Jurnal POETIKA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

189
(FIVE YEARS 47)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Gadjah Mada

2503-4642, 2338-5383

2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 87
Author(s):  
Wulan Nurrahma Azhari ◽  
Wening Udasmoro ◽  
Subiyantoro Subiyantoro

Issues of domestication, minority, and discrimination have frequently put women in inferior position in society. When women seek equality, they are often framed as embracing monstrous attitudes. This study focuses on François Mauriac’s novel titled Thérèse Desqueyroux (1927) with the intention of exploring the meanings and the significations in its construction of women as monsters. It has been observed that women are depicted as monsters because their struggle for freedom is seen as a challenge to the patriarchal system. The aims of this study are to find out and to describe the influential aspects in the construction of women as monsters and how such construction creates meanings. The study relies on content analysis method and follows three steps of analysis: collecting data relevant to monstrosity, classifying data based on the themes and problems related to the topic, and analyzing the data using Barbara Creed’s theory of the monstrous feminine (2007). The study results in the finding that the construction of women as monsters is strongly correlated with the deep institutionalization of patriarchy in French culture. Penempatan perempuan pada posisi inferior dalam banyak narasi disebabkan oleh faktor-faktor domestifikasi, minoritas, dan diskriminasi. Ketika perempuan memperjuangkan kesetaraan, mereka dianggap membangkang dan disimbolkan sebagai monster. Konstruksi monster terhadap perempuan ini terlihat pada novel François Mauriac berjudul Thérèse Desqueyroux (1927). Tulisan ini mencoba memahami makna dan pemaknaan konstruksi perempuan sebagai monster dalam novel tersebut. Studi ini menemukan bahwa perempuan digambarkan sebagai monster karena perjuangan mereka untuk mencapai kebebasan dianggap menentang struktur patriarki. Tujuan dari studi ini adalah menemukan dan mendeskripsikan aspek-aspek yang berkaitan dengan proses pemonsteran perempuan dan bagaimana proses tersebut dimaknai. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi cerita dan dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data yang relevan dengan pemonsteran. Tahap kedua adalah pengklasifikasian data sesuai dengan tema dan permasalahan tentang pemonsteran perempuan. Tahap terakhir adalah analisis data temuan dengan teori Barbara Creed (2007) tentang the monstrous feminine. Studi ini menyimpulkan bahwa konstruksi perempuan sebagai monster berhubungan erat dengan kultur patriarki yang sudah terinstitusionalisasi di dalam budaya Prancis pada masa ketika novel tersebut ditulis.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 139
Author(s):  
Sri Wahyuningtyas ◽  
Herning Puspitarini

Asmaraloka, a novel written by Danarto, is a non-realistic novel that contains many voices, ideas, discourses, and thoughts that construct the carnivalesque elements in the novel. Within the context of diversity and various phenomena in the world, the carnivalization of the story shapes the behaviors and the identities of the characters in it.Drawing on this idea, this study aims to reveal the internal and external elements that contribute to the carnivalization of Asmaraloka. The novel’s text is examined qualitatively using Bakhtinian dialogism and a sociological approach to dialogic behavior for the purpose of understanding the complete construction of meanings as the reflection of the author’s world view.The study finds that there are two categories of carnivalesque elements in Asmaraloka, namely the external and internal elements of carnival. The external carnivalization of the story creates the non-realistic world in it in relation to other texts that contribute to the diversity of ideas/ meanings in the novel. The internal carnivalization of the story generates the following structural aspects: (1) the battlefield as a means of carnival performance, (2) the occurrence of an abnormal human relationship between the characters, (3) the carnivalesque phenomena that are constructed in the story through the dialogues between peace and chaos and between obedience and denial, and (4) the effects of carnivalesque behaviors on the characters’ personality. Asmaraloka merupakan novel nonrealis karya Danarto yang berisi banyak suara, gagasan, wacana, dan pemikiran yang membentuk unsur-unsur karnival di dalamnya. Dalam konteks keberagaman dan berbagai fenomena di dunia, karnivalisasi karya sastra merupakan hal yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan pembentukan jati diri para tokoh dalam cerita.Berkaitan dengan gagasan di atas, penelitian ini bertujuan mengungkap karnivalisasi teks Asmaraloka baik yang bersifat internal maupun yang eksternal dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter dari tokoh-tokoh dalam novel Asmaraloka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis dilakukan berdasarkan dialogisme Bakhtin dan pendekatan sosiologis pada perilaku dialogis untuk memahami jalinan makna utuh sebagai pandangan dunia pengarang. Hasil penelitian menunjukkan adanya unsur karnival eksternal dan internal yang membangun cerita.Karnivalisasi eksternal membentuk dunia nonrealis dari cerita dan berkaitan dengan teks-teks lain yang berperan membangun keragaman makna dalam Asmaraloka. Karnivalisasi internal cerita mengungkap adanya aspek-aspek berikut ini: (1) medan pertempuran sebagai sarana pertunjukkan, (2) hubungan manusia yang tidak normal yang terjadi antar tokoh, (3) fenomena-fenomena karnivalistik yang terbangun melalui interaksi antara kedamaian dan kekacauan dan juga antara ketaatan dan pengingkaran, dan (4) unsur-unsur karnival yang merupakan dialog antara gagasan pengarang dan fenomena-fenomena sosial di masyarakat.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 149
Author(s):  
Buyung Ade Saputra

