Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

205
(FIVE YEARS 118)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Padjadjaran

2549-6514, 0854-6002

2021 ◽  
Vol 33 (3) ◽  
pp. 204
Author(s):  
Della Noor Insany ◽  
Haru Setyo Anggani ◽  
Widya Kusumadewi

Pendahuluan: Chitosan merupakan bahan alami, bersifat antibakteri, dan dapat dibentuk menjadi gel sehingga berpotensi sebagai agen profilaksis terhadap Streptococcus mutans, penyebab demineralisasi email. Lesi white spot merupakan salah satu risiko penggunaan alat ortodonti cekat. Berat molekul merupakan salah satu faktor yang memengaruhi efektivitas antibakteri chitosan, namun hubungannya masih memberikan hasil yang inkonsisten. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan efektivitas gel chitosan dengan berat molekul berbeda terhadap jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans pada permukaan email sekitar braket ortodonti. Metode: Penelitian ini menggunakan metode eksperimen laboratoy dengan menggunakan 24 sampel gigi dengan braket dioles gel chitosan A (50-80 kDa),  gel chitosan B (50-150 kDa), gel chitosan C (190-310 kDa), dan gel kontrol klorheksidin diglukonat 0,2% (CHX) masing-masing 6 sampel. Seluruh sampel diinkubasi dalam biakan Streptococcus mutans secara bertahap, 10 μl suspensi dari plak yang terbentuk pada sampel dibiakkan untuk memperoleh koloni pada biakan agar. Data dianalisis dengan uji one-way ANOVA dan Least Significant Difference (LSD).  Hasil: Jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans setelah aplikasi gel chitosan A, B, C, dan gel klorheksidin diglukonat 0,2% (CHX) didapatkan sebesar 10,05x106 CFU/ml; 9,72x106 CFU/ml; 10,96x106 CFU/ml; dan 4,35x106 CFU/ml sehingga tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans antara ketiga kelompok gel chitosan (p>0,05) dan terdapat perbedaan jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans yang bermakna antara ketiga gel chitosan dengan gel kontrol (p<0,05). Simpulan: Efektivitas antibakteri gel chitosan dengan berat molekul berbeda terhadap jumlah koloni bakteri Streptococcus mutans pada permukaan email sekitar braket ortodonti adalah sama besar, namun lebih rendah daripada efektivitas antibakteri gel klorheksidin diglukonat 0,2% pada studi ini.Kata kunci: berat molekul; braket ortodontik; kitosan; email; Streptococcus mutans  ABSTRACTIntroduction: Chitosan is a natural ingredient, antibacterial, and can be formed into a gel so that it has the potential as a prophylactic agent against Streptococcus mutans, the cause of enamel demineralization. White spot lesions are one of the risks of using fixed orthodontic appliances. Molecular weight is one factor that affects the antibacterial effectiveness of chitosan, but the relationship still gives inconsistent results. This study aimed to analyze the differences in the effectiveness of chitosan gels with different molecular weights on the number of Streptococcus mutans bacteria colonies on the enamel surface around orthodontic brackets. Methods: This study used an experimental laboratory method using 24 dental samples with brackets smeared with chitosan A gel (50-80 kDa), chitosan B gel (50-150 kDa), chitosan C gel (190-310 kDa), and chlorhexidine control gel. digluconate 0.2% (CHX) each of 6 samples. All samples were incubated in Streptococcus mutans culture in stages, 10 l suspension of the plaque formed on the samples was cultured to obtain colonies on agar cultures. Data were analyzed by one-way ANOVA and Least Significant Difference (LSD). Results: The number of Streptococcus mutans colonies after application of chitosan gel A, B, C, and 0.2% chlorhexidine digluconate (CHX) gel was 10.05x106 CFU/ml; 9.72x106 CFU/ml; 10.96x106 CFU/ml; and 4.35x106 CFU/ml, so that there was no significant difference in the number of Streptococcus mutans colonies between the three chitosan gel groups (p>0.05) and there was a significant difference in the number of Streptococcus mutans bacteria colonies between the three chitosan gels and the control gel (p<0.05). Conclusions: The antibacterial effectiveness of chitosan gel with different molecular weights on the number of Streptococcus mutans bacterial colonies on the enamel surface around orthodontic brackets was simi-lar but lower than the antibacterial effectiveness of 0.2% chlorhexidine digluconate gel.Keywords: molecular weight; orthodontic bracket; chitosan; enamel; Streptococcus mutans


