Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

99
(FIVE YEARS 37)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 0)

Published By Indonesian Agency For Agricultural Research And Development (Iaard)

2541-0822, 0216-4418

2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 149
Author(s):  
Nikmatul Hidayah ◽  
Christina Winarti ◽  
Usman Ahmad

<p>Ozone can be used as an alternative to control mold and aflatoxins in grains that is more eco-friendly because it does not leave residues that are harmful for humans, animals and environment. The use of ozone was quite effective in reducing mold and aflatoxin in grains such as barley, whole wheat, corn and rice. In Indonesia, ozone was limited used for sterilization of fruit and vegetable. Therefore, the comprehensive review on the potential of ozone in grains is needed, especially on the priority commodities of agricultural development in Indonesia, such as rice and corn. The objective of this review was to examine the opportunities of ozone to reduce Aspergillus flavus and aflatoxin in grains, so that it can improve its quality and shelf life. Many studies showed that the use of ozone reduced Aspergillus flavus and aflatoxin in grains by 50-90%.<br />Keywords: Grains, Aspergillus flavus, aflatoxin, ozone</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>OZON UNTUK MENGATASI CEMARAN ASPERGILLUS FLAVUS DAN</strong><br /><strong>AFLATOKSIN PADA BIJI-BIJIAN: PELUANG DAN TANTANGAN</strong><br /><strong>IMPLEMENTASI</strong></p><p>Ozon dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengendalian cendawan dan aflatoksin pada biji-bijian yang lebih ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya bagi manusia, hewan, maupun lingkungan. Penggunaan ozon cukup efektif mengurangi kontaminasi cendawan dan aflatoksin pada bijibijian seperti barley, biji gandum, jagung, dan beras. Di Indonesia, ozon digunakan secara terbatas untuk proses pencucian beberapa jenis buah dan sayuran. Oleh karena itu diperlukan telaah lebih lanjut mengenai potensi penggunaan ozon pada biji-bijian terutama komoditas strategis yang menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian di Indonesia seperti padi dan jagung. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menelaah peluang penggunaan ozon dalam mengurangi kontaminasi Aspergillus flavus dan cemaran aflatoksin pada produk biji-bijian, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan meningkatkan umur simpan produk. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan ozon dapat menurunkan cemaran A. flavus dan aflatoksin pada biji-bijian sampai 50-90%.<br />Kata kunci: Biji-bijian, Aspergillus flavus, aflatoksin, ozon</p>


2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 138
Author(s):  
Tri Ratna Saridewi ◽  
Nazaruddin Nazaruddin

<p>Payments for environmental services mechanism is expected to strengthen decisions of agricultural landowners to maintain the existence of their agricultural land. This mechanism is expected to prevent the conversion of land that occurs due to its lower appreciation compared to other uses. This study is aimed to critically examine the challenges of implementing payments for environmental services in Indonesia and strategies to improve the implementation of payments for environmental services schemes to reduce agricultural land conversion. Ostrom’s Institutional Analysis and Development framework is used to examine the implementation of Payments for environmental services. The implementation was able to run well through the establishment of institutions that regulate constitutional rules. The collaboration between the Government (as the user of environmental service) and farmers (as the service provider) should be declared and fully understood before the scheme is implemented. Therefore, full participation of all related parties was crucial in achieving the program’s goals. Collective understanding of the need to prevent land conversion and the coordination of stakeholders needs to be carried out sustainably.<br />Keywords: Land, conversion, environmental services, payment</p><p><strong><br /></strong></p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>TANTANGAN IMPLEMENTASI PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN UNTUK PENCEGAHAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN</strong></p><p>Mekanisme pembayaran jasa lingkungan diharapkan dapat memperkuat keputusan pemilik lahan pertanian untuk mempertahankannya. Mekanisme tersebut diharapkan dapat mencegah konversi lahan yang terjadi akibat apresiasi terhadap lahan pertanian secara ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan lainnya. Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara kritis tantangan implementasi pembayaran jasa lingkungan di Indonesia dan strategi meningkatkan implementasi skema pembayaran jasa lingkungan untuk mengurangi konversi lahan pertanian. Kerangka Ostrom’s Institutional Analysis and Development digunakan untuk mengkaji implementasi pembayaran jasa lingkungan. Implementasi pembayaran jasa lingkungan dapat berjalan dengan baik melalui penetapan lembaga yang mengatur aturan konstitusional. Kontrak kerja sama antara pemerintah sebagai pengguna jasa lingkungan dengan petani sebagai penyedia jasa lingkungan harus disosialisasikan dan dipahami sebelum skema pembayaran jasa lingkungan dijalankan. Pelibatan partisipan secara penuh merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan program. Pemahaman bersama tentang perlunya pencegahan konversi lahan dan koordinasi seluruh pemangku kepentingan terkait secara berkelanjutan sangat diperlukan.<br />Kata kunci: Lahan, konversi, jasa lingkungan, pembayaran</p>


