Widya Bhumi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

6
(FIVE YEARS 6)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

1412-7318

Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 65-85
Author(s):  
Zahril Trinanda Putra ◽  
Aristiono Nugroho ◽  
Ahmad Nashih Luthfi

The implementation of agrarian reform to date has not been maximized due to the existence of sectoral egos and lack of coordination between related sectors / ministries. The institutional formation of the GTRA is expected to be able to unite across sectors of the relevant ministries / institutions. In Central Lampung Regency there are many land issues on HGU land and transmigration land which will later become the priority location of the Agrarian Reform Land (TORA). The Central Lampung BPN target in 2020 as many as 3,000 plots of land will be distributed to the public. It is hoped that the existence of GTRA can support the achievement of these targets. This study aims to determine the role of GTRA, obstacles and how to overcome obstacles in implementing agrarian reform in Central Lampung Regency. The research method used is qualitative with a descriptive approach. The results showed that budget limitations and the existence of an institutional sectoral ego led to impeded implementation of asset management and access structuring. A strong commitment from all GTRA implementers is needed in carrying out all agrarian reform programs. If not, the GTRA will be the same as the previous institution which only changed its name.Keywords: Agrarian Reform, GTRA, TORA Intisari: Pelaksanaan reforma agraria sampai saat ini belum maksimal dikarenakan adanya ego sektoral dan kurangnya koordinasi antara lintas sektor kementerian/lembaga terkait. Pembentukan kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) diharapkan mampu menyatukan lintas sektor kementerian/lembaga terkait. Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat banyak permasalahan tanah pada tanah HGU dan tanah transmigrasi yang nantinya dijadikan lokasi prioritas Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Target BPN Kabupaten Lampung Tengah tahun 2020 sebanyak 3.000 bidang tanah akan direditribusikan ke masyarakat. Harapannya dengan adanya GTRA dapat mendukung capaian target tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran GTRA, kendala dan cara mengatasi kendala dalam pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Lampung Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa keterbatasan anggaran dan adanya ego sektoral kelembagaan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penataan aset dan penataan akses. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh pelaksana GTRA dalam menjalankan seluruh program reforma agraria. Jika tidak maka GTRA akan sama saja dengan kelembagaan sebelumnya yang hanya berganti nama.Kata Kunci: Reforma Agraria, GTRA, TORA


Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 13-24
Author(s):  
Dian Dewi Khasanah

The role of electronic evidence, namely electronic certificates as part of electronic documents in civil cases, is still questionable. The presence of the Electronic Information and Transactions Law, which is the legal umbrella for the validity of electronic certificates, apparently still raises pros and cons, even in the eyes of law enforcers, therefore more specific regulations are needed so that the validity and strength of proof of electronic certificates are no longer questioned in court proceedings, especially civil cases. Electronic certificate or also known as electronic land certificate as one of the products from The Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency which is currently being discussed will implement a media transfer process from analog to digital form. For this reason, it is necessary to prepare further regarding regulations to regulate how the later position and strength of evidence from electronic land certificates in Civil Procedure Law as an extension of evidence in civil cases. The method used in writing this scientific paper is legal research with the socio-legal method, namely by normatively examining the regulations regarding the Information dan Electronic Transaction of law in which have been used in civil proceedings in court and by looking at the existing norms and responses that are developing in the community. In the provisions of Article 6 of the Electronic Information and Transactions Law, an electronic document is considered valid if it is accessible, displayable, assured as to its integrity, and accountable. However, because it does not have perfect evidentiary power, it is necessary to accelerate the discussion of the Draft Civil Procedure Law, so that electronic land certificates as part of electronic documents have perfect evidentiary power in court, especially in civil cases.Keywords: Electronic Land Certificate, Evidence, Civil Procedure Law Intisari: Peran alat bukti elektronik yaitu sertipikat elektronik sebagai bagian dari dokumen elektronik dalam perkara perdata sampai saat ini masih dipertanyakan keabsahannya. Kehadiran UU ITE yang menjadi payung hukum dari keabsahan sertipikat elektronik rupanya masih menimbulkan pro dan kontra, bah­kan di mata penegak hukum, oleh karenanya dibutuhkan regulasi yang lebih spesifik agar keab­sahan dan kekuatan pembuktian dari sertipikat elektronik tidak lagi dipertanyakan dalam beracara di pengadilan khususnya perkara perdata. Sertipikat elektronik atau dapat juga disebut sertipikat tanah elektronik sebagai salah satu produk dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang saat ini sedang diwacanakan akan diberlakukan atau akan dilaksanakan proses alih media dari bentuk analog ke bentuk digital. Untuk itu perlu dipersiapkan lebih lanjut menge­nai regulasi untuk mengatur bagaimana nantinya kedudukan dan kekuatan pembuktian dari sertipikat tanah elektronik dalam Hukum Acara Perdata sebagai perluasan alat bukti pada perkara perdata. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum dengan metode sosio legal, yaitu dengan mengkaji secara yuridis normatif berbagai ketentuan perundang-undangan dan pengaturan mengenai dokumen elektronik yang selama ini dapat digunakan dalam beracara secara perdata di pengadilan serta dengan melihat norma dan respon yang ada dan berkem­bang di tengah masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 6 UU ITE, suatu dokumen elektronik dianggap sah apabila dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun karena belum memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, maka perlu segera dipercepat pemba­hasan mengenai Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, agar sertipikat tanah elektronik sebagai bagian dari dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di muka pengadilan khususnya perkara perdata.Kata Kunci: Sertipikat Tanah Elektronik, Pembuktian, Hukum Acara Perdata


Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 39-57
Author(s):  
Febri Yudhanto ◽  
Priyo Katon Prasetyo ◽  
Sudibyanung Sudibyanung

Land Acquisition  Law Article 15 Paragraph (1) of Law Number 2 of 2012 concerning Land Acquisition  for  Development in  the  Public  Interest  regulates  the  Land  Acquisition  Planning Document (DPPT) which at least contains the purpose and objectives of the development plan, conformity with the the spatial plan and National and Regional Development Plans, land layout, land area needed, general description of land status, estimated time of land acquisition, estimated time of construction, estimated land value and budgeting plan. DPPT documents became the basic of Land  Acquisition for location determination and anvancing process. Karian Land Aqcuisition is taken as an case study in this research. Karian Dam whose land acquisition began in 2007, until 2020 land acquisition has not yet been completed. Government regulations Number 37 Year 2010 regulating about dams will also be used as material for evaluations. DPPT Karian Dam was compiled in 2016. The purpose of this study was to evaluate the suitability of the 2016 Karian Dam (DPPT) with 73 Criteria for Land Acquisition and  Government Regulations. This research uses a qualitative research method with a descriptive approach. The results of this study 14 criteria are suitable and 59 criteria are not suitable. With dominant points that are not appropriate, namely: (a) General Description of Land Status, (b) Estimated Time of Land Acquisition, (c) Estimated Time of Development Implementation; (d) Estimated Land Value, (e) Budgeting Plan.Keywords: Land Acquisition, Conformity, Dams, Evaluations. Intisari: Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengatur tentang Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yang paling sedikit memuat maksud dan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan RTRW dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah, letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan, perkiraan nilai tanah dan rencana penganggaran. DPPT tersebut yang akan menjadi dasar bagi pelaksanaan Penetapan Lokasi dan proses lanjutan pengadaan tanah. Sebagai studi kasus maka diambil pelaksanaan pengadaan tanah Bendungan Karian. Bendungan Karian yang pengadaan tanahnya dimulai dari tahun 2007, sampai dengan tahun 2020 belum dapat diselesaikan pengadaan tanahnya. PP Nomor 37 Tahun 2010 mengatur tentang Bendungan akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan evaluasi. DPPT Bendungan Karian disusun pada tahun 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi Kesesuaian DPPT Bendungan Karian Tahun 2016 dengan 73 Kriteria Peraturan Perundang- Undangan Pengadaan Tanah dan PP tentang Bendungan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan dekriptif. Hasil dari penelitian ini 14 kriteria sesuai dan 59 kriteria tidak sesuai. Dengan poin dominan yang tidak sesuai yaitu: (a) Gambaran Umum Status Tanah, (b) Perkiraan Waktu Pelaksanaan Pengadaan Tanah, (c) Perkiraan Waktu Pelaksanaan Pembangunan; (d) Perkiraan Nilai Tanah, (e) Rencana Penganggaran.Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Kesesuaian, Bendungan, Evaluasi.


Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 25-38
Author(s):  
Koes Widarbo

The redistribution of land as a means of agrarian reform in Trumben Village, Bandar District, Batang, Central Java Province comes from the former HGU No.1 Tratak.  The former HGU was successfully processed into State General Reserves Land (TCUN), then became Landreform Object Land covering an area of  ?79.8410 hectare since December 11th, 2015. The object was given to 425 heads of farmer families who had been working on the land. Each farmer receives one plot of land and cannot be transferred without hot official permits. Post-land redistribution, since 2018 the construction of Study Education Outside the Main Campus (PSDKU) UNDIP has begun. In line with this, problems arise, including the transfer of redistribution land ownership to external parties without permission, and the existence of agricultural land parcels for residential houses in the redistribution area. The purpose of this research is to see whether the UNDIP campus construction occurs in the rules of land redistribution transfer and how the alternative solutions to the existing problems. This study used an empirical juridical method with qualitative descriptive data analysis. The conclusion of this research is that the PSDKU development has an impact on the transfer of ownership and changes in the use of agricultural land to non-agricultural.Keywords: agrarian reform, former HGU Tratak, illegal housing Intisari: Redistribusi tanah sebagai salah satu wujud penyelenggaraan  reforma agraria di Desa Trumben, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah berasal dari bekas HGU No. 1 Tratak. Bekas HGU tersebut kemudian diproses  menjadi Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN), dan selanjutnya ditetapkan menjadi Obyek Landreform seluas 79,8410 hektar sejak Tanggal 11 Desember 2015. Objek tersebut diberikan kepada 425 kepala keluarga petani yang selama ini menggarap tanah tersebut. Masing-masing petani menerima satu bidang tanah Hak Milik (HM) dan tidak boleh dialihkan tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasca redistribusi tanah tersebut, sejak tahun 2018 telah dimulai pembangunan Pendidikan Studi Di luar Kampus Utama (PSDKU) UNDIP.  Sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan, antara lain adanya peralihan kepemilikan tanah redistribusi kepada pihak eksternal tanpa izin, serta adanya pengkaplingan tanah pertanian untuk rumah tinggal dalam area redistribusi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembangunan kampus UNDIP mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap aturan peralihan tanah redistribusi tersebut serta bagaimana alternatif solusi dari permasalahan yang ada. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan yuridis empiris. Kesimpulan  dari penelitian ini adalah pembangunan PSDKU berdampak pada peralihan kepemilikan dan perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian.Kata Kunci; Reforma Agraria, Bekas HGU Tratak, dan perumahan illegal


Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 58-64
Author(s):  
Nur Rahmanto

