scholarly journals TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM DISTRIBUSI DAN DISTRIBUSI OBAT TRADISIONAL MENURUT PERMENKES NO. 006 TAHUN 2012 TENTANG INDUSTRI DAN USAHA OBAT TRADISIONAL

2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 52-61
Author(s):  
Ridha Kurniawan

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia karena tanpa  kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Pengobatan tradisional bukan lagi merupakan hal yang  baru  di  Indonesia, bahkan keberadaannya semakin menjamur seiring dengan ditemukannya berbagai khasiat dari bahan-bahan yang diperkirakan dapat memperbaiki atau mempertahankan derajat kesehatan manusia, meskipun bahan-bahan tersebut belum melalui uji klinis terkait khasiatnya. Pada kategori jamu, biasanya obat tradisional yang satu ini memiliki bukti berupa data empirik, yaitu bukti akan manfaat yang didasarkan pada pengalaman masyarakat yang telah mengkonsumsi jamu secara turun-temurun. Walaupun hanya memiliki bukti empiris tetapi tetap ada prosedur penilaian seperti penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik dan pemeriksaan terhadap kontaminasi mikroba yang telah ditetapkan oleh BPOM. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Dan Pendekatan Sejarah (Historical Approach). Obat Tradisional yang beredar di masyarakat masih ada yang tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Balai Besar Pengawas Obat  dan Makanan, yaitu dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang meliputi penjabaran proses pembuatan obat tradisional, validasi perubahan di setiap tahap proses, pemenuhan sarana termasuk distribusi obat tradisional dan system penarikan kembali obat tradisional dari distribusi apabila terdapat cacat.

2018 ◽  
Vol 18 (2) ◽  
pp. 222
Author(s):  
Abd. Shomad ◽  
Rahadi Wasi Bintoro

Religious court as forefront in economic sharia dispute resolution in litigation has not ideal place to perform their duty since there are still regulation conflicts such as implementation of encumbrance right execution which still becomes a domain in district court. As explained, this article discusses phi-losophical foundation of Religious Court competence to resolve economic sharia issues. In regard to this, conceptual approach, law approach and historical approach are respectively used. Based on the analysis, basic competence of religious court is Islamic personality principle which carries the use of Islamic law elements (sharia principle) in its legal relationship. From the analysis the implication is drawn that as long as a dispute belongs to economic sharia, then it is Religious Court which is com-petent to handle including court decision.Keywords: law enforcement, economic sharia dispute, absolute competence, court decision implementation


Author(s):  
Anna Triningsih

<p>Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai memiliki problem substantif/materil akibat materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan (Rancangan Undang-Undang) RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, dengan tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Penelitian ini menggunakan metode normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep ( conceptual approach ), dan pendekatan historis ( historical approach ). Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi. Pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan berpijak pada rambu-rambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.</p><p>Law Number 17 Year 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (MD3 Law) after the decision of the Constitutional Court (MK) is considered to have a substantive problem due to the substance that is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution), which resulted in the constitutional loss of Regional Representatives Council (DPD), including the reduction of DPD authority to propose draft bills, to discuss draft bills and the reduction in its authority as the regional representative institution. This shows that the drafting of MD3 Law is obviously not respecting the decision of the Court that is mandated by the 1945 Constitution as the interpreter and guardian institution of the constitutional, by not respecting, obeying and implementing MK’s decision which indicates non-compliance with the decision of the state institution that has been designated to guard the purity of the constitution implementation of the constitution. This study uses normative method with statute approach, conceptual approach and a historical approach. The noncompliance of the drafting of MD3 Law towards the MK’s decision is a denial of MK and this development is a step back of Reformation. The legislators, in this case, the House of Representatives (DPR) and the President should immediately amend the Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations based on the MK’s Decision No. 92/PUU-X/2012. </p>


2016 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
Author(s):  
Sefriani

<p align="center"><strong><em>Abstract</em></strong></p><p><em>Post- cold war the number ofmilitary privatization has been raising with many role in .This raises legal problemrelated to the legal status of PMSCs contractors. The method used is a normative legal research with statute approach, the historical approach, conceptual approach, as well as the comparative approach. Results of the study are presented in the form of descriptive analysis. The study concluded that generally the contractors are civilian unless and during they aredirectlyparticipatein thehostilities.</em></p><p><strong><em>Key world: </em></strong><em>PMSCs contractor; legal status; direct participation</em></p><p align="center"><strong>Abstrak</strong></p><p>Pasca perang dingin terjadi peningkatan privatisasi militer dengan banyaknya penggunaan kontraktor <em>Private Military and Securites </em>Companies PMSCs untuk berbagai peran di wilayah-wilayah konflik. Hal ini menimbulkan masalah hukum terkait status hukum kontraktor tersebut mengingat belum jelasnya aturan yang ada.Metode penelitianyang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan <em>statute approach</em>, <em>historical</em>, c<em>onceptual </em>dan <em>comparative approach </em>yang disajikan secara deskriptif analitis. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa secara umum dikatakan kontraktor PMSc adalah civilian yang berhak atas perlindungan dari penyerangan langsung kecuali dan selama mereka ambil bagian langsung dalam permusuhan..</p><p><strong>Kata kunci: </strong>kontraktor PMSCs, status hukum, partisipasi langsung</p>


