekaligus membangkitkan kembali jiwa seni yang ada di Kelurahan Bukit Duri.


Author(s):  
Jesslyn Sulaiman ◽  
Budi Adelar Sukada

According to Ray Oldenburg Third Place, refers to the place where people spend time between home ('first place') and place of work ('second place'). One example of a third place is a recreation center. According to Daniel D. Mclean, recreation can include a very wide variety of activities, including sports. Sports recreation is a type of sport that is intentionally done for personal gain, for fun. Life in a big city, like Jakarta, which is full of activities and routines can cause boredom and mental stress on the community. Based on data from the International Labor Organization, total working hours in a week in Jakarta increased in 2016 with a total of 32 hours compared to total working hours in 2006 of 27 hours and based on research from the Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), Indonesia was in position 3 with the country with the worst balance between work and life with a figure reaching 14.3%. According to a psychologist, Kartasasmita, M. Psi, work is the highest cause of stress on a person. With Jakarta's condition like that, needed a facility that can accommodate the recreational and fitness needs of the community in the form of Third Place. The aim of this project is to improve the quality of life of urban communities, in terms of physical and psychological health and fitness. The design method used is comparison which refers to the Place theory in Architecture according to Christian Norberg Schulz. The main programs offered in this project include a fitness area, sports studio, spa, sauna, hydrotherapy pool, jogging track, bicycle track, yoga & meditation park, and supporting areas such as sports retail and dining areas. AbstrakMenurut Ray Oldenburg tempat ketiga (Third Place), mengacu pada tempat di mana orang menghabiskan waktu antara rumah ('tempat pertama') dan tempat bekerja (tempat 'kedua'). Salah satu contoh tempat ketiga adalah pusat rekreasi. Menurut Daniel D. Mclean, rekreasi dapat mencakup berbagai kegiatan yang sangat luas, termasuk olahraga. Rekreasi olahraga merupakan jenis olahraga yang sengaja dilakukan untuk kepentingan pribadi, untuk bersenang-senang. Kehidupan di kota besar, seperti Jakarta yang penuh dengan aktivitas dan rutinitas dapat menimbulkan kejenuhan dan tekanan mental pada masyarakatnya. Berdasarkan data dari International Labour Organization, total jam kerja dalam seminggu di Jakarta meningkat pada tahun 2016 dengan total 32 jam dibandingkan dengan total jam kerja pada tahun 2006 yaitu 27 jam dan berdasarkan penelitian dari Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD), Indonesia berada di posisi 3 dengan negara yang paling buruk keseimbangan antara kerja dan kehidupan dengan angka mencapai 14,3%. Menurut seorang psikolog, Kartasasmita, M. Psi, pekerjaan merupakan penyebab stress tertinggi pada seseorang. Dengan kondisi Jakarta yang seperti itu, diperlukan sarana yang dapat mewadahi kebutuhan rekreasi dan kebugaran masyarakat berupa Third Place. Tujuan proyek ini untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan, dalam hal kesehatan dan kebugaran baik fisik maupun psikis tubuh. Metode desain yang digunakan yaitu komparasi yang mengacu kepada teori Place dalam Arsitektur menurut Christian Norberg Schulz. Program utama yang ditawarkan pada proyek ini terdapat area fitness, studio olahraga, spa, sauna, hydrotherapy pool, jogging track, bicycle track, yoga & meditation park, dan area penunjang seperti sport retail dan tempat makan. 


Author(s):  
Indra Lesmana ◽  
Petrus Rudi Kasimun

The existence of an open space, is truly important to nowadays urban society. Because basically, community of a city has been bounded to open spaces around that city. The need of a thirdplace in a city, now, is way more than just a regular, it became a lifestyle. This thirdplace phenomena give impacts to the usage of outdoor spaces in the city which used to be indoor spaces, now became outdoor ones (public areas). What used to be a mall and a café that are favorites, now turning into outdoor spaces such as parks, streets (pedestrians), public spaces for children, recreation areas, and so on. Jakarta, especially in Palmerah, open spaces are very rarely  found. In the other side, Palmerah used to be known for its batik, but now it’s already all  gone. Batik as the main program that supports this thirdplace is expected to be able to accommodate the work or activities of local residents. Hold on to Ray Oldenburg’s theory about the third place criteria, batik in this design is intended as a medium for local residents to meet, greet, and interact. With this, batik media is able to accommodate the need of a thirdplace itself. However  still, open spaces in this design has the largest percentage as public spaces for local residents to do some activities and interactions. Batik phases are realized in creating existing spaces; starting from seeing, then feeling, and finally doing. Batik produced by locals can be resold and later become their income. Plots of spaces, materials, wall tears, and batik carvings are also highlighted in this building to create characteristic of this Ambatik building. With Ambatik, all ages, all genders, all types of ethnicity, culture, and race, can be united without any difference.AbstrakKeberadaan ruang luar sangatlah penting bagi masyarakat kota saat ini. Pada dasarnya, masyarakat memiliki keterikatan pada ruang-ruang terbuka kota. Sekarang, Kebutuhan tempat ketiga di dalam suatu kota sudah lebih dari sekedar kebutuhan biasa, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Fenomena tempat ketiga berdampak pada penggunaan ruang luar yang pada awalnya dari penggunaan ruang dalam, mulai beralih ke ruang luar (ruang publik). Yang semula mall dan kafe menjadi ruang favorit, sekarang beralih ke ruang luar publik seperti taman, jalan (pedestrian), RPTRA, tempat rekreasi dan sebagainya. Di Jakarta, tepatnya di Palmerah, ruang-ruang terbuka bagi warga sekitar sangatlah jarang ditemui. Di satu sisi, Palmerah yang dalam sejarah dikenal oleh batiknya, sekarang sudah menghilang. Ambatik hadir untuk menunjang tempat ketiga di kawasan Palmerah, yang diharapkan mampu mewadahi kegiatan ataupun aktivitas dari warga sekitar, sekaligus menghidupkan kembali identitas batik di Palmerah. Dengan teori Ray Oldenburg mengenai kriteria sebuah tempat ketiga, batik dalam rancangan ini dimaksudkan sebagai media bagi warga sekitar untuk bertemu, bersapa dan berinteraksi. Ruang-ruang terbuka dalam rancangan ini juga berguna sebagai ruang publik bagi warga sekitar untuk beraktivitas, berinteraksi untuk melakukan kegiatan seni dan budaya. Fase-fase batik juga diwujudkan dalam menciptakan ruang-ruang yang ada, mulai dari melihat, kemudian merasakan, dan melakukan. Dengan hadirnya Ambatik, diharap mampu meningkatkan relasi antar warga, pemahaman baru tentang batik, dan kesadaran akan tradisi. 


