Forum Arkeologi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

79
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kemdikbud

2527-6832, 0854-3232

2021 ◽  
Vol 34 (2) ◽  
pp. 127
Author(s):  
Atina Winaya

Indian culture presents a massive influence in the Early Classic Period in Java. One of the traces found in arts. However, which part of Indian art influenced is rarely mentioned. Some scholars said it was Gupta Art’s influence enormously in the Early Classic Period. Is it just Gupta Art? or another else? This paper aims to add knowledge about another Indian art, namely Pāla Art, which also presents in the Early Classic Period. The style of Pāla Art affects the depiction of Candi Mendut’s sculptures. The data collection using observation techniques and description as well. The data analysis using a qualitative approach by descriptive analysis methods. And finally, the data interpretation using the results of comparative studies. The conclusion reveals the similarities between both data. However, Candi Mendut’s sculptures did not entirely absorb the foreign influences, but they show authentic attributes known as a character of classical Javanese Art. Kebudayaan India memberikan pengaruh yang besar terhadap periode Klasik Tua di Jawa. Jejak kebudayaan India, salah satunya nampak pada bentuk-bentuk kesenian. Meskipun demikian, selama ini jarang disebutkan secara terperinci kesenian India mana saja yang memengaruhi kesenian Jawa klasik. Beberapa ahli berpendapat bahwa kesenian Gupta yang memberikan pengaruh besar terhadap bentuk kesenian Jawa pada periode Klasik Tua. Namun, benarkah hanya kesenian Gupta semata? Tulisan ini bertujuan untuk menambahkan pengetahuan mengenai gaya seni India lainnya, yakni kesenian Pāla, yang juga ditemui pada periode Klasik Tua. Pengaruh kesenian itu terlihat pada penggambaran arca-arca candi Mendut. Telaah dihasilkan melalui tahapan kerja yang bertingkat-tingkat, dimulai dari pengumpulan data dengan cara mengamati dan mendeskripsikan data; pengolahan data melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis deskriptif; serta penafsiran data berdasarkan hasil studi komparasi. Simpulannya memperlihatkan persamaan gaya seni yang membuktikan bahwa kesenian Pāla memberikan pengaruhnya terhadap gaya seni arca Candi Mendut. Meskipun demikian, pengaruh kesenian Pāla tidak serta merta diserap secara utuh, melainkan terdapat ciri khas yang ditemui pada arca Candi Mendut yang menjadikannya sebagai karakter kesenian Jawa klasik.


2021 ◽  
Vol 34 (2) ◽  
pp. 67
Author(s):  
Muhamad Alnoza ◽  
Desfira Ramadhania Rousthesa ◽  
Garin Dwiyanto Pharmasetiawan

Maeda’s house is one of colonial houses with layout and furnitures that are still remained and maintained today. Through Maeda’s house, we could still study its inhabitants social values that are reflected from their remains. This study seeks to reconstruct the social values that existed at that time, through the spatial arrangement of Maeda’s house using household archaeology. The method used in analysing this problem consists of data collection, analysis and interpretation. Based on the studies that have been carried out, it can be seen that the spatial arrangement in Maeda’s house is related to the social class of its residents. Spatial planning in this case also includes accessibility, room size and facilities. This study also provides an overview of the hierarchical figure of Maeda in managing his house, as well as showing examples of the arrangement of luxury houses in Menteng during his time. Rumah Laksamana Maeda merupakan rumah yang kaya akan sejarah dalam perjalanan Indonesia menjadi negara. Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Rumah Laksamana Maeda adalah tata ruang dan perabotannya yang masih terjaga hingga sekarang. Rumah Laksamana Maeda dapat dikatakan masih mencerminkan nilai sosial yang ada pada masa itu. Kajian ini berusaha untuk merekonstruksi nilai sosial yang ada pada masa itu, melalui penataan ruang rumah Maeda dengan menggunakan paradigma arkeologi rumah. Metode yang digunakan dalam menjawab masalah ini terdiri dari pengumpulan data, analisis dan interpretasi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa penataan ruang di rumah Maeda berkaitan dengan kelas sosial para penghuninya. Penataan ruang dalam hal ini adalah juga termasuk aksesibiltas, ukuran ruang dan fasilitas. Kajian ini juga memberikan gambaran mengenai sosok Maeda yang bersifat hirarkis dalam menata rumahnya, sekaligus juga menunjukkan contoh pola penataan rumah mewah di Menteng pada masanya.


