scholarly journals The Cost of Prolonged Hospitalization due to Postthyroidectomy Hypocalcemia: A Case-Control Study

2014 ◽  
Vol 2014 ◽  
pp. 1-4 ◽  
Author(s):  
Navid Zahedi Niaki ◽  
Harmeet Singh ◽  
Sami P. Moubayed ◽  
Rebecca Leboeuf ◽  
Jean-Claude Tabet ◽  
...  

The aim of this study is to evaluate the additional costs associated with calcium monitoring and treatment as well as evaluate the incidence and predictors of postthyroidectomy hypocalcemia. Methods. This case-control study involved thyroidectomy and completion thyroidectomy patients operated on between January 2012 and August 2013. Cases were defined as requiring calcitriol supplementation, and controls did not require supplementation. Patient (age, sex), nodule (cytology, pathology), surgical data (neck dissection, parathyroid identification, and reimplantation), and hospital stay (days hospitalized in total and after drain removal) were compared. Comparisons were made using t-tests and chi-square tests with an alpha of 0.05. The estimated cost associated with the extended stay was then compared with the cost of supplementation. Results. A total of 191 patients were evaluated (61 cases and 130 controls). Predictors of hypocalcemia include female age, neck dissection, and parathyroid reimplantation. Hypocalcemic patients were hospitalized for a longer period of time after drain removal (2.5 versus 0.8 days, P<0.001), and hospitalization costs after neck drain removal were higher in this group as well (8,367.32$ versus 2,534.32$, P<0.001). Conclusion. Postoperative hypocalcemia incurs significant additional health care costs at both the local and health care system levels.

Author(s):  
Shikha Pandey ◽  
Ramesh Pandey

Background: Pelvic inflammatory disease (PID) has emerged as a silent killer that disturbs women's life. In the rural population of India, most women are usually not aware of symptoms of PID. They do not move for health care unless alarming symptoms develop. The objective of present study is to find out to find out correlation between PID & multiparity.Methods: The present study was conducted at Government Bundelkhand Medical College, Sagar. Study design:  Case control, Participants: Females attending obstetrics & gynecology department OPD, Sample size: Total 150  cases & same number (150) of controls. Statistics: Chi – square test.Results: The odds ratio (OR) was 0.69 with 95% confidence interval (CI) being 0.42-1.09 for PID with multiparity as risk factor. Of 143 cases, multiparity was seen in 63 cases (44.05). In 150 controls, it was seen in 80 (53.33%). The variation was not statistically significant (p = 0.141). The Odds Ratio with in exepertise as a risk factor for PID was 2.41 with 95% CI being 1.78-3.27. Result shows etiological fraction of 58.5% (CI 43.9-69.4%) among inexpert hands. The delivery in untrained hands was significantly higher in cases (p 0.00001).Conclusions: This study does not show multiparity to be a risk factor but delivery conducted by untrained hands was as a risk factor. 


2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 39-44
Author(s):  
Ermawati Ermawati ◽  
Hafni Bachtiar

Prolap organ panggul merupakan kondisi yang mempengaruhi kualitas hidup wanita. Prolaps organ panggul ini dapat disebabkan oleh perlukaan sewaktu proses persalinan, proses penuaan, komposisi jaringan pada seorang wanita, batuk- batuk kronis, atau sering melakukan pekerjaan berat. Pengenalan dini prolaps terkait dengan prognosis pemulihan anatomik dan fungsional organ panggul. Hingga kini, penerapannya dalam dunia klinis belum banyak sehingga pelatihan dan pembelajaran lebih lanjut tentang pelvic organ prolapse quantification (POPQ) jelas diperlukan. Penelitian ini dilakukan dengan metode case control study di polikilinik Obgin RSUP. Dr. M. Djamil Padang mulai bulan September 2013 sampai jumlah sampel terpenuhi sebanyak 98 orang. Dengan 49 orang kelompok kontrol dan 49 orang kelompok kasus .Analisis dilakukan untuk menilai hubungan usia, paritas, pekerjaan dan indek massa tubuh dengan kejadian prolap organ panggul berdasarkan skor POPQ. Data disajikan dalam bentuk tabel. Data diuji dengan t test dan chi square test. Jika p<0,05 menunjukan hasil yang bermakna. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian prolap organ panggul dengan (p<0,05) dan OR 27,871.terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian prolap organ panggul dengan (p<0,05) dan OR 52,970.Dari analisa statistik pekerjaan tidak bisa di uji secara statistik.indek massa tubuh tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap kejadian prolap organ panggul.(p>0,05)


