TANJUNGPURA LAW JOURNAL
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

21
(FIVE YEARS 21)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Tanjungpura University

2541-0490, 2541-0482

2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 133
Author(s):  
Nisa Permata Basti

ABSTRACTThis research is based on the problem of applying the principle of taxation democracy to the politics of tax amnesty as an effort to increase state revenue in the context of tax administration. The first major issues include the application of democratic principles as mandated by the constitution of the provisions of Article 23A of the 1945 Constitution which stipulates that taxes shall be levied under the law. Tax amnesty is one form of short-term tax incentives. Tax Amnesty intended to increase investment to achieve national development. The second major issue concerns the repatriation of assets as a form of taxpayer investment and the implementation of integrated taxpayer data collection as a form of tax administration in order to achieve better national taxation system and future revenues can be further increased. ABSTRAKKajian ini menekankan pada pembahasan penerapan prinsip demokrasi perpajakan pada politik hukum pengampunan pajak sebagai upaya peningkatan sumber penerimaan negara dalam konteks administrasi perpajakan. Permasalahan pokok yang pertama antara lain penerapan prinsip demokrasi sebagaimana amanat dari konstitusi ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang. Pengampunan pajak merupakan salah satu bentuk insentif pajak yang bersifat jangka pendek. Pengampunan Pajak dapat meningkatkan investasi guna mencapai pembangunan nasional. Permasalahan pokok yang kedua berkenaan  repatriasi aset sebagai bentuk investasi wajib pajak dan dilakukannya pendataan wajib pajak terintegrasi sebagai bentuk administrasi perpajakan guna mencapai sistem perpajakan nasional yang lebih baik dan penerimaan negara kedepannya dapat lebih meningkat.


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 95
Author(s):  
Dani Amran Hakim ◽  
Muhammad Havez

This article discusses the politics of law for Indonesian migrant workers protection. The aim of discussion is to understand the politics of law for Indonesian migrant workers protection in siyasah dusturiyah fiqh perspective based on Law Number 18 Year 2017 about Indonesian Migrant Workers Protection.The method used is literature review using a juridicial normative approach and content analyisis. The Article 3 of the Law on the Protection of Indonesian Migrant Workers states that Indonesian migrant workers protection aim to protect the human rights as well as to fulfil the legal, economic and social needs of migrant workers and their families. The protection is conducted before, during and after their working time. Based on the perspective of siyasah dusturiyah fiqh which is a part of siyasah fiqh that addresses the issue of legislation of state, so the Law on the Protection of Indonesian Migrant Workers is in accordance with 4 (fourth) principles of workers protection in Islam, they are 1) human independency; 2) human dignity; 3) justice; 4) contract (akad) and payment clarity.Tulisan dalam artikel ini membahas mengenai politik hukum perlindungan pekerja migran Indonesia. Tujuannya untuk mengetahui perspektif fikih siyasah dusturiyah terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan analisis konten. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memberikan arah tujuan yang hendak dicapai dalam perlindungan pekerja migran Indonesia yaitu menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia para pekerja migran serta menjamin perlindungan hukum, ekonomi dan sosial pekerja migran serta keluarganya. Perlindungan tersebut dilaksanakan sebelum, selama dan setelah bekerja. Berdasarkan fikih siyasah dusturiyah, yang merupakan bagian fikih siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara, maka Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ditinjau dari perspektif tersebut sesuai dengan 4 (empat) prinsip ketenagakerjaan dalam Islam yaitu; 1) kemerdekaan manusia; 2) prinsip kemuliaan derajat manusia; 3) prinsip keadilan; dan 4) prinsip kejelasan akad (perjanjian) dan transaksi upah.