State is a machine of power for the ruling class to maintain its authority. The effort is practiced by interpellating individuals as its subjects. The state can be defined as repressive and ideological apparatus. This study aims to identify the interpellation’s category and the subjects’ responses that are portrayed in Andi Noor’s short story titled “Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati” from Althusser’s perspective. The study is carried out by first identifying the ideologies that empower the interpellation. There are two categories of ideology that interpellate individuals as the subjects of ideology: (1) Totalitarianism and (2) Socialism. Next, the researcher identifies the category of apparatus that is used by the ideologies. The short story portrays the empowerment of the repressive state apparatus of armed or police forces by the ruling ideology and the empowerment of the ideological cultural apparatus by the opposition. Subjects’ responses that are found in this research vary, and not all subjects recognize the interpellation by the ideology. The responses are influenced by the empowerment of the apparatuses of each ideology. The subjects tend to resist the empowerment of the repressive state apparatus, but they recognize the interpellation by the empowerment of the ideological cultural apparatus. Negara merupakan mesin kekuasaan yang menjadi alat bagi kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Usaha ini dilakukan melalui penaklukan atau interpelasi terhadap individu agar menjadi subjek ideologi. Keberadaan Negara dapat dipahami sebagai aparatus represif dan aparatus ideologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kategori interpelasi dan respon subjek yang digambarkan oleh cerpen “Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati” karya Andi Noor berdasarkan pandangan Althusser. Penelitian ini diawali dengan mengungkap ideologi-ideologi yang melakukan interpelasi. Terdapat dua ideologi yang saling melakukan interpelasi terhadap subjek-subjek, yaitu (1) Totalitarian dan (2) Sosialisme. Selanjutnya, peneliti melakukan pemetaan terhadap kategori aparatus yang digunakan oleh ideologi-ideologi baik itu aparatus represif atau ideologis. Cerita pendek ini menggambarkan aparatus negara yang represif yang diwakili oleh tentara yang digunakan oleh ideologi penguasa, sedangkan pihak lawan melakukan pemberdayaan aparatus kultural ideologis. Respon subjek yang ditemukan cukup beragam. Tidak semua subjek merekognisi interpelasi ideologi. Terdapat subjek yang pada awalnya melakukan misrekognisi namun pada akhirnya melakukan rekognisi terhadap interpelasi ideologi. Respon yang ditunjukkan oleh subjek dipengaruhi oleh pemberdayaan aparatus oleh masing-masing ideologi. Subjek cenderung melakukan misrekognisi terhadap aparatus represif, dan cenderung merekognisi pemberdayaan aparatus ideologis kultural.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 117
Author(s):  
Zakariya Pamuji Aminullah