2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 125
Author(s):  
Vina Eka Aristya ◽  
Taryono Taryono

<p>The Rice farming system has long been implemented by a typical top-down approach. The degree of creativity and autonomy of farmers has been determined by the continuous external inputs. The main challenge of rice breeding programs is to improve the quality of varieties to be developed in a specific environment and acceptable to the user community. The adoption of new varieties was limited because the breeding process has not taken into account the farmers' preferences. Another obstacle that often arises was that varieties are less adaptive in specific conditions. The variety's productivity depends on farmers' knowledge, facilities, and resource management. This paper explores the principles of participatory rice breeding and its application with a comprehensive approach that aims to encourage farmer empowerment in assembling superior varieties and providing seeds independently. Participatory breeding programs are offered as a solution in understanding the needs of sustainable agriculture. The farmers' involvement serves to capture preferences and selection of lines with high yield potential and were environmentally adaptive. Collaboration was carried out through testing the lines on farmers' land. Decentralization breeding also pays attention to the agroecological paradigm in the scale of the agricultural region. Implementation of agricultural region development serves to preserve sustainable agricultural resources and the environment. The farmers' active participation in the agricultural region has a positive impact on ecosystem sustainability, biodiversity, and environmental conservation for the future. Participatory rice breeding through integrated policies contributes to improving farmers' welfare and realizing environmental sustainability through agricultural region management.</p><p><strong>Key words: </strong>Rice, breeding, participatory, collaboration, varieties</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>PEMULIAAN PADI SECARA PARTISIPATIF BERBASIS KONSEP KAWASAN PERTANIAN BERKELANJUTAN</strong></p><p>Sistem pertanian padi telah lama diterapkan dengan pendekatan <em>top-down</em> yang khas. Tingkat kreativitas dan otonomi petani ditentukan oleh input eksternal secara terus menerus. Tantangan utama program pemuliaan padi ialah meningkatkan kualitas varietas untuk dikembangkan di lingkungan khusus dan dapat diterima oleh masyarakat pengguna. Adopsi varietas baru terbatas karena proses pemuliaan belum memperhatikan preferensi petani. Kendala lain yang sering muncul yaitu varietas kurang adaptif pada lingkungan spesifik. Produktivitas varietas bergantung pada pengetahuan petani, fasilitas, dan pengelolaan sumber daya. Makalah ini menggali prinsip pemuliaan padi secara partisipatif dan penerapannya dengan pendekatan komprehensif yang bertujuan utuk mendorong pemberdayaan petani dalam perakitan varietas unggul dan penyediaan benih secara mandiri. Program pemuliaan partisipatif ditawarkan sebagai solusi dalam memahami kebutuhan pertanian berkelanjutan. Keterlibatan petani berfungsi untuk menjaring preferensi dan seleksi galur dengan potensi hasil tinggi dan adaptif lingkungan. Kolaborasi dilakukan melalui uji galur di lahan petani. Pemuliaan desentralisasi juga memperhatikan paradigma agroekologi dalam skala kawasan pertanian. Implementasi pembangunan kawasan pertanian berfungsi melestarikan sumber daya dan lingkungan pertanian berkelanjutan. Partisipasi aktif petani di kawasan pertanian berdampak positif terhadap kelestarian ekosistem, keanekaragaman hayati, dan konservasi lingkungan bagi masa depan. Pemuliaan padi partisipatif melalui kebijakan terintegrasi berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani dan mewujudkan kelestarian lingkungan melalui pengelolaan kawasan pertanian.</p><p><strong>Kata kunci: </strong>Padi, pemuliaan, partisipatif,<strong> </strong>kolaborasi, varietas</p>


