scholarly journals RUANG KOMUNITAS TIONGHOA DI GLODOK

Author(s):  
Leonardo Leonardo ◽  
Dewi Ratnaningrum

The development of modern urban society tends to have an individual nature and is more aloof to its personal space, where humans should be created as social beings who need interaction and socialization with people around them. Modern times with their technologies make society more selfish and as if they do not need others. To meet social needs in the current modern era, it takes a social container that can accommodate the activities of the surrounding community. The community can meet with each other, socialize and also interact through these social media platforms. Glodok is known as a Chinatown in Jakarta, the majority of the population are Chinese. The Chinese Community Room in Glodok is present as the third room or "The Third Place", where the third place as a place for people to gather, interact and move with each other. The project is intended as a forum for local people and migrants to interact together, and create an atmosphere like the old days full of fun, comfort, and free to be visited by anyone, such as entertainment venues, games, dance performances and dance. The idea of the program planned in this project will be a place to be able to enjoy performances and recreation for the local community and its surroundings with programs in it such as performance areas, parks, food culinary, games, and art galleries. This project design method takes contextuality around the site and takes local Chinese elements into account. Keywords:  community; interaction; social; space AbstrakPerkembangan masyarakat kota modern cenderung memiliki sifat yang individual dan lebih menyendiri terhadap personal space-nya, dimana seharusnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan sosialisasi dengan orang disekitarnya. Zaman modern dengan teknologi-teknologinya membuat masyarakat lebih mementingkan diri mereka sendiri dan seakan tidak membutuhkan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sosial di era modern saat ini, dibutuhkan wadah sosial yang dapat menampung aktivitas-aktivitas masyarakat sekitar. Masyarakat dapat saling bertemu, bersosialisasi dan juga berinteraksi melalui media wadah sosial tersebut. Glodok dikenal sebagai pecinan di Jakarta, Mayoritas penduduk nya adalah kaum Tionghoa. Ruang Komunitas Tionghoa di Glodok hadir sebagai ruang ketiga atau “The Third Place”, dimana tempat third place sebagai tempat untuk masyarakat dapat berkumpul, berinteraksi dan beraktivitas dengan sesamanya. Proyek ditujukan sebagai wadah bagi masyarakat setempat maupun pendatang untuk berinteraksi bersama, dan membangkitkan suasana seperti dahulu kala yang penuh dengan rasa senang, nyaman, dan bebas untuk dikunjungi oleh siapapun, seperti tempat hiburan, permainan, pertunjukan barongsai dan tari-tarian. Ide dari program yang direncanakan dalam proyek ini akan menjadi tempat untuk dapat menikmati pertunjukan dan rekreasi bagi masyarakat setempat dan sekitarnya dengan program yang di dalamnya seperti area pertunjukan, taman, kuliner makanan, permainan, dan galeri seni. Metode perancangan proyek ini mengambil kontekstual pada sekitar tapak dan mengambil unsur-unsur Tionghoa kawasan setempat.

