Justicia Islamica
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

169
(FIVE YEARS 50)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Stain Ponorogo

2502-7646, 1693-5926

2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 168-188
Author(s):  
Abdullah Taufik

Mediation of divorce is expected to be able to suppress the settlement of the case peacefully. In principle, based on the Elucidation of Law Number 1 of 19 74 concerning Marriage, the purpose of marriage is to form a happy and eternal family. Therefore it is urgent to find mediation pillars in settlement of divorce cases. To find the idea in response to these problems, three approaches: 1) laws and regulations, by examining them that relate with divorce settlement through mediation in religious courts; Supreme Court Regulation Numb. 1 of 2016, Civil Procedure Code. 2) Conceptual approach, from the view of experts/scholars, is used to find ideas by building concepts and arguments according to the issues to be examined to find the efficiency in the implementation of mediation. 3) Philosophy, studying literacy related to the theme of the study to capture philosophical content in finding the pillars of mediation in the study of Islamic civil law. The findings in this study are the pillars of mediation whose relevance to divorce disputes should be stated are: 1) Essence of Deliberation, to reach an agreement. 2) The essence of mutual forgiveness, to end the dispute. 3) The essence of respecting the rights of others, of avoiding the nature of egoism. 4) The essence of justice, giving equal opportunity to speak to each other so that both parties get the same rights. While the efficiency of the mediation implementation in settlement of divorce can be done by mediating: 1) Regarding the care and education of children, 2) cost of living of ex-wife, 3) guarantee for the maintenance of the joint property after the termination of a marriage.Mediasi diharapkan mampu menekan penyelesaian perkara penyelesaian secara damai. Pada prinsipnya berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 tahun 19 74 tentang Perkawinan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Penurunan tingkat perceraian perlu ditekan, maka dari itu sangat mendesak untuk mencari pilar-pilar mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian. Untuk menemukan ide dalam menanggapi permasalahan tersebut digunakan tiga pendekatan: 1) Peraturan perundang undangan, yang berhubungan dengan penyelesaian perceraian melalui mediasi di pengadilan agama; Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata. 2) Pendekatan konseptual, dari pandangan para ahli / ulama digunakan untuk menemukan ide dengan membangun konsep dan argumen sesuai dengan masalah yang akan dikaji sehingga dapat ditemukan efektifitas dalam pelaksanaan mediasi 3) Filsafat, mempelajari literasi yang berkaitan dengan tema kajian untuk menangkap muatan filosofis dalam menemukan pilar-pilar mediasi dalam kajian hukum perdata Islam. Temuan dalam penelitian ini adalah pilar-pilar mediasi yang relevansinya dengan perselisihan perceraian yang harus dikemukakan adalah: 1) Inti Musyawarah, untuk mencapai kesepakatan. 2) Inti saling memaafkan, untuk mengakhiri perselisihan. 3) Esensi menghargai hak orang lain, menghindari sifat egoisme. 4) Esensi keadilan, memberikan kesempatan yang sama untuk saling berbicara, sehingga kedua belah pihak mendapatkan hak yang sama. Sedangkan efektifitas pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian perceraian dapat dilakukan dengan memediasi: 1) Seputar pengasuhan dan pendidikan anak, 2) biaya hidup mantan istri, 3) jaminan pemeliharaan harta bersama pasca pemutusan hubungan perkawinan.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 149-167
Author(s):  
Rohmah Maulidia

