JOGED
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

182
(FIVE YEARS 74)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Institut Seni Indonesia Yogyakarta

1858-3989

JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 42-60
Author(s):  
Wisnu Dermawan

ABSTRAK“Body Record” dalam Bahasa Indonesia berarti catatan atau rekaman tubuh. Karya tari ini menceritakan perjalanan manusia khususnya perjalanan tubuh tari penata. Karya tari dalam bentuk suita ini dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama tentang kelahiran, dua tentang mengenal tari, tiga tentang konflik batin, dan empat mengenai kelahiran kembali.Tari Srandul menjadi inspirasi untuk menciptakan karya tari ini. Ketertarikan berawal dari menyaksikan pementasan tari Srandul di Dusun Dukuh Seman, desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dari sekian banyak hal yang ditangkap dari tari Srandul, penata tertarik pada koreografi tunggalnya yang dihadirkan dalam sebelas segmen, tema perjalanan manusia, gerak mlampah sebagai representasi tema perjalanan manusia, dan tiga unsur pokok tari Srandul yaitu adanya tembang, tembung, dan tari. Tema ini kemudian dihubungkan dengan pengalaman empiris penata khususnya perjalanan tubuh tari penata. Koreografi tari ini merupakan koreografi tunggal yang ditarikan oleh penata tari sendiri. Pertimbangannya adalah untuk mempermudah proses penciptaannya, selain beranggapan bahwa yang paling mengerti tentang hidup dan perjalanan hidup yang pernah dihanyalah penata sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa dalang dari kehidupan kita adalah diri kita sendiri. Gerak Mlampah sebagai representasi perjalanan manusia yang ada pada tari Srandul dijadikan transisi antar bagian dalam struktur tari. Melalui karya ini diharapkan muncul generasi-generasi muda untuk ikut terlibat dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisi yang ada di daerahnya masing-masing.  ABSTRACT "Body Record" in Indonesian means catatan or rekaman tubuh. This dance work tells about the human journey, especially the journey of choreographer’s dance body. This dance work in the form of suite is divided into four parts, the first part about birth, second about getting to know dance, third about inner conflict, and fourth about rebirth. Tari Srandul (Srandul dance) became the inspiration for creating this dance work. This interest started from watching the Srandul dance performance in Dusun Dukuh Seman, Desa Wonosari, Bulu District, Temanggung Regency, Central Java. Choreographer captures many things from the Srandul dance, and finally interested by the solo choreography presented in eleven segments, the theme about human journey, the movement of mlampah as a representation of the theme, and the three main elements of the Srandul dance, namely the presence of tembang, tembung, and dance. Then the choreographer connecting the theme with his empirical experience, especially the journey of the choreographer's dance body. This dance choreography is a solo work choreography that is danced by the choreographer himself. The choreographer dances the work that was created with the consideration to facilitate the creation process. In addition, the choreographer think that the one who understands the most about life and the journey of life that the choreographer has ever passed is only the choreographer himself. It could also be said that the mastermind of our lives is ourselves. Mlampah movements as a representation of the human journey in Srandul dance are used to move between parts in the dance structure. Through this work, it is hoped that it will create the younger generation to be involved in preserving and developing traditional arts in their respective regions. 


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 80-91
Author(s):  
Arjuni Prasetyorini