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 117
Author(s):  
Maghfira Syalendri Alqadri

Condition of Indonesia's shrinking economic state made Indonesia's Goverment feels it is necessary to take concrete steps to increasing the national economic state by growing investment through deregulation aimed at resolving regulatory and bureaucratic problems, weak law enforcement, and business uncertainty that are a burden on industrial competitiveness and ease of doing business. Indoesia's Central Government through the Ministry of Finance in December 2019 endorsed the Draft of Tax Omnibus Law which is considered to be a solution to the condition of Indonesia. With regard to the regulation of regional tax rates in this regulation, it will be regulated simultaneously by the Central Government, on the other hand Regional governments have broad regional autonomy, not least in the regulation of local tax collection in their respective regions. The research uses normative juridical research to retrieve, analyze, and study the literature, scientific work, documents / archives and writings that are relevant to the research problem. The purpose of this study is to analyze the Tax Omnibus Law Bill in Indonesia. Based on these results it is known that the formation of the omnibus law can be done as long as it is formed based on existing laws and regulations. The impact of implementing the omnibus law on taxation can kill the sustainability and independence of regional autonomy.Dengan keadaan perekonomian yang semakin lesu, Pemerintah Indonesia merasa perlu melakukan langkah-langkah nyata untuk menggerakkan ekonomi nasional yakni dengan cara meningkatkan investasi melalui deregulasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah regulasi dan birokrasi, lemahnya penegakan hukum, dan ketidakpastian usaha yang menjadi beban daya saing industri maupun kemudahan berusaha. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan pada Desember 2019 mengesahkan Naskah RUU Omnibus Law Perpajakan yang dianggap dapat menjadi solusi akan kondisi Indonesia. Terhadap pengaturan tarif pajak daerah pada aturan ini akan diatur secara serentak oleh Pemerintah Pusat, di sisi lain Pemerintah Daerah memiliki otonomi daerah yang luas, tak terkecuali pada pengaturan pemungutan pajak daerah di wilayahnya masing-masing. Penelitian menggunakan penelitian yuridis normatif, yang akan mengambil, menganalisis, mempelajari dan menelaah literatur-literatur, karya ilmiah, dokumen/arsip dan tulisan yang relevan dengan permasalahan penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis RUU Omnibus Law Perpajakan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pembentukan omnibus law dapat dilakukan sepanjang dibentuk berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Dampak dari dilaksanakannya omnibus law mengenai perpajakan ini dapat mematikan keberlangsungan maupun independensi dari otonomi daerah.


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 161
Author(s):  
Dewa Gede Sudika Mangku

Issues relating to the protection of the marine environtment are of concern, including by international law. This research discusses the prtection and preservation of the marine environment according to international law. This research is a normative legal research. The approach used is the statutory approach. The research results show that the protection and preservation of the marine environment receives serious attention by international law, especially through regulation through the 1982 Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) which fully regulates the protection and preservation of the marine environment in a Chapter, namely Chapter XII which consists of 45 articles (192-237). In this Chapter there are several important aspects relating to the protection and preservation of the marine environment, namely the existence of general obligations of countries in terms of protecting the marine environment (Articles 192-160), obligations of the state in terms of pollution (Articles 194-196), global cooperation and in the framework of protecting the marine environment (Articles 197-201), technical assistance (Articles 202-203), environmental monitoring and analysis (Articles 204-206), making laws and regulations and accompanying law enforcement (Articles 207-234), responsibilities and compensation obligations (Article 235), immunity rights (Article 236), obligations under other conventions concerning the protection of the marine environment (Article 237). Persoalan berkaitan perlindungan lingkungan laut menjadi perhatian, termasuk oleh hukum internasional. Penelitian ini membahas perlindungan dan pelestarian lingkungan laut menurut hukum internasional. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangan-undangan. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan laut mendapatkan perhatian serius oleh hukum internasional, terutama melalui pengaturan melalui Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang secara lengkap mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam suatu Bab, yaitu Bab XII yang terdiri atas 45 pasal (192- 237). Dalam Bab tersebut terdapat beberapa aspek penting yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu adanya kewajiban umum negara-negara dalam hal perlindungan lingkungan laut (Pasal 192- 193), kewajiban negara dalam hal pencemaran (Pasal 194-196), kerjasama global dan regional dalam rangka perlindungan lingkungan laut (Pasal 197- 201), bantuan teknik (Pasal 202-203), monitoring dan analisa lingkungan (Pasal 204-206), pembuatan peraturan perundang-undang disertai penegakan hukumnya (Pasal 207-234), tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi (Pasal 235), hak kekebalan (Pasal 236), kewajiban-kewajiban berdasarkan konvensi lain mengenai perlindungan lingkungan laut (Pasal 237).