Author(s):  
Sefriani ,

<p>Abstract<br />Post- cold war the number ofmilitary privatization has been raising with many role in .This raises legal problemrelated to the legal status of PMSCs contractors. The method used is a normative legal research with statute approach, the historical approach, conceptual approach, as well as the comparative approach. Results of the study are presented in the form of descriptive analysis. The study concluded that generally the contractors are civilian unless and during they aredirectlyparticipatein thehostilities.<br /><em>Key world: PMSCs contractor; legal status; direct participation</em></p><p>Abstrak<br />Pasca perang dingin terjadi peningkatan privatisasi militer dengan banyaknya penggunaan kontraktor Private Military and Securites Companies PMSCs untuk berbagai peran di wilayah-wilayah konflik. Hal ini menimbulkan masalah hukum terkait status hukum kontraktor tersebut mengingat belum jelasnya aturan yang ada.Metode penelitianyang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan statute approach, historical, conceptual dan comparative approach yang disajikan secara deskriptif analitis. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa secara umum dikatakan kontraktor PMSc adalah civilian yang berhak atas perlindungan dari penyerangan langsung kecuali dan selama mereka ambil bagian<br />langsung dalam permusuhan..<br /><em>Kata kunci: kontraktor PMSCs, status hukum, partisipasi langsung</em></p>


Author(s):  
I Ketut Sudantra

On 2017, Minister of Agrarian Affair and Spatial/Head of National Land Agency of Indonesia enacted a decision that point desa pakraman on Bali Province as communal owner right subject of the land. That decision was causing a certain implication that important to study. This research was aimed to discuss implication of those decisions on the position of land owned by desa pakraman in Bali. This research was carried out through a normative legal study method with using statute approach, conceptual approach, and historical approach. On behalfs of discussion of a problem, this research use source on a form of legal material (primary and secondary) and non-legal material. After going through discussion and analysis, finally, it can be concluded that the Minister’s Decision above can have both positive and negative implication on the position of desa pakraman’s land in Bali. The positive implication has happened because that decision can give legal certainty and certainty of right on a position of desa pakraman’s land (tanah druwe desa). On the flipside, the application of that Minister’s Decision can have negative implication if desa pakraman’s lands that were been given to a member of desa pakraman (krama desa), which were tanah pekarangan desa and tanah ayahan desa, were registered as owned individually by the member of desa pakraman. Tahun 2017 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan keputusan yang menunjuk desa pakraman di Provinsi Bali sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal) atas tanah. Keputusan Menteri itu menimbulkan implikasi tertentu yang penting diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk membahas implikasi Keputusan Menteri di atas terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman di Bali. Penelitian dilakukan melalui metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Untuk kepentingan pembahasan masalah, dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber  penelitian berupa bahan hukum (primer dan sekunder) dan bahan-bahan non-hukum. Setelah melalui pembahasan dan analisis, akhirnya dapat disimpulkan bahwa Keputusan Menteri di atas dapat berimplikasi positif dan negatif terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman di Bali. Implikasi positif terjadi karena Keputusan Menteri tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian hak terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman (tanah druwe desa). Di sisi lain, pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dapat berimplikasi negatif apabila tanah-tanah milik desa pakraman yang telah diserahkan pengelolaannya kepada perseorangan anggota desa pakraman (krama desa), yaitu tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa, didaftarkan atas nama  perseorangan anggota desa pakraman.


2019 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
pp. 348-363
Author(s):  
Syahzevianda Syahzevianda ◽  
Yanis Rinaldi ◽  
Teuku Muttaqin Mansur