2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 111
Author(s):  
Hasrul Abdi Hasibuan

<p><em></em>Palm oil is produced from the mesocarp part of the oil palm fruit (Elaeis guineensis Jacq.), contains balanced saturated fatty acids (47.8-55.2%) and unsaturated fatty acids (43.1-53.8%), and is semi-solid at room temperature with a melting point of 33.0-39.0 °C. About 80%, palm oil is applied to food products. In food products, palm oil needs to be purified through a refining process to remove free fatty acids, water, and impurities. Palm oil can be fractionated based on differences in melting points to produce palm olein fraction and palm stearin fraction with yields of about 70- 80% and 20-30%, respectively. Food products produced from palm oil and its fractions include cooking oil, vanaspati, shortening, margarine, cocoa butter equivalent, and human milk fat substitute. These food products are produced by modifying the physicochemical characteristics of palm oil and its fractions through blending, hydrogenation, and interesterification processes. The challenge for the palm oil industry in the future is to produce products that are low in contaminants such as 3- monochloropropane-1,2-diol and glycidyl esters, trans-fat free, and products that have high functional and nutritional value, such as structured lipids. Improving the quality and developing diversification of palm oil-based food products will encourage the sustainability of the palm oil industry in Indonesia.</p><p>Keywords: Palm oil, processing, palm oil, food product</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>PENGOLAHAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBASIS MINYAK SAWIT DI INDONESI</strong>A</p><p>Minyak sawit dihasilkan dari bagian mesokarp buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), mengandung asam lemak jenuh (47,8-55,2%) dan asam lemak tak jenuh (43.1-53,8%) seimbang, dan berbentuk semi padat pada suhu ruang dengan titik leleh sebesar 33,0-39,0°C. Sekitar 80%, minyak sawit diaplikasikan untuk produk pangan. Pada produk pangan, minyak sawit perlu dimurnikan melalui proses rafinasi untuk menghilangkan asam lemak bebas, air dan kotoran. Minyak sawit dapat difraksinasi berdasarkan perbedaan titik leleh untuk menghasilkan fraksi olein sawit dan fraksi stearin sawit dengan rendemen masing-masing sekitar 70- 80% dan 20-30%. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari minyak sawit dan fraksi-fraksinya meliputi minyak goreng, vanaspati, shortening, margarin, cocoa butter equivalent dan human milk fat substitute. Produk-produk pangan tersebut dihasilkan dengan memodifikasi karakteristik sifat fisikokimia minyak sawit dan fraksi-fraksinya melalui proses pencampuran (blending), hidrogenasi, dan interesterifikasi. Tantangan industri minyak sawit ke depan adalah menghasilkan produk rendah kontaminan seperti 3-monokloropropana-1,2-diol dan glisidil ester, bebas lemak trans, dan produk yang memiliki nilai fungsional dan nutrisi tinggi seperti lipida terstruktur. Dengan dilakukannya peningkatan kualitas dan pengembangan diversifikasi produk pangan berbasis minyak sawit akan mendorong keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.</p><p>Kata kunci: Kelapa sawit, pengolahan, minyak sawit, produk pangan</p>


2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 103
Author(s):  
Ervina Mela ◽  
Dhenadya Savira Bintang