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 107-119
Author(s):  
Swaidatul Masluhiya AF ◽  
Irma Irma

Masalah kesehatan masyarakat yang cukup seriuspada kelompok usia balita sampai saat ini adalah kejadian malnutrisi, hal iniberdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik balita. Malnutrisi juga dapat menyebabkan balita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Beberapa faktor penyebab malnutrisi diantaranya faktor makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak, faktor ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah sindrom penyakit tropis merupakan prediktor terjadinya gizi kurang pada balita. Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan rancangan Case Control Study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan ibu dan balita yang ada di daerah pesisir kecamatan Nambo Kota Kendari denganteknik simple randam sampling di dapatkan jumlah sampel  sebanyak 164 orang yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan perbandingan 1:1. Data dianalisis secara statistik dengan uji Chi square pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dengan mempertimbangkan nilai Odd Ratio dan nilai Confidence Interval. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sindrom penyakit tropis (diare dengan р-value = 0,001 dan OR = 4,162, batuk – batuk dengan р-value = 0,001 dan OR = 3,552,ISPAnon pneumoni dengan р-value = 0,004 dan OR = 3,003) merupakan faktor prediktor terjadinya malnutrisi pada balita sedangkan infeksi cacing dengan р-value = 0,056 dan OR= 1,773 bukan merupakan faktor prediktor terjadinya malnutrisi pada balita di daerah pesisir Kecamatan Nambo Kota Kendari


Vaccine ◽  
2021 ◽  
Author(s):  
Lisa Lundberg ◽  
Maria Bygdell ◽  
Gustaf Stukat von Feilitzen ◽  
Susanne Woxenius ◽  
Claes Ohlsson ◽  
...  

2021 ◽  
Vol 10 (14) ◽  
pp. 3177
Author(s):  
Edyta Szymanska ◽  
Maciej Dadalski ◽  
Joanna Sieczkowska-Golub ◽  
Dorota Jarzebicka ◽  
Monika Meglicka ◽  
...  

Background: Infusion reactions (IRs) are the most common adverse events (AEs) of infliximab (IFX) treatment in patients with inflammatory bowel disease (IBD). Prophylactic premedication (PM) with corticosteroids or antihistamines prior to IFX infusions has been used in clinical practice, but its efficacy is not known. The aim of this study was to assess the influence of steroid PM on IR incidence in pediatric patients with IBD receiving IFX. Methods: We performed a case–control study that included pediatric patients with IBD receiving IFX. Patients were divided into four subgroups according to the agent and PM they received: Remicade (original drug) + PM, and two biosimilars—Reshma +/− PM, and Flixabi—PM. At our site, until 2018, PM with steroids was used as a part of standard IFX infusion (PM+); however, since then, this method has no longer been administered (PM−). IRs were divided into mild/severe reactions. Differences between subgroups were assessed with the appropriate chi-square test. Multivariate logistic regression was used to assess associations between PM and IR incidence, correcting for co-medication usage. Results: There were 105 children (55 PM+, 44 male, mean age 15 years) included in the study who received 1276 infusions. There was no difference between the PM+ and PM− subgroups, either in incidence of IR (18.2% vs. 16.0% of patients, p > 0.05) or in percentage of infusions followed by IR (2.02% vs. 1.02% of infusions, p > 0.5). The OR of developing IR when using PM was 0.34, and the difference in IRs ratio in PM+ and PM− patients was not statistically significant (95% CI, 0.034–1.9). There were 11/18 (61.1%) severe IRs (anaphylactic shock) reported in all patients (both PM+ and PM−). Conclusion: At our site, the incidence of IR was low, and PM did not decrease the incidence of IR in pediatric patients with IBD receiving IFX. These results indicate that PM with steroids should not be a standard part of IFX infusion to prevent IR.