Author(s):  
Fille Tamalazare Yuma ◽  
Maria Veronica Gandha

In the modern era, the loss of third place in the city center, such as the city of Jakarta, has resulted in increasingly mushrooming shopping centers and increasing market gimmicks. This causes the level of social interaction between fellow humans decreases so that exclusivity is formed in each individual. In meeting social needs in that era, a social forum is needed as a place for communities to eliminate exclusivity and restore human nature which is basically a social creature that needs to interact. From this, architecture talks about ways to meet the needs of the community in the third place as a means of community existence. The presence of Art Space is intended to present communities where individuals can fuse and increase social interaction. Art Space raised the topic of art which is one of the characteristics of the Senen Kelurahan, Senen District, Central Jakarta. Art will be used as a medium and a tool to interact and communicate with each other. Making an entertainment center for art that is inclusive so that it can be enjoyed by all groups of people both artists, connoisseurs of art or the general public. The choice of performing arts is based on the high public interest in the Senen Village. The design of Art Space is designed with site analysis method so that the building pays attention to the surrounding context so as to strengthen the contextual concept. Combining typologies adapted from the habits or approaches of the needs of the surrounding community. Bluring boundaries between private closeness and public opensess. It is expected that Art Space can attract people to visit so that it presents social interaction. Keywords: Art Space; Social Interaction; Third Place Abstrak Pada era yang serba modern hilangnya third place pada pusat kota seperti kota Jakarta mengakibatkan pusat perbelanjaan semakin menjamur dan market gimmick yang terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan tingkat interaksi sosial antara sesama manusia menurun sehingga terbentuklah eksklusifitas pada setiap individu. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial di era tersebut, maka dibutuhkan wadah sosial sebagai wadah komunitas-komunitas untuk menghilangkan ekslusifitas dan mengembalikan hakekat manusia yang pada dasarnya adalah mahluk sosial yang perlu berinteraksi. Dari hal tersebut, arsitektur berbicara tentang cara untuk memenuhi kebutuhan komunitas pada third place sebagai sarana eksistensi masyarakat. Kehadiran Art Space dimaksudkan untuk menghadirkan komunitas-komunitas  di mana individu dapat melebur dan meningkatkan interaksi sosial. Art Space  mengangkat topik seni yang merupakan salah satu karakteristik kawasan Kelurahan Senen, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Seni akan digunakan sebagai media dan alat untuk berinteraksi serta berkomunikasi antara sesama manusia. Menjadikan pusat hiburan seni yang inklusif sehingga dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat baik seniman, penikmat seni atau khalayak umum. Pemilihan jenis seni pertunjukan didasarkan oleh tingginya animo masyarakat pada Kelurahan Senen. Perancangan Art Space didesain dengan metode site analysis agar bangunan memperhatikan konteks sekitar sehingga memperkuat konsep kontekstual. Mengkombinasikan tipologi yang diadaptasi dari kebiasaan atau pendekatan kebutuhan masyarakat sekitar. Meleburkan batasan diantara private closeness dan public opensess. Diharapkan Art Space dapat menarik masyarakat untuk berkunjung sehingga menghadirkan interaksi sosial.


Author(s):  
Gary Cantonna Tamin ◽  
Petrus Rudi Kasimun

As time goes by, people, especially in urban areas, tend to have individualistic characteristics due to their busy daily routines. Where most of the time spent at work, home or shopping centers. Humans as social creatures who should socialize and interact with others to meet social needs. To meet social needs in the current modern era, it takes a social container that can accommodate the activities of the surrounding community. So that people can meet with each other, socialize and also interact through these social media platforms. South Jakarta, precisely in the Blok M area, was known as a place for the gathering of young people of its time. However, at this time Blok M has begun to be abandoned by the community because other regions have more adequate gathering places. Blok M is an area that has a lot of art communities, such as street buskers, Japanese communities, contemporary music and much more. According to Richard Florida, creative people have the desire to do creative things and also get together with other creative people. This has a continuity where The Third place according to Ray Oldenburg, is a place where people can gather and interact with one another to meet their social needs. Blok M is an area that has a lot of art communities, such as street buskers, Japanese communities, contemporary music and much more. Blok M Performing Arts Space is present as the third space or "The Third place" and also as a place to show and hone creativity, where people can gather, interact and move with each other. This project is also intended as a forum for surrounding communities to interact with other communities and also can show their works to the wider community, so there is a reciprocal relationship between the community and the local community. Did not rule out the possibility of also triggering collaboration between these communities, thus bringing up a new and unique collaborative performing arts performance. Abstrak Seiring perkembangannya zaman, masyarakat khususnya di perkotaan cenderung memiliki sifat yang individualis dikarenakan rutinitas sehari-hari yang padat. Dimana sebagian besar waktu dihabiskan di tempat kerja, rumah ataupun pusat perbelanjaan. Manusia sebagai makhluk sosial yang seharusnya bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama untuk memenuhi kebutuhan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan sosial di era modern saat ini, dibutuhkan wadah sosial yang dapat menampung aktivitas-aktivitas masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat dapat saling bertemu, bersosialisasi dan juga berinteraksi melalui media wadah sosial tersebut. Jakarta Selatan, tepatnya di kawasan Blok M, dikenal sebagai tempat perkumpulan anak-anak muda pada zamannya. Namun, pada saat ini Blok M mulai ditinggalkan oleh masyarakat dikarenakan kawasan-kawasan lain mempunyai tempat berkumpul yang lebih memadai. Blok M merupakan kawasan yang memiliki banyak sekali komunitas seni, seperti pengamen jalanan, komunitas Jepang, musik kontemporer dan masih banyak lagi. Menurut Richard Florida, orang-orang kreatif mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal yang kreatif dan juga berkumpul dengan orang-orang kreatif lainnya. Hal ini mempunyai kesinambungan dimana The Third place menurut Ray Oldenburg, merupakan sebuah tempat dimana orang-orang dapat berkumpul dan saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Blok M merupakan kawasan yang memiliki banyak sekali komunitas seni, seperti pengamen jalanan, komunitas Jepang, musik kontemporer dan masih banyak lagi. Ruang Pertunjukan Seni Blok M hadir sebagai ruang ketiga atau “The Third place” dan juga sebagai tempat untuk menunjukan dan mengasah kreatifitas , dimana masyarakat dapat berkumpul, berinteraksi dan beraktivitas dengan sesamanya.Proyek ini juga ditujukan sebagai wadah bagi komunitas-komunitas sekitar untuk berinteraksi dengan komunitas lainnya dan juga dapat menunjukan karya-karya mereka ke masyarakat luas, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara masyarakat dengan komunitas setempat. Tidak menutup kemungkinan juga memicu timbulnya kolaborasi antara komunitas-komunitas tersebut, sehingga memunculkan sebuah karya pertunjukan seni kolaborasi yang baru dan unik. 


