scholarly journals Faktor Risiko Host terhadap Kejadian Schistosomiasis Japonicum

2018 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
pp. 93-100
Author(s):  
Dian Muslimin

Schistosomiasis japonicum dianggap suatu penyakit kemiskinan yang mengarah ke gangguan kesehatan kronis. Infeksi terjadi ketika manusia kontak dengan  air tawar yang mengandung serkaria dari cacing parasit darah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai faktor Host yang merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis japonicum. Metode Penelitian ini menggunakan mix method dengan kuantitatif sebagai pendekatan  utama  (case control) dan kualitatif sebagai pendukung (indepth interview). Populasi target adalah seluruh penduduk yang melakukan pemeriksaan tinja di laboratorium Schistosomiasis japonicum dan berdomisili di Taman Nasional Lore-Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2014-2016 dengan jumlah  sampel 158 orang terdiri dari 79 kasus dan 79 kontrol  dengan teknik consecutive sampling. Analisis data bertahap dari univariat dan bivariat menggunakan uji  chi-square  dilanjutkan analisis multivariat menggunakan uji  regresi logistik. Hasil Faktor Host yang terbukti sebagai  risiko terhadap kejadian Schistosomiasis japonicum yaitu pekerjaan sebagai petani OR = 2,8; 95% CI = 1,22-6,48), kebiasaan mandi/mencuci di air sungai/danau OR=2,7; 95% CI=1,21-6,39), kebiasaan buang air besar selain di jamban OR = 3,0; 95% CI=1,36-6,86), tidak menggunakan sepatu boot OR=4,6; 95% CI=1,99-10,58), melewati daerah fokus keong OR=3,1; 95% CI=1,34-7,41), memiliki tata guna lahan pertanian tidak dikelolah  OR=5,2; 95% CI = 2,25-12,00). Sedangkan faktor tidak terbukti sebagai faktor risiko yaitu tingkat pendidikan rendah <SMP, tidak pemanfaatan sumber air bersih, menjadi anggota mapalus, tidak memanfaatkan program kesehatan, dan memelihara hewan ternak. Probabilitas untuk menyebabkan kejadian Schistosomiasis japonicum terdapat enam faktor risiko  sebesar 98,52%.

2019 ◽  
Vol 8 (3) ◽  
pp. 107-114
Author(s):  
Agnes Kalpita Furi ◽  
Aryu Candra ◽  
Ayu Rahadiyanti

Latar Belakang : Tonsilitis adalah salah satu penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas (ISPA) yang sering terjadi pada balita. Defisiensi seng dan vitamin C mempengaruhi kejadian tonsilitis terkait fungsi dalam sistem imun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan asupan seng dan vitamin C dengan kejadian tonsilitis pada balita. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian case control. Subjek balita usia 2-5 tahun sebanyak 50 subjek terdiri dari 25 subjek kasus dan 25 subjek kontrol diambil dengan teknik consecutive sampling. Penentuan subjek mengalami tonsilitis atau tidak dilakukan dengan diagnosis dokter melalui pemeriksaan tonsil. Data yang dikumpulkan meliputi riwayat asupan seng dan vitamin C diambil menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ), identitas subjek dan orangtua/pengasuh, data hygiene mulut, dan data kebiasaan makan dengan wawancara langsung. Analisis data dengan uji Chi-square, Fisher’s Exact, Mann Whitney, dan Independent T.Hasil : Status gizi subjek sebagian besar tergolong normal berdasarkan BB/TB, BB/U, maupun TB/U. Sebanyak 56% subjek kelompok kasus memiliki kebiasaan makan yang berisiko dan 100% subjek pada kelompok kasus memiliki hygiene mulut yang kurang baik. Subjek kasus memiliki riwayat asupan seng yang kurang sebanyak 52% dan riwayat asupan vitamin C yang kurang sebanyak 80%. Riwayat asupan seng memiliki hubungan dengan kejadian tonsilitis (p<0,05), sedangkan riwayat asupan vitamin C tidak terdapat hubungan dengan kejadian tonsilitis (p>0,05).Kesimpulan : Risiko tonsilitis pada subjek dengan riwayat asupan seng kurang dari kebutuhan 4,3 kali lebih besar dibandingkan subjek dengan riwayat asupan seng cukup. 


