Jurnal Wacana Hukum
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

27
(FIVE YEARS 27)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Universitas Slamet Riyadi

2656-3797, 1412-310x

2019 ◽  
Vol 25 (1) ◽  
pp. 56
Author(s):  
Ade Darmawan Basri

AbstractThis study discusses the Cartel in beef pricing, because of the proliferation of malpractice who seek profits by making agreements to control production and or services that result in other business actors not being able to enter into the same business competition for goods and services and the many losses they cause. This research is a normative legal research, and uses various approaches to problems, namely by using statue approach, conceptual approach, and case approach. The results showed that the case Number 10 / KPPU-I / 2015 showed that import companies had made an agreement to hold the supply of cattle, whereas the one who gave the policy was the government which cut cattle imports from 200,000 birds per 2015 to 50,000 heads, while in In 2015 the government estimated that the needs of cows up to 4 million, namely 20% or 750,000 were supplied through imports, so the impact was the reduction of cattle imports by 150,000, the implication being that the supply decreases causing a surge in prices.AbstrakPenelitian ini membahas tentang Kartel dalam penetapan harga daging sapi, karena maraknya malpraktek yang mencari keuntungan dengan membuat perjanjian untuk menguasai produksi dan atau jasa yang mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan jasa yang sama serta banyaknya kerugian yang diakibatkannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, serta menggunakan berbagai pendekatan masalah yaitu dengan menggunakan statue approach, conceptual approach, dan case approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 menunjukkan bahwa perusahaan impor telah melakukan perjanjian untuk menahan pasokan sapi, padahal yang memberikan kebijakan tidak lain adalah pemerintah yang memangkas impor sapi dari 200.000 ekor per tahun 2015 menjadi 50.000 ekor, sedangkan pada tahun 2015 pemerintah memperkirakan kebutuhan sapi sampai 4 juta ekor yakni 20% atau 750.000 dipasok lewat impor, maka dampaknya yaitu pengurangan impor sapi sebanyak 150.000 ekor, implikasinya adalah berkurangnya pasokan yang menyebabkan lonjakan harga naik.


2019 ◽  
Vol 25 (1) ◽  
pp. 80 ◽  
Author(s):  
Prima Maharani Putri ◽  
Patria Bayu Murdi

 AbstractThe principle of justice, certainty and usefulness in BPJS services has not been felt by all parties, especially the Health Service Provider (PPK) as BPJS provider and also the BPJS who has no clear position and authority due to Law No. 40 of 2004 concerning the Social Security System National and Law No. 24 of 2011 concerning the Social Security Organizing Agency which collided with the Presidential Regulation on Health Insurance. Although the benefits of BPJS services have been felt mainly by BPJS Beneficiaries (PBI) participants, there are injustices and legal uncertainties and the possibility of triggering fraud in various parties, especially the PPK with the INA-CBGs system at the JKJ health service program. Abstrak Prinsip keadilan, kepastian dan kegunaan dalam layanan BPJS belum dirasakan oleh semua pihak, terutama Penyedia Layanan Kesehatan (PPK) sebagai penyedia BPJS dan juga BPJS yang tidak memiliki posisi dan wewenang yang jelas karena UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang bertabrakan dengan Peraturan Presiden tentang Asuransi Kesehatan. Meskipun manfaat layanan BPJS telah dirasakan terutama oleh peserta Penerima BPJS (PBI), ada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dan kemungkinan memicu penipuan di berbagai pihak, terutama PPK dengan sistem INA-CBGs di program layanan kesehatan JKJ.


2019 ◽  
Vol 25 (1) ◽  
pp. 68
Author(s):  
Zaka Firma Aditya ◽  
Sholahuddin Al-Fatih