Author(s):  
Jessica Jessica

Rawa Bunga population is constantly increased as time goes by. The increasing population in Rawa Bunga is leading to a change in land-use planning. The initial planning which create a balance between commercial and housing is forced to change into domination of housing. Although the housing community is constantly increased, but the government didn’t increased the community facility or third place in Rawa Bunga. This condition is causing a huge problem for the community to satisfy their daily basic needs. Even more, they started to occupy every vacant place for their activity and making problems for other people. The objective of this design is making a third place for the community of Rawa Bunga that can help them to socialize and interact with each other. The design method is divided into two parts, the first part is collecting data from observation, urban study, and analysis. The second part is start from the program and follow the theory of activity tipology. The design idea is a community facility or third place for interactive sport, sport and interactive technology is chosen because the community in Rawa Bunga loves sports. In addition, the third place will inserted by Betawi culture to introduce the genius loci of Rawa Bunga. Keywords:  interactive sports; Rawa Bunga; Third Place AbstrakKelurahan Rawa Bunga memiliki jumlah penduduk yang selalu meningkat seiring berjalannya waktu. Peningkatan jumlah penduduk yang terjadi berdampak kepada perubahan fungsi lahan yang tidak semestinya seperti Rancangan zonasi awal yang mempunyai komposisi yang seimbang antara komersial dan hunian. Tetapi pada kenyataannya, fungsi lahan yang ada didominasi oleh hunian. Walaupun fungsi hunian bertambah, tetapi tidak diiringi pertambahan third place yang memadai. Akibatnya adalah masalah beruntun berupa kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi. Dampak yang dihasilkan adalah pelaksanaan aktivitas masyarakat di tempat – tempat yang tidak semestinya sebagai ganti fasilitas lingkungan yang tidak memadai. Tujuan dari perancangan ini adalah berusaha memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di Kelurahan Rawa Bunga akan aktivitas penunjang seperti sosialisasi dan interaksi baik antar manusia maupun dengan lingkungannya melalui third place. Metode Perancangan yang dipakai dibagi menjadi dua tahap, pertama tahap pencarian data dengan metode empiris yaitu observasi, studi kota dan analisis. Tahap kedua, Tahap perancangan dimulai dari hasil yang didapat dari analisis berupa program. Program akan diolah dengan pendekatan metode desain tipologi kegiatan. Ide dari perancangan ini adalah fasilitas lingkungan atau third place dengan aktivitas olahraga yang memakai teknologi interaktif untuk membantu proses sosialisasi dan interaksi baik antar manusia maupun dengan lingkungannya. Olahraga dipilih karena masyarakat di Rawa Bunga senang dengan aktivitas yang bersifat olahraga dan tidak lupa juga disisipi elemen kebudayaan Betawi untuk memperkenalkan genius loci kawasan Rawa Bunga.


