The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

41
(FIVE YEARS 33)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Yayasan Islam Nusantara Center

2621-4946, 2621-4938

Author(s):  
Nur Rofiq ◽  
M Zidny Nafi' Hasbi

This paper aims to find out the results of Nidhal Guessoum's thoughts on his studies on Islam and contemporary science issues contained in his book entitled "Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science". Nidhal Guessoum's thoughts in the book, particularly in the Islamic section and contemporary science issues that can be understood through the four subsections he divides namely (1) Islam and Cosmology, which discuss Islam about the way one expresses his views freely; (2) Islam and the Rancanan Argument, which is about Islam and the arguments expressed by men such as about the law or social experience; (3) Islam and the Anthropic Principle, which deals with Islam and the revolution of human scientific thought, and (4) Islam and Evolution, which is to discuss Islam and the process of human evolution based on Darwin's theory. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hasil pemikiran Nidhal Guessoum tentang kajian Islam dan isu-isu sains kontemporer yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science”. Pemikiran Nidhal Guessoum dalam buku tersebut, khususnya pada bagian Islam dan isu-isu sains kontemporer yang dapat dipahami melalui empat sub-bab yaitu, (1) Islam dan Kosmologi, yakni yang membahas mengenai Islam kaitannya dengan cara seseorang mengutarakan pandangan-pandangannya secara bebas; (2) Islam dan Argumen Rancanan, yakni yang membahas mengenai Islam dan argumen-argumen yang diutarakan manusia seperti tentang hukum atau pengalaman sosial; (3) Islam dan Prinsip Antropik, yakni yang membahas tentang Islam dan revolusi pemikiran ilmiah manusia, serta (4)Islam dan Evolusi, yakni membahas tentang Islam dan proses evolusi manusia berdasarkan teori Darwin.


Author(s):  
Aik Iksan Anshori

Abstract This paper will try to uncover the affair of orientalism and (post) colonialism in which the orientalist discourse, at the practical level, cannot be separated from the intertwined network of colonialism. In fact, between the two there is a reciprocal relationship that is so intimate in the form of cultural hegemony of orientalism which is fully supported by the authority of colonialism or vice versa, depending on the frame of the object being studied. But the first option is more appropriate to be my choice--for the sake of adaptation of the basic theme that will be raised. This lengthy presentation, aside from presenting paradoxical historical accounts between the two—in fact, each has its own historical identity—it will also strip down the motivation, background and epistema of the two. And with a little rash, because of my limitations, it can also be said as a case study of both at once.   Tulisan ini akan mencoba menguak perselingkuhan orientalisme dan (post) kolonialisme dimana wacana orientalis, dalam tataran praksis, tidak bisa dilepaskan dari jejaring kolonialisme yang bererat-kelindan. Bahkan antar keduannya ada hubungan timbal balik yang begitu mesra berupa hegemoni kebudayaan orientalisme yang disokong penuh oleh otoritas kekuasaan kolonialisme atau bisa juga kesebalikannya, bergantung frame objek yang dikaji. Namun opsi yang pertama lebih tepat jadi pilihan saya--demi adaptasi dari tema dasar yang akan diangkat. Paparan panjang ini, disamping akan mempresentasikan paparan-paparan sejarah yang paradoks antar keduanya—bahkan sejatinya masing-masing memiliki ciri identitas sejarah sendiri—pun juga akan mempreteli motivasi, latar belakang dan epistema keduannya. Dan dengan sedikit gegabah, karena keterbatasan saya, bisa dikatakan pula sebagai studi kasus keduanya sekaligus.


