scholarly journals JARINGAN KULINER KOTA DI KEBON SIRIH

Author(s):  
Andreas Tanuwijaya ◽  
Dewi Ratnaningrum

Community is a group of several people who have specific goal and activities that are very varied, and are not in accordance with certain pattern of activity. They will look for a place for them to gathering or we call it “third place”. The third place is a public place that the people inside can act freely. This place is outside from their work or home, yet still feels comfortable. However, the third place began to disappear along with technological developments, especially in urban city such as Jakarta that have very high population and economic growth rates. This situation allows us to interact with others through technology that offers a third place in cyberspace as a gathering place. One of the third place that always continue to exist is a “dining area”, particularly in the informal sector. Central of Jakarta becomes a strategic location for culinary growth because of its office and economic center. This Project is using the “typology” method, observing the activities in the area. One of the familiar culinary in Central Jakarta is Sabang culinary, located on Jalan Sabang / Jalan H. Agus Salim and next to the office buildings on Jalan M. H. Thamrin, Kebon Sirih sub district, Menteng district. There are 2 culinary adjacent to the Sabang culinary, namely Bank Mandiri culinary and Kebon Sirih culinary, a network among culinary centers and to achieve the purpose of the “place to eat” as a third place. This is where Urban Culinary Linkage (Jaringan Kuliner Kota) is planned as an urban network that renforces culinary characterictics in Sabang area and as a third place for employees and residents in Kebon Sirih sub district. AbstrakKomunitas merupakan kelompok dari beberapa orang yang memiliki tujuan tertentu dan kegiatan yang sangat bervariatif, serta tidak terikat oleh sebuah pola kegiatan tertentu. Komunitas ini kemudian mencari tempat tersendiri untuk dijadikan tempat berkumpul atau “ruang ketiga”. Ruang ketiga merupakan wadah dari para komunitas dengan keadaan bebas ekspresi dan bersifat publik. Wadah ini berada di luar pekerjaan atau rumah mereka, namun tetap merasa nyaman. Ruang ketiga mulai hilang seiring dengan perkembangan teknologi, terutama di pusat kota seperti Jakarta dengan laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang sangat tinggi. Keadaan memudahkan kita untuk berinteraksi melalui teknologi yang menawarkan ruang ketiga di dunia maya sebagai tempat berkumpulnya komunitas. Salah satu ruang ketiga secara nyata yang terus ada adalah “tempat makan” terutama pada sektor informal. Jakarta Pusat menjadi letak strategis bagi pertumbuhan kuliner karena pusat perkantoran dan ekonomi berada di sana. Metode yang digunakan adalah tipologi, melihat langsung kawasan dan mengamati aktivitas serta perasaan ruang yang terjadi di sana. Salah satu kuliner yang terkenal di Jakarta Pusat adalah Kuliner Sabang yang berada di Jalan Sabang dan bersebelahan dengan perkantoran di Jalan M.H. Thamrin, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng. Ditambah lagi 2 kuliner yang berdekatan dengan Kuliner Sabang, yaitu Kuliner Bank Swasta Mandiri dan Kuliner Kebon Sirih. Hal ini membuka potensi untuk menciptakan jaringan di antara sentra kuliner sehingga tercapainya tujuan “ruang makan” sebagai ruang ketiga. Jaringan Kuliner Kota (Urban Culinary Linkage) direncanakan hadir sebagai jaringan perkotaan yang memperkuat karakteristik kuliner di kawasan Sabang dan menjadi ruang ketiga bagi karyawan serta warga di kelurahan Kebon Sirih. 

Muzealnictwo ◽  
2018 ◽  
Vol 59 ◽  
pp. 123-131
Author(s):  
Katarzyna Jagodzińska

The article focuses on museums’ activity that reaches beyond the walls of their premises in the context of a concept of the so-called third place. The third place – as a gathering place which is neither one’s home, i.e. first place, nor workplace, i.e. second place – was described by an American sociologist Ray Oldenburg in 1999 in his book The Great Good Place: Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Bars, Hair Salons, and Other Hangouts at the Heart of a Community. Three study cases have been used in the article: Museum Forum (project carried out by the National Museum in Kraków), Bródno Sculpture Park (project co-conducted by the Museum of Modern Art in Warsaw), and the method of work implemented by the Ethnographic Museum in Kraków, including in particular the project Dzikie Planty (Wild “Planty” Park). I discuss assumptions the projects have been based on, how they fit in an overall strategy of the museums, and reasons why they have been undertaken. Finally, I wonder whether having been conducted in a fully accessible public space and conducive to users’ interaction make it justified to categorise them as the third places in the meaning given by Oldenburg. Although Oldenburg’s concept has been regarded by museum theorists as not applicable to museums, I have come to the conclusion that projects conducted by museums in a non-committal context of an open space meet the conditions the third places do.