This paper examines universities' role in achieving Sustainable Development Goals (SDGs) targets by conducting field research and using a policy theory approach. Theoretically, the successful policy implementation depends on several aspects such as communication, the availability of resources, the disposition, and the character of the bureaucracy. This study found that the State Institute for Islamic Studies (IAIN) Ponorogo contributed to implementing SDGs, especially in quality education and strengthening gender equality. However, the institution did not explicitly formulate other SDGs goals. Communication between the Institute for Research and Community Service (LPPM) as the leading sector for gender mainstreaming and leadership is manifested in the strategic plan and formal and informal meetings. Resources owned by IAIN Ponorogo in human resources and social capital are sufficient, which can be found from the active involvement of mass organizations of Fatayat, Muslimat, and Aisiyah in gender strengthening activities. The rector of IAIN Ponorogo is collaborating with the Ministry of Women and Child Protection (KemenPPPA) in realizing gender equality implementation agendas. Meanwhile, the bureaucratic structure that has been developed so far tends to be egalitarian and democratic. In preparing the Strategic Plan and the Master Plan (RIP), IAIN held a hearing with IAIN Ponorogo stakeholders, including the Academic Senate, which provides considerations for higher education policies. The problem is that the IAIN Ponorogo leader has not intensively monitored the targets for achieving gender equality, especially the other targets for achieving the SDGs.Tulisan ini mengkaji lebih dalam bagaimana peran perguruan tinggi dalam pencapaian target SDGs, dengan cara melakukan field research dan menggunakan pendekatan teori kebijakan. Secara teoritik kesuksesan kebijakan sangat tergantung pada beberapa aspek seperti komunikasi, adanya sumber daya, disposisi dan watak birokrasi. Kajian ini menemukan bahwa IAIN Ponorogo turut berkontribusi melaksanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya pada pendidikan berkualitas dan penguatan kesetaraan gender, tetapi belum secara eksplisit merumuskan tujuan SDGs yang lain. Komunikasi antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) sebagai leading sector pengarusutamaan gender dengan pimpinan diwujudkan dalam renstra, juga dalam rapat formal maupun informal. Sumber daya yang dimiliki IAIN berupa sumber daya manusia maupun sumber daya sosial (social capital) sangat cukup. Terlihat dari keterlibatan aktif ormas Fatayat, Muslimat, Aisiyah dalam kegiatan gender di kampus. Adapun disposisi dalam arti komitmen dapat dilihat dari LPPM dan pimpinan IAIN menggandeng Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) dalam mewujudkan agenda-agenda implementasi kesetaraan gender. Sedangkan struktur birokrasi yang dikembangkan selama ini cenderung egaliter dan demokratis. Dalam penyusunan renstra dan Rencana Induk Pengembangan (RIP), IAIN melakukan rapat dengar pendapat dengan stakeholder IAIN, termasuk dengan Senat Akademik sebagai lembaga pemberi pertimbangan kebijakan perguruan tinggi. Persoalannya adalah pimpinan lembaga IAIN belum secara intensif melakukan monitoring terhadap target pencapaian kesetaraan gender, terlebih target pencapaian SDGs yang lain. Kajian ini berkontribusi pada gagasan PTKI untuk lebih responsif terhadap SDGs


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 79-96
Author(s):  
Anita Marwing