2021 ◽  
Vol 34 (2) ◽  
pp. 113
Author(s):  
Ashwin Prayudi ◽  
Rusyad Adi Suriyanto

This study discusses human remains from the Bendahara, Tamiang, which is located in Aceh. There is no information regarding the exact location and the date of this site. It can be ascertained that this skeleton originated from prehistoric periods based on the dental modifications evidences. This aims of this study is to identify the human remains from the Bendahara, Tamiang, Aceh by looking at sex, age at death, disease and the influences of cultural and environmental which recorded on the skeletons. This study used macroscopic and paleopathological analysis methods. The results of this study are this individual was female based on her skull. Her age at death between 20-30 years old. The abnormalities that these individuals have are only presents in their teeth, such as dental calculus, dental modification, and unbalanced attrition. This condition indicates that this individual predominantly chewing using one of the lateral sides of the mouth. If we connected her young age at death with the attrition, it is possible that this individual uses the right side of his teeth as a tool. Penelitian ini mendiskusikan sisa-sisa manusia dari Bendahara, Tamiang yang terletak di Aceh. Tidak terdapat keterangan mengenai lokasi pasti dan penanggalan dari situs ini. Rangka ini memiliki probabilitas yang tinggi berasal dari masa prasejarah berdasarkan bukti modifikasi pada gigi-giginya. Permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui identitas biologis rangka dari Bendahara Tamiang dan kehidupannya pada masa lampau. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu sisa manusia dari Bendahara, Tamiang, Aceh dengan cara melihat jenis kelamin, umur ketika mati, penyakit, bukti kultural dan lingkungan yang terekam pada rangka tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis makroskopis dan paleopatologis. Hasil dari penelitian ini adalah individu berjenis kelamin wanita, dengan umur ketika mati sekitar 20-30 tahun. Kelainan yang dimiliki individu ini terdapat pada organ giginya yaitu kalkulus gigi, modifikasi gigi, dan adanya atrisi yang tidak seimbang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa individu ini mengunyah dengan dominan pada salah satu sisi lateral organ mulutnya. Jika dikaitkan dengan umurnya yang tergolong muda, terdapat kemungkinan bahwa individu ini menggunakan sisi kanan giginya sebagai alat bantu dalam melakukan pekerjaan. 


2021 ◽  
Vol 34 (2) ◽  
pp. 101
Author(s):  
I Wayan Sugita ◽  
I Wayan Suteja ◽  
I Nyoman Rema

The Balinese agricultural culture has existed since prehistoric times, with the advent of agriculture, especially rice domestication, as an important cultivation to date, gave rise to the myth of Dewi Sri. This study aims to studying the breeding of Dewi Sri in rice domestication activities in Bali, whose data sources were collected through field observations by observing archaeological remains in the form of worship media, lontar manuscripts and inscriptions. Besides being complemented by literature studies of various relevant journals, book and reports. This research has succeeded in revealing that the breeding of Dewi Sri in Bali is very unique, it can be seen from her mention of her local name, the worship media and its symbols are also influenced by Balinese local wisdom. Breeding is also carried out with prayers and ceremonies that are balanced with maintaining and caring for rice and rice field in order to achieve maximum results. Budaya agraris masyarakat Bali telah ada sejak masa prasejarah, dengan munculnya pertanian domestikasi padi sebagai budidaya penting hingga saat ini, memunculkan mitos Dewi Sri. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemuliaan Dewi Sri dalam aktivitas domestikasi padi di Bali, yang sumber datanya dikumpulkan melalui observasi di lapangan dengan mengamati tinggalan arkeologi berupa media pemujaan, manuskrip lontar dan prasasti. Selain itu dilengkapi dengan studi pustaka terhadap berbagai jurnal, buku dan laporan yang relevan. Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa pemuliaan Dewi Sri di Bali sangat unik dapat dilihat dari penyebutan Dewi Sri dengan nama lokal, media pemujaan dan simbol-simbolnya juga dipengaruhi oleh kearifan lokal Bali. Pemuliaan juga dilakukan dengan doa dan upacara, diseimbangkan dengan memelihara dan merawat padi dan lahan persawahan, agar dapat mencapai hasil yang maksimal. 