AbstractConsuming halal and safe food products is a constitutional right of citizens. This right is realized through guarantee of halal products, the institution authorized to issue fatwa halla on a product is LPPOM MUI. The results showed that LPPOM MUI issued a halal certificate for a product after previously going through a trial process at the MUI Fatwa Commission. Although judicially the position of MUI is not a state institution, the presence of the MUI, especially LPPOM MUI, can answer the needs of the community. Halal certificates from LPPOM MUI can at least provide legal certainty for the community. Abroad, halal certification institutions are government or private institutions that have their own statutory regulations and standards.AbstrakMengkonsumsi produk pangan halal dan aman merupakan hak konstitusional warga negara. Hak tersebut diwujudkan melalui jaminan produk halal, lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa halla atas suau produk adalah LPPOM MUI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal atas suatu produk setelah sebelumnya melalui proses sidang di Komisi Fatwa MUI. Meskipun secara yuridis kedudukan MUI bukan merupakan lembaga negara, namun kehadiran MUI, terutama LPPOM MUI, bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Sertifikat halal dari LPPOM MUI setidakya bisa memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Di luar negeri, lembaga sertifikasi halal merupakan lembaga pemerintah atau swasta yang memiliki perundang-undangan dan standar resmi tersendiri.


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 16
Author(s):  
Shinta Rhukmi B.

AbstrakSistem peradilan pidana merupakan unsur yang signifikan dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika. Pengguna narkotika seyogyanya mendapatkan sanksi pidana yang berat, mengingat korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun, dari segi penegakan hukum Mahkamah Agung melalui Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 389/Pid.Sus/2015/PN Yyk hanya memuat formulasi yang tidak didukung dengan teori-teori keilmuan, bahkan putusan tersebut tidak mencantumkan keterangan masa penahanan atau ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif lebih mengutamakan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan mengikat Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah  mandatory, imperatif dan limitatif dalam putusan hakim, yang bertujuan untuk memberikan nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia bagi para pihak. Adapun konsekuensi ketentuan tersebut apabila tidak dipenuhi dalam putusan hakim adalah putusan batal demi hukum.AbstractThe criminal justice system is a significant element in efforts to eradicate narcotics crime. Drug users should get severe criminal sanctions, considering that victims of narcotics abuse in Indonesia are increasing from year to year. However, in terms of law enforcement the Supreme Court through the Decision of the Yogyakarta District Court Number 389 / Pid.Sus / 2015 / PN Yyk only contains formulations that are not supported by scientific theories, even the decision does not include informatio on the period of detention or the provisions of Article 197 paragraph ( 1) letter h of Law Number 8 of 1981. This type of research is normative legal research. Normative legal research prioritizes literature. The results of the study indicate that the binding force of Article 197 paragraph (1) of Law Number 8 of 1981 is mandatory, imperative and limited in the judge's decision, which aims to provide values of justice and protection of human rights for the parties. The consequences of these  provisions if not fulfilled in the judge's decision are the verdict null and void.  


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 78
Author(s):  
Faizi Zain ◽  
Udiyo Basuki

AbstractThe birth of Law Number 7 of 2017 concerning Elections strengthens the position of the Election Supervisory Body in enforcing election law. In addition to election crimes, other powers he has are taking action and deciding administrative violations, even though the authority is the authority of the State Administrative Court. This study is a combination of library research (library research) and field research (field research) that are descriptive analytical. The approach used is a normative approach. This study attempts to answer two questions; how to settle the election dispute process, and how the electoral dispute law enforcement system in Indonesia. The results showed that the authority to decide on dispute resolution in the electoral process was in Bawaslu whose decision was final and binding, but in practice legal remedies were made to the Administrative Court of Negarab and ended at the Supreme Court through appeals, appeals and judicial review.AbstrakLahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menguatkan posisi Badan Pengawas Pemilu dalam menegakkan hukum pemilu. Selain tindak pidana pemilu, kewenangan lain yang dimilikinya adalah menindak dan memutus pelanggaran administrasi, padahal kewenangan tersebut merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif analitis. Adapun pendekatan yang dipakai adalah pendekatan normatif. Penelitian ini berusaha menjawab dua pertanyaan; bagaimana penyelesaian proses sengketa pemilu, dan bagaimana sistem penegakan hukum sengketa pemilu di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu berada di Bawaslu yang putusannya bersifat final dan mengikat, akan tetapi pada prakteknya dilakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negarabdan berakhir di Mahkamah Agung melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali.