Author(s):  
Aji Setiawan ST

Habib Abdurrahman as-Segaf is no stranger to the people around Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). The owner of the complete greeting al-Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf is one of the important scholars who played a major role in the development of Islam in the metropolitan area.  The figure born in 1908 in Cimanggu Bogor is known as a sincere educator. He dedicated his life to teaching his knowledge to the people. In fact, from a young age, he was believed to teach at Madrasah Jami'at al-Khair, the oldest formal Islamic educational institution in Batavia, at that time. The passion to fight to teach knowledge from al-Walid, as he is familiarly called, has crystallized when he was young. At the age of 20, he moved to Bukit Duri, South Jakarta. Armed with religious knowledge that had been obtained during his studies, he established his own educational institution named Tsaqafah Islamiyah.  The institution that focuses on teaching religious science still survives until now in the midst of the hustle and bustle of Jakarta. Nama Habib Abdurrahman as-Segaf tak asing bagi masyarakat di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pemilik sapaan lengkap al-Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf ini merupakan salah satu ulama penting yang berperan besar dalam perkembangan Islam di kawasan metropolitan tersebut.  Tokoh kelahiran 1908 di Cimanggu Bogor ini dikenal sebagai pendidik yang tulus ikhlas. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan ilmunya kepada umat. Bahkan, sejak usianya masih muda, ia dipercaya mengajar di Madrasah Jami'at al-Khair, lembaga pendidikan Islam formal tertua yang ada di Batavia, ketika itu. Semangat untuk berjuang mengajarkan ilmu dari al-Walid, demikian ia akrab disapa, telah mengkristal saat usianya muda. Pada umur 20 tahun, ia hijrah ke Bukit Duri, Jakarta Selatan. Berbekal ilmu agama yang telah diperoleh selama menimba ilmu, ia mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang diberi nama Tsaqafah Islamiyah. Lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama itu masih tetap bertahan hingga kini di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta.        


2021 ◽  
Vol 6 (02) ◽  
pp. 93-110
Author(s):  
Fitrotul Muzayanah

Islam nusantara is present as a thought based on the history of the ancestors. The influx of Islam in Indonesia is clearly not through conquest, colonization, or warfare, but through the inner rooms of religious and cultural relations through the benefit of trade, marriage, civility, and cultural practices.  It is no wonder that nusantara's legacy has been created by sanad scientists, literature, audio compositions, cultural traditions and architecture. Everything becomes a separate color in the islamic khazanah region.  Why is that? Because in the nascent fragment of the islamic discourse there has always been a posturing attitude: tawassuth (moderate), tawazun (fair), tasamuh (tolerant), I 'tidal (upright, consistent, istiqamah), amar ma 'ruf mungkar, proposes of good works, prevent all that devalues humanity.   Islam Nusantara hadir sebagai pemikiran yang berlandaskan pada sejarah nenek moyang. Masuknya Islam di Indonesia sudah jelas tidak melalui penaklukan, kolonisasi, maupun peperangan, akan tetapi melalui ruang batin relasi keagamaan dan kebudayaan.  Dengan memanfaatkan praktik perdagangan, pernikahan, kekerabatan, dan senibudaya.Sehingga tidak heran mampu menciptakan banyak sekali warisan Islam Nusantara berupa keilmuan-sanad, karya sastra, gubahan seni suara, tradisi budaya dan seni arsitektur. Semuanya menjadi warna tersendiri dalam khazanah Islam Nusantara. Kenapa demikian? karena dalam fragmen diskursus Islam nusantara  selalu mengedepankan sikap: Tawassuth (moderat), Tawazun (berimbang), Tasamuh (toleran), I’tidal (Tegak, Konsisten, Istiqamah), Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, mengajak perbuatan baik, mencegah semua hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.