This study discusses corruption in the Indonesian political system from Islamic law, particularly regarding the Kleptocracy and political oligarchy. One of the most basic corruption causes comes from an internal personality factor, human’s character; greedy and consumptive. Additionally, some factors also come from human external factors, namely the perpetrators' coercion because they are tied to a system. Corruption is carried out not only by individuals but also in cooperation/conspiracy between the bureaucracy and corporations and political parties. Elites called them Kleptocracy and political oligarchy. This research is descriptive qualitative research with an approach based on legal analysis. This research has found several things. First, corruption in the Indonesian political system can be categorized into acts of Ghulul (treachery), Risywah (Gratification/bribery), Khiyanah (Unfaithful), Sariqah (theft), and Hirabah (Grand Theft/ Robbery). Second. The strategy to eradicate corruption in an Islamic perspective can be carried out by imposing sanctions, including sanctions in the world's dimensions and the hereafter. This research encourages the strengthening of the socio-religious system, especially among religious leaders, as a preventive and curative form of handling corruption in the political system in Indonesia.Penelitian ini membahas tentang korupsi dalam sistem politik Indonesia dalam perspektif hukum Islam, khususnya tentang kleptokrasi dan oligarki politik. Salah satu faktor penyebab korupsi yang paling mendasar adalah faktor kepribadian internal yang tamak, rakus dan konsumtif. Selain itu ada faktor yang memberi pengaruh lebih besar yakni faktor yang datang dari luar diri manusia, karena korupsi yang terjadi dewasa ini kadang adanya unsur keterpaksaan pelaku sebab terikat dalam sebuah sistem. Korupsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh perorangan melainkan dalam bentuk kerjasama/persekongkolan antara birokrasi dan korporasi serta para elit-elit partai politik yang disebut dengan kleptokrasi dan oligarki politik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan berdasarkan legal hukum analisis. Dalam penelitian ini menemukan beberapa hal. Pertama, korupsi dalam dalam sistem politik Indonesia dapat dikategorikan dalam perbuatan Ghulul (Berkhianat), Risywah (Gratifikasi/suap), Khiyanah (Khianat), Sariqah (pencurian), dan Hirabah (Pencurian Besar/Perampokan). Kedua. Strategi pengentasan korupsi dalam perspektif Islam dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang meliputi sanksi berdimensi dunia dan akhirat. Riset ini mendorong penguatan sistem sosio-religi terutama keadaan para pemuka agama sebagai bentuk preventif dan kuratif penanganan korupsi dalam sistem politik di Indonesia.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 97-114
Author(s):  
Ali Sodiqin ◽  
Al-Robin Al-Robin

This article explores the emergence of diversity in determining the age of maturity in Indonesian laws, particularly in civil law, penal law, marriage law, and citizenship law. Maturity is a crucial element in determining a legal act. Therefore, the diversity of its determination can lead to overlap and ambiguity in determining the validity of legal action and legal accountability. This raises the question of why there is a difference in the determination of maturity age and its factors. Analysis of this problem of diversity in maturity age is carried out using the maqāsid al-sharῑah approach, using Jasser Auda’s system theory. The study shows that differences in the determination of maturity age in legislation are caused by differences in legal proficiency required, a legal paradigm used as a basis, and differences in the law's scope. In maqāsid al-sharῑah perspective, maturity age occupies a position as a wasilah or a strategy to achieve legal purposes, thus allows for diversity. The more interests are protected, the higher of age is set. The diversity of maturity ages has an interrelated hierarchy without causing any contradictions between laws. The maturity age difference is intended to fulfill legal authority requirements, proficiency to act, and authority to act, with their specifics.Artikel ini mengeksplorasi keragaman penetapan usia kedewasaan dalam perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam hukum perdata, pidana, perkawinan, dan kewarganegaraan. Kedewasaan merupakan unsur pokok dalam penetapan suatu perbuatan hukum. Terjadinya keragaman penetapannya dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakjelasan dalam penetuan keabsahan tindakan hukum dan pertanggungjawaban hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa terjadi keragaman dalam penetapan usia kedewasaan dan apa faktor yang melatarbelakanginya. Analisis terhadap masalah keragaman usia kedewasaan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan maqāsid al-sharῑah, dengan memanfaatkan teori sistemnya Jasser Auda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan penetapan usia kedewasaan dalam perundang-undangan disebabkan oleh perbedaan kecakapan hukum yang dituntut, paradigma hukum yang dijadikan dasar, dan ruang lingkup hukum. Dalam perpsektif maqāsid al-sharῑah, usia kedewasaan menempati posisi sebagai wasilah atau strategi mencapai tujuan hukum, sehingga memungknkan terjadinya keragaman. Semakin banyak kepentingan yang dilindungi maka semakin tinggi usia yang ditetapkan. Keragaman usia kedewasaan memiliki interrelasi hirarkhi, sehingga tidak menimbulkan kontradiksi antar undang-undang. Perbedaan usia kedewasaan ditujukan untuk memenuhi persyaratan kewenangan hukum, kecakapan bertindak, dan kewenangan bertindak yang memiliki kekhususan masing-masing.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 115-131
Author(s):  
Zarul Arifin ◽  
Hatoli Hatoli