2018 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 33
Author(s):  
T.M. Rafsanjani ◽  
Djoko Trihadi Lukmono ◽  
Henry Setyawan ◽  
Anies Anies ◽  
Sakundarno Adi

Abstract: An Analysis Of Host Factors Toward The Level Ii Leprosy Disability In Nagan Raya Regency, Aceh Province. The leprosy disabilities level II is often experiencing the limitations in function among societies. In Nagan Raya Regency, there are 41% endemic areas with the number of level II disability for 5%. This research aims to prove some host and environment factors that become the risk factors for disability for level II leprosy. Case-control methods and interview methods were chosen as the design of control case in this research. 84 respondents were involved in conducting case-control design, and 42 cases of leprosy disabilities level II and 42 control of leprosy without disabilities, selected with consecutive sampling by considering the criteria of inclusion and exclusion. The results of this research were analyzed with bivariate by using chi-square test and the multivariate data were analyzed by using logistic regression test. Four variables that had the risk towards leprosy level II disability were at the age of the diagnosis time > 15 p=0,039 and OR=8,4 (CI 95%; 1,1-63,3), level of education p=0,038 and OR=3.4 (CI 95%; 1,1-10,9), too late to do early diagnosed p=0,011 and OR=5,4 (CI 95%; 1,5-19,6), types of leprosy MB p=0,015 and OR=3,9, (CI 95%; 1,3-12,1). Some host factors were proven to have risk towards leprosy disability of level II are the age at the time of diagnosis > 15 years, too late to do early diagnosis and leprosy types MB with the probability of 99.96 %. It is expected for the team of Public Health Office to conduct prevention in a productive age population, early case detection to prevent disability, and socialized the patient about the dangers of leprosy.Abstrak: Analisis Faktor Host Terhadap Kecacatan Kusta Tingkat II Di Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh. Kecacatan kusta tingkat II mengalami keterbatasan pada fungsinya dalam masyarakat. Kabupaten Nagan Raya terdapat 41% daerah endemis, dengan kecacatan tingkat II sebanyak 5%. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan beberapa faktor host merupakan faktor risiko kecacatan tingkat II. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol terhadap 84 responden,  dari 42 kasus (cacat kusta tingkat II) dan 42 kontrol (kusta tanpa cacat),  yang dipilih secara consecutive sampling dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Analisis data secara bivariat dengan uji Chi-Square dan multivariat dengan uji regresi logistik. Empat variabel merupakan faktor risiko terhadap kecacatan kusta tingkat II, yaitu umur saat diagnosis > 15 tahun p=0,039, OR=8,4 (CI 95%; 1,1-63,3), tingkat pendidikan p= 0,038, OR=3,4 (CI 95%; 1.1-10.9) diagnosis dini lambat p=0,011, OR=5,4 (CI 95%; 1,5-19,6), tipe kusta MB p=0,015, OR=3,9, (CI 95%; 1,3-12,1). Beberapa faktor host terbukti berisiko terhadap kecacatan kusta tingkat II adalah umur saat diagnosis > 15 tahun, tingkat pendidikan, diagnosis dini lambat, dan tipe kusta MB dengan probabilitas sebesar 99,96%. Diharapkan kepada dinas kesehatan melakukan pencegahan kelompok usia produktif, penemuan kasus secara dini untuk mencegah kecacatan dan memberikan pemahaman terhadap penderita tentang bahaya kusta


2018 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
Author(s):  
Ulfah Ulfah ◽  
Cicilia Windiyaningsih ◽  
Zainal Abidin ◽  
Farida Murtiani

Latar Belakang: Kepatuhan pasien dalam minum obat merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu pengobatan TB paru. Tingginya angka putus berobat mengakibatkan tingginya kasus resisten obat. Metode: desain studi kasus kontrol (Case Control Study) menggunakan data primer dan sekunder. Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien TB Paru yang berobat di Puskesmas Cipunagara Tahun 2015 sampai Juni 2017. Besar sampel 68 yang terdiri dari 84 kasus dan 84 kontrol yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariat dengan regresi logistik berganda. Hasil: faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB paru adalah dukungan keluarga (Pvalue=0.003; OR=2,956), jenis kelamin (Pvalue=0,045; OR=1,961), pendidikan (Pvalue=0,045; OR=1,962), pekerjaan (Pvalue=0.043; OR=1,989), pengetahuan (Pvalue=0,005; OR= 2,529), efek samping obat ((Pvalue=0,045; OR=1,961), peran PMO (Pvalue=0,000; OR=3,500), jarak fasilitas kesehatan (Pvalue=0,044; OR= 1,967), sikap petugas (Pvalue=0,020; OR=2,172). Faktor yang tidak berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB paru adalah pendapatan (Pvalue=0,164) dan usia (Pvalue=0.535). Kesimpulan: faktor dominan yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB Paru adalah peran PMO. Oleh karena itu diperlukan pelatihan bagi kader-kader TB (PMO) untuk meningkatkan pengetahuan TB, kemampuan menjaring suspek TB dan membantu meningkatkan kepatuhan pengobatan.