ABSTRAK“Mampir Ngombe” adalah film tari yang merefleksikan kondisi Pandemi Covid-19. Sejak akhir tahun 2019 hingga saat ini, seluruh manusia di bumi sedang menghadapi Pandemi dengan skala global. Memasuki tahun 2020 negara-negara di dunia mulai melakukan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar bagi negaranya. Tingkat kematian akibat Pandemi Covid-19 ini selalu diberitakan melalui berbagai media setiap harinya, bahkan terdapat beberapa kerabat dan kawan yang terkonfirmasi positif Covid-19, hingga sembuh kembali namun juga ada yang meninggal. Duka dan kecemasan meliputi hampir disetiap harinya. Pandemi Covid-19 secara langsung dan tidak langsung memberi berbagai dampak. Salah satu dampak yang terjadi jika direnungkan secara dalam akan muncul suatu kesadaran, di mana hidup terasa benar-benar singkat bahwa setiap manusia tidak tahu kapan akan dipanggil pulang.Sebuah pepatah Jawa atau pitutur Jawa mengatakan “Urip iku mung sadermo mampir ngombe, yang memiliki arti hidup itu sangat singkat, ibarat hanya singgah minum. Pepatah itu menjadi sangat terasa pada kondisi saat ini. Waktu yang demikian singkat ini manusia diharapkan mengisinya dengan fikiran yang positif dan dan berusaha memanfaatkannya dengan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Daripada hidup dalam ketakutan, kecemasan, dan kekuatiran, sebaiknya diisi dengan doa, serta belajar untuk ikhlas setiap harinya, hingga setiap langkah yang dijalani akan menjadi laku yang migunani tumpraping diri lan liya. Koreografer menggunakan media video/film sebagai media ungkap sebagai respons dan adaptasi pada kondisi Pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 membatasi gerak seni pertunjukan dalam hal ini tari yang secara normatif dapat dinikmati secara langsung oleh mata dan energi dirasakan hadir secara nyata, namun pada kondisi ini harus dinikmati melalui video/film. Karya ini merupakan sebuah ekperimentasi langkah baru bagi koreografer untuk mencoba dan berusaha mengekpresikan tari melalui media video/film dengan durasi 6.44 detik.ABSTRACTThe dance film entitled "Mampir Ngombe" with a short duration is a reflection and introspection on the current conditions of the Covid-19 Pandemic, all people on earth are facing a pandemic on a global scale since the end of 2019, entering 2020 countries in the world have begun. carry out lockdowns or large-scale social restrictions for the country. The death rate due to the Covid-19 Pandemic is always reported through various news media every day, there are even some relatives and friends who have been confirmed positive for Covid-19, until they recover, but some have died. Grief and anxiety always cover almost every day. The Covid-19 pandemic directly and indirectly has various impacts. One of the impacts that occurs if you think about it deeply will emerge an awareness, where life feels really short that every human being does not know when to be called home. A Javanese proverb or Javanese pitutur “states Urip iku mung sadermo mampir ngombe, which means life is like just stopping by for a drink, very briefly. The proverb is very pronounced in the current condition. This time is so short that humans are expected instead of every day filled with worries, fears and worries, it would be nice if they were filled with positive thoughts and and trying to make use of them by doing good and useful things, such as filling them with prayers, working with them. following health protocols, trying to live up to the advice from the government, namely Gerakan 5M Covid-19 (Wearing a mask, washing hands with soap with running water, keeping your distance, keeping away from crowds) and learning to do iklas every day, so that every step you take will become a laku that migunani tumprapting liyan. Choreographers use video / film media as a medium of expression as a response and adaptation to the conditions of the Covid-19 Pandemic. The Covid-19 pandemic limits the movement of performing arts, in this case dance, which can normally be enjoyed directly by the eye and the energy is felt to be present in real terms, but in this condition it must be enjoyed through videos / films. This work is an experimentation of a new step for choreographers to try and try to express dance through video / film media with short duration.


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 30-41
Author(s):  
Gustira Monita