The background of this research is indications from those who criticize the granting of halal certification on electronic and non-consumption products. At the same time, the critics say that the granting of halal certification is only a religious capitalization, the mode of following the MUI trend, getting fees. Some say that this is the miss-perception. This research was conducted in August 2019. This study analyzes how MUI halal certification is in electronic and non-consumption products and how halal certification in electronic and non-consumption products is in perspective. This type of research is field research with an empirical sociological approach and descriptive qualitative research. Data collection techniques used are literature, interviews, and documentation based on secondary sources obtained from dictionaries, brochures, expert opinions, and religious leaders. Based on the study results, it is concluded that the application of MUI halal certification in electronic products is still voluntary, so there is no mandatory (obligation) from business actors to register their products in obtaining halal certification. The application of MUI halal certification in electronic and non-consumer products, firstly for refusingmudharat must take precedence over taking little benefit. Secondly, for companies or producers, applying for halal certification aims to provide a sense of security and comfort in the community and increase the added value of their products and finally, the existence of halal products even though they are non-consumption besides having benefits for people because they are more confident in the products used also giving benefit to the company and fulfilling the provisions in the Act.Theoretically, this research's benefits are expected to provide reading sources and guidelines for the development of science, especially in Islamic law related to halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumer products. Practically, the results of this study are expected to provide clear information to the public regarding the application of halal certification by the Indonesian Ulema Council on electronic and non-consumption products.Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi dari pihak yang mengkritisi pemberian sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi, sedangkan yang mengkritik pemberian sertifikasi halal hanya sebagai kapitalisasi agama, modus mengikuti trend MUI, mendapat iuran dan ada yang bilang kaprah ini salah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana sertifikasi halal MUI pada produk elektronik dan non konsumsi serta bagaimana penerapan sertifikasi halal pada produk elektronik dan non konsumsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan sosiologis empiris, penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan dokumentasi berdasarkan sumber sekunder yang diperoleh dari kamus, brosur, pendapat ahli, dan pemuka agama. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penerapan sertifikasi halal MUI pada produk elektronik masih bersifat sukarela, sehingga belum ada keharusan (kewajiban) dari pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya untuk memperoleh sertifikasi halal. Penerapan sertifikasi halal MUI pada produk elektronik dan non-konsumen yang pertama menolak mudharat harus diutamakan daripada mengambil manfaat yang kecil. Kedua bagi perusahaan atau produsen, pengajuan sertifikasi halal bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman pada masyarakat serta meningkatkan nilai tambah produknya dan akhirnya keberadaan produk halal meskipun tidak dikonsumsi, selain bermanfaat bagi masyarakat. karena mereka lebih yakin produk yang digunakan juga menguntungkan perusahaan, serta memenuhi ketentuan di UU. Secara teoritis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumber bacaan dan pedoman bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang syariat Islam terkait penerapan sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia pada produk elektronik dan non konsumen. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat terkait penerapan sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia pada produk elektronik dan non konsumsi.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 132-148
Author(s):  
Ahmad Lutfi Rijalul Fikri