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 20-28
Author(s):  
Miftahul Jannah ◽  
Asnawi Abdullah ◽  
Melania Hidayat ◽  
Qatratul Asrar

Latar Belakang: Pneumonia merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia. Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Banda Aceh tahun 2018, jumlah balita penderita Pneumonia meningkat setiap tahunnya. Kasus Pneumonia balita yang paling banyak terdapat di UPTD Puskesmas Banda Raya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada Balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh tahun 2019. Metode: Penelitian ini menggunakan desain Case Control Study atau Retrospective Study. Penelitian ini menggunakan total populasi dengan jumlah sampel adalah 142 anak balita berusia 12–59 bulan. Data dianalisis secara Univariat dan Bivariat. Analisis Bivariat menggunakan Uji Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95% (p value0.05). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah luas ventilasi rumah (OR=15.81; CI 95%=4.70-53.12; p value=0.0001); sedangkan umur balita (OR=1.15; CI 95%=0.54-2.43; p value=0.705); jenis kelamin (OR=1.11; CI 95%=0.57-2.16; p value=0.737); pengetahuan ibu (OR=0.38; CI 95%=0.12-1.24; p value=0.112); dan kepadatan hunian (OR=1.80; CI 95%=0.78-4.13; p value=0.163), tidak terbukti secara signifikan sebagai faktor risiko pneumonia balita di UPTD Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh. Kesimpulan: Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia balita adalah luas ventilasi rumah. Oleh karena itu diperlukannya sanitasi lingkungan yang sehat sebagai upaya preventif terhadap kejadian Pneumonia, serta memperbaiki pola perilaku hidup bersih dan sehat.


2020 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 16
Author(s):  
Siti Lestari ◽  
Dyah Dwi Astuti ◽  
Fachriza Malika Ramadhani

Asfiksia perinatal merujuk pada kekurangan oksigen selama persalinan, sehingga berpotensi menyebabkan kematian dan kecacatan. WHO memperkirakan  4 juta anak terlahir dengan asfiksia setiap tahun, dimana 1 juta di antaranya meninggal dan 1 juta anak bertahan hidup dengan gejala sisa neurologis yang parah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko fetal dan tali pusat pada asfiksia neonatal.Penelitian dilakukan di lakukan di RS Dr Moewardi Surakarta dengan pendekatan  quantitative retrospective case control study. Data diambil dari rekam medis antara  tahun 2013-2018. Penelitan ini melibatkan  264 neonatal yang terdiri dari 88 kelompok kasus dan 176  kelompok control. Kelompok kasus adalah bayi dengan diagnosa  asfiksia yang  dilakukan analisis terhadap faktor risiko fetal, sedangkan bayi yang tidak mengalami asfiksia dijadikan  kelompok kontrol. Hasil analisis statistik uji Chi-Square dan Fisher Exact ditemukan bahwa  kelahiran prematur (OR 2,07 CI 95% P 0,02), persalinan dengan tindakan (OR 3,61 CI 95% P 0,00), berat bayi (OR 2,85 CI 95% P 0,00), posisi janin (OR 2,37 CI 95% P 0,05), tali pusat ( QR 3,071 CI 95%  P 0,01)  berisiko terhadap insiden asfiksia perinatal. Air ketuban yang bercampur meconium (OR 1,51 CI 95% P 0,16) tidak memiliki risiko  dengan Asfiksia perinatal. Kesimpulan: Risiko terhadap insiden asfiksia perinatal  meliputi kelahiran prematur, persalinan dengan tindakan, berat bayi, posisi janin,  dan tali pusat.Perinatal asphyxia refers to a lack of oxygen during labor, which has the potential to cause death and disability. WHO estimates  4 million children born with asphyxia each year, in  which 1 million dies and 1 million survive with severe neurological sequelae. This study aims to analyze fetal and umbilical risk factors in neonatal asphyxia.This research is a quantitative retrospective case-control study, which was conducted at The Dr. Moewardi  hospital,  Surakarta. Data was taken from  medical records from 2013-2018. The case group was patients diagnosed  asphyxia, while those who did not experience asphyxia were treated as a control group.  A total of 264  samples, consisting of 88 case group respondents and 176 control group respondents. Statistical analysis Chi- Square and Fisher Exact found that preterm birth (OR 2.07 CI 95% P 0.02), labor with instrument or complication (OR 3.61 CI 95% P 0.00), infant weight (OR 2.85 CI 95% P 0, 00), fetal position (OR 2.37 CI 95% P 0.05), umbilical cord (QR 3.071 CI 95% P 0.01) are at risk for the incidence of perinatal Asphyxia. The amniotic fluid mixed with meconium (OR 1.51 CI 95% P 0.16) has no risk with perinatal asphyxia.The risk factors of incidences of perinatal asphyxia were  preterm birth, labor with instrument or complication, baby weight, fetal position and umbilical cord. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document