2021 ◽  
Vol 33 (3) ◽  
pp. 262
Author(s):  
Diatri Nariratih ◽  
Hendra Dian Adhita Dharsono

ABSTRAKPendahuluan: Penatalaksanaan kasus penyakit pulpa yang disertai dengan lesi periapikal dapat dilakukan dengan perawatan saluran akar tanpa intervensi bedah. Preparasi biomekanis pada perawatan endodontik non-bedah dapat mengeliminasi bakteri dari saluran akar dan mencegah terjadinya infeksi berulang setelah dilakukannya obturasi. Kompleksitas anatomi menyebabkan keterbatasan preparasi biomekanis saluran akar, sehingga perawatan dapat mengalami kegagalan. Variasi anatomi saluran akar pada gigi molar pertama rahang atas umumnya terdapat pada bagian palatal akar mesiobukal yang disebut sebagai saluran akar mesiobukal kedua dengan insidensi 94%. Saluran akar mesiobukal kedua berukuran lebih sempit dan dangkal dibandingkan saluran akar mesiobukal pertama, sehingga dibutuhkan beberapa metode untuk menentukan lokasi orifis tersebut. Tujuan laporan kasus ini adalah membahas mengenai penatalaksanaan non-bedah gigi pasca perawatan endodontik parsial yang disertai dengan lesi periapikal. Laporan kasus: Pasien perempuan berusia 28 tahun datang dengan keluhan gigi belakang kiri atas sakit berdenyut sejak 1 bulan, gigi tersebut pernah dirawat saluran akarnya beberapa tahun sebelumnya. Pemeriksaan klinis menunjukkan terdapat tambalan permanen pada gigi 26. Pemeriksaan radiografis menunjukkan adanya gambaran radiopak pada email mesio-oklusal hingga mencapai dasar kamar pulpa, pelebaran ligamen periodontal, terputusnya lamina dura, serta lesi periapikal pada akar mesial dan palatal. Preparasi akses dilakukan pada gigi 26, dilanjutkan dengan penentuan lokasi orifis mesiobukal kedua. Empat saluran akar dipreparasi menggunakan instrumen rotary nickel titanium dengan teknik crown down dan dilakukan obturasi teknik kondensasi lateral. Restorasi definitif berupa mahkota penuh porselen. Simpulan: Lesi periapikal sembuh setelah dilakukan preparasi pada saluran akar mesiobukal kedua sehingga pengetahuan mengenai anatomi dan variasi internal saluran akar gigi sangat penting dalam keberhasilan perawatan endodontik non-bedah.Kata kunci: Perawatan endodontik non-bedah; previously initiated therapy; lesi periapical; mesiobukal kedua  ABSTRACTIntroduction: The management of pulp disease cases accompanied by periapical lesions can be done by root canal treatment without surgical intervention. Biomechanical preparations for non-surgical endodontic treatment can eliminate bacteria from the root canal and prevent re-infection after obturation. However, the complexity of the anatomy limits the biomechanical preparation of the root canal so that treatment can fail. Anatomical variations of the root canal in the maxillary first molars are generally found in the palatal part of the mesiobuccal root, which is the second mesiobuccal root canal with an incidence of 94%. The second mesiobuccal root canal is narrower and shallower than the first mesiobuccal root canal, so several methods are needed to determine the location of the orifice. The purpose of this case report was to discuss the non-surgical management of teeth after partial endodontic treatment accompanied by periapical lesions. Case report: A 28-year-old female patient complained of throbbing pain in the left upper back tooth for one month. The tooth had had its root canal treated several years before. Clinical examination revealed permanent fillings on tooth 26. Radiographic examination showed the radiopaque appearance of mesio-occlusal enamel to the floor of the pulp chamber, widening of the periodontal ligament, rupture of the lamina dura, and periapical lesions of the mesial and palatal roots. Access preparation was performed on tooth 26, followed by the determination of the location of the second mesiobuccal orifice. Four root canals were prepared using a rotary nickel titanium instrument with a crown down technique and obturation with lateral condensation technique. The definitive restoration is a full porcelain crown. Conclusions: Periapical lesions healed after preparation of the second mesiobuccal root canal. This result proves that knowledge of the anatomy and internal variations of the root canal is fundamental in the success of non-surgical endodontic treatment.Keywords: Non-surgical endodontic treatment; previously initiated therapy; periapical lesions; second mesiobuccal canal