2014 ◽  
Vol 3 (4) ◽  
pp. 612-619
Author(s):  
Lidiyawati Lidiyawati ◽  
Apoina Kartini

Latar belakang. : Risiko hipertensi pada wanita akan meningkat setelah mengalami menopasue yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti penurunan produksi hormon esterogen dan asupan zat gizi termasuk asupan natrium dan juga lemak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh (MUFA,PUFA) dan natrium dengan kejadian hipertensi pada wanita menopause.Metode : Penelitian observasional dengan desain case-control yang melibatkan 68 wanita menopause usia 46-60 tahun (kasus=34, kontrol=34) di Bojongsalaman, Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Kejadian hipertensi diindetifikasi dari pengukuran tekanan darah menggunakan sphygmomanometer. Asupan SFA, MUFA, PUFA, natrium diperoleh melalui wawancara dengan Food Frequency Questionaire (FFQ) semikuantitatif. Analisis bivariat menggunakan uji chi square. Hasil : Subyek pada kelompok kasus yang memiliki asupan asam lemak jenuh dan natrium berlebih masing-masing sebesar 94,1% dan 88,2 %. Sebagian besar subyek pada kedua kelompok memiliki asupan PUFA yang baik sedangkan asupan MUFA pada kedua kelompok termasuk kurang. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa asupan SFA berhubungan dengan kejadian hipertensi (p=0,02, OR=5,76, CI=1,141-29,078) sedangkan asupan MUFA, PUFA, natrium tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi (p>0,05). Kesimpulan : Asupan zat gizi yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada wanita menopause adalah asam lemak jenuh (SFA), sedangkan asupan asam lemak tidak jenuh (MUFA, PUFA) dan natrium dalam penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan dengan kejadian hipertensi.


2015 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 443-449
Author(s):  
Linda Apriaty ◽  
Nuryanto Nuryanto

Latar Belakang: Obesitas merupakan sebuah keadaan dimana terjadi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh, ditunjukan dengan IMT ≥25 kg/m2. Prevalensi obesitas di Indonesia meningkat tiap tahunnya terutama pada wanita. Faktor risiko obesitas antara lain aktivitas fisik, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko obesitas ibu rumah tangga.Metode: Penelitian observational dengan desain case-control pada ibu rumah tangga di RW 02 Kelurahan Bendungan Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, 30 subjek pada tiap kelompok. Obesitas dikategorikan berdasarkan nilai IMT. Data identitas subjek, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluargadiperoleh melalui kuesioner. Data asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein diperoleh melalui Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan data aktivitas fisik diperoleh melalui International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Analisis menggunakan metode Chi Square dengan melihat Odds Ratio (OR).Hasil: Faktor risiko obesitas ibu rumah tangga adalah aktivitas fisik rendah (OR = 5.500; Cl 1.813-16.681; p = 0.002), asupan karbohidrat lebih (OR = 8.636; CI 2.566-29.073; p = 0.000), asupan karbohidrat lebih (OR = 4.030; CI 1.372-11.839; p = 0.010. Asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas.Kesimpulan: Aktivitas fisik rendah, asupan energi lebih, dan asupan karbohidrat lebih merupakan faktor risiko yang bermakna pada kejadian obesitas ibu rumah tangga.


