Penggunaan transportasi umum di DKI Jakarta selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) periode April – Mei 2020 meningkatkan kualitas udara secara signifikan, dibandingkan dengan tahun 2019. Salah satu parameter yang dapat menentukan kualitas udara adalah Total Suspended Particulate (TSP). Sampel TSP dikumpulkan dari lokasi Jaringan Pemantau Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Stasiun Meteorologi Kemayoran-Jakarta dan Pos Polusi Udara Cibeureum, Puncak-Bogor menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS) selama 24 jam. Periode pengambilan sampel setiap enam hari sekali mulai 14 Maret hingga 19 Mei 2020. Konsentrasi TSP ditentukan menggunakan metode gravimetri. Rata-rata konsentrasi TSP pada tiga periode sampling pertama April 2020 (menjelang dan awal berlakunya PSBB) memiliki nilai terendah di Jakarta dan Puncak-Bogor berturut-turut sebesar 80,08 mg/m3 dan 40,51 mg/m3. Tingkat potensi toksisitas ditentukan untuk mengetahui efeknya terhadap kesehatan manusia. Potensi toksisitas dihitung dengan membagi konsentrasi TSP dengan nilai baku mutu nasional sebesar 230 ug/m3. Nilai potensial toksisitas rata-rata di Jakarta dan Puncak-Bogor masing-masing sebesar 0,527 dan 0,220. Sumber asal materi partikulat diketahui dengan digunakan model pollution-rose. Sampel TSP dikarakterisasi menggunakan instrumen Scanning Electron Microscopy (SEM). Unsur yang melimpah pada permukaan partikel, secara berurutan terdiri dari O, Si, C, Na, Al, K dan Ca. Rasio komponen (Ca, C, O, Na, Al, Si, dan K) yang terdapat pada sampel TSP dari Jakarta dan Puncak-Bogor masing-masing sebesar 1,303; 1,060; 1,026; 0,995; 0,969; 0,898; dan 0,882. TSP dari Puncak-Bogor memiliki morfologi dengan bentuk cenderung tidak beraturan, sedangkan TSP dari Jakarta cenderung berbentuk bulat yang bertumpuk. Berdasarkan morfologi dan analisis kimianya, sebagian besar sumber TSP di Puncak-Bogor berasal dari alam, sedangkan TSP di Jakarta berasal dari campuran partikulat sumber antropogenik.