Pemberian Obat Massal Pencegah Filariasis di Desa Mbilur Pangadu Kabupaten Sumba Tengah
AbstractFilariasis program in Indonesia is carried out through two main strategies, namely breaking the chain of transmission with mass drug administration in endemic areas and clinical case management. This research was aimed to assess the implementation of administration of filariasis preventive drugs in Mbilur Pangadu village, Central Sumba Regency. Mass drug administration in Central Sumba is the first program that has been carried out and has not been evaluated yet. The study was conducted with a descriptive survey method of Mbilur Pangadu Village population aged ≥ 13 years. The results showed that the majority of respondents who did not receive the drug were in all age groups (> 50%), sex male (64.7%), lack of knowledge about filariasis (85.8%) and distance of treatment posts difficult to reach (65.4%). Most respondents with high or low knowledge did not receive drugs (>50%), but they received the program well. Health activities have an impact of drug acceptance, which is 95.6%. The method of distribution and side effects of treatment does not affect the behavior of taking medication. Guidelines for the implementation of mass treatment must be known and can be carried out by all health workers to achieve the expected target. AbstrakProgram filariasis di Indonesia dilakukan melalui dua strategi utama, yaitu memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal di daerah endemis dan penatalaksanaan kasus klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pelaksanaan pemberian obat massal pencegah filariasis di Desa Mbilur Pangadu Kabupaten Sumba Tengah. Pemberian obat massal di Sumba Tengah adalah program yang pertama kali dilakukan dan belum pernah dievaluasi. Penelitian dilakukan dengan metode survei deskriptif pada seluruh penduduk Desa Mbilur Pangadu yang berumur ≥13 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tidak menerima obat berada pada semua kelompok umur (> 50%), berjenis kelamin laki-laki (64,7%), pengetahuan kurang tentang filariasis (85,8%) dan jarak pos pengobatan sulit dijangkau (65,4%). Sebagian besar responden dengan pengetahuan tinggi maupun rendah tidak menerima obat (>50%), namun mereka menerima program dengan baik. Keaktifan petugas kesehatan sangat berdampak terhadap penerimaan obat yaitu 95,6%. Cara pendistribusian dan efek samping pengobatan tidak berdampak pada perilaku minum obat. Pedoman pelaksanaan pengobatan massal harus diketahui dan bisa dilaksanakan oleh seluruh petugas kesehatan agar mencapai terget yang diharapkan.