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 94
Author(s):  
Syahlan Syahlan

AbstractSynchronization and Harmonization of Regulations in Indonesia hadle by Badan Pembinaan Hukum Nasional and Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Stage of regulation’s synchronization and harmonization which doing by Badan Pembinaan Hukum Nasional are planning and preparation of Academic Text of regulation. Meanwhile, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan will do synchronization and harmonization at the stage of draft of regulations by forming a Committee Between Ministries/Non-Ministries. The absence of a definite mechanism regarding the stages of synchronization and harmonization and do separately synchronization and harmonization in two institutions are not maximal. Finally, this pattern have an impact to quality of regulations which resulting which is the purpose of the synchronization and harmonization.AbstrakSinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Badan Pembinaan Hukum Nasional akan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pada tahap perencanaan, dan penyusunan konsep peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan melakukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi pada tahap pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan. Tidak adanya mekanisme yang pasti mengenai tahapan sinkronisasi dan harmonisasi, serta dipisahkannya proses tersebut ke dalam dua lembaga, mengakibatkan upaya sinkronisasi dan harmonisasi tidak maksimal, karena upaya sinkronisasi dan harmonisasi merupakan tahapan yang harus dilakukan secara sistemik dan terpadu. Hal itu berdampak pada kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan yang merupakan tujuan dari sinkronisasi dan harmonisasi.  Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Badan Pembinaan Hukum Nasional akan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pada tahap perencanaan, dan penyusunan konsep peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan melakukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi pada tahap pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan. Tidak adanya mekanisme yang pasti mengenai tahapan sinkronisasi dan harmonisasi, serta dipisahkannya proses tersebut ke dalam dua lembaga, mengakibatkan upaya sinkronisasi dan harmonisasi tidak maksimal, karena upaya sinkronisasi dan harmonisasi merupakan tahapan yang harus dilakukan secara sistemik dan terpadu. Hal itu berdampak pada kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan yang merupakan tujuan dari sinkronisasi dan harmonisasi.


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Orin Gusta Andini

 AbstrakSejak 2009 hingga saat ini terdapat 30 kasus yang diadili oleh Pengadilan Negeri di Indonesia dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berbagai kasus tersebut memunculkan opini dari sebagian masyarakat yang menganggap pasal-pasal delik pencemaran nama baik bertentangan dengan semangat reformasi yang menjunjung kebebasan berpendapat dan berekspresi. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Tulisan ini berkesimpulan bahwa tindak pidana reputasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010,  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur secara terperinci dengan salah satu pointnya yaitu melakukan perubahan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan.Kata Kunci: Delik Reputasi, Kepastian Hukum dan Mahkamah Konstitusi.Abstract  Since 2009 until now there have been 30 cases tried by the District Courts in Indonesia using Article 27 paragraph (3) of Law Number 19 Year 2016 concerning Amendments to Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions. These various cases gave rise to opinions from some people who considered the articles of defamation offenses contrary to the spirit of reform which upheld the freedom of opinion and expression. This type of research is normative legal research. Normative legal research prioritizes library research with a focus on studies of legal principles, legal systematics, legal synchronization and legal history, this research is also descriptive. This study concluded that the crime of reputation after the decision of the Constitutional Court Number 50 / PUU-VI / 2008, Decision of the Constitutional Court Number 2 / PUU-VII / 2009, Decision of the Constitutional Court Number 5 / PUU-VIII / 2010, Decision of the Constitutional Court Number 31 / PUU-XIII / 2015 and Constitutional Court Decision Number 76 / PUU-XV / 2017 concerning Testing of Law Number 19 Year 2016 concerning Amendment to Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is regulated in detail with one of the points, namely making changes in Article 27 paragraph (3) of the ITE Law and reducing criminal threats in 2 (two) provisions.Keywords: Reputation Delik, Legal Certainty and the Constitutional Court.