ABSTRAKTari Guel dipahami sebagai sebuah simbolis gerak yang memberikan interaksi dinamis pada penontonnya, yaitu tentang pembentukan makna dalam realitas kehidupan sehari-hari oleh-orang-orang Gayo. Dalam memahami bentuk keseluruhan ataupun makna yang terkandug di dalamnya Tari Guel lebih mengutamakan rasa. Tari Guel juga dipandang sebagai museum gerak tak benda yang menyimpan banyak sejarah masyarakat Gayo. Guel adalah identitas penting suku Gayo, menyimpan banyak simbol sejarah yang sudah sepatutnya dipecahkan dan diungkapkan. Agar suku Gayo dan keberadaannya tidak hilang terbawa arus modernisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi, yang memandang seni sebagai bagian dari aktivitas budaya manusia. Pendekatan Antropologi digunakan untuk melihat konteks, yang akan membedah kehidupan sosial masyarakat dan adat istiadat Gayo, yang berkaitan dengan Tari Guel dan keberadaannya yang masih dijaga serta dilestarikan oleh masyarakat Gayo. Selain itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan Koreografis. Pendekatan ini adalah sebagai teks yang digunakan untuk membedah bagaimana bentuk penyajian dan keseluruhan struktur yang terdapat pada Tari Guel.ABSTRACT Guel dance is understood as a symbolic movement that provides dynamic interaction to the audience, namely about the formation of meaning in the reality of daily life by the Gayo people. In understanding the overall form or meaning contained in it, Guel Dance prioritizes taste. The Guel dance is also seen as a museum of intangible objects that holds much of the history of the Gayo people. Guel is an important identity of the Gayo tribe, holding many historical symbols that should be solved and revealed. So that the Gayo tribe and its existence will not be lost in the current of modernization. This research uses the Anthropology approach, which views art as part of human cultural activities. Anthropology is defined as the science of humans, specifically about their origin, race, customs, beliefs in the past, society and culture. Anthropology used as a context, which will dissect the social life of the people and the customs of Gayo, relating to the Guel Dance and its existence which is still preserved and preserved by the Gayo people. Besides this research also uses a choreographic approach. This approach is a text used to dissect the form of presentation and overall structure contained in the Guel Dance.


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 92-114
Author(s):  
Fetri Ana Rachmawati

ABSTRAKPengalaman sebagai penderita Possession Syndrome yang diderita penulis dijadikan dasar permasalahan dalam karya tari ini. Melalui metode riset kualitatif yang digunakan untuk mengumpulkan hasil riset tentang possession syndrom yang berada di sekitar lingkungan penulis. Kemudian berlanjut ketahap penentuan tema, judul, dan proses penciptaan. Tema yang dipilih untuk karya tari ini yakni “kondisi penderita Possession Syndrome”. Pemilihan tema ini juga mengacu pada permasalahan di masyarakat yang selalu mengaitkan Possession Syndrome dengan hal–hal mistik, sehingga yang terjadi perlakuan yang didapat oleh penderita memberi dampak yang semakin buruk bagi tubuh penderita tersebut. Karya tari ini menggunakan sepuluh penari perempuan, jumlah sepuluh hanya untuk keperluan komposisi, dipilih penari perempuan karena penderita Possession Syndrome lebih dominan perempuan. Dalam karya ini akan dimunculkan teror – teror audio dan teror visual yang hadir dari lighting, kehadiran teror audio visual memberi dampak ketidak nyamanan bagi penonton hal ini merupakan gambaran dari kondisi yang dialami penderita “Possession Syndrome”ABSTRACTThe experience of suffering from a Possession Syndrome suffered by the author was then used as a basis for problems in this dance work. Through qualitative research methods that are used to collect research results on the Possession Syndrome that is around the author's environment. Then it continues to determine the theme, title, and process of creation. The theme chosen for this dance work is "patient’s condition Possession Syndrome". The selection of this theme also refers to problems in society that always associate Possession Syndrome with mystical matters, so that what happens to the treatment obtained by sufferers has an increasingly bad impact on the body of the sufferer. This dance works using ten female dancers, the number ten only for the purposes of the composition, selected dancers woman for Possession Syndrome sufferers more dominant female.In this work an audio and visual terror will emerge that comes from lighting, the presence of audiovisual terror has an impact on the audience's inconvenience, this is a picture of the conditions experienced by sufferers of "possession syndrome".