2021 ◽  
Vol 3 (4) ◽  
pp. 331
Author(s):  
Dwi Putri Rahayu Tampubolon ◽  
Lilik Herawati ◽  
Ernawati Ernawati

Abstrak Latar Belakang : Preeklampsia tetap menempati peringkat pertama sebagai penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Surabaya dari tahun 2013-2017 sebesar 28.92 %. Tingginya angka preeklampsia bisa dicegah dengan dilakukannya skrining preeklampsia yang mudah dilakukan pada trimester I dan II yaitu dengan dilakukannya skrining Mean Arterial Presure (MAP), Roll Over Test (ROT), Indeks Masa Tubuh (IMT) di fasilitas kesehatan dasar. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara Skrining Preeklampsia (MAP, ROT, IMT) yang dilakukan pada ibu hamil trimester I dan trimester II serta kejadian preeklampsia. Metode : Penelitian ini adalah penelitian Retrospektif, Case Control dengan sampel pada kelompok kasus yaitu pasien preeklampsia pada saat trimester I dan II yang dilakukan skrining preeklampsia sedangkan untuk kelompok kontrol, ibu hamil normal yang juga dilakukan skrining preeklampsia pada trimester I dan II. Hasil : Didapatkan besar sampel 189 ibu hamil dengan preeklampsia selama 1 tahun, pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Hasil pemeriksaan diperoleh pada kelompok kasus didapatkan pasien dengan MAP (+), ROT (+), IMT (+) berturut-turut adalah 43 (95.6 %), 18 (40 %) dan 18 (40 %), sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh hasil 18 (40 %) sampel MAP (+), 26 (57.8 %) ROT (+), 5 (11.1 %) IMT (+). Hasil uji statistik Chi Square menunjukan adanya hubungan signifikan antara skrining MAP dan IMT dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p berturut-turut (p 0.0001, OR = 32.250 dan p 0.002, OR = 5.333 ), namun tidak didapatkan hubungan antara skrining ROT dengan kejadian preeklampsia (p 0.092 OR = 0.487). Didapatkan hubungan ketiga skrining (MAP, ROT, IMT) dengan kejadian preeklampsia (p 0.001, OR 4.529). Kesimpulan : Pasien MAP (+) dan IMT (+) mempunyai resiko sebesar 32 kali dan 5 kali pada preeklampsia. Skrining ROT (+) tidak mempunyai hubungan dengan kejadian preeklampsia.AbstractBackground: Preeclampsia still ranks first as the cause of the high Maternal Mortality Rate (MMR) in Surabaya from 2013-2017 at 28.92%. The high rate of preeclampsia can be prevented by conducting pre-eclampsia screening that is easy to do in the first and second trimesters by doing Mean Arterial Presure (MAP) screening, Roll Over Test (ROT), Body Mass Index (BMI) in basic health facilities. The purpose of this study was to determine the relationship between Preeclampsia Screening (MAP, ROT, BMI) performed in first trimester and second trimester pregnant women and the incidence of preeclampsia. Methods : This study was a retrospective study, case control with samples in the case group, namely preeclampsia patients during the first and second trimesters of preeclampsia screening, while for the control group, normal pregnant women who were also screened for preeclampsia in the first and second trimester. Results There was a sample of 189 pregnant women with preeclampsia for 1 year, taking samples by consecutive sampling technique. The results of the examination were obtained in the case group obtained patients with MAP (+), ROT (+), BMI (+) respectively 43 (95.6%), 18 (40%) and 18 (40%), while in the control group obtained results of 18 (40%) samples of MAP (+), 26 (57.8%) ROT (+), 5 (11.1%) BMI (+). The Chi Square statistical test results showed a significant relationship between MAP and BMI screening with the incidence of preeclampsia with p values in a row (p 0.0001, OR = 32,250 and p 0.002, OR = 5,333), but no association between ROT screening and the incidence of preeclampsia ( p 0.092 OR = 0.487). Obtained the third screening relationship (MAP, ROT, BMI) with the incidence of preeclampsia (p 0.001, OR 4,529). Conclusion: MAP (+) and BMI (+) patients have 32 times and 5 times higher risk of preeclampsia. Screening for ROT (+) has no relationship with the incidence of preeclampsia.