2021 ◽  
Vol 33 (3) ◽  
pp. 180
Author(s):  
Stephanie Wiguna ◽  
Risti Saptarini Primarti ◽  
Iwan Ahmad Musnamirwan

Pendahuluan: Periodontitis apikalis adalah peradangan dan kerusakan jaringan pada daerah apikal jaringan periodonsium. Terjadi akibat pulpa nekrosis mengalami perluasan infeksi dari bakteri saluran akar menuju apeks gigi. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa periodontitis apikalis dapat dikaitkan dengan peningkatan kadar interleukin-6. Interleukin-6 adalah salah satu sitokin pro-inflamatori yang mempunyai peran penting dalam respon inflamasi. Tujuan penelitian menganalisis perbedaan kadar interleukin-6 dalam darah vena antara pasien dengan periodontitis apikalis dan pasien tanpa periodontitis apikalis. Metode: Jenis penelitian observasional analitik dengan dua puluh sampel stok darah vena yang terdiri atas 10 sampel darah vena pasien dengan periodontitis apikalis dan 10 sampel darah vena pasien tanpa periodontitis apikalis. Serum darah yang telah dipisahkan dengan metode sentrifugasi dipakai sebagai sampel uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) sandwich untuk mengukur kadar IL-6 dengan membaca nilai absorbansi dan kurva standar. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk, dilanjutkan dengan uji T tidak berpasangan. Hasil: Kadar IL-6 teridentifikasi pada semua sampel. Sampel darah vena pasien tanpa periodontitis apikalis memiliki kadar IL-6 berkisar antara 4,7-18,74 mg/L, sedangkan kadar IL-6 pada pasien dengan periodontitis apikalis 4,0-90,75 mg/L. Uji T tidak berpasangan menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.02). Simpulan:  Kadar IL-6 pada darah vena dengan periodontitis apikalis lebih tinggi dibandingkan kadar IL-6 pada tanpa periodontitis apikalis.Kata kunci: periodontitis apikalis; interleukin-6; Enzim-Linked Immunosorbent Assay Sandwich ABSTRACT Introduction: Apical periodontitis is inflammation and tissue damage in the apical area of the periodontium. Occurs due to pulp necrosis experiencing an expansion of infection from root canal bacteria to the apex of the tooth. Previous studies have shown that apical periodontitis can be associated with elevated levels of interleukin-6. Interleukin-6 is a pro-inflammatory cytokine that has a vital role in the inflammatory response. The study aimed to analyze differences in interleukin-6 levels in venous blood between patients with apical periodontitis and patients without apical periodontitis. Methods: This research was an analytic observational study with twenty venous blood samples consisting of 10 venous blood samples from patients with apical periodontitis and ten venous blood samples from patients without apical periodontitis. Blood serum that has been separated by centrifugation method was used as a sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) test sample to measure IL-6 levels by reading absorbance values and standard curves. The data obtained were analyzed using the Shapiro-Wilk test, followed by an unpaired T-test. Results: IL-6 levels were identified in all samples. Venous blood samples from patients without apical periodontitis had IL-6 levels ranging from 4.7-18.74 mg/L, while IL-6 levels in patients with apical periodontitis were 4.0-90.75 mg/L. The unpaired t-test showed that there was a significant difference (p=0.02). Conclusion: IL-6 levels in venous blood with apical periodontitis were higher than IL-6 levels in those without apical periodontitis.Keywords: apical periodontitis; interleukin-6; Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Sandwich 