Author(s):  
Retna Dwi Estuningtiyas

Pontianak with the diversity of the people who live in it and its unique culture is an area that has its own da'wah challenges. Historically, the Pontianak Sultanate was founded in 1778 led by Syarif Abdurrahman Al-Kadri, who in 1777 was assisted by Raja Haji from Riau. Attended by the Sultans and additions from Landang, Simpang, Sukadana, Malay and Mempawah, Raja Haji appointed and crowned Syarif Abdurrahman al-Kadri as Sultan of the Pontianak sultanate. After Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri died in 1808 AD, successively a number of his descendant sultans came to power in the Pontianak Sultanate. The history of the Pontianak Sultanate is indeed synonymous with da'wah, struggle and sacrifice. According to the 9th Sultan of Pontianak, Syarif Abu Bakar al-Kadrie, the purpose of the establishment of the Pontianak sultanate was to strengthen the da'wah of Islamiyah. The challenges and obstacles that are felt now in the development of Islamic da'wah include the ambition of Christians in spreading their religious mission in West Kalimantan, this can be seen from several facts including, related to the Christian mission in Indonesia which is centered in Kalimantan and makes Kalimantan and Pontianak as pilot projects. short-term Christianity (2003). As for overcoming it, various Islamic da'wah strategies are needed, including: upholding ukhuwah Islamiyah; maintain the unity and integrity of the people; Cooperating in building among the Muslims themselves; Strengthening religious education in the family; Get used to being good.   Pontianak dengan kemajemukan masyarakat yang tinggal di dalamnya dan keunikan budayanya merupakan wilayah yang mempunyai tantangan dakwah tersendiri. Dalam sejarahnya, Kesultanan Pontianak berdiri tahun 1778 dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Al-Kadri, yang pada tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau. Dihadiri oleh para Sultan dan penambahan dari Landang, Simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, Raja Haji mengangkat dan menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan Pontianak. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak. Sejarah Kesultanan Pontianak memang identik dengan dakwah, perjuangan dan pengorbanan. Tujuan didirikannya kesultanan Pontianak sendiri, menurut Sultan Pontianak ke-9 Syarif Abu Bakar al-Kadrie, tidak lain untuk meneguhkan dakwah Islamiyah. Adapun tantangan maupun hambatan dirasakan sekarang di dalam pengembangan dakwah Islam diantaranya adalah ambisi Umat Kristiani dalam menyebarkan misi agamanya di Kalimantan Barat, hal itu terlihat dari beberapa fakta diantaranya, terkait misi Kristen di Indonesia yang dipusatkan di Kalimantan dan menjadikan Kalimantan, dan Pontianak sebagai pilot project kristenisasi jangka pendek (2003).  Adapun untuk mengatasinya diperlukan beragam strategi dakwah Islam diantaranta adalah : menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah; menjaga persatuan dan kesatuan umat; Bekerjasama dalam membangun antar umat Islam sendiri; Menguatkan Pendidikan agama dalam keluarga; Membiasakan diri dalam kebaikan.  


2021 ◽  
Vol 6 (02) ◽  
pp. 111-126
Author(s):  
Ulfatun Hasanah

The character of Ki Ageng Suryomentaram's teachings is considered unique because it is full of local wisdom values. His thinking departs from the results of internalization as well as behavior in Javanese culture which is shown in the taste at the highest level of taste that exists in humans, namely Kawruh Jiwa. He equates the Soul with Rasa, in which all inner movements include feelings, ideas, and desires. In this teaching, to reach the point of Kawruh Jiwa, one must pass the fourth dimension approach with four dimensions; the note taker dimension, the emotional dimension, the kradamangsa identity dimension, and the featureless identity dimension.This study specifically discusses these four dimensions as steps taken to arrive at the point of Raos psychology. Given that raos becomes social integration that can affect the degree or quality of interaction in society. Besides that, it also discusses the differences in the concepts of Ki Ajeng Suryomentaram's teachings with concepts from the West to determine the specification of thinking centered between taste and ratio. West places more emphasis on reason/rationality, while Suryomentaram focuses more on feeling or spirituality.   Karakter ajaran Ki Ageng Suryomentaram dianggap unik karena sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Pemikirannya berangkat dari hasil internalisasi sekaligus laku dalam budaya jawa yang ditunjukkan dalam rasa pada level tertinggi rasa yang ada dalam diri manusia, yaitu Kawruh Jiwa. Ia menyamakan Jiwa dengan Rasa, yang mana segala gerak dalam batin meliputi perasaan, gagasan, dan keinginan. Dalam ajaran tersebut, untuk mencapai pada titik Kawuruh Jiwa harus melewati pendekatan ukuran keempat dengan empat dimensi; dimensi juru catat, dimensi emosi, dimensi identitas kradamangsa, dan dimensi identitas tanpa ciri. Kajian ini secara spesifik membahas empat dimensi tersebut sebagai langkah yang ditempuh untuk sampai pada titik psikologi raos. Mengingat bahwa raos menjadi integrasi sosial yang dapat mempenagaruhi derajat atau kualitas interaksi dalam masyarakat. Selain itu juga dibahas tentang perbedaan konsep ajaran Ki Ajeng Suryomentaram dengan konsep dari Barat untuk mengetahui spesifikasi pemikiran yang berpusat antara rasa dan rasio. Barat lebih menekankan pada akal/rasionalitas, sedangkan Suryomentaram lebih kepada rasa atau spiritualitas.  