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 178
Author(s):  
Resmaya Agnesia Mutiara Sirait

One of the substance of Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition is the provision that regulates collusion in tenders. The provision is regulated in Article 22 which is a special provision with the aim of creating a conducive business climate to support and develop activities for the provision of quality goods and services and at competitive prices. Considering that the impact of the conspiracy in tenders is very significant for national economic development and a healthy competitive climate, the regulation regarding the prohibition of tender conspiracy can be applied both with a rule of reason approach and with a per se illegal approach, so that administrative sanctions and criminal sanctions as well as additional criminal sanctions that will be imposed on business actors can run as desired by Law Number 5 Year 1999. The impact of collusion actions in tenders is not just economic development National and unfair competition climate, but other impacts can be felt by consumers as tender givers who can experience material and immaterial losses. Consumer protection is needed as an effort made to safeguard consumer rights and develop behavior attitudes of responsible business actors.Salah satu substansi Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah ketentuan yang mengatur persekongkolan dalam tender. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 yang merupakan ketentuan khusus dengan tujuannya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendukung dan menumbuh kembangkan kegiatan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas dan dengan harga yang bersaing. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan dalam tender sangat signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang sehat, maka pengaturan mengenai larangan persekongkolan tender dapat diterapkan baik dengan pendekatan secara rule of reason maupun dengan pendekatan secara per se illegal, sehingga sanksi administratif dan sanksi pidana serta pidana tambahan yang akan dijatuhkan pada pelaku usaha dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan dalam tender bukan hanya kepada pembangunan ekonomi nasonal dan iklim persaingan tidak sehat, akan tetapi dampak lain dapat dirasakan oleh konsumen selaku pemberi tender yang dapat mengalami kerugian materiil maupun immaterial. Perlindungan konsumen diperlukan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk menjaga hak-hak konsumen dan menumbuh kembangkan sikap perilaku pelaku usaha yang bertanggung jawab.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Fajar Sugianto ◽  
Sanggup Leonard Agustian ◽  
Nisa Permata Basti

Law Number 32 of 2009 concern about Environmental Protection and Management does not provide adequate regulation in providing sanctions against perpetrators of pollution, except only providing a legal basis for employers to provide compensation payments to victims of pollution. Therefore it is necessary to know about the position of the Polluter Pays Principle in the Environmental Legal System as Agrarian Reform. The principle of paying polluters who have the function of authorizing should not be formulated in the explanatory section of the article. If following the explanation of Law No. 23 of 1997 concerning Environmental Management, the purpose of the principle of polluter pays, even has many meanings such as paying to pollute or can be interpreted as a license to pollute. As a result of the study of international law, the principle of polluter pays has two meanings, namely as an economic instrument with the intention of charging fees to potential polluters and is also interpreted as a basic instrument to hold legal liability for incidents of environmental pollution.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan pengaturan memadai dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pencemaran, kecuali hanya memberikan landasan hukum bagi pengusaha untuk memberikan pembayaran kompensasi kepada korban pencemaran. Oleh karena itu perlu mengetahui mengenai kedudukan Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Sistem Hukum Lingkungan Sebagai Reformasi Agraria. Prinsip Pencemar Membayar yang memiliki fungsi mengesahkan seharusnya tidak dirumuskan dalam bagian penjelasan pasal. Jika mengikuti penjelasan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka maksud Prinsip Pencemar Membayar, bahkan memiliki banyak pemaknaan seperti membayar untuk mencemari (paying to pollute) atau dapat dimaknai sebagai license to pollute. Hasil telaah hukum internasional, prinsip pencemar membayar memiliki dua pemaknaan, yaitu sebagai instrumen ekonomi dengan maksud pembebanan biaya kepada pelaku pencemar yang potensial dan diartikan juga sebagai instrument dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kasus pencemaran lingkungan.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 22
Author(s):  
Ardhiwinda Kusumaputra ◽  
Endang Retnowati ◽  
Ronny Winarno