Qawā'id Al-Fiqhiyyah has an essential role in identifying new problems that arisen for analysis whether they are following Islamic law or not. The purpose of forming qa'idah-qa'idah in realizing Maqashid Sharia in protecting community property rights must be implemented in every statutory regulation or established by the government. This article examines and analyzes the prohibition of monopolistic practices and unfair business competition in Law No. 5 of 1999 by using several qawā'id al-fiqhiyyah. This paper's study is based on literature data analyzed using qualitative research methods with a multidisciplinary approach. This study concludes that the Law on the prohibition of monopoly and unfair business competition in Law No. 5 of 1999, which contains the prohibition of control of production and marketing, the prohibition of fraud/ conspiracy, and the prohibition of using a dominant position under qawā'id al-fiqhiyyah, among others, namely the rules that say Lâ Yahtakiru illâ Khâthi'un, an-Najasyu Harâmun, and at-Tas'îr. The conformity of the objectives of laws and regulations with the establishment of qa’idah-qa’idah is something that the government must maintain in the Draft Law on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition which is being programmed by the House of Representatives (DPR) of the Republic of Indonesia, so the purpose of being able to maintain community property rights can be implemented in this Law.Qawā’id Al-Fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam mengidentifikasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul untuk dianalisis apakah sudah sesuai dengan hukum islam atau tidak. Tujuan pembentukan qa’idah-qa’idah dalam mewujudkan Maqashid Syariah dalam menjaga hak milik masyarakat merupakan sesuatu yang harus diimplemantasikan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang telah maupun yang akan dibentuk oleh pemerintah. Artikel ini mengkaji dan menganalisa tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dengan menggunakan beberapa kaidah fikih. Kajian dalam tulisan ini berdasarkan data literatur yang dianalisa dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan multidisipliner. Kajian ini menyimpulkan bahwa Undang-Undang tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang berisi tentang larangan penguasaan produksi dan pemasaran, larangan kecurangan/persekongkolan, dan larangan menggunakan posisi dominan sudah sesuai dengan qawā’id al-fiqhiyyah antara lain yaitu kaidah yang mengatakan Lâ Yahtakiru illâ Khâthi’un, an-Najasyu Harâmun, dan at-Tas’îr. Kesesuaian tujuan peraturan perundang-undangan dengan tujuan dibentuknya qa’idah-qa’idah ini merupakan hal yang harus dipertahankan oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat yang sedang diprogramkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sehingga tujuan untuk menjaga hak milik masyarakat dapat diimplementasikan dalam Undang-Undang ini.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 39-58
Author(s):  
Abdulazeem Abozaid

Since its inception a few decades ago, the industry of Islamic banking and finance has been regulating itself in terms of Sharia governance. Although some regulatory authorities from within the industry, such as Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) and Islamic Financial Services Board (IFSB), the Islamic banking and finance industry remains to a great extent self-regulated. This is because none of the resolutions or the regulatory authorities' standards are binding on the Islamic financial institution except when the institution itself willingly chooses to bind itself by them. Few countries have enforced some Sharia-governance-related regulations on their Islamic banks. However, in most cases, these regulations do not go beyond the requirement to formulate some Sharia controlling bodies, which are practically left to the same operating banks. Furthermore, some of the few existing regulatory authorities' standards and resolutions are conflicted with other resolutions issued by Fiqh academies. The paper addresses those issues by highlighting the shortcomings and then proposing the necessary reforms to help reach effective Shariah governance that would protect the industry from within and help it achieve its goals. The paper concludes by proposing a Shariah governance model that should overcome the challenges addressed in the study.Pada awal berdiri, Lembaga Keuangan Syariah merupakan lembaga keuangan yang menerapkan Hukum Syariah secara mandiri dalam sistem operasionalnya. Ia tidak tunduk pada peraturan lembaga keuangan konvensional, sehingga dapat terus berkomiten dalam menerapkan Hukum Syariah secara benar. Selanjutnya, muncullah beberapa otoritas peraturan yang berasal dari pengembangan Lembaga Keuangan Syariah. Diantaranya adalah Islamic Financial Services Board (IFSB) dan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Hal ini tidak menyimpang dari kerangka peraturan Hukum Syariah, sebab standar peraturan dan keputusan yang dikeluarkan ditujukan khusus untuk Lembaga Keuangan Syariah saja. Beberapa Negara telah menerapkan peraturan tata kelola Hukum Syariah pada Bank Syariah mereka. Namun dalam banyak kasus, peraturan yang diterapkan tidak mampu mengontrol Lembaga Keuangan Syariah tersebut secara penuh. Sehingga, secara praktis proses pengawasan diserahkan kepada lembaga keuangan yang beroperasi. Akan tetapi, beberapa standar dan keputusan yang dikeluarkan oleh sebagian pemangku kebijakan bertentangan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh beberapa akademi Fiqh. Artikel ini ditulis untuk menyoroti permasalahan yang timbul pada tata kelola Lembaga Keuangan Syariah, khususnya kekurangan yang tampak pada sistem tata kelola. Kemudian, penulis akan mengajukan usulan tentang efektifitas tata kelola Lembaga Keuangan Syariah yang bebas dari permasalahan.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 19-38
Author(s):  
Agus Sekarmadji ◽  
Regine Wiranata ◽  
Oemar Moechthar