The study presented in this article focuses on the signification of the poetic metres and the theory of rasa expounded in Candrakiraṇa, a guide to the composition of kakawin that is preserved in the scriptoriums of mountains. The use of the poetic metres and theory of rasa was examined in the text of Sītā’s letter to Rāma that was taken from the Rāmāyaṇa Kakawin. It was carried out on the three manuscripts of Candrakiraṇa preserved by the National Library of Indonesia (PNRI). The findings show that the use of śārdūlawikriḍita metre in Sītā’s letters results in a form of signification for particular aesthetic experiences (rasa), namely karuṇa (sympathy), bhayānaka (concern), śānta (peace) and śṛṅgara (love). Tulisan ini berfokus pada metrum dan teori rasa sebagai sarana pemaknaan yang dimuat dalam Candrakiraṇa, sebuah pedoman penulisan kakawin yang diwariskan di skriptorium-skriptorium pegunungan. Metrum dan teori rasa tersebut dikaji penggunaannya dalam surat Sītā kepada Rāma yang terkandung dalam Kakawin Rāmāyaṇa. Kajian ini melibatkan tiga manuskrip yang merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa metrum śārdūlawikriḍita yang digunakan pada surat Sīta menunjukkan bentuk pemaknaan untuk pengalaman-pengalaman estetika (rasa) tertentu, yaitu karuṇa (belas kasihan), bhayānaka (kekhawatiran), śānta (damai) dan śṛṅgara (cinta).


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 77
Author(s):  
Arifah Arum Candra Hayuningsih

One of the interesting themes but not widely featured in Indonesian and French literatures in the 19th and 20th centuries is nyai and demi-mondaine. Both have a similar meaning, namely the mistress of a man from the upper-middle class. This study looks at the exclusions that occur in the lives of nyai and demi-mondaine in an Indonesian novel titled Bumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer and a French novel titled La Dame aux Camélias by Alexandre Dumas (philosophers). The analysis was carried out using Fairclough’s critical discourse analysis approach to examine the exclusion process in the two novels, which describes the realities that occur in society. This study found that the mistresses are excluded primarily through labeling and stereotyping. Despite the exclusion from the discourse of ‘honor’ in society, the mistresses find their own way of surviving in a society that does not like them.Salah satu tema menarik namun tidak banyak ditampilkan dalam karya sastra Indonesia dan Prancis di abad 19 dan 20 adalah kehidupan nyai dan demi-monde. Keduanya memiliki pengertian yang hampir serupa, yakni perempuan simpanan dari seorang laki-laki kelas menengah ke atas. Sikap masyarakat yang cenderung merendahkan mereka dapat dipandang sebagai proses eksklusi. Penelitian ini menelusuri bagaimana ekslusi yang terjadi dalam kehidupan nyai dan courtesan di Indonesia dan Prancis seperti yang ada pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan novel La Dame aux Camélias karya Alexandre Dumas (fils). Analisis dilakukan dengan metode analisis wacana kritis dari Fairclough untuk melihat proses eksklusi di kedua novel tersebut, yang merupakan gambaran dari realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini memperlihatkan bahwa proses eksklusi paling banyak terjadi melalui labelling dan stereotyping. Meski demikian, para perempuan simpanan yang mengalami eksklusi dari wacana ‘kehormatan’ di masyarakat memiliki cara sendiri untuk bertahan di tengah masyarakat yang tidak menyukai mereka.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 107
Author(s):  
Yulia Nelfita ◽  
Noni Andriyani ◽  
Yenni Hayati