2021 ◽  
Vol 34 (2) ◽  
pp. 83
Author(s):  
I Wayan Srijaya ◽  
Kadek Dedy Prawirajaya R

Pluralism is a diction that is used to express diversity, a reality that exists in this archipelago. It is an idea or view of life that recognizes and accepts the existence of pluralism or diversity in a community group. This plurality is represented by differences in terms of religions/beliefs, ethnicities, races, customs, languages, and cultures. Archaeological remains dating from the Hindu Buddhist era in Bali provide information on this diversity. Therefore, the aim of this study is to explain the diversity that is reflected in the archaeological records. The method used is observation, literature study, and qualitative analysis. Archaeological records dating from the IX to XIV century AD in Bali, both in the artifactual and textual indicate that Balinese people can live in harmony amidst differences. Different beliefs do not cause social tensions in society. Based on the existing archaeological records, Balinese people have shown diversity since the IX century AD. This diversity was maintained and nurtured by the rulers at that time so that tolerance was built between people of different religions/beliefs. Pluralisme merupakan diksi yang digunakan untuk menyatakan keberagaman, sebuah realita yang ada di bumi Nusantara ini. Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan tersebut direpresentasikan oleh adanya perbedaan dari sisi agama/ kepercayaan, suku, ras, adat istiadat, bahasa, dan budaya. Tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Hindu Buddha di Bali memberikan informasi keberagaman tersebut. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan kemajemukan yang yang tercermin pada rekaman tinggalan arkeologi tersebut. Metode yang digunakan adalah observasi, studi pustaka, serta analisis kualitatif. Rekaman arkeologi yang berasal dari abad IX-XIV di Bali, baik yang berupa artefaktual dan tekstual mengindikasikan bahwa masyarakat Bali dapat hidup secara harmonis di tengah-tengah perbedaan. Perbedaan keyakinan yang dianut tidak menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat. Berdasarkan rekaman arkeologi yang ada, masyarakat Bali telah menunjukkan kemajemukan sejak abad IX. Keberagaman ini terus dipelihara dan dipupuk oleh para penguasa ketika itu sehingga terbangun toleransi di antara masyarakat yang berlainan agama/kepercayaannya.


2021 ◽  
Vol 34 (1) ◽  
pp. 39
Author(s):  
Iwan Hermawan

The high demand for various plantation commodities in the world market, especially sugar, encourages the construction and operation of railroad lines in the Cirebon region. The construction and operation of railroad lines in Cirebon are directed to facilitate commodity traffic to be sent through the Port of Cirebon. The problem raised in this paper is related to what archeological remains are markers of the existence of the Cirebon-Cirebon Port Railway. The method used to answer these problems is the descriptive analysis method. Data collection was carried out through literature study and field observations. Dutch colonial railroad relics on the track in the form of the railbed, signal pole structure, boundary stakes, bridge structure, level crossing pole structure, and rail rods that are still installed. The existence of the railroad remains is a proof of the activities of the train transportation mode to the Port of Cirebon. Tingginya permintaan berbagai komoditas perkebunan di pasaran dunia, terutama gula mendorong dibangun dan dioperasikannya jalur kereta api di wilayah Cirebon. Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api di Cirebon diarahkan untuk memperlancar lalu lintas komoditas yang akan dikirim melalui Pelabuhan Cirebon. Salah satu bagian dari jalur kereta api yang dibangun, adalah jalur Stasiun cirebon - Pelabuhan Cirebon. Permasalahan yang diangkat pada tulisan ini, adalah berkenaan dengan tinggalan arkeologi apa saja yang menjadi penanda keberadaan Jalur kereta api Cirebon - Pelabuhan Cirebon. Metode yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan tersebut, adalah Metode deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui studi Pustaka, dan pengamatan lapangan. Saat ini, Jalur kereta Cirebon - Pelabuhan merupakan jalur tidak aktif di wilayah Cirebon. Tinggalan perkeretaapian masa Kolonial belanda di jalur tersebut berupa railbed, struktur tiang sinyal, patok batas, patok KM, struktur jembatan, struktur tiang perlintasan sebidang, dan batang rel yang masih terpasang. Keberadaan tinggalan perkeretaapian tersebut merupakan bukti aktifitas moda angkutan kereta api menuju Pelabuhan Cirebon.


2021 ◽  
Vol 34 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Ashar Murdihastomo