<p><em></em>Virgin Coconut Oil (VCO) is coconut oil that is processed in a simple way without involving synthetic chemicals. Production methods that are commonly carried out on a household scale or micro, small and medium enterprises (MSMEs) include the methods of induced, salting, centrifugation, and fermentation. This process causes the lauric acid content of VCO to be the highest compared to the other 2 oils, which is 53.70-54.06 %, while ordinary coconut oil is 2.81% and palm oil is 0.45%. The high content of lauric acid makes VCO beneficial for health, including increasing endurance and accelerating the healing process of disease. In national and global and markets, until the 1990s VCO developed very slowly. But in 2020 the VCO market began to grow because people use this product as an antivirus against Covid-19. This paper explores the advantages, manufacturing technology, and trade of local and global VCO. Research results that apply VCO to food products and VCO-based food products that have the potential to be developed on the MSME scale are presented. Based on market potential, technology, and business capital, the most potential VCO-based product to be developed is chocolate bar.</p><p>Keywords: Virgin coconut oil, trade, food products</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>VIRGIN COCONUT OIL (VCO): PEMBUATAN, KEUNGGULAN, PEMASARAN DAN POTENSI PEMANFAATAN PADA BERBAGAI PRODUK PANGAN</strong></p><p>Virgin Coconut Oil (VCO) adalah minyak kelapa yang diproses dengan cara sederhana tanpa melibatkan zat-zat kimia sintetis. Metode produksi yang umum dilakukan pada skala rumah tangga atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meliputi metode pancingan, penggaraman, sentrifugasi, dan fermentasi. Proses ini menyebabkan kandungan asam laurat VCO menjadi yang tertinggi dibanding 2 minyak lainnya, yaitu sebesar 53.70-54.06 %, sementara minyak kelapa biasa sebesar 2.81 % dan minyak sawit sebesar 0.45%. Tingginya kandungan asam laurat menjadikan VCO bermanfaaat untuk kesehatan, diantaranya meningkatkan daya tahan tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit. Pada pasar lokal dan global, hingga tahun 1990-an VCO berkembang sangat lambat. Namun pada tahun 2020 pasar VCO mulai menggeliat karena masyarakat menggunakan produk ini sebagai antivirus melawan Covid-19. Naskah ini menggali keunggulan, teknologi pembuatan, dan perdagangan VCO lokal dan global. Selain itu juga ditampilkan hasil-hasil penelitian yang mengaplikasikan VCO pada produk pangan dan dilengkapi dengan produk-produk pangan berbasis VCO yang berpotensi dikembangkan pada skala UMKM. Berdasarkan potensi pasar, teknologi, dan modal usaha maka produk berbasis VCO yang paling potensial dikembangkan ialah cokelat batang.</p><p>Kata kunci: Virgin coconut oil, pemasaran, produk pangan</p><p> </p>


2021 ◽  
Vol 40 (2) ◽  
pp. 89
Author(s):  
Rivandi Pranandita Putra ◽  
Nindya Arini ◽  
Muhammad Rasyid Ridla Ranomahera