This study is motivated by several reasons, and one of them is the lack of ecofeminist studies of Indonesian novels. The previous studies focus on novels written by women. Ecofeminist studies of Indonesian novels written by men have not been available so far. The analysis in this study is descriptive with hermeneutic technique of interpretation. This is part of a collective research project in this area. The study leads to a conclusion that Tere Liye’s novel, Si Anak Pemberani, contains some ecofeminist values. The most represented ones in the text are the natural ecofeminist values because there is essential relationship between women and nature. The least represented ones are the spiritualist ecofeminist values because the relationship between spirituality and nature is considered a mystical belief that is no longer relevant in modern society. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal; salah satunya adalah belum adanya kajian ekofeminisme terhadap novel-novel Indonesia. Penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan selalu dilakukan terhadap novel-novel yang ditulis oleh pengarang perempuan sementara penelitian ekofeminisme terhadap novel-novel Indonesia yang ditulis oleh laki-laki belum ada. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah perspektif ekofeminis tercermin dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye?”. Teori yang digunakan adalah teori ekofeminisme yang meliputi (1) ekofeminisme alam, (2) ekofeminisme spriritualis, dan (3) ekofeminisme sosialis. Penelitian ini bersifat kualitatif dan merupakan penelitian kepustakaan. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif yang didukung oleh teknik hermeneutik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perspektif ekofeminis dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Aliran ekofeminisme yang dominan adalah aliran ekofeminisme alam karena pada dasarnya perempuan memiliki kedekatan dengan alam. Aliran yang paling sedikit ditampilkan adalah aliran ekofeminisme spiritualis karena pada zaman sekarang kedekatan secara spiritualis dengan alam dianggap hal mistis yang tidak lagi dipercayai oleh masyarakat.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 96
Author(s):  
Rizki Eka Putri Alda

This study analyzes Jatisaba, a novel by Ramayda Akmal and Eleven Minutes, a novel by Paulo Coelho, within a comparative literature framework. It aims to compare the transformation of the main female characters and their struggle to survive in both novels. By means of a descriptive qualitative method, the research was conducted from a psychoanalytic feminist perspective. This perspective believes that women are not born inferior, but some factors in her life have been placing them in an inferior position to men. The study resulted in the following findings. First, the main characters of both novels, Mae and Maria, underwent a psychological transformation throughout their life journeys of surviving human trafficking, sexual harassment and prostitution and navigating their love lives Both of them were brought up by a mother with a strong character that could protect them from castration and gender inferiority as a woman. Second, Mae and Maria’s struggle to survive became the cause of their resistance against patriarchal values with the power of their femininity. Third, the difference between the endings of the two novels reflects the different social and cultural values in the respective stories that greatly influence the female characters’ lives. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa novel Jatisaba karya Ramayda Akmal dari Indonesia dan Eleven Minutes karya Paulo Coelho dari Brazil menggunakan pendekatan sastra banding. Penelitian ini mengungkap transformasi karakter dari tokoh utama perempuan dalam kedua novel dan cara mereka bertahan hidup dalam dunia yang didominasi oleh budaya patriarki. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan perspektif feminis psikoanalisis. Perspektif ini berpandangan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai makhluk inferior, tetapi ada beberapa faktor dalam hidup mereka yang dapat menyebabkan mereka berada pada posisi inferior. Hasil penelitian mengungkap tiga hal berikut ini. Pertama, transformasi psikologis dari tokoh utama perempuan dalam kedua novel, Mae dan Maria, merupakan hasil dari perjalanan hidup mereka melalui pengalaman-pengalaman seperti perdagangan manusia, kekerasan seksual dan prostitusi serta kehidupan percintaan. Keduanya dibesarkan oleh sosok ibu yang tangguh yang melindungi mereka dari kastrasi dan inferioritas sebagai perempuan. Kedua, perjuangan untuk bertahan hidup yang ditunjukkan Maria dan Mae menggambarkan perlawanan terhadap nilai-nilai patriarki menggunakan femininitas mereka Ketiga, pengaruh faktor-faktor sosial dan budaya terhadap pembentukan karakter kedua tokoh utama tersebut tercermin dalam akhir cerita yang berbeda antara novel Jatisaba dan Eleven Minutes.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 128
Author(s):  
Sehla Rizqa Ramadhona