The National Museum of Indonesia has a unique statue of a god depicted wearing a turban. The museum manager named this statue Shiva Mahadeva based on the third eye’s presence on his forehead. Based on this uniqueness, a more in-depth study carried out by taking the question What is the meaning of the turban-shaped head covering the statue’s depiction? Is there a connection between the depiction and the arts and culture of the community? This study aims to know the meaning implied in depicting the turban and trying to find out the social picture of the statuemaking community. This study conducted using descriptive research methods with contextual analysis. This study indicates that the statue depicted is not a statue of Shiva Mahadeva but a combination of Shiva and Vishnu known as Hariharamurti. The turban’s meaning is similar to the crown carved on the statue, which shows the character’s dignity and majesty. The life of the community’s arts and culture influences the depiction of the Hariharamurti statue, which is synonymous with freedom without leaving religious rules. In general, the arts and cultural aspects of the community that affect the statue are indicated as a community environment closely related to the priest/rishi’s activities. Museum Nasional Indonesia memiliki arca tokoh dewa unik yang digambarkan mengenakan sorban. Pengelola museum memberi nama tokoh tersebut adalah Siwa Mahadewa berdasarkan pada keberadaan mata ketiga yang ada di dahinya. Atas dasar keunikan inilah maka dilakukan kajian lebih mendalam lagi dengan mengambil pertanyaan, apa makna penutup kepala berbentuk sorban dalam penggambaran arca tersebut? adakah keterkaitan penggambaran tersebut dengan kehidupan seni-budaya masyarakat? tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah mengetahui makna yang tersirat dalam penggambaran sorban dan mencoba untuk mengetahui gambaran sosial masyarakat pembuat arca. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisis secara kontekstual. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa arca yang digambarkan bukanlah arca Siwa Mahadewa melainkan gabungan antara Siwa dengan Wisnu yang dikenal sebagai Hariharamurti. Pemaknaan sorban yang dikenakan oleh arca tersebut memiliki kesamaan dengan mahkota yang biasa dipahatkan pada arca yaitu menunjukkan kemuliaan dan keagungan dari tokoh tersebut. Kehidupan senibudaya masyarakat jelas mempengaruhi gaya penggambaran arca Hariharamurti tersebut yang identik dengan kebebasan tanpa meninggalkan aturan agama. Secara umum, aspek seni-budaya masyarakat yang mempengaruhi arca tersebut diindikasikan sebagai lingkungan masyarakat yang erat terkait dengan aktivitas pada pendeta/resi.


2021 ◽  
Vol 34 (1) ◽  
pp. 25
Author(s):  
Nfn Harriyadi

The Ancient Mataram Kingdom has various inscriptions contain information about society’s social life. Java Island was mentioned several times in foreign literature and in several sites were found artifacts from outside Java. This condition indicates the possibility foreign ethnic have a direct relationship with the Javanese community. This study’s objective is to obtain several inscriptions that mention foreign ethnic in the Ancient Mataram period in the 7th to 11th centuries. Data are collected from various secondary sources that contain information about the existence of foreign ethnic. The results of this study show that Java Island was visited by foreign ethnic from North India, South India, East Asia (China), and Southeast Asia. The emergence of foreign communities in Java was caused by the improvement of the trade and economy sector which was supported by local authorities. The presence of traders that provide economic benefits for the authorities and local communities can create a diverse society and live in harmony. Kerajaan Mataram Kuno memiliki bergaram tinggalan prasasti yang memuat informasi kehidupan sosial masyarakat. Pulau Jawa beberapa kali disebutkan dalam literatur asing dan beberapa situs ditemukan artefak dari luar Jawa. Kondisi demikian memberikan indikasi adanya kemungkinan etnis asing yang menjalin hubungan langsung dengan masyarakat Jawa. Tujuan kajian ini adalah mendapatkan berbagai prasasti yang menyebutkan keberagaman etnis masyarakat Mataram Kuno pada abad ke-7 hingga ke-11. Data dikumpulkan dari berbagai sumber sekunder yang memuat informasi mengenai adanya etnis asing yang tinggal di jawa. Hasil kajian menunjukkan bahwa Pulau Jawa pada masa Matram Kuno telah disinggahi oleh komunitas asing yang berasal dari India Utara, India Selatan, Asia Timur (Cina), dan Asia Tenggara. Latar belakang munculnya komunitas asing di Jawa adalah berkembangnya sektor ekonomi perdagangan yang mendapat dukungan dari penguasa lokal. Kehadiran para pedagang yang memberikan keuntungan ekonomi bagi penguasa dan masyarakat lokal mampu menciptakan masyarakat yang beragam dan hidup harmonis.