AbstrakPembentukan Relawan demokrasi adalah bagian dari strategi Komisi Pemilihan Umum untuk meningkatkan partisipasi masyakat dalam menyalurkan hak pilihnya. Hal ini mengingat bahwa pemilihan umum tahun 2019, adalah pemilihan serentak yang pertama kali dilangsungkan dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Namun, pada tatanan regulasi terdapat disharmonisasi, khususnya pada aspek pembentukan dan kedudukan relawan demokrasi. Perlu dilakukan suatu kajian/penelitian yang komprehensif untuk menelusuri bentuk disharmonisasi tersebut dan implikasi yang ditimbulkan. Pada dasarnya metode yang digunakan didasarkan pada metode penelitian yuridis normatif. Menariknya, Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor: 32/PP.08-SD/06/KPU/I/2019, tertanggal 9 Januari 2019, tidak dapat menjadi dasar dalam memberikan wewenang kepada KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk membentuk relawan demokrasi. Hal tersebut menunjukkan adanya disharmonisasi, dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain itu, implikasi yang ditimbulkan atas disharmonisasi mengarah pada ketidakjelasan kedudukan relawan demokrasi, tugas relawan demokrasi hingga pada status relawan demokrasi. Oleh karena itu menjadi penting untuk dilakukan kajian secara komprehensif guna menjadi dasar dalam perbaikan tata hukum ke depan.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 82
Author(s):  
Favian Partogi Alexander Sianipar

In the legal system in Indonesia, a jurisprudence is often used in the context of legal discovery. Although theoretically, the Judge is not bound by Jurisprudence, on the other hand, it creates a firm intention for Judges to follow higher court decisions. This raises a contradiction regarding the position of Jurisprudence in the legal system adopted in Indonesia. The contradiction came from legal scholars in particular Judges who did not approve of the use of Jurisprudence in their decisions because it violated the independence of Judges who had been regulated in Article 24 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and guidelines for the enforcement of a code of ethics and a code of conduct for judges. Based on the discussion above, in this article, the writer is interested in exploring whether the application of jurisprudence can affect the independence of judges. This article concludes that when the Supreme Court judges a court decision with a permanent legal force as a jurisprudence, it is changed into positive law. Then other judges can use jurisprudence as a basis for consideration in their decisions. This certainly does not damage the independence of the Judges listed in the code of ethics in deciding a case.Dalam sistem Hukum di Indonesia masih sering digunakan suatu Yurisprudensi dalam rangka penemuan hukum. Sekalipun secara teoritis memang Hakim tidak terikat dengan Yurisprudensi namun disisi lain menciptakan intensi yang kuat bagi para Hakim untuk mengikuti putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan suatu pertentangan mengenai kedudukanYurisprudensi dalam sistem hukum yang dianut di Indonesia. Pertentangan tersebut berasal dari sarjana hukum pada khususnya Hakim yang tidak menyetujui digunakan Yurisprudensi dalam putusannya karena melanggar suatu kemandirian Hakim yang telah diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku Hakim. Bertitik tolak dari pembahasan tersebut di atas, dalam artikel ini penulis tertarik untuk menggali apakah berlakunya yurisprudensi dapat mempengaruhi kemerdekaan hakim. Artikel ini menyimpulkan bahwa Ketika Suatu putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut di nilai oleh Mahkamah Agung sebagai sebuah Yurisprudensi, maka sifatnya berubah menjadi hukum positif. Maka Hakim lain dapat mempergunakan yurisprudensi tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam putusannya. Hal tersebut tentu tidak menciderai kemandirian Hakim yang tercantum dalam kode etik dalam memutuskan suatu perkara.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 39
Author(s):  
Oktavani Yenny

