Jurnal Sumberdaya Lahan
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

45
(FIVE YEARS 45)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Indonesian Agency For Agricultural Research And Development (IAARD)

2722-7731, 1907-0799

2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 46
Author(s):  
Fathnur alam Fathnur ◽  
Thamrin Kunta ◽  
Musyadik Musyadik

<p><strong>Abstrak</strong>. Air merupakan sumberdaya alam yang memiliki beragam fungsi baik sebagai konsumsi air bersih maupun kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian, dan pariwisata. Ketersediaan air tanah yang sebagian besar berasal dari curah hujan merupakan factor pembatas yang penting bagi peningkatan produksi suatu tanaman. Konsep siklus hidrologi lingkungan menyatakan bahwa jumlah air disuatu luasan tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk/meresap (<em>input</em>) dan keluar (<em>output</em>) pada jangka waktut ertentu. Neraca  masukan dan keluaran air disuatu tempat dikenal sebagai neraca air (<em>wa</em><em>terbalance</em>). Neraca air merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk melihat ketersediaan air tanah bagi tanaman pada waktut ertentu. Salah satu prosedur perhitungan neraca air adalah berdasarkan metode Thorntwaite dan Mather (1957) dengan satuan tinggi air (mm). Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menelaah penggunaan neraca air umum untuk perencanaan pertanian berdasarkan hasilpenelitian di Kecamatan Lamooso Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.</p><p> </p><p> </p>


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 36
Author(s):  
Mirawanty Amin

<p>Polusi tanah merupakan masalah lingkungan yang sering dihadapi. Polusi tanah mengacu pada keberadaan bahan kimia atau zat atau hadir pada konsentrasi yang lebih tinggi dari batas normal serta memiliki dampak negatif pada makhluk hidup dan lingkungan. Sumber polusi tanah tentunya berasal dari kegiatan pertambangan, limbah rumah tangga, kegiatan pertanian dan masih banyak lagi. Apablia tidak dilakukan Tindakan pencegahan atau remediasi dapat memberikan dampak negative terhadap lingkungan terutama bagi Kesehatan manusia. Berbagai macam metode remediasi dapat dilakukan dengan metode berbasis sains seperti peningkatan aktivitas mikroba (Bioremediasi) dan Fitoremediasi dianggap dapat  menjadi teknik pengendalian tanah tercemar karena mudah dan ekonomis untuk dilakukan.</p>


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 23
Author(s):  
Husnain Husnain ◽  
Anny Mulyani

<p><strong>Abtsrak.</strong> Pengembangan kawasan sentra pangan (<em>food estate</em>) di Provinsi Kaimantan Tengah memerlukan dukungan analisis geospasial kesesuaian biofisik lahan dari enam Kementerian/Lembaga terkait yang dikoordinir oleh Kemenko Perekonomian, sehingga diperoleh <em>area of interest</em> (AOI) kawasan pengembangan. Kementerian Pertanian (cq BBSDLP) telah memberikan data sumberdaya lahan berupa peta tanah, peta sebaran lahan gambut, peta sebaran perkebunan kelapa sawit, peta kesesuaian lahan, dan peta ketersediaan lahan Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil analisis geospasial menunjukkan bahwa AOI kawasan pengembangan <em>food estate</em> seluas 770.600 ha. BBSDLP melakukan analisis geospasial lanjutan antara peta AOI dengan peta lahan rawa dan peta lahan gambut, hasilnya menunjukkan bahwa dari 770.600 ha tersebut terdiri dari rawa lebak 473.501 ha dan rawa pasang surut 269.451 ha atau terdiri dari 419.682 ha tanah mineral dan 350.918 ha tanah gambut. Berdasarkan rencana induk dan <em>Grand Design</em> pengembangan kawasan <em>food estate</em> akan terdiri dari intensifikasi dan ekstensifikasi. Pada tahun 2020 telah dilakukan intensifikasi pada lahan sawah eksisting yaitu 10.000 ha di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 ha di Kabupaten Kapuas, berupa percepatan pengolahan lahan dan tanam dengan alat mesin pertanian, bantuan benih, dan pupuk. Dukungan data spasial sumberdaya lahan dalam pengembangan <em>food estate</em> meliputi peta calon petani calon lokasi (CPCL), sebaran kedalaman pirit, dan rekomendasi pengelolaan lahan. Pemanfaatan data spasial tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penenetuan rekomendasi pemupukan dan pengelolaan lahan sehingga lahan sawah tersebut dapat berproduksi secara optimal sesuai dengan tipologi lahannya</p><p> </p><p><strong><em>Abstract.</em> </strong><em>Food estate development at Central Kalimantan Province needs supporting geospatial analysis of the biophysical land suitability from six related Ministries/Agencies which is organized by the Coordinating Ministry for Economic Affairs, in order to obtain the area of interest (AOI). The Ministry of Agriculture (cq BBSDLP) has provided land resource data for Central Kalimantan Province, i.e. soil maps, peat maps, oil palm plantation distribution maps, land suitability maps, and land availability maps. The analysis showed that the AOI for the food estate development area covers an area of 770,600 ha. BBSDLP conducted further geospatial analysis between the AOI map and the swamp land map and the peatland map. The result showed that this AOI is divided into 473,501 ha of swamp and 269,451 ha of tidal swamp, or consisting of 419,682 ha of mineral soil and 350,918 ha of peat soil. Based on the master plan and Grand Design, the development of the food estate area will be conducted by both intensification and extensification. In 2020, there has been intensification of the existing rice fields about 10,000 ha in Pulang Pisau Regency and 20,000 ha in Kapuas Regency, in the form of land processing and planting acceleration using agricultural machinery, and the assistance of seeds, and fertilizers. Supporting spatial data is consisted of maps of the farmers’ location, the distribution of pyrite depth, and the recommendations for land management. The spatial data is expected could be used as a reference in determining the appropriate fertilization recommendations and land management in accordance with the land typology. Therefore, the rice fields could produce optimally,</em></p>