2021 ◽  
Vol 33 (3) ◽  
pp. 240
Author(s):  
Deviyanti Pratiwi ◽  
Richentya Feiby Salim ◽  
Rosalina Tjandrawinata ◽  
Komariah Komariah

Pendahuluan: Penambahan nanokitosan pada modifikasi bahan restorasi kedokteran gigi bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik. Sifat mekanik dari suatu bahan dipengaruhi oleh struktur permukaannya. Bahan restorasi yang banyak dilakukan modifikasi yaitu Semen Ionomer Kaca (SIK), salah satunya dengan menambahkan nanokitosan. Sumber nanokitosan dapat berasal dari eksoskeleton serangga kumbang tanduk (Xylotrupes gideon). Xylotrupes gideon memiliki kandungan kitin sebesar 47%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis morfologi permukaan semen ionomer kaca dengan modifikasi penambahan nanokitosan kumang tanduk. Metode: Jenis penelitian yaitu eksperimental laboratorium. Sampel berbentuk silindris dengan ukuran 6 mm (tinggi) × 4 mm (diameter). Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sampel minimal sebanyak 1 sampel untuk setiap kelompok yaitu kelompok (A) SIK konvensional (kontrol), (B) SIK modifikasi 10% vol/vol larutan nanokitosan, (C) SIK modifikasi 5% vol/vol larutan nanokitosan, (D) SIK modifikasi 10% weight/weight bubuk nanokitosan, dan (E) SIK modifikasi 5% weight/weight bubuk nanokitosan. Sampel yang telah dibuat disimpan dalam inkubator dengan suhu 37°C. Karakterisasi morfologi permukaan sampel menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hasil: Karakterisasi SEM menunjukkan adanya variasi retakan pada permukaan sampel yang diperiksa dengan pembesaran 2000× dan 3500×. SIK modifikasi bubuk nanokitosan menunjukkan lebih banyak retakan pada permukaannya serta peningkatan rasio nanokitosan kumbang tanduk menunjukkan peningkatan keretakan pada morfologi permukaan SIK. Simpulan: Penambahan nanokitosan kumbang tanduk (Xylotrupes gideon) pada Semen Ionomer Kaca  mengakibatkan perubahan morfologi permukaan SIK.Kata kunci: Semen ionomer kaca; kumbang tanduk; scanning electron microscopy ABSTRACTIntroduction: The addition of nanochitosan to the modification of dental restorative materials improves mechanical properties. Its surface structure influences the mechanical properties of a material. The restoration material that has been modified a lot is Glass Ionomer Cement (GIC), one of which is by adding nano chitosan. The source of nano chitosan can be derived from the exoskeleton of the rhinoceros beetle (Xylotrupes gideon). Rhinoceros beetle has a chitin content of 47%. This study aims to analyse the surface morphology of the glass ionomer cement with the modification of the addition of nano chitosan of rhinoceros beetle. Methods: This type of research was an experimental laboratory. The sample was cylindrical with 6 mm (height) × 4 mm (diameter). The sampling used was a purposive sampling technique. The minimum number of samples was one sample for each group, namely group (A) conventional (control) GIC, (B) modified GIC 10% vol/vol nanochitosan solution, (C) GIC modified 5% vol/vol nanochitosan solution, (D) GIC modification of 10% weight/weight of nanochitosan powder, and (E) modified GIC of 5% weight/weight of nanochitosan powder. Samples that have been made were stored in an incubator at 37°C. Characterisation of the surface morphology of the sample using Scanning Electron Microscopy (SEM). Results: SEM characterisation showed variations of cracks on the surface of the samples examined at 2000x and 3500x magnification. GIC modified nano chitosan powder showed more cracks on the surface, and an increase in the ratio of rhinoceros beetle nano chitosan showed an increase in cracks in the surface morphology of the GIC. Conclusions: The addition of nano chitosan of rhinoceros beetle to the GIC resulted in changes in the surface morphology.Keywords: Glass ionomer cement; rhinoceros beetle; scanning electron microscopy


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document