<p>Sugar is one of Indonesia’s strategic commodities, but its production fluctuates over time and is still unable to comply with the national sugar demand. This condition may even get worst with climate change. Although climate-smart agriculture is a promising thing, it is basically a genuine concept for many farmers in Indonesia, including sugarcane growers. The paper briefly reviews and argues agronomic practices as a climate-smart agriculture approach adapted by sugarcane growers in Indonesia to increase its production under the changing climate. Some agronomic practices can be adopted by the Indonesian sugarcane growers as climate-smart agriculture, i.e., efficient irrigation, improved drainage of sugarcane plantations, the use of suitable sugarcane cultivars, green cane harvesting-trash blanketing, the amendment of soil organic matter, crop diversification, precision agriculture, and integrated pest management. From the Indonesian government’s side, research should be propped as there is limited information about the effectiveness of each aforementioned agronomic intervention to alleviating the adverse effect of climate change and to improving sugarcane growth. Practically, to ensure the success of climate-smart agriculture implementation in the Indonesian sugar industry, multistakeholders, i.e., sugarcane growers, researchers, civil society, and policymakers, should be involved, and the government needs to link these stakeholders.</p><p>Keywords: Sugarcane, productivity, climate-smart agriculture, agronomic management, precision agriculture</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>Implementasi Pertanian Cerdas Iklim untuk Meningkatkan Produktivitas Tebu di Indonesia</strong></p><p>Gula merupakan salah satu komoditas strategis Indonesia, namun produksinya mengalami fluktuasi dan belum dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Kondisi ini diperburuk oleh perubahan iklim. Pertanian cerdas iklim memberikan peluang besar bagi tanaman tebu untuk dapat beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim. Meskipun pertanian cerdas iklim menjanjikan, namun merupakan hal baru bagi banyak petani di Indonesia, termasuk petani tebu. Tulisan ini menelaah dan mengemukakan praktek agronomi sebagai pendekatan pertanian cerdas iklim yang dapat diterapkan petani tebu di Indonesia dengan tujuan meningkatkan produksi tebu di bawah kondisi perubahan iklim. Terdapat beberapa praktik agronomis sebagai bagian dari pertanian cerdas iklim yang dapat diadopsi petani tebu di Indonesia, seperti efisiensi irigasi, perbaikan sistem drainase, pemilihan kultivar tebu yang sesuai, pemanfaatan residu serasah tebu, peningkatan bahan organik tanah, diversifikasi tanaman, pertanian presisi, dan pengelolaan hama terpadu. Dari perspektif pemerintah Indonesia, penelitian harus didukung karena terbatasnya informasi efektivitas masing-masing intervensi agronomi tersebut untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim dan untuk meningkatkan pertumbuhan tebu. Secara praktis, untuk memastikan keberhasilan penerapan pertanian cerdas iklim pada industri gula Indonesia, multi-stakeholder yang terdiri atas petani tebu, peneliti, masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan harus saling terlibat dan pemerintah perlu menghubungkan para pemangku kepentingan ini.</p><p>Kata kunci: Tebu, produktivitas, pertanian cerdas iklim, manajemen agronomis, pertanian presisi</p>


2021 ◽  
Vol 40 (1) ◽  
pp. 71
Author(s):  
Nining I Soesilo

<p>Government of Indonesia has allocated food sovereignty’s budget through the 2016 state budget (APBN) which places the cooperation of Ministry of Cooperatives and SME’s with Ministry of Agriculture, when developing the farmer cooperatives’ corporatization. Global food sovereignty is contested by: (1) civil society in which one of the actors is cooperatives, (2) the government which is part of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (UN FAO), and (3) the global private sector which is part of the World Trade Organization (WTO).This paper analyzes Karya Nugraha Jaya Multipurpose Cooperative in Kuningan (KSU KNJ)’s partnership which supplies 90% of good quality raw milk from its members to PT Ultra Jaya Milk (54%) and Diamond Milk (36%), two business actors who has implemented the WTO’s and FAO’s Codex Alimentarius for the sake of fulfilling food safety standards for worldwide food trade. These international institutions forced to revoke the word ‘mandatory’ and the article on ‘sanctions’ from Indonesia’s Ministry of Agriculture’s regulation if business actors do not enter into partnerships with farmers &amp; cooperatives. This study shows that KSU KNJ, which is one of 9,703 Indonesian agricultural cooperatives, is an aggregator of the milk produced by its members. A strategy is needed to increase the partnership of dairy cooperatives with private companies. The possible seven strategies are: (1) Wait and see first group; (2) Driving group; (3) Chain integration group, (4) Cooperation specialist group; (5) Free specialist group; (6) Diversification cooperation group; and (7) Free cooperation group.</p><p>Keywords: Food sovereignty, codex alimentarius, dairy, cooperatives, partnership</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>KEMITRAAN KOPERASI DENGAN PERUSAHAAN SUSU BERDASARKAN </strong><strong>CODEX ALIMENTARIUS DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN </strong><strong>PANGAN DI INDONESIA</strong></p><p>Pada tahun 2016 Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran kedaulatan pangan melalui APBN yang memposisikan Kemenkop UKM harus bekerjasama dengan Kementerian Pertanian dalam mengembangkan korporatisasi koperasi petani. Kedaulatan pangan telah menjadi isu global karena diperebutkan oleh tiga aktor: (1) Masyarakat sipil yang mana salah satu aktornya adalah koperasi, (2) Pemerintah yang tergabung pada Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO), dan (3) Swasta global yang tergabung dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tulisan ini menelaah dan menganalisis kemitraan pada Koperasi Serba Usaha Karya Nugraha Jaya (KSU KNJ) di Kuningan yang memasok 90% susu segar berkualitas dari para anggotanya ke PT Ultra Jaya Milk (54%) dan Diamond Milk (36%), dua pelaku usaha yang sudah menerapkan Codex Alimentarius versi WTO dan FAO demi memenuhi standar keamanan pangan untuk perdagangan dunia. Institusi internasional ini menjadi salah satu acuan bagi Indonesia dalam membuat Peraturan Menteri Pertanian No 33 tahun 2018 yang mencabut kata ‘wajib’ dan pasal ‘sanksi’ jika pelaku usaha tidak melakukan kemitraan dalam dua aturan sebelumnya. Hasil telaah dan analisis menunjukan KSU KNJ yang merupakan salah satu dari 9.703 koperasi pertanian Indonesia telah berperan sebagai agregator produksi susu anggotanya. Diperlukan strategi guna meningkatkan kemitraan koperasi susu dengan perusahaan swasta. Terdapat tujuh strategi tersebut mencakup: (1) Kelompok menunggu dan lihat-lihat dahulu; (2) Kelompok penggerak; (3) Kelompok pengintegrasi rantai, (4) Kelompok spesialis kerja sama; (5) Kelompok spesialis bebas; (6) Kelompok kerja sama diversifikasi; dan (7) Kelompok kerja sama bebas.</p><p>Kata kunci: Kedaulatan pangan, codex alimentarius, susu, koperasi, kemitraan</p>