Author(s):  
Chantika Mayadewi ◽  
Dewi Ratnaningrum

As social beings, humans naturally need social interaction with others, but often do not have a proper place to support the interaction. Especially in densely populated settlements with limited open space such as in Tanah Sereal, Tambora District, West Jakarta, where community makes the streets and narrow alleys as a place to do various activities. On the other hand, modern times with increasingly evolving technology make society more inclusive and individual, so a facility is needed where residents can carry out joint activities outside the place of residence (first place) and work place (second place) reffered to as the third place that can answer various social needs and urban green spaces in densely populated areas. The method that is used in this study is the conventional method of analysis-synthesis which includes data collection (input), analysis (process), and synthesis (output). Data is obtained from grounded observations, interviews with local residents, literature studies, as well as regional mappings. The third place project in Tanah Sereal is titled Tanah Sereal Commuity Activity Space, which is intended to provide a place of activities for residents of dense settlements in having a shared activity space or a third place that is intergrated with green alley to address social and environmental problems in densely populated areas. The main program of the building is hydroponic planting areas (urban farming), equipped with foodcourt, play areas, teenage discussion areas, communal areas, seminar room, temporary event room, as well as community development program such as hydroponic workshop and garment workshop aimed at improving the skills, productivity, and standard of living of surrounding communities. AbstrakSebagai makhluk sosial, manusia tentunya membutuhkan interaksi sosial dengan sesamanya, namun seringkali tidak memiliki wadah yang layak untuk mendukung terjadinya interaksi tersebut. Terutama di permukiman padat penduduk dengan keterbatasan lahan terbuka seperti di Kelurahan Tanah Sereal, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, di mana masyarakat menjadikan jalan dan gang-gang sempit sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas. Di sisi lain, zaman modern dengan teknologi yang semakin berkembang membuat masyarakat menjadi semakin inklusif dan individual, sehingga diperlukan fasilitas di mana warga dapat melaksanakan kegiatan bersama sebagai kegiatan di luar tempat tinggal (first place) dan tempat kerja (second place) disebut sebagai tempat ketiga atau third place yang dapat menjawab berbagai kebutuhan sosial dan ruang hijau kota di kawasan padat penduduk. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode konvensional yaitu analisis-sintesis yang meliputi pengumpulan data (input), analisis (proses), dan sintesis (output). Data didapat dari pengamatan grounded ke lapangan, wawancara dengan warga sekitar, kajian literatur, serta mapping kawasan. Proyek third place yang ada di Tanah Sereal ini berjudul Wadah Aktivitas Masyarakat di Tanah Sereal, bertujuan untuk menyediakan sebuah wadah aktivitas bagi warga permukiman padat dalam memiliki ruang aktivitas bersama atau third place yang terintegrasi dengan gang hijau untuk mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan di kawasan padat penduduk. Proyek ini memiliki program utama yaitu area tanam hidroponik (urban farming), dilengkapi dengan foodcourt, area bermain, area diskusi remaja, area komunal, ruang seminar, balai serbaguna, serta program pengembangan masyarakat seperti workshop hidroponik dan workshop garmen untuk meningkatkan skill, produktivitas, dan taraf hidup masyarakat sekitar.


