PENGEMBANGAN BUDIDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp) SISTEM SILVOFISHERY UNTUK MELESTARIKAN HUTAN BAKAU DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang berperan penting dalam mendukung kehidupan biota laut. Keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti saat ini terus mengalami degradasi yang berimplikasi terhadap menurunnya fungsi ekologis, sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Upaya meminimalisir kerusakan hutan mangrove terus dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal hingga saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui budidaya kepiting bakau dengan sistem sylvofishery. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dan wawancara yang dilakukan di Kelurahan Teluk Belitung dan Desa Bandul Kabupaten Meranti. Data dan informasi dihimpun dari penelusuran, dan penelahaan data dan informasi hasil penelitian serta laporan kegiatan yang terkait dengan budidaya kepiting bakau dengan sistem silvofishery. Hasil kajian menunjukkan potensi pengembangan budidaya laut di Kabupaten Kepulauan Meranti tersebar di beberapa pulau seperti Pulau Padang, Tebing Tinggi dan Pulau Rangsang dengan luas lahan sebesar 438 ha. Luasnya lokasi budidaya didukung pula dengan kualitas perairan yang cukup bagus dan cocok untuk dikembangkan budidaya kepiting dengan sistem sylvofishery. Ujicoba penerapan sylvofishery kepiting bakau model kurungan tancap diperoleh tingkat survival rate mencapai 70 % dan pertumbuhan rata-rata berkisar 100 – 140 g per bulan. Pemeliharaan kepiting bakau dengan sistem sylvofishery selama 3 bulan dapat memberikan keuntungan dan tambahan penghasilan per bulan sebesar Rp. 1.070.150. Dalam satu siklus pembesaran jika kondisi normal dapat mengembalikan investasinya sehingga sylvofishery kepiting bakau layak dijadi usaha alternatif bagi masyarakat pesisir.Mangrove forest is one of the coastal ecosystems were plays a role in supporting marine life. Existence of mangrove forests in the Meranti Kepulauan district is experiencing degradation which has implications for the decline to ecological, social and economic functions of the local community. The efforts for minimize damage of mangrove forests have been carried out by local governments and local communities. One of the effort could be done through the cultivation of mud crabs with sylvofishery system. Experiment method was applied and interview was done in Teluk Belitung and Bandul villages, Meranti Regency. Data and information were collected and had been analyzed and activities reported that related to mud crab culture using the silvofishery system. The resut of the study showed that potential development of marine culture in the Kepulauan Meranti district is spread across several islands such as Padang Island, Tebing Tinggi and Pulau Rangsang with an area of 438 ha. The extent of the aquaculture site is also supported by good waters quality and suitable for developing mud crab culture with the sylvofishery system. The trial application of the mud crab silvofishery model of fixed confinement obtained a survival rate of up to 70% and an average growth of around 100-140 g per month. Maintenance of mangrove crabs with the sylvofishery system for 3 months can provide benefits and additional income per month of IDR. 1,070,150. In one cycle of enlargement if normal conditions, it’s can return the investment so the mangrove crab sylvofishery deserves to be an alternative effort for coastal communities.