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 13
Author(s):  
Wahida Annisa ◽  
Mukhlis Mukhlis ◽  
Anna Hairani

<p class="JSDLKatakunci"><strong>Abstra</strong><strong>ct</strong><strong>.</strong> The purpose of this paper is to synthesize all research results qualitatively to explore the potential of biochar as a remediation agent in swamps, including its mechanism, and effectiveness. The soil in swampland is characterized by the presence of pyrite (FeS<sub>2</sub>) which results in high acidity (soil pH &lt;3.5). The reduction process in swamps produces high amounts of ferrous iron (Fe<sup>2+</sup>) which is then released into the environment. The mechanism of iron (Fe) poisoning is indicated by the inhibition of nutrient uptake because the roots are covered with iron. This disturbes the root function as a nutrient absorber. Recent research shows that biochar could be used as an approach to reduce soil pollution in swamps through metal immobilization processes. This review paper uses a qualitative method with meta-aggregation approach based on the Francis-Baldesari method (2006). Principally, the soil remediation mechanism using biochar does not remove metals but accumulate them into hydroxide or carbonate deposits with the help of existing microorganisms. Provision of rice husk Biochar can increase the pH value reaching ≥5.0 and grain yield by 20% in intensively cultivated tidal swamps. Increasing the pH value of the soil will supports the formation of Fe hydroxide deposits which are accumulated on rice roots.</p><p class="JSDLKatakunci"> </p><p><strong>Abstrak. </strong>Tujuan penulisan paper ini adalah mensintesis seluruh hasil penelitian secara kualitatif untuk<strong> </strong>menggali potensi biochar sebagai bahan remediasi pada lahan rawa meliputi mekanisme, dan efektivitasnya. Tanah di lahan ini dicirikan oleh keberadaan pirit (FeS<sub>2</sub>) yang menghasilkan keasaman tinggi (pH tanah &lt;3,5). Proses reduksi di lahan rawa menghasilkan besi ferro (Fe<sup>2+</sup>) dalam jumlah tinggi dan dilepaskan ke lingkungan. Mekanisme keracunan besi (Fe) ditunjukkan dengan terhambatnya serapan hara karena perakaran diselimuti oleh besi sehingga fungsi akar sebagai penyerap unsur hara terganggu. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemanfaatan biochar sebagai salah satu pendekatan untuk mengurangi pencemaran tanah di lahan rawa melalui proses immobilisasi logam. Paper review ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan metode Francis-Baldesari (2006) dengan pendekatan metaagregasi (meta-aggregation). Mekanisme remediasi tanah menggunakan biochar prinsipnya tidak menghilangkan logam tetapi mengakumulasinya menjadi endapan hidroksida maupun karbonat dengan bantuan mikroorganisme yang ada. Pemberian Biochar sekam padi dapat meningkatkan nilai pH mencapai ≥5,0 dan hasil gabah sebesar 20% di lahan rawa pasang surut yang intensif dibudidayakan. Peningkatan nilai pH tanah mendukung pembentukan endapan hidroksida Fe yang diendapkan pada akar padi.</p>