Author(s):  
Aiko Putri Marui ◽  
Rudy Surya

Third Place is an additional requirement needed by the people of South Meruya. Millennial and elderly population in South Meruya is the highest population there. Therefore this project is prioritized for them. And there are also problems with the relationship between the elderly and tenancy that are tenuous, due to differences in mindset and habits. Therefore the project which is located on Jalan Meruya Utara aims to provide various facilities that they can use together and can re-create a close relationship between them but this project also not only accepts millennials and the elderly but also all people from various social and age. In addition to being a gathering place, this project also provides various workshops or classes so that they can carry out activities together and communication can be formed because of the activity of chatting or exchanging ideas. It also provided a place for them to exercise for the benefit of elderly and millennial health. The method used in this paper is to study the Regions, Library. Based on the results of field surveys and literature, the similarities in the activities of the elderly and millennials are expected to be their joint activities. The results of the study were analyzed and synthesized in the form of designing an elderly and millennial interaction facility in South Meruya. Keywords:  elderly; millennials; third place Abstrak Third Place merupakan sebuah kebutuhan tambahan yang dibutuhkan masyarakat Meruya Selatan. Penduduk milenial dan lansia di Meruya Selatan merupakan jumlah penduduk yang tertinggi disana. Maka dari itu proyek ini diutamakan untuk mereka. Dan juga terdapat permasalahan hubungan antara lansia dan milenial yang renggang, karena perbedaan pola pikir dan kebiasaan. Maka dari itu proyek yang berada di Jalan Meruya Utara ini bertujuan untuk menyediakan berbagai fasilitas yang dapat mereka gunakan bersama-sama dan dapat menciptakan kembali hubungan yang erat antara mereka selain itu juga proyek ini tidak hanya menerima kaum milenial dan lansia tapi juga semua orang dari berbagai golongan sosial dan umur. Selain menjadi tempat berkumpul juga proyek ini menyediakan berbagai workshop atau kelas-kelas agar mereka dapat melakukan aktivitas-aktivitas bersama-sama dan dapat terbentuk komunikasi karena terjadinya aktivitas mengobrol ataupun bertukar pikiran. Selain itu juga disediakan tempat untuk mereka dapat berolahraga untuk kepentingan Kesehatan lansia maupun milenial. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan melakukan studi Kawasan, Pustaka. Berdasarkan hasil survei lapangan dan literatur dihasilkan kesamaan-kesamaan aktivitas kaum lansia dan milenial yang diharapkan dapat menjadi aktivitas bersama mereka. Hasil kajian tersebut dianalisis dan disintesiskan dalam wujud perancangan fasilitas interaksi kaum lansia dan milenial di Meruya Selatan.