2021 ◽  
Vol 40 (1) ◽  
pp. 58
Author(s):  
Bariot Hafif

<p>Indonesia is currently still the world’s prime exporter of nutmeg. Meanwhile, the quality requirements demanded by the world market continue to increase that needs Indonesian intention seriously. This article reveals the performance of Indonesian and global nutmeg production, competitiveness and potential, challenges and opportunities of Indonesia to survive as the major world’s producer and supplier of nutmeg. In 2019, Indonesia produced 37 thousand tons and exported 20 thousand tons to fill 52 thousand tons of the nutmeg world market, with India (12 thousand tons), Sri Lanka (3 thousand tons), and other countries. Unfortunately, Indonesian nutmeg price is lower than Grenada and India, even European Union (EU), the USA, and Japan rejected Indonesian nutmeg 54 times from 2014 to 2016. Indonesia’s potential as a major producer of nutmeg is still good because this commodity is an indigenous plant of Indonesia, the land and climate are suitable for the nutmeg development, and the cultivation method is in line with GAP (Good Agricultural Practices). The challenge is that the quality standard of nutmeg products is getting higher, so be necessary to develop the farmers to meet the standard. The strategy to maintain Indonesia as the world’s main nutmeg producer and supplier is; 1) increasing the intensity of assistance to improve farmers knowledge regarding quality, health, food safety, and sustainable production as well as post-harvest technology, 2) improving professionalism, skill, and adequacy of assistant officers, 3) continuing to encourage nutmeg cultivation following GAP, and 4) lessons learned from the country of Grenada in policy intervention to improve quality, product diversification, and product safety of nutmeg.</p><p>Keywords: Myristica fragrans, production, export, quality</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>STRATEGI MEMPERTAHANKAN INDONESIA SEBAGAI PRODUSEN</strong><br /><strong>UTAMA PALA DUNIA</strong></p><p>Indonesia saat ini masih berstatus sebagai eksportir utama pala dunia. Sementara itu, persyaratan mutu pala di pasar dunia terus meningkat yang perlu mendapat perhatian serius agar Indonesia tetap menjadi produsen utama pala. Artikel ini mengungkapkan tren produksi pala Indonesia dan dunia, daya saing, potensi, tantangan, dan peluang untuk bertahan sebagai produsen dan pemasok utama pala dunia. Pada tahun 2019 Indonesia menghasilkan 37 ribu ton pala dan mengekspor 20 ribu ton untuk mengisi 52 ribu ton pasar pala dunia, bersama India (12 ribu ton), Srilangka (3 ribu ton), dan beberapa negara lainnya. Sayangnya, harga pala Indonesia lebih rendah dari pala Grenada dan India, bahkan pada tahun 2014-2016 terjadi 54 kasus penolakan ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Potensi Indonesia sebagai produsen utama pala masih baik karena komoditas ini merupakan tanaman asli Indonesia, lahan dan iklim sesuai untuk pengembangan pala, dan cara budi daya sejalan dengan GAP (Good Agricultural Practices). Tantangan yang dihadapi adalah semakin tingginya standar mutu produk pala di pasar dunia sehingga perlu pembinaan petani untuk memenuhi standar tersebut. Strategi untuk mempertahankan Indonesia sebagai penghasil dan pemasok utama pala dunia adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan intensitas pendampingan agar petani lebih paham terhadap aspek mutu, kesehatan, keamanan pangan, keberlanjutan produksi, dan pengelolaan pascapanen untuk memperbaiki mutu pala; 2) memperbaiki profesionalitas, kecakapan, dan kecukupan petugas pendamping; 3) mendorong petani untuk mengikuti budi daya pala sesuai GAP; dan 4) mengambil pembelajaran dari Grenada dalam mengintervensi kebijakan untuk meningkatkan produksi, mutu, diversifikasi, dan keamanan produk pala.</p><p>Kata kunci: Pala, produksi, ekspor, mutu</p>