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 01-16
Author(s):  
Hendra Santosa ◽  
I Made Rianta ◽  
I Ketut Sariada

ABSTRAKPola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong berkonsep rwa bhinedha yang terlihat dari garis lurus satu banjar lalu membentuk garis melengkung. Kedua garis tersebut merupakan simbol purusa dan pradana untuk mencapai suatu kehidupan atau keseimbangan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsep rwa bhinedha dalam pola lantai tarian tersebut. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah metode observasi tidak berstruktur, metode wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa pola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong pada saat pementasan menggunakan konsep rwa bhinedha yang dilakukan di Jaba Tengah berbentuk kalangan pada setiap pura (Kahyangan Desa) yang terdapat di Desa Mayong. Pola lantai hanya terdiri dari satu banjar panjang yang membentuk garis lurus dan melengkung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan Teori Semiotika dari Ferdinand de Saussure yaitu penanda dan petanda. Garis lurus dan garis melengkung yang membentuk lingkaran pada pola lantai sebagai penanda dan petanda adalah garis lurus tersebut merupakan simbol purusa dan garis lengkung merupakan simbol pradana. Kedua garis tersebut merupakan bagian dari konsep rwa bhinedha. ABSTRACT The floor pattern of the Rejang Sakral Lanang Dance in Mayong Village has a rwa bhinedha concept which is seen from a straight line and forms a curved line. Both of these lines are purusa and pradana symbols to achieve a life or balance. The purpose of this study was to determine the concept of rwa bhinedha in the dance floor pattern. The research data collection techniques are unstructured observation methods, interview methods, documentation studies, and library studies. Based on the data analysis, the results showed that the floor pattern of the Lanang Sacred Rejang Dance in Mayong Village during the staging used the concept of rwa bhinedha which was carried out in Jaba Tengah in the form of circles in each temple (Kahyangan Desa) located in Mayong Village. The floor pattern consists of only one long line that forms a straight and curved line in it. This study uses the Semiotics Theory of Ferdinand de Saussure namely markers and markers. Straight lines and curved lines that form a circle on the floor pattern as markers and markers are straight lines are symbols of the purusa and curved lines are symbols pradana. These two lines are part of the concept of rwa bhinedha.


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 61-79
Author(s):  
Bella Asmanabillah

ABSTRAK“Ligas” merupakan koreografi kelompok yang ditarikan oleh penari laki-laki dan perempuan. Karya ini terispirasi dari pengamatan penata terhadap keadaan agraris masa kini di pulau Belitung. Keadaan petani ladang terlihat sangat miris, karena gagal panen yang terjadi di tahun 2019 akibat kemarau dan pencemaran lingkungan dari pertambangan. Pertambangan yang semakin marak membuat tanah dan air di pulau Belitung menjadi tercemar. Garapan tari kontemporer ini, berakar dari budaya Melayu Belitung, yang mengangkat dilematis perjuangan hidup petani dalam mengais bulir-bulir padi jenis Gogo. Tipe karya garapan ini adalah tari Dramatik, dengan mode simbolis. Karya ini terdiri, introduksi yang menggambarkan situasi bumi yang awalnya subur hingga menjadi gersang. Adegan 1, menggambarkan aktivitas bercocok tanam di ladang. Adegan 2, terjadi konflik lahan pertanian menjadi rusak akibat pertambangan. Adegan 3, petani berusaha memperbaiki keadan dengan sekuat tenaga. Ending, seluruh penari melakukan pesta panen padi sebagai rasa syukur dengan menari Sepen secara berpasang-pasangan. ABSTRACT “Ligas" was a group choreography that is danced by male and female dancers. This work was inspired by stylist's observations of the current agrarian situation in the Belitung area. Farmers looked very concerned because the harvest failure that occurred in 2019 due to drought and environmental pollution that occurred due to mining activities. Contemporary dance arose from the Belitung Malay culture which raised the dilemma of farmers' life struggles in scavenging grains of Gogo rice. This type of work was a Dramatic dance, with a symbolic fashion. This work consists of an introduction that illustrated the situation of a fertile earth to become arid. Scene 1, described farming activities in the field. Scene 2, a conflict in agricultural land became damaged due to mining. Scene 3, the farmer tried to improve his condition with all his strength. Ending, all dancers hold a rice harvest party as a thanksgiving by dancing in half in pairs.