Author(s):  
Thao Phing ◽  
Suwardana Winata

The city has traces of human civilization from time to time with various phenomena that occur. As time goes by, the existence of Third Place in Jakarta remains limited. The activities among those Third Places tend to be less interactive. Most of Third Places aim to address the concept of green and open space, but it fails to communicate its crucial purposes as platfrom activities for the community. In this modern era, the concept is change necessary where it accomodates public needs and no longer be depicted a mere open space. Krendang needs a facility to accommodate motherhood and children activities as the third place. As the people become more individualistic and don't want to socialize, it is more difficult to find leisure and creativity facilities. Motherhood Community and Social Market in Krendang was designed to facilitate the activities of mother and children in the middle of densely population in Krendang, Tambora, West Jakarta.  Abstrak Kota memiliki rekam jejak peradaban manusia dari waktu ke waktu dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Seiring berjalanya waktu, Third Place di kota Jakarta masih terbatas. Kegiatan yang ditawarkan didalamnya cenderung tidak interaktif. Kebanyakan Third Place di Jakarta mencoba menampilkan sisi ruang terbuka dan penghijauan saja namun tidak berbicara mengenai kegiatan atau wadah bagi masyarakat itu sendiri. Dalam perjalanannya menuju era yang lebih modern, perlu adanya sebuah perubahan terhadap konsep Third Place dimana konsep ini tidak hanya sebagai ruang terbuka saja atau mall melainkan harus dapat mewadahi kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya. Fasilitas bagi kaum ibu yakni memasak dan bagi anak – anak yakni bermain dan berkreativitas harus menjadi perhatian utama Third Place pada kawasan Krendang. Pada era modern ini masyarakat mulai cenderung menjadi kaum yang individualistis dan terkesan tidak ingin bersosialisasi. Motherhood Community and Social Market in Krendang diciptakan karena adanya fenomena kepadatan yang terjadi dan menyebabkan manusia tidak lagi memiliki wadah untuk mereka beraktivitas dengan baik pada kehidupa sehari – hari mereka. Selain itu hal ini juga terjadi karena sering adanya masalah seperti kebakaran di kawasan Krendang. Maka dari itu Motherhood Community and Social Market in Krendang di harapkan dapat menghadirkan fasilitas bagi kaum ibu dan anak yang layak dan juga agar terciptanya suatu kondisi sosial yang baik pada Third Place. 


Author(s):  
Melissa Melissa ◽  
Sidhi Wiguna Teh

Living and growing up in urban areas with various pressures, both from home or work/school, makes people have a higher stress level. Urban people need a space in between home (first place) and a place of work / study (second place), namely the third place. Third place is important for the people because it is a place where they can be themselves, freely channel their talents and interests, as well as socializing and maintaining fitness in the midst of the busy city. Therefore, a need rises for an architectural manifestation in the form of a third place with a creative hub to channel ideas, creativity, talents, and interests and active space to maintain fitness, socialize, and build community. Alam Sutera is a developing city that has a beautiful atmosphere and integrated transportation system so that it can support a healthy walking lifestyle. In addition, Alam Sutera is also home to various types of communities, ranging from student activity units to car lovers communities. The location of the site which is located in Alam Sutera and close to universities, offices, and residential areas makes the Cre-Active Social Hub a strategic third place and able to accommodate various needs of the third activities of the Alam Sutera community and its surroundings. Cre-Active Social Hub is designed to be a place for sustainable community development, a place in between for the people of Alam Sutera, and to make the environment mood more lively and pleasant. AbstrakTinggal dan besar di daerah perkotaan dengan berbagai tekanan, baik dari rumah maupun tempat kerja atau sekolah, membuat masyarakat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi. Masyarakat kota membutuhkan ruang antara tempat tinggal (first place) dan tempat kerja/ belajar (second place) yaitu third place. Third place penting bagi masyarakat kota untuk menjadi tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri, bebas menyalurkan bakat dan minat, sekaligus bersosialisasi dan menjaga kebugaran di tengah sibuknya kota. Oleh karena itu, muncul kebutuhan akan sebuah perwujudan arsitektur berupa third place dengan creative hub untuk menyalurkan ide, kreativitas, bakat, dan minat serta active space untuk menjaga kebugaran, bersosialisasi, dan membangun komunitas. Alam Sutera merupakan sebuah kota berkembang yang memiliki suasana asri dan sistem transportasi terintegrasi sehingga dapat mendukung pola hidup berjalan kaki yang sehat. Selain itu, Alam Sutera juga merupakan rumah untuk berbagai jenis komunitas, mulai dari unit kegiatan mahasiswa hingga komunitas pecinta mobil. Lokasi tapak yang berada di Alam Sutera dan dekat dengan universitas, kantor, dan hunian membuat Wadah Aktivitas Kre-Aktif menjadi sebuah third place yang strategis dan dapat mewadahi berbagai kebutuhan third activities masyarakat Alam Sutera dan sekitarnya. Wadah Aktivitas Kre-Aktif dirancang untuk menjadi wadah bagi pembangunan komunitas yang berkelanjutan, menjadi tempat antara bagi masyarakat Alam Sutera, serta membuat suasana semakin hidup dan menyenangkan.