2021 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
NFN Sukarman ◽  
Erna Suryani ◽  
Husnain Husnain

<p class="JSDLKatakunci"><strong>Abstra</strong><strong>ct</strong><strong>.</strong> The development of the new nation's capital in East Kalimantan must be supported with sufficient food supply. An Agricultural buffer zone must be provided as production area of food crops, horticulture, plantation, and livestock to suffice the food needs. The planning of landuse arrangement in the area required land suitability assessment for various agricultural commodities. The purpose of this paper is to provide information of land suitability in East Kalimantan Province that support the development plan of the new capital of the Republic of Indonesia. Literature studies of the previous research in East Kalimantan Province are carried out by the Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development (ICALRRD), as well as other research institutions. Based on the researches by ICALRRD conducted between year 2016-2019, the land suitable for agriculture is quite extensive (7.7 million ha), mostly for dry land farming. It is classified as suitable (S) mainly for plantation, forage, dry land food, horticulture, and upland rice, especially rainfed paddy. Only a small part is suitable for swamp lowland paddy field or tidal paddy field. The efforts to develop the regions include: (1) the expansion of new areas called as extensification (E), and a little through intensification (I). Extensification is conducted by cultivating superior commodities on new opening land that were previously in the form of shrubs or swampy shrubs, and open area or pasture. The available area for extensification program in East Kalimantan is 2.728 million ha. (2) The intensification program is carried out through the development of commodities in the existing land by strengthening the application of land technology, water management, crops varieties selection and cultivation techniques covering 73.2 thousand ha.</p><p><strong>Abstrak. </strong>Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, perlu didukung oleh kawasan penyangga pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan) untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Perencanaan penyusunan kawasan tersebut memerlukan data kesesuaian lahan berbagai komoditas pertanian. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi data tentang kesesuaian lahan di Provinsi Kalimantan Timur dalam mendukung rencana pembangunan ibukota baru Republik Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi literatur dari hasil penelitian di Provinsi Kalimantan Timur, baik yang dilaksanakan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), maupun lembaga penelitian lain. Berdasarkan data hasil penelitian BBSDLP antara tahun 2016-2019, lahan yang sesuai untuk pertanian cukup luas (7,7 juta ha), terutama untuk pertanian lahan kering. Lahan yang tergolong kelas sesuai (S) sebagian besar untuk tanaman perkebunan, pakan ternak, pertanian tanaman pangan lahan kering, hortikultura, dan padi sawah tadah hujan. Hanya sedikit yang sesuai untuk pertanian padi rawa lebak atau padi pasang surut. Upaya yang dapat ditempuh untuk membangun kawasan ini adalah: (1) melalui perluasan areal baru atau ekstensifikasi (E) tanaman perkebunan, pakan ternak, pertanian tanaman pangan lahan kering, hortikultura, dan padi sawah tadah hujan, pada lahan bukaan baru yang sebelumnya berupa semak belukar atau semak belukar rawa, lahan terbuka atau padang rumput seluas 2,728 juta ha. (2) melalui program intensifikasi (I) dilakukan melalui pengembangan komoditas di lahan sawah eksisting melalui penguatan aplikasi teknologi pengelolaan lahan, pengelolaan air, penggunaan varietas unggul, dan teknik budidaya, seluas 73,2 ribu ha.</p>


2020 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 115
Author(s):  
Mamat H. S. ◽  
Sukarman Sukarman