Author(s):  
Johan Wahyudi

كيلاهيران كتاب سراج الطالبين ديلاتاربيلاكاڠي أوليه مونچولۑا مالإيسي دالام تراديسي إينتيليكتووال جاوا, ياڠ بيلاكڠان تيلاه ديراسوكي أوليه سيڬالا بينتوك أناسير بارات, سيهيڠڬا أڤا ياڠ ديكاتاكان سيباڬإي حازاناه إيلمو جاوا أتأو كيجاوين, ديأڠڬاڤ بيرتولاك بيلاكاڠ ديڠان أجاران إسلام. سراج الطالبين ميروڤاكان سوواتو كتاب ياڠ ميڠاندوڠ أجاران تاساووف. إيني ميروڤاكان كتاب ڤينجيلاسان داري منهاج العابدين كاريا إمام غازلى. ڤينوليس أكان بيرأوڤايا ميڠوڤاس لاتار بيلاكاڠ ڤينوليسان كتاب إيني, ياڠ ديأڠكات داري كيچينديروڠان إينتيليكتووال كياهي إحسان جامڤيس. أرتيكيل إيني أكان ميڠوڤاس كاندوڠان سراج الطالبين دان لاتار كيلاهيران تيكس إيني. ميتودي ڤينيليتييان ياڠ ديلاكوكان أدالاه ديڠان ڤيمباچأن سيچارا كريتيس داري كتاب سراج الطالبين. ڤينوليس تيداك هاۑا مينجيلاسكان سيكيلوميت كاندوڠان كتاب إيني, ميلإينكان جوڬا ميمڤيرتاليكانۑا ديڠان كونتيكس سوسييال ماشاراكات سيتيمڤات, سيهيڠڬا تيرليهات نووانسا سوسييال ياڠ كووات داري ڤينجيلاسان-ڤينجيلاسان سوفيستيك ياڠ ديباڠون أوليه كياهي إحسان. Kelahiran kitab Sirajuththalibin dilatarbelakangi oleh munculnya malaise dalam tradisi intelektual Jawa, yang belakangan telah dirasuki oleh segala bentuk anasir Barat, sehingga apa yang dikatakan sebagai khazanah ilmu Jawa atau kejawen, dianggap bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sirajuththalibin merupakan suatu kitab yang mengandung ajaran tasawuf. Ini merupakan kitab penjelasan dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Penulis akan berupaya mengupas latar belakang penulisan kitab ini, yang diangkat dari kecenderungan intelektual Kyai Ihsan Jampes. Artikel ini akan mengupas kandungan Sirajuththalibin dan latar kelahiran teks ini. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan pembacaan secara kritis dari kitab Sirajuththalibin. Penulis tidak hanya menjelaskan sekelumit kandungan kitab ini, melainkan juga mempertalikannya dengan konteks sosial masyarakat setempat, sehingga terlihat nuansa sosial yang kuat dari penjelasan-penjelasan sufistik yang dibangun oleh Kyai Ihsan. The birth of the Sirajuththalibin book was motivated by the emergence of malaise in the Javanese intellectual tradition, which had recently been penetrated by all forms of Western elements, so that what was said to be a treasure trove of Javanese knowledge or kejawen, was considered to be contrary to Islamic teachings. Sirajuththalibin is a book that contains Sufism teachings. This is the book of explanation from Imam Ghazali's Minhajul Abidin. The author will try to explore the background of the writing of this book, which is lifted from the intellectual inclination of Kyai Ihsan Jampes. This article will discuss the content of Sirajuththalibin and the background for the birth of this text. The research method used is by reading critically from the Sirajuththalibin book. The author not only explains a little about the contents of this book, but also links it to the social context of the local community, so that a strong social nuance is seen from the Sufi explanations constructed by Kyai Ihsan.  