JOGED ◽  
2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 17-29
Author(s):  
Putra Jalu Pamungkas

ABSTRAKLabuh labet memiliki makna pengabdian. Di dalam karya tari ini, pengabdian yang dimaksud adalah pengabdian seorang prajurit kraton Yogyakarta atau yang dikenal dengan Bregada. Bregada prajurit kraton biasanya disajikan pada upacara-upacara adat di kraton. Banyak para prajurit kraton yang sudah berusia lanjut namun masih tetap memiliki semangat untuk ikut berpartisipasi dalam acara kraton. Dasiyo (77 tahun) sebagai salah satu contohnya, beliau adalah seorang prajurit kraton yang mengalami awal dibentuknya kembali prajurit kraton Yogyakarta. Beliau pernah masuk di tiga bregada prajurit kraton yang berbeda yaitu prajurit Dhaeng, Patangpuluh, dan Wirabraja dengan pangkat yang berbeda-beda. Bregada prajurit kraton Yogyakarta sebagai inspirasi penciptaan karya tari, berawal dari ketertarikan saat melihat barisan prajurit kraton Yogyakarta. Dalam setiap kesatuan masing masing bregada memiliki ciri khusus yang berbeda, baik dalam segi kostum, gerakan dan musik. Ada sebuah motif gerak berjalan yang dilakukan oleh setiap bregada prajurit yaitu lampah macak dan lampah mars. Prajurit identik dengan pengabdian, kedisiplinan, dan kesetiaan. Sifat dan karakter dari prajurit ini dijadikan spirit dalam pengolahan dan pengekspresian setiap motif gerak yang ditemukan. Karya tari ini merupakan koreografi garap kelompok dengan delapan orang penari laki-laki. Enam penari sebagai visualisasi figur tokoh prajurit kraton, satu orang penari sebagai visualisasi masa lalu dari tokoh prajurit tersebut, satu penari lagi sebagai visualisasi figur pak Dasiyo. Lampah macak dan lampah mars menjadi motif awal untuk menciptakan gerak, dengan beberapa variasi dan pengembangannya. Melalui karya ini diharapkan generasi-generasi muda dapat melestarikan sejarah dan tradisi kebudayaan yang ada di wilayah masing–masing.ABSTRACT Terms or word as titles, has the same meaning as dedication. In this dance work, the purpose of dedication is soldiers of the Yogyakarta palace dedication. The soldiers of Yogyakarta palace usually served in the palace ceremony. A lot of older people soldiers of the palace however still have a spirit for participation in the palace event. Dasiyo (77 years old) as one of example, he is soldier of Yogyakarta palace to have experience ever since early reshaping soldiers of Yogyakarta palace. He ever in the three of different soldier of palace which name is Dhaeng, Patangpuluh and Wirabraja with different grade. The soldiers of Yogyakarta palace as inspiration for create this dance work, starting from the interest when looking the line up soldiers of Yogyakarta palace. In the every unity have different special feature, as a costume, movement and the music. Every soldiers have the one of walking movement motive that is lampah macak and lampah mars. The soldiers identic as dedication, discipline and loyalty. Human nature and character of this soldiers to be a spirit in processing and expression every found movement motive. This dance work is a group choreography with eight male dancer. Six dancer as a visualisation figure soldier of palace, one dancer as a visualisation past from soldier of palace, one dancer as a visualisation of Dasiyo. Lampah macak and lampah mars become early motive to create the movement, with the some of variation and development. Through this dance work expected young generation can preserve history and culture of tradition in the each other region.