Author(s):  
Ruliana Ruliana ◽  
Maria Veronica Gandha

Based on site analysis in Wijaya Kusuma, there is social gap between two social groups which are living side by side but rarely interacting to each other because there isn’t any place to accommodate their interactions, this region’s population mostly are school-aged children and there’s a large number of schools in this region, so Wijaya Kusuma Playscape as a third place hopefully could be the answer of the problem, by using playing as a medium where can be a place for the two social groups to interact, as well as a non-formal education forum for local residents. Using observation and interview methods to collect the data and using analogy method as the design method. Using tree house as the design concept to build playful ambience and the theory of the third place by Ray Oldenburg also applied in this project. Hopefully Wijaya Kusuma Playscape could be a place where people can meet, interact, play, and learn in Wijaya Kusuma. Keywords:  interact; play; third place Abstrak Berangkat dari investigasi tapak di Kelurahan Wijaya Kusuma, berdasarkan analisis kawasan, dilihatnya ada kesenjangan sosial dimana terdapat dua golongan sosial yang hidup berdampingan namun kurang berinteraksi karena tak ada wadah yang mempertemukan, dominasi penduduk yang berusia anak sekolah dengan jumlah sekolah yang banyak pada kawasan ini, maka dibuatlah Wijaya Kusuma Playscape sebagai ruang ketiga yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari analisis masalah yang ditemukan, dengan menggunakan media bermain dapat menjadi wadah kedua golongan sosial tersebut untuk berinteraksi, serta menjadi wadah pendidikan non-formal bagi warga sekitar. Menggunakan metode observasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan metode analogi sebagai metode perancangan. Konsep perancangan menggunakan konsep rumah pohon untuk menciptakan suasana bermain yang asik dan menerapkan teori ruang ketiga dari Ray Oldenburg ke dalam perancangan. Diharapkan Wijaya Kusuma Playscape dapat menjadi tempat berkumpul, berinteraksi, bermain, dan belajar di Kelurahan Wijaya Kusuma.


Author(s):  
Thao Phing ◽  
Suwardana Winata

The city has traces of human civilization from time to time with various phenomena that occur. As time goes by, the existence of Third Place in Jakarta remains limited. The activities among those Third Places tend to be less interactive. Most of Third Places aim to address the concept of green and open space, but it fails to communicate its crucial purposes as platfrom activities for the community. In this modern era, the concept is change necessary where it accomodates public needs and no longer be depicted a mere open space. Krendang needs a facility to accommodate motherhood and children activities as the third place. As the people become more individualistic and don't want to socialize, it is more difficult to find leisure and creativity facilities. Motherhood Community and Social Market in Krendang was designed to facilitate the activities of mother and children in the middle of densely population in Krendang, Tambora, West Jakarta.  Abstrak Kota memiliki rekam jejak peradaban manusia dari waktu ke waktu dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Seiring berjalanya waktu, Third Place di kota Jakarta masih terbatas. Kegiatan yang ditawarkan didalamnya cenderung tidak interaktif. Kebanyakan Third Place di Jakarta mencoba menampilkan sisi ruang terbuka dan penghijauan saja namun tidak berbicara mengenai kegiatan atau wadah bagi masyarakat itu sendiri. Dalam perjalanannya menuju era yang lebih modern, perlu adanya sebuah perubahan terhadap konsep Third Place dimana konsep ini tidak hanya sebagai ruang terbuka saja atau mall melainkan harus dapat mewadahi kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya. Fasilitas bagi kaum ibu yakni memasak dan bagi anak – anak yakni bermain dan berkreativitas harus menjadi perhatian utama Third Place pada kawasan Krendang. Pada era modern ini masyarakat mulai cenderung menjadi kaum yang individualistis dan terkesan tidak ingin bersosialisasi. Motherhood Community and Social Market in Krendang diciptakan karena adanya fenomena kepadatan yang terjadi dan menyebabkan manusia tidak lagi memiliki wadah untuk mereka beraktivitas dengan baik pada kehidupa sehari – hari mereka. Selain itu hal ini juga terjadi karena sering adanya masalah seperti kebakaran di kawasan Krendang. Maka dari itu Motherhood Community and Social Market in Krendang di harapkan dapat menghadirkan fasilitas bagi kaum ibu dan anak yang layak dan juga agar terciptanya suatu kondisi sosial yang baik pada Third Place. 