Author(s):  
Retna Dwi Estuningtiyas

داكواه أدالاه كيواجيبان سيتيياڤ مسليم دان ميروڤاكان بينتوك أكتوواليساسي كيبيناران إسلام دالام كيهيدوڤان سوسييال ڬونا ميۑيلاماتكان ميريكا دان ليڠكوڠانۑا داري كيروساكان (الفساد). سيتيياڤ زامان ڤاستي ميميليكي توكوهۑا سينديري, جوڬا دالام هال داكواه. سالاه ساتو توكوه داكواه ياڠ ميميليكي كونتريبوسي بيسار باڬي ڤيركيمباڠان داكواه إسلام ڤادا أيرا تاهون ٩٠-ان أدالاه كياهي الحاج عبد الله شافعى سيلإين كونسين دالام بيداڠ ڤينديديكان, بيلييأو جوڬا أكتيف دالام ميمڤيرجوواڠكان تيرووجودۑا شارعة إسلام دي إندونيسييا, إيني ديبوكتيكان ديڠان بيرڬابوڠۑا دي ڤارتإي مشـومى, سيلإين إيتو بيليأو كيمودييان أكتيف جوڬا دي م أو إي. دالام ڤانداڠان كياهي الحاج عبد الله شافعى داكواه تاك هاۑا بيرأرتي تابليڬ أتأو ڤيداتو أليياس كيڬيياتان ميۑامڤإيكان دان مينشيأركان إسلام كيڤادا حالاياك. داكواه سيباڬإي أوساها ڤيڠيمباڠان ماشاراكة إسلام, دان ڤانداڠان كياهي الحاج عبد الله شافعى تاك چوكوڤ ديلاكوكان هاۑا ديڠان ڤيداتو (تبليغ), تيتاڤي جوڬا ديڠان ڤينديديكان (التعليم والتربيّة), دان ڤيڠيمباڠان سوسييال أيكونومي. سيباڬإي داعي كياهي الحاج عبد الله شافعى بيرداكواه ديڠان تيڬا ڤيلار إيني. يإيتو چيراماه/ ڤيداتو, ڤينديديكان إسلام دان ديڠان ڤيمبيردايأن سوسييال أيكونومي. Dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan merupakan bentuk aktualisasi kebenaran Islam dalam kehidupan sosial guna menyelamatkan mereka dan lingkungannya dari kerusakan (al-fasad). Setiap zaman pasti memiliki tokohnya sendiri, juga dalam hal dakwah. Salah satu tokoh dakwah yang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan dakwah Islam pada era tahun 90an adalah KH. Abdullah Syafi’ie. KH. Abdullah Syafe’i selain konsen dalam bidang pendidikan, beliau juga aktif dalam memperjuangkan terwujudnya syariat Islam di Indonesia, ini dibuktikan dengan bergabungnya di Partai Masyumi, selain itu beliau kemudian aktif juga di MUI. Dalam pandangan KH. Abdullah Syafi’ie dakwah tak hanya berarti tabligh atau pidato alias kegiatan menyampaikan dan mensyiarkan Islam kepada khalayak. Akan tetapi dakwah adalah usaha orang beriman untuk mewujudkan Islam dan masyarakat Islam. Dakwah sebagai usaha pengembangan masyarakat Islam, dan pandangan KH. Abdullah Syafi’ie tak cukup dilakukan hanya dengan pidato (tabligh), tetapi juga dengan pendidikan (al-ta’lim wa al-tarbiyah), dan pengembangan sosial ekonomi. Sebagai da’i KH. Abdullah Syafi’ie berdakwah dengan tiga pilar ini, yaitu ceramah/pidato, pendidikan Islam dan dengan pemberdayaan sosial ekonomi. Da'wah is the duty of every Muslim and is a form of actualization of Islamic truth in social life in order to save them and their environment from damage (al-fasad). Every era must have its own character, also in terms of preaching. One of the da'wah figures who had a major contribution to the development of Islamic da'wah in the 90s was KH. Abdullah Syafi'ie. KH. Abdullah Syafe'i in addition to his concern in the field of education, he was also active in fighting for the realization of Islamic law in Indonesia, this was proven by joining the Masyumi Party, besides that he was later also active in MUI. In KH. Abdullah Syafi'ie da'wah does not only mean tabligh or speech, aka the activity of conveying and broadcasting Islam to the public. However, da'wah is the effort of a believer to realize Islam and Islamic society. Da'wah as an effort to develop Islamic society, and the views of KH. Abdullah Syafi'ie was not only done with speech (tabligh), but also with education (al-ta'lim wa al-tarbiyah), and socio-economic development. As da'i KH. Abdullah Syafi'ie preached with these three pillars, namely lectures / speeches, Islamic education and socio-economic empowerment.


