Ketahanan Bisnis Perkeretaapian di Masa Pandemi COVID - 19
Pembatasan operasional kereta api di masa pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan volume dan pendapatan angkutan penumpang KA di Indonesia sekitar 53%, sementara angkutan barang mengalami penurunan sekitar 5% dibandingkan tahun 2019. Kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengatasi dampak pandemi mencakup Optimasi Operasi yang berbasis efisiensi operasi, serta Adaptasi Pandemi yang berbasis minimalisasi kondisi 3C (Closed Space, Crowded Place, Closed Contact Setting). Dampak penerapan kebijakan tersebut perlu disimulasikan pengaruhnya terhadap biaya operasi (BO) dan pendapatan operasi (PO). Hasil perbandingan nilai PO dan BO (POBO), menjadi indikator seberapa kuat bisnis perkeretaapian mampu bertahan di masa pandemi. Nilai POBO di atas 1,0 menunjukkan bisnis masih mampu mencapai Break Event Point (BEP) yang berarti operator mampu mencapai pendapatan setara dengan biaya (tetap dan variabel). Titik kritis operasi perkeretaapian terjadi pada shutdown point yang menunjukkan pendapatan tidak mampu menutupi biaya tetap (fixed cost). Pada nilai shutdown point, bisnis perkeretaapian dikhawatirkan akan berhenti. Hasil perhitungan menunjukkan nilai POBO kedua kebijakan adalah 1,08 (kebijakan optimasi) dan 1,09 (kebijakan adaptasi pandemi). Profil ini menunjukkan ketahanan bisnis perkeretaapian berada pada ambang batas nilai Break Event Point (BEP), jauh di bawah nilai POBO pada tahun-tahun sebelum. Hal ini memperlihatkan bahwa dampak pandemi sangat signifikan terhadap cash flow perusahaan. Titik kritis shutdown point terjadi pada volume barang dan penumpang hingga sebesar 40% dibandingkan tahun 2019. Volume tersebut lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini yaitu volume penumpang sebesar 50,5% - 55,5%; serta volume barang sebesar 81,5% dibandingkan volume tahun 2019. Besaran ini menunjukkan bahwa bisnis perkeretaapian masih memiliki daya tahan sebelum mengalami titik kritis shutdown point.