This study aims to reveal the discursive play of the short story “Lengtu Lengmua” (2012) by Triyanto Triwikromo in maintaining the unequal power relation in Indonesia. The study is carried out on the basis of Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis that elaborates intertextuality theory and social theory of discourse. The research questions are what discourses influence “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? and what political interests are supported and legitimized by “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? It is a descriptive qualitative study for which data were collected using a note-taking technique. The relationships between data are elucidated by describing how the text of the short story, its production and the interpretation process are connected to the prevailing social conditions in Indonesia. The results show that: (1) “Lengtu Lengmua” represents, manipulates, negates, and transcends the discourse that sees that “celeng is a despicable animal” from the texts of Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), and Tak Enteni Keplokmu (2000); and (2) to generate a notion of celeng as a noble animal, “Lengtu Lengmua” also configures the existing discourse conventions, namely conventions that are related to magical realism, Javanese society, children, Islamic shari’ah, and Islamic makrifat. These two results indicate that “Lengtu Lengmua” gives a new meaning to celeng and recontextualizes the celeng, which in previous texts is associated with human greed (i.e. capitalistic and corrupt), in religious issues especially those related to the contradiction between political Islam and cultural Islam. In turn, this discursive play has contributed to the formation of political Islam-cultural Islam power relation in recent years in Indonesia where cultural Islam occupies a dominant position. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permainan diskursif cerpen “Lengtu Lengmua” (2012) karya Triyanto Triwikromo dalam pemertahanan relasi kuasa yang tidak setara di Indonesia. Kajian dalam penelitian ini mengacu pada Analisis Wacana Kritis dari Norman Fairclough yang mengelaborasi teori intertekstualitas dan teori sosial wacana. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah wacana apa yang memengaruhi konstruksi celeng “Lengtu Lengmua” dan kepentingan politik apa yang didukung dan dilegitimasi oleh konstruksi celeng “Lengtu Lengmua”. Kajian ini menggunakan metode penjabaran deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data simak-catat. Hubungan antardata dikaji melalui deskripsi atau penjelasan bagaimana teks cerpen, proses produksi dan interpretasinya berkaitan dengan kondisi sosial yang melatar belakangi cerita dalam cerpen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) “Lengtu Lengmua” merepresentasikan, memanipulasi, menegasikan, dan melampaui wacana “celeng adalah hewan hina” dari teks Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), dan Tak Enteni Keplokmu (2000); (2) “Lengtu Lengmua” juga mengonfigurasikan konvensi-konvensi wacana yang ada untuk menghasilkan konstruksi celeng sebagai hewan mulia, yaitu konvensi wacana realisme magis, masyarakat Jawa, anak-anak, Islam syariat, dan Islam makrifat. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “Lengtu Lengmua” memberikan makna baru atas celeng dan membawa representasi celeng, yang pada teks-teks sebelumnya diidentikkan dengan kerakusan manusia yang kapitalistik dan korup, ke dalam konteks persoalan keagamaan khususnya yang terkait dengan pertentangan antara Islam politik dan Islam kultural. Pada gilirannya, permainan diskursif ini berkontribusi pada pembentukan relasi kuasa Islam politik-Islam kultural pada tahun-tahun terakhir di Indonesia di mana Islam kultural menduduki posisi yang dominan.


2021 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 11
Author(s):  
Yulia Nasrul Latifi