Author(s):  
Alvin Alvin ◽  
Mieke Choandi

As time goes by, people, especially in urban areas, tend to have individualistic characteristics due to their busy daily routines. Where most of the time spent at work, home or shopping centers. Humans as social creatures who should socialize and interact with others to meet social needs. To meet social needs in the current modern era, it takes a social container that can accommodate the activities of the surrounding community. So that people can meet with each other, socialize and also interact through these social media platforms. Central Jakarta, precisely in the Senen Area, there is the Senen Market which is one of the historic / iconic buildings known as a dense place for trade activities, namely trade / services, namely the Senen Market, known as the Thrift center in Jakarta today, the community center can search clothes at economical prices. However, the daily life of the Senen people tends to only sell clothes that saturate the Senen community so that the Senen Market is now fading. As well as Senen, there are very few entertainment venues in the Senen Region, causing the Senen economy to decline. This is also related to Malcolm Barnard's theory that clothing can be a verbal and non-verbal communication tool that can later restore Senen area to an area where people do not trade but can interact, socialize, and hone the creativity of the Clothing Fan Facility Economical. Where this project aims to support the Senen Market also reduces the saturation of the Senen Market residents in their daily business activities as well as to facilitate the needs of service users at the Senen Bus Station. This project is also intended as a forum for Thrift communities and the surrounding arts to interact with other communities and can also show the works / history of economic clothing that people will see and buy so that not only trading, but the public can learn and understand the meaning of the clothes which finally triggers the community to interact, socialize, and hone their creativity. Keywords:  clothing; Pasar Senen; ThriftAbstrakSeiring perkembangannya zaman, masyarakat khususnya di perkotaan cenderung memiliki sifat yang individualis dikarenakan rutinitas sehari-hari yang padat. Dimana sebagian besar waktu dihabiskan di tempat kerja, rumah ataupun pusat perbelanjaan. Manusia sebagai makhluk sosial yang seharusnya bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama untuk memenuhi kebutuhan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan sosial di era modern saat ini, dibutuhkan wadah sosial yang dapat menampung aktivitas-aktivitas masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat dapat saling bertemu, bersosialisasi dan juga berinteraksi melalui media wadah sosial tersebut. Jakarta Pusat, tepatnya di Kawasan Senen, terdapat Pasar Senen yang merupakan salah satu bangunan yang bersejarah / ikonik  yang dikenal sebagai tempat yang padat akan aktivitas berniaganya yaitu perdagangan / jasa yaitu Pasar Senen , dikenal sebagai pusat thrift di Jakarta saat ini yaitu pusat masyarakat dapat mencari pakaian dengan harga yang ekonomis. Akan tetapi keseharian masyarakat Senen cenderung hanya menjual pakaian saja membuat jenuh masyarakat Senen sehingga Pasar Senen kini meredup. Serta Senen terdapat minim sekali tempat hiburan yang terdapat di Kawasan Senen sehingga menimbulkan perekonomian Senen menurun. Hal ini berkaitan juga dengan teori dari Malcolm Barnard bahwa pakaian dapat menjadi sebuah alat komunikasi baik verbal maupun non-verbal yang nantinya dapat memulihkan kembali kawasan Senen menjadi Kawasan yang masyarakatnya tidak berdagang saja akan tetapi dapat berinteraksi, bersosialisasi, serta mengasah kreatifitas dari Fasilitas Penggemar Pakaian Ekonomis. Dimana Proyek ini bertujuan untuk menunjang Pasar Senen juga mengurangi kejenuhan penghuni Pasar Senen dalam kegiatan berniaganya sehari-hari juga untuk memfasilitasi kebutuhan pengguna jasa di Stasiun Bus Senen. Proyek ini juga ditujukan sebagai wadah bagi komunitas-komunitas thrift maupun seni sekitar untuk berinteraksi dengan komunitas lainnya dan juga dapat menunjukan karya-karya / sejarah dari pakaian ekonomis yang masyarakat akan lihat dan beli sehingga tidak hanya berdagang saja , akan tetapi masyarakat dapat mempelajari dan memahami arti dari pakaian tersebut yang akhirnya memicu masyarakat untuk berinteraksi, bersosialisasi, serta mengasah kreatifitas mereka.