<p class="Isi"><strong>Abstrak.</strong> <span>Permasalahan pupuk, lahan terdegradasi, dan pencemaran, pengelolaan sumberdaya lahan rawa, dan pengelolaan sumberdaya air yang terbatas di lahan pertanian, merupakan isu atau permasalahan mendesak yang harus dicari pemecahannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) telah menghasilkan beberapa teknologi yang siap diaplikasikan. Dalam dua tahun terakhir, output hasil penelitian BBSDLP tersebut dalam bentuk produk teknologi dan rekomendasi anjuran teknologi sumberdaya lahan telah diaplikasikan dan dimanfaatkan dalam mendukung program prioritas sektor pertanian. Program prioritas dimaksud, adalah: (1) program selamatkan rawa dan sejahterakan petani disingkat SERASI, (2) program penurunan pencemaran lingkungan, (3) program peningkatan produktivitas pertanian dan (4) program antisipasi perubahan iklim. Terdapat opini yang paradoks, institusi lembaga riset menganggap bahwa banyak teknologi hasil penelitian yang siap diaplikasikan, tetapi menurut sebagian petani sangat terbatas teknologi hasil penelitian yang siap dimanfaatkan petani. Untuk itu perlu analisis secara seksama sehingga memperoleh gambaran yang akurat dan dimana letak permasalahannya serta bagaimana cara mengatasinya agar teknologi hasil penelitian tersebut efektif. Hasil evaluasi awal beberapa teknologi yang dimanfaatkan dalam program prioritas tersebut telah menunjukkan nilai tambah atau nilai indeks efisiensi teknis dalam bentuk meningkatkan produktivitas hasil (sekitar 30%) atau efisiensi penggunaan input produksi (contohnya mengefisiensikan penggunaan pupuk N,P sebesar 20%), walaupun masih perlu kajian lebih lanjut, apakah teknologi tersebut berpotensi memberikan dampak potensial (<em>potential impact</em>). Sebagian besar teknologi unggulan tersebut menunjukkan dampak awal (<em>initial impact</em>) yang positif dalam bentuk penyebaran dan aplikasi teknologi oleh petani di wilayah pengembangan</span>. </p><p class="Isi"> </p><p class="Isi"><em><span lang="EN-ID"><strong>Abstract.</strong> The problem of fertilizer, degraded land, and pollution, management of swampy land resources, and management of limited water resources on agricultural land, are urgent issues or problems that have to be resolved. To overcome these problems, ICALRD has produced several technologies that have been and are ready to be applied. In the last two years, it has been shown that some of the outputs of research results in the form of technological products and recommendations for land resource technology have been applied and utilized in supporting the priority programs in the agricultural sector. The priority programs referred to are: (1) safe the peat swamp and increased farmer’s welfare program abbreviated as SERASI, (2) environmental pollution reduction program, (3) agricultural productivity improvement program and (4) climate change anticipation program. There is a paradox opinion between beween research institute and farmers; where many technologies have been resulted by research institute and ready for application but according to some farmers only few technologies are available and applicable. For this reason, a careful analysis is needed to assess what the problems are and how to overcome them so that the research technology is more effective. Initial evaluation results of several technologies utilized in the priority program have shown the added values or technical efficiency index values in the form of increasing yield productivity (around 30%) or efficient use of production inputs (eg efficient use of N, P fertilizers up to 20%). However, there is still a need for further study to determine whether the technology is promishing to have a potential impact. Most of the leading technologies show positive initial impacts in the form of technological dissemination and application by farmers in development areas.</span></em></p><p align="center"><strong><br /></strong></p><p align="center"><strong> </strong></p><p> </p>


2020 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 91
Author(s):  
Vicca Karolinoerita ◽  
Wahida Annisa

<p><strong>Abstrak. </strong>Salinisasi tanah merupakan proses peningkatan kadar garam mudah larut di dalam tanah sehingga terbentuk lahan salin. Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik yang mengakibatkan berkurangnya hasil dan produktivitas tanaman pertanian. Setiap tahun luas lahan sawah yang ditinggalkan petani akibat mengalami salinisasi terus meningkat. Di Indonesia salinitas umumnya terjadi di lahan pertanian dekat pantai, disebabkan karena kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim. Diperkirakan lahan dekat pantai yang rentan mengalami salinitas seluas 12,020 juta ha atau 6,20% dari total daratan Indonesia. Problem salinitas pada pertanian beririgasi sering terkait dengan muka air tanah. Peningkatan kapilaritas dari muka air tanah dangkal akan membawa kembali garam-garam masuk ke daerah perakaran dan menjadi suatu sumber garam berkelanjutan. sedangkan salinitas di lahan rawa pasang surut dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut air laut dengan tingkat salinitas yang bervariasi. Tanaman mempunyai kisaran toleransi tertentu terhadap perubahan bahkan cekaman lingkungan untuk selanjutnya dapat beradaptasi, termasuk pada cekaman salinitas. Kondisi biofisik dan kimia lahan sawah terdampak yang tidak menguntungkan tanaman tersebut memerlukan upaya pengelolaan lahan dan sistem budidaya tanaman secara tepat agar dicapai tingkat produksi yang optimal.</p><p> </p><p><em><strong>Abstract</strong>. Soil salinization is the process of increasing the soluble salt content in the soil to form a saline soil. Salinity is an abiotic stress that results in reducing yield and productivity of agricultural crops. The area of paddy fields left by farmers as a result of experiencing salinization continues to increase every tear. In Indonesia, salinity generally occurs in agricultural land near the coast, caused by sea level rise due to climate change.  It is estimated that land near the coast that is prone to experiencing salinity is 12.020 million ha or 6.20% of the total land area of Indonesia. The problem of salinity in irrigated agriculture is often related to the water table. The increase in capillarity from shallow groundwater levels will bring back salts into the root zone and become a continuous salt source.  Salinity in tidal swamps is influenced by the tidal movement of sea water with varying salinity levels. Plants have a certain tolerance range to the changes and even environmental stress so that they can then adapt, including to salinity stress. The biophysical and chemical conditions of the affected paddy fields that are not beneficial to the plant, requires proper land management and crop cultivation systems in order to achieve optimal production levels.</em></p>