The objective of this research is to reveal Nawāl al-Sa’dāwī’s fantasy and to find out why she builds a fantasy of women’s autonomy in religious discourse as depicted in her latest novel, Zīnah. This study focuses on the concept of fantasy in Žižek's theory of subjectivity, which sees fantasy as a screen covering the lacks and inconsistencies of the shackling Symbolic. Fantasy is also an estuary of meaning that confirms the existence of a divided and dialectical subject that continues to move in search of self-fulfillment. The research method is  hermeneutic, namely by interpreting the actions and fantasies of al-Sa’dāwī' as a subject. The analysis shows that al-Sa’dāwī’s fantasy is her realization of a transcendental humanist religious discourse which gives women full autonomy, internally and externally. Zīnah, the main character in the novel, is a symbol of this autonomy. Internally, Zīnah has been set free from the patriarchal shackles of religious discourses. Externally, Zīnah is able to change the structure and create a new humanist, transcendental, and progressive structure in religious discourse to liberate human beings. Zīnah is al-Sa’dāwī’s fantasy to cover up the lacks of The Symbolic, the estuary of meaning, and confirmation of her existence as a divided and dialectical subject. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fantasi Nawāl al-Sa’dāwī dan mengapa Nawāl al-Sa’dāwī membangun fantasi otonomi perempuan dalam wacana agama yang tergambar dalam novel terakhirnya, Zīnah. Penelitian ini memfokuskan pada Fantasi yang ada dalam teori subjektivitas Žižek. Fantasi adalah layar yang menutupi kekurangan dan inkonsistensi dalam the symbolic yang membelenggu. Fantasi juga muara makna yang mengukuhkan eksistensi subjek yang terbelah dan berdialektik yang terus bergerak untuk mencari pemenuhan diri. Metode penelitian adalah hermeneutik dengan cara menafsirkan tindakan dan fantasi Nawāl al-Sa’dāwī sebagai subjek. Hasil analisisnya, fantasi Nawāl al-Sa’dāwī adalah terwujudnya wacana agama humanis transendental yang memberikan otonomi penuh perempuan, internal dan eksternal. Tokoh Zīnah adalah simbolisasi otonomi tersebut. Secara internal, Zīnah telah terbebas dari belenggu patriarki wacana agama. Secara eksternal, Zīnah mampu mengubah struktur dan membuat struktur baru yang humanis, transendental, dan progresif dalam wacana agama untuk membebaskan manusia. Zīnah adalah fantasi Nawāl al-Sa’dāwī untuk menutupi kekurangan the symbolic, muara makna, dan pengukuhan eksistensinya sebagai subjek yang terbelah dan berdialektika.


2021 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
PRASADITA L RAVEENDRAN

The collective consciousness of a community is tremendously shaped by myths and folktales passed on from generation to generation. With the publication of Joseph Campbell's book The Hero with a Thousand Faces, the idea of the hero and his journey took a giant leap, allowing the commoner's life narratives to be equated with the mythical journey. This study analyzes how mythology is demythified and symbolically represented in two of India's famous narratives, a novel series Shiva Trilogy by Amish Tripathi and an “over-the-top” (OTT) film Bulbbul by Anvita Dutt. The objects of this research are Indian mythological narratives about Goddess Shakti and her various manifestations — Durga, Kali, Sati, and Parvati — whose respective nature and purpose differ vastly from one another. Through the qualitative research method, the paper shows that the reader/viewer has well-received the interweaving of myth with contemporary fiction. It has given way to a change in diegesis, from the predominantly male-hero-focused outline to a female-driven narrative. The myth-bound heroines thus represent the power to break the shackles of patriarchy and normative culture, allowing an area for women to radicalize themselves through bold actions. Kesadaran kolektif suatu komunitas sangat bergantung pada mitos dan cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan diterbitkannya  The Hero with a Thousand Faces karya Joseph Campbell, gagasan tentang pahlawan dan perjalanannya memungkinkan narasi kehidupan orang biasa untuk disejajarkan dengan perjalanan mitos. Studi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana mitologi didemistifikasi dan secara simbolis direpresentasikan dalam dua narasi terkenal India, yakni serial novel Shiva Trilogy karya Amish Tripathi dan film “over-the-top” (OTT) Bulbbul karya Anvita Dutt.  Objek penelitian ini adalah narasi mitologi India tentang Dewi Shakti dan berbagai manifestasinya — Durga, Kali, Sati, dan Parvati — yang sifat dan tujuannya masing-masing sangat berbeda satu sama lain.  Melalui metode penelitian kualitatif, ditemukan; 1) pembaca/pemirsa telah menerima dengan baik jalinan mitos dengan fiksi kontemporer; 2) memberi jalan pada perubahan diegesis, dari garis besar yang berfokus pada pahlawan pria menjadi narasi yang digerakkan oleh wanita; 3) para tokoh wanita yang terikat mitos, mematahkan belenggu patriarki dan budaya normatif, memungkinkan area bagi perempuan untuk meradikalisasi diri mereka sendiri melalui tindakan yang berani.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document