Author(s):  
Ashila Ashara Amalia ◽  
Suwandi Supatra

City life itself known for the busy 24/7 with non-stop busy activities. Monotous activities carried out by city residents makes them frustrated and bored. A need for a place to let them rest for a bit, and that’s where third place is needed. Study stated that city life has problems within the physical and mental health of the residents itself. A simple entertainment such as live music or gathering over food has become their go to rest. C(reative)ulinary Market is a project with third place as the theme for the city residents. Located in Palmerah, within 3 issues detected which area morning to night activities that cause unhealthy lifestyle patterns, no bonding between communities, and no play space for children. Using the design method of dis-programming and behavioural architecture, which comebines program within different properties and examines surrounding people activities. Design concept based on broad food system in which influences for the layout and circulation. 2 program provided, creative culinary in where there’s market and food space for socializing and gather over food, and there’s also cooking class. Active and social space, there’s playground, roof garden, and park within the site. Two important program above aim to provide a place to socialize while providing education on the importance of healthy living. In addition, food brings people together.Key words: Active; City; Creative Culinary; Food; Health Abstrak Kehidupan kota dikenal dengan kehidupan arus padat 24/7. Kegiatan monoton yang dilakukan warga kota membuat masyarakat merasa bosan dan jenuh. Dibutuhkan satu tempat untuk mereka melepas penat sebentar, dan disitulah dibutuhkan third place. Studi menyebutkan bahwa kehidupan kota mempunyai masalah dengan kesehatan fisik dan mental warga kota. Hiburan sederhana, seperti live music atau sekedar makan dan kumpul bersama menjadi sasaran bagi warga kota dalam menghilangkan penat sejenak. Proyek dengan judul C(reative)ulinary Market adalah proyek rancangan bertemakan third place bagi masyarakat kota. Berlokasi di Palmerah, dengan 3 isu yaitu aktivitas padat pagi hingga malam yang menyebabkan pola gaya hidup tidak sehat, tidak ada hubungan erat antar masyarakat, dan tidak ada ruang bermain bagi anak-anak. Menggunakan metode perancangan dis-programming dan behavioural architecture, dimana mengkombinasi program dengan sifat berbeda dan juga meneliti dan mengkaji perilaku masyarakat sekitar tapak. Konsep desain bertajuk pada broad food system yang berpengaruh pada denah dan sirkulasi proyek. Program yang disediakan terdapat 2, kuliner kreatif (creative culinary) dimana terdapat market & food space guna untuk bersosialisasi dan berkumpul bersama sambil makan dan ada cooking class, ruang aktif-sosial (active and social space) terdapat playground dan roof garden serta taman di tapak. Kedua program penting di atas bertujuan untuk memberikan tempat bersosialisasi sekaligus memberikan edukasi akan pentingnya hidup sehat. Selain itu, makanan juga menyatukan antar sesama.


Author(s):  
Bella Octavia Darmawan ◽  
Suryono Herlambang

Urban life is synonymous with routine and high activity in which competition between individual communities continues to increase. The routine and busyness that continues to accumulate by each individual approves fatigue and demands less productive work / study. The third place is present to balance the lives of people outside the home and work place. That way, third place is needed in the big city area which is also adjusted to the needs of the community. This project supports the balance of life in the communities around the Kramat village, Senen with programs that suit their needs. The program that emerges according to the Kramat region is a creative space because the local residents who have a profession as ondel - ondel craftsmen but do not have a place to channel these talents.The design method includes data collection techniques through observation and interviews with the results applied to the transformation design method. Kramat Creative Place in Senen is the third place planned to serve the needs of the surrounding community in the social and creativity fields in order to address the issue of urban life due to daily busyness. This project provides several facilities that facilitate community activities in education, eating places, and meeting / socializing places. This project is planned so that all groups of people, especially in the Kramat district can use it so that it is not only a place to release fatigue but also a place to interact with each other to establish stronger relationships in the community so that it can be useful for the future. The community has also become aware of the impact of natural damage, so this project will be designed environmentally friendly. AbstrakKehidupan perkotaan identik dengan rutinitas dan kesibukan tinggi dimana persaingan antar individu masyarakat terus meningkat. Rutinitas dan kesibukan yang terus terakumulasi oleh setiap individu memicu kepenatan dan mengakibatkan sikap kerja/belajar yang kurang produktif. Third place hadir untuk menyeimbangkan kehidupan masayarakat diluar rumah dan tempat kerja. Dengan begitu, third place diperlukan dalam kawasan kota besar yang disesuaikan pula dengan kebutuhan masyarakatnya. Proyek ini mendukung keseimbangan hidup masyarakat di sekitar kelurahan Kramat, Senen dengan program – program yang sesuai kebutuhan. Program yang muncul sesuai kawasan Kramat yaitu ruang kreatif karena warga sekitar yang telah menjalani profesi  sebagai pengrajin ondel – ondel namun tidak tersedianya wadah untuk menyalurkan bakat tersebut. Metode perancangan meliputi teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dengan hasil yang diaplikasikan ke dalam metode perancangan tarnsformasi. Ruang Kreatif Kramat di kawasan Senen ini merupakan third place yang direncanakan untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar dalam bidang sosial dan kreativitas guna menjawab isu kehidupan perkotaan karena kesibukan sehari-hari. Proyek ini menyediakan beberapa fasilitas yang mewadahi kegiatan masyarakat pada pendidikan, tempat makan, dan tempat berkumpul/bersosialisasi. Proyek ini direncanakan agar semua golongan masyarakat terutama di kelurahan Kramat dapat menggunakannya sehingga bukan hanya sebagai tempat pelepas penat namun juga tempat untuk saling berinteraksi agar terjalin hubungan yang lebih kuat dalam masyarakat sehingga bisa berguna bagi kedepannya. Masyarakat pun telah menyadari dampak kerusakan alam maka proyek ini akan dirancang ramah lingkungan.


