Desa Neglawangi terbilang menjadi sebuah lokus yang menarik untuk dikaji, mengingat desa tersebut 70% wilayahnya merupakan perkebunan teh yang dikelola langsung oleh PTPN, serta hutan lindung yang dikelola oleh Perhutani. Selebihnya hanya 30% wilayahnya yang digunakan sebagai pemukiman warga setempat. Selain itu, Desa Neglawangi sejatinya tidak memiliki aset bersifat strategis seperti halnya pasar desa dan lain sebagainya, namun yang menarik, Desa Neglawangi memiliki master plan dalam mewujudkan desa wisata dengan target capaian 2021 (diundur menjadi 2025 karena kendala pandemi covid-19) dengan memanfaatkan titik-titik wisata yang mampu dieksploitasi menjadi komoditas kearifan lokal yang mampu berpotensi mengundang wisatawan. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan teori strategi Bintoro Tjokroamidjojo, dengan pembedahan masalah melalui metode kualitatif deskriptif yang dikombinasikan dengan analisis SWOT sebagai upaya social mapping yang ditempuh melalui observasi panjang selama 2 bulan, yang dikombinasikan dengan indikator-indikator Pengembangan Destinasi Pariwisata yang mengacu pada Pedoman Pengembangan Destinasi Wisata Perdesaan, yang dirumuskan oleh Kementerian Pariwisata. Poin indikator tersebut yakni identitas, perwilayahan, daya tarik wisata, kegiatan, aksesibilitas, amenitas, masyarakat/penduduk, investasi, usaha pariwisata, kelembagaan, dan terakhir pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Neglawangi memiliki potensi besar seperti ragam titik wisata alam, wisata historis, dan wisata budaya. Namun rencana pengembangan lokasi wisata berbenturan dengan pihak-pihak lain seperti BKSDA dan Lembaga pecinta alam lainnya karena beberapa destinasi wisata merupakan cagar alam. Operasionalisasi pun masih terkendala oleh pergantian tampuk kekuasaan di ranah Provinsi dan Kabupaten yang berimplikasi pada alokasi anggaran pembangunan dari luar. Karena jika mengandalkan Dana Desa, Desa Wisata sulit terwujud karena memerlukan logistik yang besar.