Actors in the real estate market have developed a marketing strategy in the form of pre-project selling. This strategy is conducted to perform a market test for any property a developer intends to market. However, in practice, the system often poses problems, such as misrepresenting the property and inflicting customers' financial losses. From the perspective of Islamic law, this type of transaction is characterized as gharar (uncertainty, deception, and risk), having no exact object, and having forbidden. This article uses a Sharia-based perspective to analyze the characteristics of pre-project selling. This research aims to determine the legality of pre-project selling under Sharia law and prescribe solutions for society. The method used in this article is legal research, using legislation-based, conceptual, and case-based approaches, along with a comparison of national legislation with the written text of the al-Qur’an and hadith. The paper concludes that while pre-project selling should not be legally banned, there need steps taken to reduce its risks. This could be applied, for example, by creating minimum prerequisites for allowing pre-project selling, such as the existence of a plot for construction or the requirement of permits to be obtained before the pre-project sale. This research contributes to the development of legal science in general and Islamic jurisprudence, especially regarding Islamic law agreements' validity.Pelaku usaha dalam bidang properti telah mengembangkan strategi pemasaran berbentuk pre-project selling. Strategi ini dilakukan untuk melakukan tes pasar properti yang hendak dipasarkan oleh pengembang. Namun, dalam praktek, system ini sering menimbulkan masalah, seperti misrepresentasi terhadap properti, yang menimbulkan kerugian finansial pada pembeli. Dari perspektif hukum Islam, transaksi semacam ini merupakan transaksi gharar, yang tidak memiliki obyek yang jelas, dan dengan demikian dilarang. Artikel ini menggunakan perspektif berbasis syariah untuk menganalisa karakteristik dari pre-project selling. Tujuan riset ini adalah untuk menentukan legalitas pre-project selling dalam hukum Syariah dan memberikan solusi bagi masyarakat secara umum. Tulisan ini menyimpulkan bahwa sementara pre-project selling tidak perlu dilarang secara hukum, perlu ada langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi risikonya. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan membuat prasyarat minimum untuk mengizinkan pre-project selling, seperti keberadaan sebidang tanah untuk konstruksi, atau persyaratan bahwa izin diperoleh sebelum penjualan. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum islam pada khususnya, terutama terkait keabsahan perjanjian di dalam hukum Islam.  


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 59-78
Author(s):  
Rimanto Rimanto ◽  
Sonny Zulhuda ◽  
Agus Hermanto