Author(s):  
Daniel Yohanes ◽  
Priscilla Epifania

A third place functions as a meeting platform for people outside their daily routine in homes, working places, and can enhance the life quality of urban society, especially during the increasingly individualist era due to the growth of technology. Penjaringan District has one of the busiest nodes in Jakarta City, and consists of housing (first place) and offices (second place) with relatively large and equal percentage, and with the positions which allows permeability. The design site which is located between Pluit and Penjaringan Subdistricts, is chosen based on the performed district investigation. Nearby facilities have the potential to be improved, such as Putra Putri Park, Penjaringan Busway Station, and Pluit Junction Mall.  A skywalk is introduced to connect the facilites by acting as a platform to bring mobility from and to Penjaringan Busway Station to vitalize Pluit Junction Mall and Putra Putri Park which in their existing condition did not function as intended. The designed third place which is connected with the skywalk becomes one with the formed connectivity. Music is the chosen theme for the third place as a binder of the people with their differing backgrounds. The proxemics approach and the Pattern Language method are used to shape the spaces to encourage social interaction. The vision is to make the third place to be “a large living room” for Penjaringan District. The third place which provides a freedom of expression and encourages visitors to bring and play music instruments is hoped to act as an interaction and activity platform for both the locals and outsiders. Keywords: freedom of expression; living room; music; skywalk; third place AbstrakThird place berperan sebagai wadah berkumpulnya warga di luar keseharian mereka tinggal dan bekerja, dan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan, terutama di dalam era yang semakin individualis sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Kawasan Penjaringan memiliki salah satu noda teramai di Kota Jakarta, dan terdiri dari perumahan (tempat pertama) dan perkantoran (tempat kedua) dengan presentase yang relatif besar dan seimbang, dengan posisi yang memungkinkan adanya permeabilitas di antara keduanya. Tapak perancangan yang terletak di perbatasan Kelurahan Pluit dan Kelurahan Penjaringan, terpilih berdasarkan investigasi kawasan yang dilakukan. Beberapa  fasilitas terdekat memiliki potensi peningkatan kualitas, diantaranya Taman Putra Putri, Halte Transjakarta Penjaringan, dan Mal Pluit Junction. Sebuah skywalk dihadirkan untuk mengkoneksikan fasilitas-fasilitas tersebut dengan menjadi wadah yang membawa pergerakan dari dan menuju ke Halte Transjakarta Penjaringan untuk menghidupkan Mal Pluit Junction serta Taman Putra Putri yang pada kondisi eksisting tidak berfungsi secara maksimal. Tempat ketiga yang dirancang terhubung dengan skywalk ini dan menjadi sebuah kesatuan bagi konektivitas yang terbentuk. Musik merupakan tema terpilih sebagai pengikat orang-orang yang beragam latar belakangnya. Teori proksemik dan metode Bahasa Pola digunakan untuk menciptakan keruangan yang mendorong terjadinya interaksi sosial. Visi proyek ini adalah untuk menjadikan tempat ketiga ini “sebuah ruang tamu besar” bagi Kawasan Penjaringan. Tempat ketiga yang memberikan kebebasan ekspresi dan mengundang pengunjung untuk membawa dan memainkan instrumen musik ini diharapkan dapat berperan sebagai wadah interaksi dan kegiatan bagi warga lokal ataupun pengunjung dari luar kawasan. 