JOGED ◽  
2020 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 131-140
Author(s):  
Luthfi Guntur Eka Putra
Keyword(s):  

Siwo Megou merupakan karya tari yang berpijak pada gerak dasar tari Cangget Lampung. Karya ini terinspirasi dari kehidupan masyarakat Lampung. Siwo Megou diambil dari bahasa Lampung yang artinya Sembilan Marga. Kesembilan marga tersebut diikat oleh aliran sungai yang mengikat daerah tersebut. Kesembilan marga disatukan oleh ‘alat’ pemersatu yaitu siger pepadun. Kesembilan marga direpresentasikan ke dalam bentuk sebuah siger pepadun sebagai simbol persatuan. Musik yang digunakan berangkat dari tabuhan tradisi Lampung yang dikomposisi sesuai kebutuhan dan interpretasi penata. Karya ini ditarikan oleh sepuluh penari, sembilan lakilaki dan satu perempuan. Menggunakan rangsang kinestetik dan rangsang ideasional. Desain dramatik dibagi menjadi tiga segmen. ABSTRACT Siwo Megou is a dance work based on the basic movements of Cangget Lampung dance. This work is inspired by the life of the people of Lampung. Siwo Megou is taken from the Lampung language, which means the Nine Clans. The nine clans are bound by a river that binds the area. The nine clans are united by a unifying tool, the Siger Pepadun. The nine clans are represented in the form of a siger pepadun as a symbol of unity. The music used departed from the wasp of the Lampung tradition which was composed according to the needs and interpretation of the stylist. The theme used is unity. Dance works are danced by ten dancers, nine men and one woman. Using kinesthetic stimuli and professional stimuli. The dramatic design is divided into three segments according to the needs of this work.The discovery of motion in this work is the discovery of new motion according to the work requirements of this work. Motion motives obtained are then processed according to the creativity and interpretation of the stylist. The work of Siwo Megou's choreography arranged and danced in groups is a creation that is divided into three segments staged in the prosecenium stage on May 21, 2019.


JOGED ◽  
2020 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 159-175
Author(s):  
Ayang Sophia

Asuh Asah Babakeh merupakan karya yang terinspirasi dari pengalaman empiris tentang kasih sayang seorang Atuk terhadap cucu. Atuk (bahasa Minang: kakek) merupakan salah satu orang yang berperan penting dalam pendidikan awal mengenali kehidupan penata tari. Beliau yang mengajar ilmu pengetahuan, agama, beragam cara hidup di dunia melalui nyanyian, cerita dan contoh peristiwa. Atuk telah wafat meninggalkan kesan yang mendalam sampai saat ini. Karya tari ini merupakan persembahan ucapan terima kasih untuk Almarhum dari lubuk hati yang terdalam. Asuh Asah Babakeh merupakan koreografi kelompok dengan garap kontemporer yang berakar dari tradisi Minangkabau. Garap gerak berpijak pada tari Babuai yang bernafaskan budaya Minangkabau. Demikian juga musik tarinya yang dikomposisi khusus untuk koreografi ini diharapkan dapat membangun nuansa budaya Minangkabau serta imajinasi tema untuk menguatkan dramatisasi pada setiap bagian koreografinya. Tema pada karya ini adalah ungkapan rasa rindu pada kasih sayang antara cucu dengan Atuk. Menggunakan tipe tari dramatik serta cara ungkap simbolis. Struktur Koreografi dibagi menjadi empat adegan. Menggunakan properti tari lampu togok (lampu minyak yang sudah dimodifikasi), serta properti panggung untuk menambah estetika penampilan serta menguatkan ekpresi tarinya. Karya ini ditarikan oleh 9 orang penari dan dipentaskan di panggung proscenium stage. ABSTRACT Asuh Asah Babakeh is a creation inspired by the empirical experience of a choreographer about the closeness and affection of a Atuk for grandchildren. Atuk (Minang language: grandfather) is one that plays an important role in early education in recognizing the lives of dance stylists. He teaches science, religion, various ways of living in the world through songs, stories and examples of events. Atuk has died leaving a deep impression until this day. This dance an offering of thanks to the deceased from the bottom of my heart. Asuh Asah Babakeh is a group choreography with contemporary work rooted in the Minangkabau tradition. Work on movements resting on the Babuai dance that breathes Minangkabau culture. Likewise, the dance music composed specifically for this choreography is expected to build the nuances of Minangkabau culture as well as the theme's imagination and strengthen the dramatization of each part of the dance. The theme in this work is an expression of longing for affection between grandchildren and Atuk. Using the type of dramatic dance and symbolic expression. The structure of Choreography is divided into four scenes. Using the togok lamp dance property (modified oil lamp), as well as the stage property to add aesthetic appearance and strengthen the dance expression. This work was danced by nine dancers and performed on the proscenium stage