2021 ◽  
Vol 34 (1) ◽  
pp. 51
Author(s):  
Karyamantha Surbakti

This article written to explain about heritage preservation in Banda, especially how to made some management and utilization of cultural heritage in Banda Island. Banda actually is an important locality related to past civilization, where in this area there are many traces of colonial buildings that must be preserved in order to treat the historiographical pieces that exist in one of Indonesia regions. In the past, Neira Island was the center of trade and cultural activities for the various ethnic groups. This research aims to look at the various archaeological remains in Banda Neira and what kind of management form that use have been carried out by various stakeholders there. Are they use management and utilization based on significance value and conservation perspective. The methods applied in this research are surveys and interviews. The result showed that Neira which has aquite number of archaeological remains in the form of colonial buildings, has now changed its use to government offices, mini museums, and etc. The management of cultural heritage in Neira shows a situation where the function and use of colonial buildings has not been managed optimally. In other words, management that ignores significance value and not to tendention for conservation and preserved authentic value of archaeological remains, will ruined as cultural heritage meaning. Artikel ini ditulis untuk melihat bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan warisan budaya yang ada di Pulau Banda. Pulau Banda sendiri menjadi lokalitas penting berkaitan dengan peradaban silam, dimana di wilayah ini banyak terdapat jejak tinggalan bangunan kolonial yang harus dipreservasi guna merawat kepingan historiografi yang ada di salah satu wilayah Indonesia. Pulau Neira di masa lalu menjadi pusat aktivitas perdagangan dan kultural dari berbagai suku bangsa yang pernah singgah di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan melihat pelbagai tinggalan arkeologis di Banda Neira dan menilik bentuk pemanfaatan dan pengelolaan yang sudah dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan di sana. Apakah pengelolaan dan pemanfaatan jejak tinggalan arkeologis disana sudah berbasis nilai penting dan berwawasan pelestarian. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah survei dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Neira yang memiliki cukup banyak tinggalan arkeologis berupa bangunan kolonial, kini penggunaanya telah beralih fungsi menjadi kantor pemerintahan, museum mini, dan sebagainya. Pengelolaan warisan budaya di Neira menunjukkan situasi dimana alih fungsi pemanfaatan bangunan kolonial, belum dikelola secara maksimal. Dengan kata lain pengelolaan yang tidak mengindahkan manajemen berbasis nilai penting dan bertendensi pelestarian akan mengakibatkan tergerusnya nilai otentik dari tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut sebagai cikal bakal cagar budaya. Kata kunci: Nilai penting; pelestarian; warisan budaya; manajemen sumberdaya budaya.


2021 ◽  
Vol 34 (1) ◽  
pp. 15
Author(s):  
Ni Putu Eka Juliawati ◽  
Luh Suwita Utami ◽  
Rochtri Agung Bawono ◽  
Ruly Setiawan ◽  
Abu Muslim ◽  
...  

Dompu or ‘dompo’ is a kingdom mentioned in Negarakertagama Book which dates to 1365 AD as one of the kingdoms Patih Gajah Mada wanted to conquer. Then, ‘Dompu’ reappears in Gowa Kingdom Chronicle in early 17th century AD. For three centuries it was unknown how Dompu Kingdom was. The findings of ceramics, pottery, human skeleton and dimpa stone at Doro Mpana, have given a hint of a community’s life and its culture in the past. This study aims to uncover the chronology of Doro Mpana as burial site and the burial cultural form. Data collected through excavation, observation and literature study. The data are analysed contextually related to the relation among archaeological data. To find out the absolute chronology, radiocarbon dating analysis was performed in the laboratory. The result shows the site came from 13th-14th century AD. The use of dimpa stones as grave markers is a characteristic of burial rituals, in addition to providing grave goods such as pottery and ceramics. The use of dimpa stones at Doro Mpana indicates the utilization of surrounding natural resources because the source of dimpa stones, which is diorite stones, found not far from the site. Dompu atau ‘dompo’ adalah nama sebuah kerajaan yang disebutkan dalam Kitab Negarakertagama yang berangka tahun 1365 Masehi, sebagai salah satu kerajaan yang ingin ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada. Nama Dompu muncul kembali dalam kronik Kerajaan Gowa pada awal abad XVII Masehi. Selama tiga abad tidak diketahui bagaimana gambaran Kerajaan Dompu. Temuan keramik, gerabah, rangka, dan batu dimpa di Situs Doro Mpana, Dompu telah memberi petunjuk adanya sebuah kehidupan masyarakat dan budayanya di masa lalu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap kronologi dimanfaatkannya Situs Doro Mpana sebagai penguburan serta bentuk budaya penguburannya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode ekskavasi, survei lingkungan, dan studi pustaka. Data dianalisis secara kontekstual terkait hubungan antardata arkeologi. Untuk mengetahui kronologi absolut dilakukan analisis radiocarbondating di laboratorium. Hasil analisis menunjukan situs berasal dari abad ke-13-14 Masehi. Penggunaan batu dimpa sebagai penanda kubur menjadi sebuah ciri khas dalam ritual penguburan di Doro Mpana, selain pemberian bekal kubur berupa gerabah dan keramik. Penggunaan batu dimpa di Situs Doro Mpana menunjukkan pemanfaatan sumberdaya alam sekitar karena sumber batu dimpa yaitu batu diorite ditemukan tidak jauh dari situs.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document