2021 ◽  
Vol 40 (1) ◽  
pp. 44
Author(s):  
Yusuf Yusuf ◽  
Jantje G. Kindangen ◽  
Muchamad Yusron

<p>Coconut is a potential commodity in North Sulawesi Province. At national level, this province contributes of about 9% of the national coconut production, however, the contribution of coconut to regional income is still low. This is due to the condition of coconut plantation which is not managed optimally, both in land resource and its products. This condition causes the level of welfare of coconut farmers to be relatively low. In order to improve coconut productivity and farmer welfare, government has been developed a program to revitalize coconut commodities through a farmer corporations’ institutional development. The development of economic institutions in rural areas will accelerate the absorption of technology, develop economic scale businesses, change the management of farming systems to become more productive. The development of farmer economic institutions in the coconut area is directed at the formation of institutions that are legal entities in the form of Farmer-Owned Enterprises (BUMP). In the concept of developing corporate-based farmer economic institutions, several BUMPs are directed to be integrated vertically to form a limited liability company. This paper aims to: 1) describe the existing conditions of coconut farming in North Sulawesi, 2) determine the potential for developing coconut farming in North Sulawesi and 3) formulate a strategic concept for economic development and the implications of coconut policy in North Sulawesi. The approach taken is based on the results of previous research, and other references and the experience of the authors. It was concluded that: 1) Coconut farming is generally managed by the people, including land resources and coconut byproducts, 2) The potential for coconut farming is quite large because it is supported by area, production, intercrops and livestock, various processing of products and 3) Efforts to develop coconut farming in North Sulawesi can be carried out through the revitalization of the establishment of economic institutions in coconut farming centers.</p><p><strong>Keywords:</strong> Coconut, farming, revitalization, economy institutions</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p><strong>REVITALISASI PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN KELAPA DI SULAWESI UTARA</strong></p><p>Kelapa merupakan komoditas potensial di Provinsi Sulawesi Utara. Secara nasional, provinsi ini menyumbang sekitar 9% dari produksi kelapa nasional, namun kontribusi kelapa terhadap pendapatan daerah masih rendah. Hal ini disebabkan kondisi perkebunan kelapa yang belum dikelola secara optimal, baik sumber daya lahan maupun hasil produksinya. Kondisi ini menyebabkan tingkat kesejahteraan petani kelapa relatif rendah. Dalam rangka meningkatkan produktivitas kelapa dan kesejahteraan petani, pemerintah menyusun program pengembangan revitalisasi komoditas kelapa melalui pengembangan kelembagaan perusahaan tani. Berkembangnya kelembagaan ekonomi di pedesaan akan mempercepat penyerapan teknologi, mengembangkan usaha skala ekonomi, mengubah pengelolaan sistem pertanian menjadi lebih produktif. Pengembangan kelembagaan ekonomi petani di kawasan kelapa diarahkan pada pembentukan lembaga yang berbadan hukum berupa Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Dalam konsep pengembangan lembaga ekonomi petani berbasis korporasi, beberapa BUMP diarahkan untuk diintegrasikan secara vertikal membentuk perseroan terbatas. Makalah ini ditulisa dengan tujuan untuk: 1) mendeskripsikan kondisi usahatani kelapa yang ada di Sulawesi Utara, 2) mengetahui potensi pengembangan usahatani kelapa di Sulawesi Utara dan 3) merumuskan konsep strategis untuk pembangunan ekonomi dan implikasi dari kebijakan kelapa di Sulawesi Utara. Pendekatan yang dilakukan didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya, dan referensi lain serta pengalaman penulis. Disimpulkan bahwa: 1) Usahatani kelapa umumnya dikelola oleh masyarakat, meliputi sumberdaya lahan dan hasil samping kelapa, 2) Potensi usahatani kelapa cukup besar karena didukung oleh luas areal, produksi, tanaman sela dan peternakan, berbagai pengolahan hasil produksi. dan 3) Upaya pengembangan usahatani kelapa di Sulawesi Utara dapat dilakukan melalui revitalisasi pembentukan kelembagaan ekonomi di sentra-sentra usahatani kelapa.</p><p><strong>Kata kunci:</strong> Kelapa, perkebunan, revitalisasi, kelembagaan ekonomi</p>