JOGED ◽  
2020 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 188-201
Author(s):  
Chorine Nur Shofa

Jepaplok merupakan judul dari sebuah karya tari kelompok yang di dalamnya melibatkan sembilan penari perempuan. Kata Jepaplok yaitu berasal dari Njeplak (Manggap) dan Nyaplok (mencaplok). Karya tari ini berawal dari pertunjukan Jaranan di Tulungagung Jawa Timur. Barongan atau biasa disebut Caplokan/Jepaplok adalah penggambaran hewan mitologi berupa ular naga sebagai penguasa hutan yang jahat. Sosok yang dilihat dari segi visualnya menyeramkan dan ganas, serta dari sudut geraknya yang sangat ekspresif. Gerak-gerak dasar yang digunakan antara lain seperti leang-leong, ngaplak, ngepruk, sondongan, pattetan, dan sundangan. Karya tari Jepaplok terdiri dari 4 bagian adegan. Pada bagian introduksi dipertunjukkan sosok Barongan dan Jaranan yang berbeda ruang dan kemudian saling menyerang. Bagian 1 berfokus pada gerak Barongan tanpa menggunakan properti topeng. Pada bagian 2 persiapan penyerangan terhadap penari Jaranan, sehingga dalam bagian ini sudah menggunakan properti topeng. Bagian 3 lebih kepada esensi penggunakan topeng dan diolah dengan permainan ritme dan menggunakan komposisi berpasangan. Bagian 4 yaitu akhir dari pertunjukan karya tari Jepaplok yaitu perangan Barongan dan Jaranan. Tetapi pada bagian akhir ini tidak semata-mata saling berhadapan satu dengan yang lain melainkan hanya sebatas permainan per kelompok. ABSTRACT Jepaplok is the title of a workgroup in which dance involving nine female dancers. The word Jepaplok is derived from Njeplak (Mangap) and Nyaplok (annexed). This dance originated in the works of interest in dance salon when watching a show used Jaranan (dance horse) in Tulungagung, East Java. The point of view of the Director of the dance stopped when one of the characters enter the staging area performance Barongan. Suspenseful atmosphere emerges when section toward the battle between used Horse and Barongan. Barongan or commonly called Caplokan/Jepaplok is the depiction of mythological animals in the form of a dragon serpent as ruler of the evil forest. The figure is seen in terms of the Visual sinister and vicious, as well as from the point of highly expressive movements that inspired the stylist for him to dance in a group dance with paper based on motion and feel the music used Jaranan Sentherewe Tulungagung, East Java. The focus of the implementation work of the dance called Jepaplok is more to perangan and Barongan figures. Basic motion-motion that is used among other things such as leang-leong, ngaplak, ngepruk, sondongan, pattetan, and sundangan. In the work of this Jepaplok dance doesn't bring up the story and consists of four parts of the scene. On the introduction of a dance figure demonstrating Barongan and different spaces used Horse and then each other. Part one is more focused on motion the Barongan poured into members of the body of a dancer without using the mask property. In part two, namely more to preparation which showed Barongan attacks against dancers used Horse, so in this section are already using property mask. Part three more to the essence of the use of mask and mingled with the game rhythm and composition using paired. Part four, namely the ending of the show dance work Jepaplok, as in general the final part of the art used Horse namely perangan and Barongan used Horse. But in the end, it does not solely face each other with one another but rather only as a game between groups.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document