2020 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 65
Author(s):  
Yeli Sarvina ◽  
Tania June ◽  
Elza Surmaini ◽  
Rita Nurmalina ◽  
Sutjahjo Surjono Hadi

<p><strong>Abstrak</strong>. Rendahnya produktivitas kopi merupakan salah satu permasalahan utama dalam sistem produksi kopi Indonesia. Hal ini diantaranya disebabkan tidak adanya perawatan kopi yang optimal dengan memperhatikan fase fenologi kopi, serta dampak variabilitas dan perubahan iklim. Berbagai teknologi adaptasi kopi sudah banyak dihasilkan namun langkah adaptasi dengan memanfaatkan prakiraan iklim dalam bentuk penyesuian kegiatan budidaya dengan fase fenologi atau disebut sebagai kalender budidaya belum dikembangkan. Tulisan ini memaparkan tentang dampak variabilitas dan perubahan iklim pada tanaman kopi, teknologi adaptasi kopi yang sudah tersedia, perlunya pengembangan kalender budidaya kopi sebagai bentuk strategi adaptasi dan peningkatan produktivitas serta potensi dan tantangan pengembangan kalender budidaya kopi di Indonesia. Hasil review ini menunjukkan kalender budidaya kopi berpotensi dikembangkan sebagai strategi peningkatan produktivitas serta adaptasi terhadap variabilitas dan perubahan iklim.</p><p> </p><p><strong>Abstract</strong>. Low productivity is one of the main challenges in Indonesia's coffee production system .It is low due to cultivation management; most of the coffee farmer does not manage their plantation base on the coffee phenology phase.  Moreover climate variability and change also have important effect on coffee productivity. Various technologies on adaptation and measurement to climate change and variability have been identified. Unfortunately, the technology which use climate forecast through adjusting cultivation activity and coffee phenology called as cultivation calendar do not exist yet. This paper provides an overview on the impact of climate variability and change to coffee production, the existing adaptation strategy, and the importance of cultivation calendar as a strategy for adapting and increasing productivity, and the potential and challenges to develop cultivation calendar in Indonesia. This review reveals that coffee cultivation calendar is a potential strategy for increaseing productivity and adapting climate change and variability.</p>


2020 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 79
Author(s):  
Anny Mulyani ◽  
Erna Suryani ◽  
Husnain Husnain

<p><strong>Abstrak</strong>. Data sumberdaya lahan untuk 511 kabupaten/kota sudah tersedia mencakup peta tanah, peta kesesuaian lahan, dan peta arahan komoditas pertanian, dilengkapi dengan buku paket rekomendasi pengelolaan lahan. Komoditas yang sudah dievaluasi kesesuaian lahannya mencakup padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabe merah, tebu, pakan ternak, kakao, dan kelapa sawit. Data sumberdaya lahan tersebut  menjadi bagian penting dalam pengembangan komoditas strategis di Indonesia, terbukti dengan banyaknya permintaan data baik dari Direktorat Jenderal Teknis lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian/Lembaga terkait, pengusaha swasta, dan para investor dalam dan luar negeri, serta perguruan tinggi. Peta tematik yang banyak diminati adalah peta kesesuaian lahan dan peta sebaran lahan potensial untuk pengembangan berbagai komoditas strategis, baik untuk intensifikasi di lahan eksisting ataupun lahan ekstensifikasi, terutama di lahan semak belukar yang belum dimanfaatkan. Permasalahan utama adalah belum tersedianya peta penggunaan lahan terkini, sehingga kemungkinan penggunaan lahannya sudah berbeda dan yang diduga potensial untuk perluasan komoditas pertanian ternyata sudah dimanfaatkan. Oleh karena itu, perlu upaya penyediaan peta status penguasaan dan penggunaan lahan terbaru, agar para pengguna data yakin bahwa lahan potensial tersebut benar tersedia di lapangan.</p><p> </p><p><strong>Abstract</strong>. Land resources data for 511 regency/cities is available consisting of soil maps, land suitability maps, and recommended agricultural commodities maps, completed with a land management recommendation package book. Commodities that have been evaluated for land suitability including rice, corn, soybeans, shallots, red chillies, sugar cane, animal feed, cocoa, and palm oil. Land resources data is important in the development of strategic commodities in Indonesia. There has been numerous data requests from the Technical Directorate General of the Ministry of Agriculture, relevant Ministries/Institutions, private entrepreneurs and domestic and foreign investors, and universities.  The most on demand thematic maps are land suitability maps and maps of potential land distribution for developing various strategic commodities both for agricultural intensification and land expansion (extensification). Unfortunately, the up to date landuse map is barely available and the precise area that is potentaly available for agricultural land expansion is hardly defined. Therefore, providing the most recent land status and landuse maps is very important to convince map users that the precise potential area for agricultural land expansion could be axactly defined.</p>


