This article explores the emergence of diversity in determining the age of maturity in Indonesian laws, particularly in civil law, penal law, marriage law, and citizenship law. Maturity is a crucial element in determining a legal act. Therefore, the diversity of its determination can lead to overlap and ambiguity in determining the validity of legal action and legal accountability. This raises the question of why there is a difference in the determination of maturity age and its factors. Analysis of this problem of diversity in maturity age is carried out using the maqāsid al-sharῑah approach, using Jasser Auda’s system theory. The study shows that differences in the determination of maturity age in legislation are caused by differences in legal proficiency required, a legal paradigm used as a basis, and differences in the law's scope. In maqāsid al-sharῑah perspective, maturity age occupies a position as a wasilah or a strategy to achieve legal purposes, thus allows for diversity. The more interests are protected, the higher of age is set. The diversity of maturity ages has an interrelated hierarchy without causing any contradictions between laws. The maturity age difference is intended to fulfill legal authority requirements, proficiency to act, and authority to act, with their specifics.Artikel ini mengeksplorasi keragaman penetapan usia kedewasaan dalam perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam hukum perdata, pidana, perkawinan, dan kewarganegaraan. Kedewasaan merupakan unsur pokok dalam penetapan suatu perbuatan hukum. Terjadinya keragaman penetapannya dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakjelasan dalam penetuan keabsahan tindakan hukum dan pertanggungjawaban hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa terjadi keragaman dalam penetapan usia kedewasaan dan apa faktor yang melatarbelakanginya. Analisis terhadap masalah keragaman usia kedewasaan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan maqāsid al-sharῑah, dengan memanfaatkan teori sistemnya Jasser Auda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan penetapan usia kedewasaan dalam perundang-undangan disebabkan oleh perbedaan kecakapan hukum yang dituntut, paradigma hukum yang dijadikan dasar, dan ruang lingkup hukum. Dalam perpsektif maqāsid al-sharῑah, usia kedewasaan menempati posisi sebagai wasilah atau strategi mencapai tujuan hukum, sehingga memungknkan terjadinya keragaman. Semakin banyak kepentingan yang dilindungi maka semakin tinggi usia yang ditetapkan. Keragaman usia kedewasaan memiliki interrelasi hirarkhi, sehingga tidak menimbulkan kontradiksi antar undang-undang. Perbedaan usia kedewasaan ditujukan untuk memenuhi persyaratan kewenangan hukum, kecakapan bertindak, dan kewenangan bertindak yang memiliki kekhususan masing-masing.