Author(s):  
Edmund Edmund

Jakarta is a large city that has a population of 10,374,235 people on 661.52 km² land, which shows that Jakarta is a very densely populated area in Indonesia. As the capital and as a big city, it certainly has a density of routine activities that can lead to boredom and suppress the mentality of the people who live or come to work. These things should become the attention of the government.To overcome these problems, it is necessary to have a place that can facilitate the community to rest, communicate, and entertain themselves from the busyness that is the main activity of the people in the big cities, called as the third place. With limited time and technological advances, people become lazy to interact and exercise. The issue of the lack of sports facilities in the Jakarta area is also a concern for the Jakarta government. The Regional Representative Council (DPRD) highlighted the lack of sports facilities and infrastructure in Jakarta. People in Indonesia who realize the importance of exercising and doing it are only 27.61%, this figure is a fairly low number compared to that in other countries. With a typology approach to use of space and combined with conventional methods, design can provide good use of space for the community. By creating a new container for sports facilities combined with the concept of third place, it is expected that people can be aware of the importance of interacting, exercising and maintaining physical and non-physical health. AbstrakJakarta merupakan kota besar yang memiliki jumlah penduduk sebesar 10.374.235 jiwa dengan luas wilayah 661.52 km², hal ini menunjukkan bahwa kota Jakarta merupakan daerah yang sangat padat akan penduduknya di Indonesia. Sebagai Ibukota dan sebagai kota besar pasti memiliki kepadatan akan aktivitas rutin yang dapat menimbulkan kejenuhan dan menekan mental masyarakat yang tinggal maupun yang datang untuk bekerja. Hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya sebuah tempat yang dapat mewadahi masyarakat untuk beristirahat, berkomunikasi, dan menghibur diri dari kesibukan yang menjadi aktivitas utama masyarakat di kota besar yang disebut sebagai the third place. Dengan keterbatasan waktu dan kemajuan teknologi, masyarakat menjadi bermalas-malasan untuk berinteraksi dan berolahraga. Isu mengenai kurangnya fasilitas olahraga di wilayah Jakarta juga menjadi perhatian pemerintah Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyoroti kurangnya sarana dan prasarana olahraga di Jakarta. Masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya berolahraga dan menjalaninya hanya sebesar 27.61%, angka tersebut merupakan angka yang cukup rendah dibandingkan dengan negara lain. Melalui pendekatan tipologi untuk kegunaan ruang dan dipadukan dengan metode konvensional, desain dapat memberikan kegunaan ruang secara baik untuk masyarakat. Dengan menghadirkan sebuah wadah sarana olahraga baru yang di gabungkan dengan konsep third place diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya berinteraksi, berolahraga dan menjaga kesehatan fisik maupun non fisik.  


Author(s):  
Givin Natan Lie ◽  
Martin Halim

Gaps within citizens is a problem that runs amok inside a city, so as in Jelambar Baru, that is one of the densest districts in Jakarta, Jelambar Baru also has a gap between its citizens. A unique environment in an urban area where a separation between the elites and the lower middle class happens, that indirectly affects the actions and behaviors of the citizens. Adding on the lacking public facilities to accommodate both of the society groups, so enter the project Jelambar Baru recreation and entrepreneurship space. In accommodating various activities that can bridge the gap in Jelambar Baru’s citizens, Jelambar Baru recreation and entrepreneurship space has a vision to unite both the elites of society and the lower middle class, with various social activities that is done together. Apart from that, Jelambar Baru recreation and entrepreneurship space can also be a gathering place for all citizens and communities in Jelambar Baru as a third place in society. Interacting with the people of Jelambar Baru, doing observations, surveys, and analysis, produces an optimal program to attract and unite both of Jelambar Baru’s citizen class, so this Open Architecture project can become an activity space with variety, and a public space for all class of society. Keywords:  gap; social activities; unite AbstrakKesenjangan masyarakat dalam sebuah kota merupakan sebuah masalah yang merajalela, begitu pula pada kelurahan Jelambar Baru, yang merupakan salah satu kelurahan terpadat di Jakarta. Suasana yang unik pada daerah urban dimana terjadi separasi antara masyarakat golongan atas dengan golongan menengah kebawah, yang secara tidak langsung mempengaruhi tindakan dan perilaku masyarakat tersebut. Ditambah dengan kurangnya berbagai fasilitas umum untuk mewadahi kedua golongan masyarakat tersebut, maka masuklah proyek ruang rekreasi dan kewirausahaan di Jelambar Baru. Dengan mewadahi berbagai aktivitas yang dapat menjembatani kesenjangan dalam masyarakat Jelambar Baru, ruang rekreasi dan kewirausahaan di Jelambar Baru memiliki visi untuk mempersatukan kedua golongan masyarakat atas dan menengah kebawah, dengan berbagai aktivitas sosial yang dapat dilakukan bersama. Selain itu, ruang rekreasi dan kewirausahaan di Jelambar Baru juga dapat menjadi sebuah tempat berkumpul bagi seluruh masyarakat kelurahan Jelambar Baru sebagai sebuah Third Place dalam masyarakat. Berinteraksi dengan masyarakat Jelambar Baru, melakukan observasi, survey, dan analisis, dapat diambil sebuah program yang optimal untuk menarik dan mempersatukan kedua golongan masyarakat Jelambar Baru, sehingga proyek Open Architecture dapat menjadi tempat kegiatan yang beragam, dan juga ruang publik bagi seluruh golongan masyarakat.