2020 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 101
Author(s):  
Masganti Masganti ◽  
Ani Susilawati ◽  
Nurmili Yuliani

<p><strong>Abstrak</strong>. <span>Masalah penyediaan beras dihadapkan pada ketersediaan, alih fungsi, dan kompetisi pemanfaatan lahan, degradasi kesuburan tanah dan kerusakan infrastruktur pertanian, menurunnya jumlah keluarga tani dan gangguan organisme pengganggu t</span><span lang="IN">umbuhan</span><span> (OPT), tata ruang pertanian, jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi individu meningkat, dan efisiensi konsumsi. Kalimantan Selatan dalam perberasan nasional menduduki ranking 12 dari 34 provinsi. Meski produksi beras nasional pada tahun 2019 lebih rendah dari tahun 2018, tetapi Kalsel termasuk 8 provinsi yang mengalami kenaikan dan surplus sebesar 306.621 ton atau sekitar 63,37%. Peningkatan produksi padi di Kalimantan Selatan dapat dilakukan melalui optimasi pemanfaatan lahan sawah irigasi, lahan tadah hujan, lahan kering, lahan rawa pasang surut, dan lahan rawa lebak serta lahan yang tidak digunakan. Optimasi pemanfaatan lahan untuk peningkatan produksi padi dan perbaikan ranking Kalsel dalam perberasan nasional melalui peningkatan IP di daerah yang berpotensi ditingkatkan IP-nya dengan persyaratan tertentu, peningkatan produktivitas dengan perlakuan khusus di daerah tertentu, perluasan tanam di daerah-daerah yang potensial untuk dibuka sebagai sawah baru, dan tumpangsari dengan tanaman perkebunan,  yang didukung oleh kebijakan inventarisasi kondisi eksisting lahan pertanian, optimasi dan revitalisasi infrastruktur pengelolaan air, optimasi penggunaan alsintan, pengamanan panen, konsolidasi manajemen pemanfaatan lahan, perbaikan kelembagaan pertanian dan petani, dan penyusunan tata ruang pertanian</span>.</p><p><em>Abstact. <em><span lang="IN">Problems with rice supply are faced with responsibilities, transfer of functions, and competition for land use, degradation of soil fertility and damage to agricultural infrastructure, number of farming families and policies on excavation of plants), agricultural spatial planning, population and individual consumption needs, and consumption efficiency. South Kalimantan is ranked 12th out of 34 provinces in the national rice stock. Although the national rice production in 2019 is lower than in 2018, South Kalimantan is included in 8 provinces which added and a surplus of 306,621 tons or around 63.37%. Increased rice production in South Kalimantan can be done through the optimization of the use of paddy fields, rainfed land, dry land, tidal swamp land, and swamp land and land that is not used. Improve rankings to increase production and improve South Kalimantan's ranking in national rice through increasing IPs in regions that have improved IPs with special requirements, increasing productivity with special assistance in certain areas, increasing planting in areas that have the potential to be changed as new rice fields, and intercropping with plantation crops, supported by policies inventory of existing conditions of agricultural land, optimization and revitalization of water management infrastructure, optimizing the use of agricultural machinery, securing the harvest, investment in land use management, improving agricultural and farmer safety, and  preparation of agricultural spatial plannin</span></em></em><em>g.</em></p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document