2013 ◽  
Vol 2 (4) ◽  
pp. 523-530 ◽  
Author(s):  
Kukuh Eka Kusuma ◽  
Nuryanto Nuryanto

Latar Belakang: Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang, ditunjukkan dengan nilai z-score TB/U kurang dari -2SD. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih tinggi terutama pada usia 2-3 tahun. Faktor risko stunting  antara lain panjang badan lahir, asupan, penyakit dan infeksi, genetik, dan status sosial ekonomi keluarga. Stunting terutama pada anak usia diatas 2 tahun sulit diatasi, sehingga penelitian mengenai faktor risiko stunting pada anak usia diatas 2 tahun diperlukan.Metode: Penelitian observasional dengan desain case-control pada balita usia 2-3 tahun di wilayah kecamatan Semarang Timur. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, 36 subjek pada tiap kelompok. Stunting dikategorikan berdasarkan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U). Data identitas subjek dan responden, panjang badan lahir, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Data tinggi badan anak dan tinggi badan orang tua diukur menggunakan microtoise. Analisis bivariat menggunakan Chi-Square dengan melihat Odds Ratio (OR) dan multivariat dengan regresi logistik ganda.Hasil: Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko stunting pada balita usia 2-3 tahun adalah status ekonomi keluarga yang rendah (P = 0,032; OR = 4,13), sedangkan panjang badan lahir, tinggi badan orangtua, dan pendidikan orang tua bukan merupakan faktor risiko stunting.Kesimpulan: Status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian stunting pada balita usia 2-3 tahun. Anak dengan status ekonomi keluarga yang rendah lebih berisiko 4,13 kali mengalami stunting.


2017 ◽  
Vol 6 (3) ◽  
pp. 204
Author(s):  
Annisa Eka Amelia ◽  
Martha Ardiaria ◽  
Hartanti Sandi Wijayanti

Latar Belakang : Angka kejadian menarche dini makin meningkat beberapa tahun terakhir. Menarche yang terlalu dini meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Asupan sugar-sweetened beverage berlebih menyebabkan tingginya kadar hormon seks dan IGF-1 di sirkulasi dan mempercepat menarche. Massa lemak tubuh yang besar berhubungan dengan kadar leptin yang tinggi serta kejadian menarche yang lebih awal. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan asupan sugar-sweetened beverage dan massa lemak tubuh dengan kejadian menarche dini.Metode : Desain penelitian case control dengan jumlah sampel 20 anak perempuan pada setiap kelompok yang berusia 10,1-11,9 tahun dipilih secara consecutive sampling. Data asupan sugar-sweetened beverage dan asupan zat gizi diperoleh menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (SQFFQ), massa lemak tubuh dengan persamaan regresi berdasarkan indeks massa tubuh, usia, dan jenis kelamin, dan aktivitas fisik dengan Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C). Data dianalisis dengan uji Chi-Square dan uji regresi logistik ganda.Hasil : Terdapat hubungan asupan sugar-sweetened beverage (p <0,001), massa lemak tubuh (p 0,003), asupan kalsium (p 0,020), dan aktivitas fisik (p 0,016) dengan kejadian menarche dini. Uji multivariat menunjukkan bahwa hanya asupan sugar-sweetened beverage yang berpengaruh terhadap kejadian menarche dini (p 0,007).Simpulan : Asupan sugar-sweetened beverage dan massa lemak tubuh berhubungan dengan kejadian menarche dini. Asupan sugar-sweetened beverage merupakan faktor risiko kejadian menarche dini.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 59
Author(s):  
Wenny Widyawati ◽  
Dwi Hidayah ◽  
Ismiranti Andarini