2021 ◽  
Vol 5 (01) ◽  
pp. 97-114
Author(s):  
Muhammad Ghifari ◽  
Ulfah Zakiyah

ڤينيليتييان إيني ميمباهاس تينتاڠ ڤيماكنأن كيمبالي تيرهاداڤ حديث ڤيريمڤووان مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا. داري هاسيل تيمووان ڤينوليس, حديث إيني تيداك داڤات ديڤاهامي سيچارا تيكستووال ميلإينكان هاروس ميمڤيرهاتيكان كونتيكستووال داري تيكس حديث تيرسيبوت. سيباب ڤادا داسارۑا تيداك ديتيموكان أدا أيات ألقرأن أتأوڤون حديث ياڠ مينديسكريميناسي ڤيريمڤووان (ميسأوڬينيس). أداۑا أڠڬاڤان باهوا ڤيريمڤووان مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا ديسيبابكان كارينا أداۑا كيسالاهان ڤيمباچأن دان ڤيماهامان حديث تيرسيبوت. جيكا حديث إيني موتلاك ديڤاهامي باهوا ڤيريمڤووان مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا ماكا هال إيني تينتو تيداك سيجالان ديڠان نيلإي-نيلإي أونيفيرسال, كيأديلان دان كيسيتارأن تنڤا ميمبيداكان راس, ڬولوڠان أتأوڤون جينيس كيلامين. حديث تيرسيبوت تيداك بيسا موتلاك ديڤاهامي ڤيريمڤووان سيباڬإي مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا كارينا لاكي-لاكي دان ڤيريمڤووان ميميليكي ڤيلوواڠ ياڠ ساما ماسوك نيراكا دان مينجادي مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا أتأوڤون سورڬا. باهكان دالام ڤينيليتييان إيني ميمبوكتيكان باهواسانۑا حديث ڤيريمڤووان مايوريتاس ڤيڠهوني نيراكا تيداك أونتوك ميڠڬينيراليساسي سيمووا ڤيريمڤووان. Penelitian ini membahas tentang pemaknaan kembali terhadap hadis perempuan mayoritas penghuni neraka. Dari hasil temuan penulis, hadis ini tidak dapat dipahami secara tekstual melainkan harus memperhatikan kontekstual dari teks hadis tersebut. Sebab pada dasarnya tidak ditemukan ada ayat al-Qur'an ataupun hadis yang mendiskriminasi perempuan (misoginis). Adanya anggapan bahwa perempuan mayoritas penghuni nereka disebakan karena adanya kesalahan pembacaan dan pemahaman hadis tersebut. Jika hadis ini mutlak dipahami bahwa  perempuan mayoritas penghuni nereka maka hal ini tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah, karena Islam menjunjung tinggi nilai-nilai universal, keadilan dan kesetaraan tanpa membedakan ras, golongan ataupun jenis kelamin. Hadis tersebut tidak bisa mutlak dipahami perempuan sebagai mayoritas penghuni neraka karena laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama masuk neraka dan menjadi mayoritas penghuni neraka ataupun surga. Bahkan dalam penelitian ini membuktikan bahwasannya hadis perempuan mayoritas penghuni neraka tidak untuk menggenearilisasi semua perempuan. This research discusses the reinterpretation of the hadith of the majority of women living in hell. From the author’s findings, this hadith cannot be understood textually but must pay attention to the context of the hadith text. Because basically there are no verses from the Koran or hadiths that discriminate against women (misogynists). There is an assumption that the majority of women who live in hell are caused by an error in reading and understanding the hadith. If this hadith is absolutely understood that women are the majority of their inhabitants then this is certainly not in line with the Islamic values​​brought by the Prophet, because Islam upholds universal values, justice, and equality without distinguishing race, class, or gender. This hadith cannot absolutely be understood by women as the majority of the inhabitants of hell because men and women have the same opportunity to go to hell and become the majority of those who live in hell or heaven. In fact, this research proves that the hadith of the majority of women who live in the hell is not to generalize all women.    