Author(s):  
Almira Livia Putri Laisa ◽  
Maria Veronica Gandha

Since the 2000s, Tebet has been a gathering place for youngsters in Jakarta. Presently, Tebet continues to grow with shops, cafés, and restaurants. This area has the potential to become the Third Place for Tebet residents. However, with the lack of entertainment/recreation facilities in Tebet, it is able to diminish the concept of the Tebet area itself, because it creates moves of the visitors to become faster. Re-Spot, Tebet is one of the people's choices to be used as a neutral hang out space with a new injection program in it, namely Sport as Entertainment, where entertainment activities here are part of sports that consider aspects of user comfort by optimizing the potential of the local environment. By using a new injection program that fits the interests of youngsters in Tebet which is then elaborated with the concept of the Design by sports Movement in building circulation to create circulation which is part of the sports movement. Thus, Re-Spot will be an innovation for the Tebet Timur environment, and public space that can append a value to the activities that already exist in the Tebet Timur environment itself. By comparing indicators based on theories about the third space usedKeywords:  Hang out; Sports; Sports as Entertainment; Third PlaceAbstrakSejak tahun 2000-an, Tebet menjadi salah satu tempat nongkrong anak muda di Jakarta. Hingga saat ini Tebet semakin berkembang dengan dipenuhi dengan gerai distro dan café-café maupun restoran. Kawasan ini berpotensi sebagai Third Places bagi warga Tebet. Akan tetapi, dengan kurangnya sarana hiburan/rekreasi di Tebet, mampu mengurangi citra dari kawasan Tebet itu sendiri, karena menyebabkan pergerakan pengunjung menjadi semakin cepat. Re-Spot, Tebet merupakan salah satu pilihan masyarakat untuk dijadikan tempat nongkrong yang bersifat netral dengan adanya injection program baru di dalamnya yaitu Sport as Entertainment, dimana kegiatan entertainment disini merupakan bagian dari olahraga yang mempertimbangkan aspek kenyamanan pengguna dengan memanfaatkan potensi lingkungan setempat secara optimal. Dengan menggunakan injection program baru yang menyesuaikan minat dari anak muda di Tebet yang kemudian dielaborasikan dengan konsep Design By Sport Movement pada sirkulasi bangunan untuk menghasilkan sirkulasi yang merupakan bagian dari gerakan olahraga. Sehingga Re-Spot mampu menjadi inovasi baru bagi lingkungan Tebet Timur, dan juga menjadi ruang publik yang dapat menambah nilai bagi kegiatan yang sudah ada lingkungan Tebet Timur itu sendiri. Dengan membandingkan indicator berdasarkan teori mengenai ruang ketiga yang dipakai.