Author(s):  
Ivana Melia Setiawan ◽  
Lina Purnama

One of the issues of urgency now is the lack of awareness of a healthy lifestyle, unhealthy lifestyles can have an impact on long-term health that is the risk of non-communicable diseases namely Diabetes, Hypertension, Heart, etc. The third place as a pause or lounge space between the first place (residence) and second place (work place) is currently connected with places like cafes, malls, places to eat, etc. that do not support a healthy lifestyle. What is needed now is Third Place in addition to social space but also educates about healthy lifestyles and physical well-being. Physical Well-being is a Good Physical Condition Not Only Because It Does Not Ignore Disease by Eating Nutritious Foods, Conducting Physical Activity and Overcoming the Mind, and Balanced Soul (American Association Nurse Anesthetist). The design of this project is based on the issues obtained by site selection indicators related to environmental quality theories that affect individual health (air quality, temperature, greening, etc.). Cakung Subdistrict, East Jakarta, Ujung Menteng Village is a location that does not meet environmental health quality indicators. Menteng tip area is a place that is approved by the industry and close to a place to live but close to 3 points of supporting buildings such as sports. Activities in the project related to the program are based on Physical Welfare theory, 5 Ways of Welfare, and Third Place from Ray Oldenburg. Theory of Language Design and Edward T. White book source concept, which is based on the analysis of observations in the surrounding community environment and other data (macro. Mezo, micro, government regulations, etc.). The results obtained from the potential needed by third parties who support health and physical well-being. Abstrak Salah satu isu urgensi saat ini adalah belum adanya kesadaran akan gaya hidup yang sehat, gaya hidup tidak sehat dapat berdampak pada kesehatan  jangka panjang yaitu resiko pada penyakit tidak menular yaitu Diabetes, Hipertensi, Jantung, dll. Third place sebagai ruang jeda atau ruang santai antara first place (tempat tinggal) dan second place (tempat kerja) saat ini identik dengan tempat berkumpul seperti café, mall, tempat makan, dll yang cenderung kurang mendukung gaya hidup sehat. Sehingga dibutuhkan saat ini adalah Third Place selain sebagai ruang sosial namun juga mengedukasi mengenai pentingnya gaya hidup sehat dan kesejahteraan fisik (physical well-being). Physical Wellbeing adalah Keadaan fisik yang baik bukan hanya karena tidak adanya penyakit tetapi menghindari penyakit dengan makan-makanan bernutrisi, melakukan aktivitas fisik dan memelihara pikiran, dan jiwa yang seimbang (American Association Nurse Anesthetist).  Perancangan proyek ini berdasarkan dari isu didapatkan indikator pemilihan tapak terkait dengan teori kualitas lingkungan hidup sekitar yang memengaruhi kesehatan individu (kualitas udara, suhu, penghijauan, dll). Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Kelurahan Ujung Menteng menjadi lokasi yang kurang memenuhi indikator kesehatan kualitas lingkungan hidup. Kawasan ujung menteng merupakan dikelilingi oleh industri dan dekat dengan tempat tinggal namun dekat dengan 3 titik  bangunan pendukung seperti olahraga. Aktivitas di dalam proyek terkait dengan program berdasarkan teori Physical Well-being, 5 Ways Of Well-being, dan Third Place dari Ray Oldenburg. Pendekatan pada desain bangunan mengambil pada teori Pattern Language dan Edward T.White buku sumber konsep, yang didasari dari analisa observasi kebiasaan di lingkungan masyarakat sekitar dan data lainnya (makro, mezo, mikro, peraturan pemerintah,dll). Hasil didapatkan adanya potensi dibutuhkan thirdplace yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan fisik (Physical Wellbeing).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document