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 59
Author(s):  
Nurfaika Ishak ◽  
Siti Fatimah

Abstract Indonesia is a maritime country that has an abundance of marine natural resources, especially fisheries resources. The wealth of Indonesian fisheries resources should be managed in such a way as to be able to provide benefits for the greatest prosperity of the people (in accordance with the mandate of the 1945 Constitution). Normatively, Law Number 31 Year 2004 which has changed with Law Number 45 of 2009 concerning Fisheries, has been regulated regarding the management of fisheries in Chapter XII Article 66-70. The urgency of supervision in the fisheries sector is intended so that all regulations can be implemented in accordance with what has been determined. But in reality there are so many deviations in the aspects of management and protection of fisheries resources especially in the fishing process. Crimes and violations that occur such as Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing activities result in very large material losses reaching Rp.101,040 trillion / year. In addition to material losses, Indonesia also suffered other losses in the form of invaluable environmental damage to violations of sovereignty limits.  Abstrak Indonesia adalah negara maritim yang memiliki limpahan sumber daya alam kelautan khususnya sumber daya perikanan. Kekayaan sumber daya perikanan Indonesia seyogyanya dapat dikelola sedemikian rupa sehingga mampu memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945). Secara normatif, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, telah diatur mengenai pegawasan perikanan pada Bab XII Pasal 66-70. Urgensi adanya pengawasan pada bidang perikanan dimaksudkan agar seluruh peraturan dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Namun dalam kenyataannya ditemukan begitu banyak hal menyimpang dalam aspek pengelolaan dan perlindungan sumber daya perikanan terkhusus pada proses penangkapan ikan. Kejahatan dan pelanggaran yang terjadi seperti kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing mengakibatkan kerugian materil yang sangat besar hingga mencapai Rp.101.040 Trillin/Tahun. Selain kerugian materil, Indonesia juga mengalami kerugian lain berupa kerusakan lingkungan yang tak ternilai hingga pelanggaran terhadap batas kedaulatan.


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Indah Putri Rahmawati

AbstractEnvironmental tax assessment as an environmental economic instrument is still rare. So far, environmental law studies have been limited to analyzes of administrative violations and criminal actions against the environment, which tend to be repressive. This action is also considered less effective to overcome environmental problems that increasingly apprehensive. Some research suggests, the application of environmental taxes can be used as a preventive measure against environmental damage. In 2006 Indonesia has planned the implementation of environmental taxes, but to date has not been implemented. This is due to differences of opinion due to the absence of a definite application concept. Therefore, there is a need for research on the construction of environmental taxes, based on the Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), which includes environmental economic instruments, one of them through the application of taxes. Based on this, environmental taxes should be designed as a source of fund management and addressing environmental issues for sustainable development. This is based on the important role of economic aspect in environmental management.AbstrakKajian pajak lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan hidup masih jarang dilakukan. Selama ini kajian hukum lingkungan terbatas pada analisis pelanggaran segi administratif maupun tindakan pidana terhadap lingkungan hidup, yang cenderung represif. Tindakan inipun dirasa kurang efektif untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan. Beberapa penelitian mengemukakan, penerapan pajak lingkungan dapat digunakan sebagai tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan hidup. Pada tahun 2006 Indonesia telah merencanakan penerapan pajak lingkungan, akan tetapi sampai saat ini belum diterapkan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat disebabkan belum adanya konsep penerapan yang pasti. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai konstruksi pajak lingkungan, didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yang mencantumkan adanya instrumen ekonomi lingkungan hidup, salah satunya melalui penerapan pajak. Berdasarkan hal tersebut pajak lingkungan harus didesain sebagai sumber dana pengelolaan dan mengatasi permasalahan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini dilatar belakangi oleh peran penting aspek ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup. 


2019 ◽  
Vol 25 (2) ◽  
pp. 30
Author(s):  
Agatha Jumiati

 AbstractThe philosophy of independence of judicial power is state power that is free from all forms of intervention both from within and from outside the judicial authority, except on the basis of the power of Pancasila ideology and the 1945 Constitution. because of testing the law that regulates its existence. In addition, the Constitutional Court often decided on several cases that were deemed detrimental, deterred and reduced its duties and authorities such as the additional authority to examine laws before the amendments to the 1945 Constitution, additional authority in testing the Perppu and ultra petita.AbstrakFilosofi independensi kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala bentuk intervensi baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali atas dasar kekuatan idiologi pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan prinsip independensi, hakim Mahkamah Konstitusi sering membuat putusan yang perdebatan karena menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi sering memutus beberapa perkara yang dipandang merugikan, menghalangi dan mengurangi tugas dan kewenangannya seperti tambahan kewenangan menguji undang-undang sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan tambahan dalam menguji Perppu dan ultra petita. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document