Author(s):  
Kornelius Yonathan ◽  
Tony Winata

Third place is a place that brings various kinds of people together, where their activities are not related to home routines (1st place) and work routines (2nd place). Third place is needed for everyone because it is a place where people can release the fatigue that occurs in their daily activities. Third place is an important part in the formation of a community that provides alignment and harmony, where people who are known can be found. The most important part of third place, is guiding happiness, where people can feel the presence of others, a place for interaction that is filled with excitement. The lack of third place as a result of development that is only oriented to the interests of capital, causes the community to overcome it independently. They held their own third place in their residential area with the possibility of greater access. This also happens in the Sunter Agung area which is the most dominant productive age in education, so social bonds are more easily formed. Through literature studies and observational studies that have been carried out, it is known that the needs of the community of Sunter Agung Village in the third place are very high and need to be anticipated immediately in order to avoid environmental and social degradation. To make this happen, facilities are needed that can facilitate the community to interact, which is suitable for all walks of life. By paying attention to public - private, closeness - openness, natural - artificial etc., the design is tailored to the needs of the community. In this case, the intended facilities are not yet available in Sunter Agung Village, so that it becomes an urgency for the area. AbstrakRuang ketiga (third place) merupakan tempat yang mempertemukan berbagai macam masyarakat, dimana kegiatannya tidak terkait dengan rutinitas rumah (1st place) dan rutinitas pekerjaan (2nd place). Third place diperlukan bagi semua orang karena merupakan tempat orang dapat melepaskan kepenatan yang terjadi pada aktivitas keseharian mereka. Third place adalah bagian penting dalam pembentukan suatu komunitas yang memberikan kesejajaran dan keselarasan, dimana orang-orang yang dikenal dapat ditemukan. Bagian terpenting dari third place, adalah menuntun kebahagiaan, dimana orang dapat merasakan kehadiran sesama dan merupakan tempat untuk berinteraksi yang dipenuhi dengan kegembiraan. Namun karena minimnya ruang ketiga (third place) sebagai akibat pengembangan yang hanya berorientasi pada kepentingan kapital, masyarakat mengatasinya secara mandiri. Mereka mengadakan sendiri ruang ketiga (third place) di lingkungan pemukimannya dengan kemungkinan akses yang lebih besar. Hal ini juga terjadi di kawasan Sunter Agung yang merupakan kawasan pendidikan dengan jumlah usia produktif paling dominan, sehingga ikatan sosial lebih mudah terbentuk. Melalui studi literatur dan studi observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa kebutuhan masyarakat Kelurahan Sunter Agung akan third place sangat tinggi dan perlu segera diantisipasi agar tidak terjadi degradasi lingkungan dan sosial. Untuk mewujudkannya, diperlukan fasilitas yang dapat mewadahi masyarakat untuk berinteraksi, yang sesuai dengan semua kalangan masyarakat. Dengan memperhatikan public – private, closeness – openness, natural – artificial dll,  perancangan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, fasilitas yang dimaksudkan belum tersedia di Kelurahan Sunter Agung, sehingga menjadi urgensi bagi kawasan tersebut.


Author(s):  
Angel Valencia

Cengkareng is a district with the highest number of migrants in Jakarta and with a dense population. Enabling new communities to come. The lack of facilities is facilitated for third place residents of Cengkareng so residents often spend free time to gather next to the cemetery. Mushollah is a gathering place for residents to worship or just spend time together .hird place for the city community functions as a space between the living space and work space. Third place helps urban people to be humanistic, open, dynamic and productive. Humans as social beings need social interaction in living life. With the existence of a community forum building and activities that function as a forum for social interaction for the people of Cengkareng, it can make the local residents get to know each other and know about the activities in Cengkareng. Then it can reduce the problems of individualism and vandalism that are in Cengkareng. The building design will be based on the three main functions of the building, namely social, recreational and education with the concept of the building placing the plaza as the main link connected with these functions. It is hoped that this building can be useful for the community to deal with a new sense of boredom, open up new perspectives and interact with new people. Abstrak Cengkareng merupakan kecamatan dengan jumlah pendatang tertinggi di Jakarta dan dengan jumlah penduduk yang padat. Memungkinkan adanya komunitas-komunitas baru yang akan hadir. Kurangnya terfasilitasi tempat third place bagi warga Cengkareng sehingga warga sering menghabiskan waktu luang untuk berkumpul di sebelah pemakaman. Mushollah menjadi tempat berkumpul warga untuk beribadah atau sekedar menghabiskan waktu bersama.Third place bagi masyarakat kota berfungsi sebagai ruang antara ruang yang tempat tinggal dan ruang tempat bekerja. Third place membantu masyarakat kota agar bersifat humanis, terbuka, dinamis dan produktif. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi sosial dalam menjalani kehidupan. Dengan adanya bangunan wadah komunitas dan aktivitas yang berfungsi sebagai wadah interaksi sosial bagi masyarakat Cengkareng dapat membuat warga sekitar untuk saling mengenal dan mengetahui mengenai kegiatan yang ada di Cengkareng. Kemudian dapat mengurangi adanya masalah individualisme dan vandalisme yang berada di Cengkareng. Desain bangunan akan berpacu pada tiga fungsi utama bangunan yaitu sosial, rekreasi dan edukasi dengan konsep bangunan meletakan plaza menjadi penghubung utama yang terkoneksi dengan fungsi-fungsi tersebut. Diharapkan bangunan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk kebaruan mengatasi rasa kebosanan, membuka sudut pandang perspektif baru dan dapat berinteraksi berkenalan dengan orang baru.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document