2021 ◽  
Vol 40 (1) ◽  
pp. 31
Author(s):  
Yulia Pujiharti ◽  
Ratna Wylis Arief

<p>The population of Lampung continues to increase and the rapid development of the industry causes the need for maize in this area to continue to increase as well. This paper provides alternative steps to increase the production and export of maize in Lampung Province. Maize production can be increased by increasing the harvest area by expanding the planted area to suboptimal untapped land, such as in Mesuji, Pesisir Barat, and West Lampung districts. Another effort that can be made to increase maize production is to apply an intercropping pattern on the same land. Another strategy is to increase productivity by using hybrid maize such as varieties NK-22, P-21, and Bisi-2, providing manure, balanced fertilizers, integrated pest and disease management (IPM), and application of post-harvest technology. Efforts to increase harvested area and productivity need to be continued to increase corn production sustainably. The strategy to increase exports is to increase production and reduce the need for corn for feed and other uses (other than foodstuffs). In this case, the corn that will be used for feed and other uses can be replaced by sorghum.</p><p><strong>Keywords:</strong> Corn, production, export, strategy</p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p>STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI DAN EKSPOR JAGUNG DI PROVINSI LAMPUNG</p><p>Jumlah penduduk Lampung yang terus meningkat dan perkembangan industri yang pesat menyebabkan kebutuhan jagung di daerah ini terus pula meningkat. Tulisan ini memberikan alternatif langkah-langkah peningkatan produksi dan ekspor jagung di Provinsi Lampung. Produksi jagung dapat ditingkatkan melalui penambahan luas panen dengan memperluas areal tanam ke lahan suboptimal yang belum dimanfaatkan, seperti di Kabupaten Mesuji, Pesisir Barat, dan Lampung Barat. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung adalah menerapkan pola tumpangsari pada lahan yang sama. Strategi lainnya yaitu meningkatkan produktivitas dengan penggunaan jagung hibrida seperti varietas NK-22, P-21, dan Bisi-2, pemberian pupuk kandang, pupuk berimbang, pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu (PHT), dan penerapan teknologi pascapanen. Upaya peningkatan luas panen dan produktivitas perlu diteruskan agar produksi jagung meningkat secara berkelanjutan. Strategi peningkatan ekspor yaitu dengan meningkatkan produksi dan mengurangi kebutuhan jagung untuk pakan dan penggunaan lain (selain bahan makanan). Dalam hal ini, jagung yang akan digunakan untuk pakan dan penggunaan lain dapat digantikan oleh sorgum.</p><p><strong>Kata kunci:</strong> Jagung, produksi, ekspor, strategi</p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document