In essence, every citizen has the right to know about all activities or policies carried out by public officials, this is in addition to the right to obtain information, it is a human right as well as a means of public control over government administration, but the right to obtain this information is often There are obstacles both in terms of regulations and unsupportive behavior of public officials. Law Number 14 of 2008 (UU KIP) which regulates the issue of public information disclosure in its implementation conflicts with Permenagraria / Ka BPN Number 3 of 1997, in which the regulation of the Minister of State for Agrarian Affairs regulates restrictions on restrictions in providing information on land data which are often inconsistent with with the regulation of public information disclosure regulated in the KIP Law, so that the public does not immediately get information on land data which in turn will lead to a lawsuit from the public to the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning / BPN at the Information Commission and State Administrative Court. By using the desk study method, this paper will examine the information disclosure arrangements stipulated in the two regulations referred to as well as the conflicts that occur both in the articles of the contents of the regulations and in their implementation practices so that solutions or recommendations will be obtained so that public information disclosure can run properly in Indonesia country.Keywords: public information disclosure, data sharing, land data . Intisari: Setiap warga masyarakat pada hahekatnya adalah berhak untuk tahu mengenai semua kegiatan atau kebijakan yang dilakukan oleh pejabat publik, hal ini selain hak untuk memperoleh informasi itu adalah hak asasi setiap manusia juga sebagai sarana kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi hak untuk memperoleh informasi ini sering ada kendala baik dari sisi regulasi maupun perilaku petugas publik yang tidak mendukung. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU KIP) yang mengatur masalah keterbukaan informasi publik dalam pelaksanannya berbenturan dengan Permenagraria/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997, dimana di dalam peraturan Menteri Negara Agraria dimaksud diatur mengenai pembatasan pembatasan dalam memberikan informasi data pertanahan yang seringkali tidak sejalan dengan pengaturan keterbukaan informasi publik yang diatur di dalam UU KIP, sehingga masyarakat tidak serta merta bisa mendapatkan informasi data pertanahan yang pada akhirnya akan memunculkan gugatan dari masyarakat kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN di Komisi Informasi  dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan menggunakan methode desk study tulisan ini akan mengkaji pengaturan keterbukaan informasi yang diatur di dalam kedua peraturan dimaksud serta pertentangan yang terjadi baik di dalam pasal pasal isi peraturan maupun di dalam praktek pelaksanaannya untuk selanjutnya akan diperoleh solusi atau rekomendasi sehingga keterbukaan informasi publik dapat berjalan dengan baik di Negara Indonesia.Kata Kunci: keterbukaan informasi publik, berbagi data, data pertanahan.


Widya Bhumi ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Reza Nur Amrin ◽  
Haidar Muttaqy Zaen ◽  
Muhammad Prayoga Dwi Nugraha ◽  
Prihariyanda Putra ◽  
Rifqian Izza Zaini ◽  
...  

The results of the Population Census 2020 show that there is an uneven distribution of the population in Indonesia. This raises a different typology of land problems between high population and low population density areas. A small population with a large area can cause problems with the amount of land that is not properly managed. This paper aims to examine land problems from one of the conditions in the area, that is an area with a low population density. The research data comes from online and offline sources regarding population and land. Literature study with qualitative descriptive analysis is used in analyzing land problems. Land problems that can occur in areas with low population density, namely: the existence of maximum excess land area and ownership of the number of lands that exceed the provisions, potential problems in implementing transmigration, and low community interest in the land registration program. Alternative solutions that can be offered include increasing public trust in state administrators, namely by improving the quality of pre-land registration socialization, the performance of land registration services, and empowerment for the community after land registration.Keywords: low population density, land problems, maximum excess land Intisari: Hasil dari Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa terdapat persebaran penduduk yang tidak merata di wilayah Indonesia. Hal tersebut menimbulkan tipologi permasalahan pertanahan yang berbeda antara wilayah berkepadatan penduduk tinggi dengan berkepadatan penduduk . Penduduk yang sedikit dengan luas wilayah yang besar dapat menimbulkan permasalahan banyaknya tanah yang tidak terurus dengan baik. Tulisan ini bertujuan mengkaji permasalahan pertanahan pada wilayah dengan kepadatan penduduk rendah. Data penelitian berasal dari sumber online dan offline mengenai kependudukan dan pertanahan. Studi literatur dengan analisis deskriptif kualitatif digunakan dalam menganalisis permasalahan pertanahan. Permasalahan pertanahan yang bisa terjadi pada daerah kepadatan penduduk yang rendah, yaitu: adanya tanah kelebihan luas maksimum dan kepemilikan jumlah bidang tanah yang melebihi ketentuan, masalah pelaksanaan transmigrasi, dan minat masyarakat yang rendah pada program pendaftaran tanah. Alternatif solusi yang dapat ditawarkan antara lain adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara yakni dengan cara meningkatkan kualitas sosialisasi pra pendaftaran tanah, kinerja pelayanan pendaftaran tanah, pemberdayaan bagi masyarakat pasca pendaftaran tanah.Kata Kunci: kepadatan penduduk rendah, permasalahan pertanahan, tanah kelebihan maksimum


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document