Becoming one of the materials inside the fifth amendment of Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (The 1945 Constitution of Republic Indonesia), Constitutional Court authority now has become one of the essential concerns given that the function as "the guardian of the constitution" it became crucial in the protection of the constitutional rights of citizens. Along with times, violations of citizens constitutional rights are no longer based solely on legal norms, but violations committed against the application of norms by state institutions or public bureaucratic institutions (Constitutional Complaint). In addition, the need for institutions that deal with constitutional questions over the existence of a legal norms whose constitutionality is doubtful (Constitutional Question) as well as the authority of the Judicial Review carried out by institutions holding judicial power, called the Supreme Court and the Constitutional Court, led to a dualism of Judicial Review which turned out to be vulnerable to presenting legal issues. The methodology used in this study is normative juridical with a qualitative approach and using literatures. From the results of this study it was concluded that the need for additional of Constitutional Complaint and Constitutional Question authority as the authority of the Constitutional Court as well as a one-stop Judicial Review system in the Constitutional Court became very important carrying out its function as a guardian of the Constitution.Menjadi salah satu materi dalam Amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi kini menjadi salah satu perhatian penting karena mengingat fungsinya sebagai the guardian of the constitusion menjadi krusial dalam perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Seiring dengan perkembangan zaman, pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara tidak lagi hanya berdasarkan pada norma hukum, namun pelanggaran yang dilakukan atas penerapan suatu norma oleh lembaga negara atau lembaga birokrasi publik (Constitutional Complaint). Selain itu, perlunya lembaga yang menangani pertanyaan-pertanyaan konstitusional atas keberadaan suatu norma hukum yang diragukan konstitusionalitasnya (Constitutional Question) serta kewenangan Judicial Review yang dijalankan oleh lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menimbulkan dualisme Judicial Review yang ternyata rentan menghadirkan persoalan hukum. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini berupa yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perlunya penambahan kewenangan Constitutional Complaint dan Constitutional Question sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi serta sistem satu atap Judicial Review di Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting sebagai bentuk pelaksanaan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi.


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 59
Author(s):  
Reka Dewantara

The use of technology in bank services including the use of artificial intelligence makes bank services promise fast and efficient processes. Included in the funding products by banks are competitive by prioritizing digitalization and inclusiveness, but the development of regulations by the banking authorities has not facilitated the development of IT. This article aims to conduct regulatory impact assetsment on regulations related to the use of artificial intelligence in bank services in Indonesia through market conduct. The research in this article uses the type of normative legal research that is legal research conducted by examining library materials or also called library research. The results of the study show that in addition to the regulations of the FSA there are contract laws that provide the basis for banks to use artificial intelligence in their service services as a basis for conducting services operationally, the use of artificial intelligence in bank services must continue to pay attention to the principles of prudence and protection for consumers including in terms of their funds and personal data, prevention of money laundering and financial terrorism, and financial system stability through market conduct.Penggunaan teknologi pada jasa layanan bank termasuk penggunaan artificial intelligence membuat layanan bank menjanjikan proses cepat dan efisien. Termasuk pada produk-produk pendanaan oleh bank bersifat kompetitif dengan mengedepankan digitalisasi dan inklusif, namun perkembangan pengaturan oleh otoritas perbankan belum mewadahi perkembangan IT tersebut. Artikel ini bertujuan melakukan regulatory impact assetsment terhadap pengaturan terkait penggunaan artificial intelligence pada jasa layanan bank di Indonesia melalui market conduct. Penelitian dalam artikel ini menggunakan Jenis Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau disebut juga library research.Hasil peneltian menunjukkan bahwa di samping regulasi dari OJK terdapat hukum kontrak yang memberikan landasan untuk perbankan menggunakan artificial intelligence pada jasa layananya sebagai dasar melakukan operasionalnya, Penggunaan artificial intelligence pada jasa layanan bank harus tetap mmperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan bagi konsumen termasuk dalam hal dana dan data pribadi mereka, pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme, dan stabilitas sistem keuangan melalui market conduct.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document