Author(s):  
Kiki Esa Perdana

جودول ڤينيليتييان إيني أدالاه "أناليسا موديل كومونيكاسي لاسويلل ڤادا هالامان @أسواجا_سوندا" دالام توروت ميمڤيرتاهانكان أجاران أهل السنّه والجامعة دي ميدييا إنستاڬرام". أجاران أسواجا ميروڤاكان أجاران ياڠ باۑاك ديڤيرتاهانكان باۑاك أومات إسلام ديڠان بيراڬام چارا دالام كيهيدوڤان بيرأڬاما إسلام سيهاري-هاري. توجووان ڤينيليتييان إيني أدالاه أونتوك ميڠيتاهووي باڬإيمانا سيباڬييان كيچيل داري أومات إسلام دي نوسانتارا ميمڤيرتاهانكان أجاران كيإسلامان ياڠ ميريكا ڤيرچايإي دالام كيهيدوڤان كيسيهارييان ميريكا دي دونييا إينتيرنيت, تيروتاما ڤادا ميدييا سوسييال إينستاڬرام ديليهات دالام ڤينديكاتان بودايا, دالام هال إيني بودايا سوندا, دالام ڤينديكاتان موديل كومونيكاسي لاسويلل. ڤينيليتييان إيني ميڠڬوناكان ستودي كاسوس ديسكريڤتيف كوواليتاتيف. ڤيڠومڤولان داتا ديلاكوكان ميلالوإي واوانچارا, أوبسيرفاسي دان ستودي ڤوستاكا. سيداڠكان ڤيڠوجييان فاليديتاس داتا دالام ڤينيليتييان إيني ميڠڬوناكان تريأڠولاسي داتا, داتا ياڠ ديڤيروليه ديسيسوأيكان أتأو ديلاكوكان چيك أولاڠ ديڠان جوملاه ڤيڠيكوت سيكيتار ليبيه داري ٥١.٠٠٠ أوراڠ, ماكا ڤينديكاتان ياڠ ديلاكوكان أدمين ديڠان باۑاك ميڠڬوناكان باهاسا دأيراه (سوندا), دينيلإي مينوأو هاسيل چوكوڤ ڤوسيتيف.   Judul penelitian ini adalah “analisa model komunikasi laswell pada halaman @asaja_sunda” dalam turut mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di media instagram”. Ajaran aswaja merupakan ajaran yang banyak dipertahankan banyak umat islam dengan beragam cara dalam kehidupan beragama islam sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sebagian kecil dari umat islam di nusantara mempertahankan ajaran keislaman yang mereka percayai dalam kehidupan keseharian mereka di dunia internet, terutama pada media sosial instagram dilihat dalam pendekatan budaya, dalam hal ini budaya sunda, dalam pendekatan model komunikasi Lasswell. Penelitian ini menggunakan studi kasus deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi pustaka. Sedangkan pengujian validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data, data yang diperoleh disesuaikan atau dilakukan cek ulang dengan sumber data lainnya. Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa dengan jumlah pengikut sekitar lebih dari 51.000 orang, maka pendekatan yang dilakukan admin dengan banyak menggunakan bahasa daerah (sunda), dinilai menuai hasil cukup positif.   The title of this research is "analysis of the Laswell communication model on the @asaja_dunda page" in helping to defend the teachings of Islam Ahlussunnah Wal Jamaah on Instagram media ". The aswaja teaching is a teaching that is maintained by many santri in their daily Islamic life which is full of various understandings of the Islamic religion itself. The purpose of this study is to find out how a small number of Indonesian students maintain the Islamic teachings they believe in their daily lives in the internet world, especially on social media Instagram seen in a cultural approach, in this case, Sundanese culture, in the Lasswell communication model approach. This research uses a qualitative descriptive case study. Data collection was carried out through interviews, observation, and literature study. While testing the validity of the data in this study using data triangulation, the data obtained was adjusted or double-checked with other data sources. Based on the results of the research, the authors concluded that with the number of followers of more than 51,000 people, the approach taken by the admin by using a lot of regional languages ​​(Sundanese), is considered to reap quite positive results.    


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document