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaturan tentang batas wilayah desa yang berlaku di Aceh sebagai salah satu daerah otonomi khusus yang menjalankan fungsi pemerintahan di Daerah. Penelitian ini akan menganalisa secara aspek yuridis antara regulasi pelaksanaan penetapan batas wilayah desa secara nasional terkait dengan Pelaksanaan pemerintahan yang bersifat khusus di Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan penelitian perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan konsep. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang dianalisa secara preskriptif kualitatif melalui asas-asas hukum dan teori-teori yang berkaitan dengan perundang-undangan dan desentralisasi asimetris. Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa: pengaturan kebijakan dibidang batas wilayah desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 yang merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang bersifat khusus dibidang pengaturan kebijakan terkait desa, pengaturan penegasan batas wilayah desa tidak mengakomodir kedudukan lembaga Mukim di Aceh.This study aims to analyze the regulation of village boundaries that apply in Aceh as one of the special autonomous regions that carry out the functions of government in the Region. This research will analyze the juridical aspects between the regulations on the implementation of national village boundary setting related to the implementation of special government in Aceh. This research is a normative juridical research, using a statutory research approach, historical approach and conceptual approach. The type of data in this study is secondary data consisting of primary legal material in the form of legislation which is analyzed qualitatively prescriptively through legal principles and theories relating to legislation and asymmetric decentralization. Based on the results and discussion in the study it can be concluded that: policy settings in the area of village boundaries based on Minister of Home Affairs Regulation No. 45 of 2016 which is an order of Law Number 6 of 2014 concerning Villages, are not in accordance with Law No. 11 of 2006 concerning The Aceh Government (UUPA) which is specifically in the field of village-related policy arrangements, the regulation of confirming village boundaries does not accommodate the position of the Mukim institution in Aceh.


2018 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
pp. 307
Author(s):  
Oce Madril

The New Order government led by President Soeharto was supposed to be a regime that would ameliorate the abuse of power conducted by the previous government. One of the important agendas for the New Order government was overcoming the issues regarding the abuse of authority and corruption in the government sector. Several legislations, Presidential legal policies and institutions were formed to carry out such mission. However, the New Order government eventually failed and became a corrupt regime. This study concludes that notwithstanding Indonesia theoretically had an institutional framework to combat corruption under the New Order government, it failed to eradicate corruption. The failure of anti-corruption policies under the New Order era was caused by 3 forms of failure. Firstly, the failure to build a democratic and anti-corruption presidential power. Secondly, the failure to build a comprehensive anti-corruption policy. Thirdly, the failure to build an effective anti-corruption agency. The method employed in this study is a combination of several approaches between the statutory approach, historical approach and conceptual approach. The main data used in this study is the literature which are consists of previous research, legislation and Presidential policies.


2017 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 7
Author(s):  
Joejoen Tjahjani

Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu, Bagaimana pengangkatan anak menurut Peratuan Pemerintah No 54 Tahun 2007? dan Bagaimana kedudukan harta waris orang tua terhadap anak angkat menurut Hukum Positif?Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif (hukum normatif), yaitu suatu langkah atau prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, Menurut PP No. 54 Tahun 2007 mengatur tentang Tata Cara sahnya pengangkatan anak yang harus menempuh jalur formal. Eksistensi dari pada PP tersebut juga mengenal pengangkatan anak secara adat istiadat masayarakat setempat, disamping pengangkatan anak secara undang-undang. Sehingga kedudukan anak yang diangkat secara adat juga diakui secara sah. Sedangkan Kedudukan anak angkat menurut hukum positif tetap sebagai anak angkat yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Untuk Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua menurut Hukum Positif alangkah baiknya orang tua angkat memberi hak yang sama terhadap anak angkat termasuk juga mengenahi kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak angkat dalam warisan harta orang tua.Keywords : Anak Angkat, Harta Waris, Hukum Positif


2020 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 142-153
Author(s):  
Dewa Gede Sudika Mangku

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pemberian Persona non Grata oleh Pemerintah Indonesia kepada Atase Militer Uni Soviet dan mengetahui dan menganalisis penyelesaian kasus antara Uni Soviet dan Indonesia terkait tindakan spionase yang dilakukan oleh Atase Militer Uni Soviet. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, maka pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan sejarah (historical approach), sumber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dengan teknik argumentasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan (1) Pemerintah Indonesia dalam pemberian status Persona non Grata kepada Atase Militer Uni Soviet telah sesuai dengan Konvensi Wina 1961, (2) langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan Uni Soviet dalam penyelesaian kasus spionase yang dilakukan Atase Militer Uni Soviet yaitu melalui jalur negosiasi.


Author(s):  
Atmari Atmari ◽  
Budiarsih Budiarsih ◽  
Slamet Suhartono

Labor law in Indonesia has not comprehensively provided protection for the rights of resigning workers qualification. Since provisions of labor law does not mention the amount of separation pay for resigning workers. This research is conducted to analyze and find the ratio legis in providing separation pay for resigning workers in the Manpower Act and also the concept of giving separation pay to resigning workers in justice perspective. The research method used in this study is normative legal research by using several approach including philosophical approach, purposive approach, conceptual approach, case approach and historical approach. The result of the study shows that the regulation of separation pay in the Manpower Act is a form of reward for workers given by employers as a reward for devotion and loyalty of workers during a certain period of service. The Regulation of separation pay for resigning workers which reflecting justice is by formulating separation pay for resigning workers equal to the rights of terminated workers because of committing criminal act.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document