Author(s):  
Mega Dwi Kusumawati ◽  
Diah Anggraini

Human is social creatures who need a place to gather, communicate, interact, socialize, and act both with others and with their environment. In carrying out its activities besides the first place (residence/house) and second place (office/school) a physical setting is required in the form of public space that can support these social needs. Ray Oldenberg defines public space as a third-place that functions as a special place outside the residence and office. Cities must be able to provide public space that can be accessed by their people regardless of their social, culture or economic level. The existence of stratification or social levels that are spread in the middle of society often hampering interaction and communication between one individual and the other. Therefore this study aims to produce a design concept, a third place that can be a place of interaction, recreation, and potential development for various layers of society, especially for the community/residents in Guntur District and people who every day carry out activities in the area (second place) so that in the and it can collaborate and advance the community’s economy. Using the Transprogramming design method. The building is designed by combining two main programs that have the opposite spatial nature: community activity zone and recreation zone. The Result of the study was a third-place design concept in Guntur District, South Jakarta.   AbstrakManusia adalah makhluk sosial yang memerlukan tempat untuk berkumpul, berkomunikasi, berinteraksi, bersosialisasi, dan beraktualisasi baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya. Dalam menjalankan aktivitasnya selain first place (tempat tinggal/rumah) dan second place (tempat kerja/sekolah) diperlukan suatu setting fisik berupa ruang publik yang dapat menunjang kebutuhan sosial mereka. Ray Oldenberg (1997) mendefinisikan ruang pubik sebagai third place (ruang ketiga) yang berfungsi sebagai tempat khusus di luar tempat tinggal dan tempat bekerja. Kota harus dapat menyediakan ruang publik seperti third place yang bisa diakses oleh masyarakatnya tanpa memandang status sosial, budaya, ataupun tingkat ekonominya. Adanya stratifikasi atau tingkatan sosial yang tersebar di tengah masyarakat, seringkali menghambat interaksi dan komunikasi antar individu satu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menghasilkan konsep perancangan sebuah third place yang dapat menjadi wadah interaksi, rekreasi, dan pengembangan potensi bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya komunitas/warga penghuni Kelurahan Guntur dengan orang-orang yang setiap harinya melakukan aktivitas di kawasan tersebut (second place) sehingga pada akhirnya dapat berkolaborasi dan memajukan perekonomian masyarakat sekitar. Metode perancangan third place ini menggunakan pendekatan teori Transprogramming dari Bernard Tchumi. Bangunan dirancang dengan menggabungkan dua program utama yang memiliki sifat ruang bertolak belakang: zona kegiatan komunitas dan zona rekreasi. Hasil kajian ini berupa konsep perancangan third place di Kelurahan Guntur, Jakarta Selatan.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document