Juridically, the laws and regulations have weakened the Indonesian Waqf Board (BWI) in the regulation of waqf, so that the set goals of the Indonesian Waqf Board have not fully achieved, including advancing and developing national waqf. The overlapping management and supervision of waqf by other institutions is suspected of causing BWI’s duties and authorities’ inadequacy. Besides, several crucial problems, including the Indonesian Waqf Board (BWI), have implications for the stagnation of BWI provisions’ implementation. These regulations have not been followed by the Indonesian Muslim community as a whole. What is interesting to examine is why the Indonesian Waqf Board is unable to function correctly? This study’s objective was to find ideal constructions about the position, duties, and authorities of BWI in advancing and developing national waqf. This study was a scientific evaluation with its qualitative-descriptive-analytical characteristics. The method used was qualitative analysis, and the results were presented descriptively. The pattern of reconstructing authority of the Indonesian Waqf Board (BWI) was a study of Law Number 41 of 2004 concerning Waqf so that articles were compiled to lead to a genuinely independent, credible, and robust board in the governance of the Republic of Indonesia. Besides, it is necessary to have accreditation for BWI so that its management’s standardization is credible.Secara yuridis peraturan perundang-undangan terdapat pelemahan terhadap kedudukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam pengaturan perwakafan, sehingga berdampak pada belum sepenuhnya tercapai tujuan Badan Wakaf Indonesia dibentuk, yaitu memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Adanya timpangtindih pembinaan dan pengawasan wakaf oleh lembaga lain, diduga sebagai penyebab tidak maksimalnya tugas dan wewanang BWI. Selain itu, ada  beberapa problematika yang krusial, tidak jelasnya status independensinya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang berimplikasi pada stagnansi pelaksanaan ketentuan BWI sehingga aturan tersebut belum diikuti oleh masyarakat Muslim Indonesia secara keseluruhan. Yang menarik untuk dikaji adalah mengapa Badan Wakaf Indonesia tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya? Tujuan penelitian ini untuk menemukan kontruksi edeal tentang kedudukan, tugas serta wewenang BWI dalam memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Penelitian ini merupakan evaluasi ilmiah dengan sifatnya yakni kualitatif-deskriptif-analitis. Metode yang digunakan adalah analisa kualitatif, dan hasilnya disajikan secara deskriptif. Pola rekonstruksi toritas Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah penelitian terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, sehingga tersusun pasal tentang BWI yang dapat menjadikan badan yang benar-benar independen, kridibel serta kuat dalam tata kelola pemerintahan Republik Indioonesia perlu adanya akreditasi terhadap BWI agar standarisasi pengelolaannya kredibel.


2021 ◽  
Vol 18 (1) ◽  
pp. 1-18
Author(s):  
Malahayati Malahayati ◽  
Laila M Rasyid

Women have potential contributions to engage in productive activities and can help the family economy. A vocational village is a village setting a model for developing its local resources to improve inhabitants' quality of life, especially women in the village in North Aceh District, without leaving their Islamic values. This article described the role of government in enhancing women's capacity and local potentials in the vocational village with Islamic values using the empirical methodology. Data is obtained based on field research through purposive sampling collected by interviews with informants using qualitative analysis data. This study found that several training initiatives had been carried out to increase women's capacity, for example training in embroidery, handicrafts, and others. However, these initiatives were not based on the potential components that live in the village. Furthermore, Islamic values in the community in encouraging women in North Aceh have experienced a shift in Pande Village. This study recommends the need for more efforts to increase women's potential by promoting and exhibiting local products for empowering women in villages based on existing prospects without leaving Islamic values.Perempuan memiliki potensi untuk terlibat dalam kegiatan produktif dan dapat membantu perekonomian keluarga. Desa kejuruan adalah desa yang menjadi model pengembangan sumber daya lokalnya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk, khususnya perempuan di desa di Kabupaten Aceh Utara tanpa meninggalkan nilai-nilai keislamannya. Artikel ini memaparkan peran pemerintah dalam meningkatkan kapasitas perempuan dan potensi lokal di desa vokasi yang bernuansa Islami dengan menggunakan metodologi empiris. Data diperoleh berdasarkan penelitian lapangan melalui purposive sampling yang dikumpulkan melalui wawancara dengan informan dengan menggunakan data analisis kualitatif. Studi ini menemukan bahwa beberapa inisiatif pelatihan telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perempuan, misalnya pelatihan membordir, kerajinan tangan, dan lain-lain. Namun inisiatif tersebut tidak didasarkan pada potensi komponen yang ada di desa. Selanjutnya nilai-nilai Islam yang ada di masyarakat dalam mendorong proses pemberdayaan perempuan di Aceh Utara mengalami pergeseran di Desa Pande. Kajian ini merekomendasikan perlunya lebih banyak upaya untuk meningkatkan potensi perempuan dengan cara mempromosikan dan memamerkan produk-produk lokal untuk pemberdayaan perempuan di desa berdasarkan potensi yang ada tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document