<p align="center"><strong>ABSTRAK</strong><strong> </strong><strong></strong></p><p><strong>Pendahuluan</strong><strong>: </strong>Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada balita. Status gizi dapat mempengaruhi kejadian ISPA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan angka kejadian ISPA pada balita usia 1-5 Tahun di Surakarta. Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti hubungan antara status gizi buruk, kurang, baik, lebih, dan obesitas terhadap angka kejadian ISPA.</p><p><strong>Metode</strong><strong>:</strong><strong> </strong>Penelitian observasional analitik dengan desain studi <em>case control</em> dilakukan pada 9 September 2019 sampai 15 Oktober 2019 di RSUD Dr. Moewardi dan puskesmas di Surakarta. Subjek penelitian adalah anak berusia 1–5 tahun dengan diagnosis ISPA dan non ISPA, masing-masing sebanyak 120 sampel. Pemilihan puskesmas dilakukan dengan metode <em>stratified random sampling</em>. Data anak diambil dengan metode <em>consecutive sampling</em>. Penelitian dilakukan dengan mengolah data rekam medis dan melakukan klasifikasi status gizi dengan tabel <em>Z-score</em> WHO. Data kemudian dianalisis menggunakan uji <em>Chi Square</em> dan <em>Odds Ratio</em> (OR).</p><p><strong>Hasil</strong><strong>:</strong><strong> </strong>Terdapat hubungan antara status gizi buruk (OR = 8,63; CI 95% = 1,875–39,714), status gizi kurang (OR = 3,776; CI 95% = 1,586–8,988), dan obesitas (OR = 0,154; CI 95% = 0,032–0,736) dengan angka kejadian ISPA. Sementara, tidak terdapat hubungan antara status gizi lebih (p=0,402) dengan angka kejadian ISPA.</p><p><strong>Kesimpulan</strong><strong>: </strong>Terdapat hubungan antara status gizi buruk, kurang, dan obesitas dengan angka kejadian ISPA pada balita di Surakarta. Namun, tidak terdapat hubungan antara status gizi lebih dengan angka kejadian ISPA pada balita di Surakarta.</p><p align="center"><strong> </strong><strong>ABSTRACT</strong><strong></strong></p><p><strong><em>Introduction</em></strong><strong><em>:</em></strong><strong><em> </em></strong><em>Acute Respiratory Infection (ARI) is one of the causes of death in toddler. Nutritional status can affect the incidence of ARI. The purpose of this study was to determine the relationship between nutritional status and the incidence of ARI in toddler aged 1-5 years old in Surakarta. In this study, researcher will examine the relationship between poor nutritional status, malnutrition, good nutritional status, overweight, and obesity on the incidence of ARI.</em></p><p><strong><em>Methods</em></strong><strong><em>:</em></strong><strong><em> </em></strong><em>An observational analytic approach with a case-control study design was conducted on 9 September 2019 to 15 October 2019 in RSUD Dr. Moewardi and community health centre in Surakarta. Subjects were children aged 1-5 years old who were diagnosed with ARI and non-ARI, each as many as 120 samples. The community health center was selected by using the stratified random sampling method. Children's data was taken by consecutive sampling method. The study was conducted by processing medical record data and classifying nutritional status with the WHO Z-score table. Data were then analyzed using the Chi Square test and Odds Ratio (OR).</em></p><p><strong><em>Result</em></strong><strong><em>s: </em></strong><em>There is a relationship between poor nutritional status (p = 0.001; OR = 8.63; 95% CI = 1.875–39.714), malnutrition (p = 0.002; OR = 3.776; 95% CI = 1.586– 8,988), and obesity (p = 0.019; OR = 0.154; 95% CI = 0.032-0.736) with the incidence of ARI. Meanwhile, there was no relationship between overweight (p = 0.402; OR = 0.417; 95% CI = 0.097–1.8) and the incidence of ARI.</em></p><p><strong><em>Conclusion</em></strong><strong><em>: </em></strong><em>There is a relationship between poor nutritional status, malnutrition, and obesity with the incidence of ARI in toddler in Surakarta, and there is no relationship between overweight with the incidence of ARI in toddler in Surakarta.</em></p>


2014 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 16
Author(s):  
Djunaidi AR ◽  
Bahrun Indrawan

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada tahun 2030 diperkirakan hampir 23,6 juta jiwa meninggal akibat penyakit kardiovaskular yang didominasi oleh PJK dan stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh merokok terhadap PJK pada pasien usia lanjut di Poli Penyakit Dalam RS Muhammad Hoesin Palembang pada tahun 2012. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan case control. Besar sampel sebanyak 240 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu 120 pasien penyakit jantung koroner (PJK) sebagai kelompok kasus dan 120 kasus non PJK. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling. Penelitian ini mendapatkan data bahwa pasien berusia >55 tahun dan merokok yang menderita PJK sebesar 85,1%. Melalui analisis data menggunakan chi square (X²), didapatkan hubungan yang bermakna antara usia >55 tahun dan merokok dengan kejadian PJK (p=0,005), risiko PJK meningkat secara signifikan dengan usia lanjut dan merokok (OR=14,795) dibandingkan dengan responden berusia <55 tahun dan tidak merokok. Kesimpulan, merokok merupakan faktor risiko terhadap timbulnya PJK pada pasien usia lanjut.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document