Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

85
(FIVE YEARS 43)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Lppm Unpar

2406-8748, 1693-556x

2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 153-171
Author(s):  
Andry Indrady

Sejak penerapan kebijakan bebas visa wisata di Indonesia pada tahun 1983 sampai dengan tahun 2017 terlihat dominasi sektor kepariwisataan (tourism) di dalam proses pengambilan keputusan kebijakan bebas visa. Rasional utama desakan adanya kebijakan ini belakangan terlihat adanya unsur pengaruh the Travel and Tourism Competitive Index (TTCI) yang dikeluarkan oleh lembaga dunia the World Economic Forum (WEF) dan the United Nations World Tourism Organisation (UNWTO) untuk mendongkrak rangking Indonesia di mata dunia Indonesia dalam hal sektor kepariwisataan. Dan salah satu komponen dari alat ukur persaingan kompetisi internasional tersebut adalah international openness, dengan penilaian bahwa semakin banyak suatu negara menghilangkan restriksi untuk memasuki suatu negara maka semakin tinggi komponen penilaian TTCI. Tulisan ini secara kritis menilai bahwa perluasan kebijakan bebas visa, sudah bergeser dari titik keseimbangan kebijakan selektif keimigrasian Indonesia. Meskipun diakui bahwa ada kontribusi dari kebijakan bebas ini, namun secara makro menggiring ke dalam “perangkap” instrumen internasional yang akan merugikan kepentingan Indonesia. Bahkan analisis di dalam tulisan ini ditemukan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara komponen international openness dengan peningkatan daya saing pariwisata secara agregat. Oleh karena itu, dengan menggunakan beberapa pendekatan teori ekonomi politik internasional, dan teori pembangunan internasional, tulisan ini melakukan studi kritis terhadap eksistensi pengaruh internasional terhadap kebijakan selektif keimigrasian di Indonesia, serta langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan segera oleh Pemerintah Indonesia agar dapat terhindar dari jebakan angka dan statistik dalam berkompetisi di era neoliberal saat ini.


2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 219-238
Author(s):  
Satwika Paramasatya ◽  
Yemima Galih Pradipta ◽  
Kevin Rendra Pratama ◽  
Desy Ramadhani

Human security is very vital for humans. Initially, security was defined as freedom from war. However, over time it began to shift into a broad and collective concept of security. The United Nations established three important pillars of Human Security, namely: freedom from want, freedom from fear, and freedom to live in dignity. The implementation of compliance with Human Security is complex and not simple. This paper argues that the Triple Helix model, the position of society is neglected because they are only positioned as an object where they should also be the one who play an active role as actors. Therefore, a new breakthrough is needed in the effort to fulfill Human Security in Kemijen Village, Semarang City through the Quadruple Helix concept that involves government, business, academics and the community. This study uses a descriptive-qualitative approach by combining literature studies and interviews. The Quadruple Helix is basically a collaboration between top-down and bottom-up approaches, and this study proves that the Quadruple Helix model is utmost important, because the solutions are more  well-targeted and meet the needs of the community. The Quadruple Helix model also allowed the people of Kemijen Village to be involved to become subjects through Focus Group Discussion.


2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 200-218
Author(s):  
Okta Dewi

ABSTRAK  Filipina yang dikenal sebagai negara patriarki diera kolonialisme kini menjadi satu-satunya negara yang yang memiliki tingkat kesetaraan gender tertinggi di Asia. Pengembangan kebijakan pemerintah yang berfokus pada peningkatan kesetaraan gender, menjadikan laki-laki dan perempuan  memiliki akses yang sama terhadap semua sumber daya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang implementasi gender mainstraiming yang dilihat dari konteks pembangunan di Filipina dalam menegakkan kebijakan kesetaraan gender. Tulisan ini mengelaborasikan bahwa implementasi konsep gender mainstraiming yang mengintegrasikan perspektif gender ke dalam persiapan, perancangan, penerapan, monitoring dan evaluasi kebijakan, peraturan pelaksanaan dan program pembiayaan, sebagai salah satu kunci keberasilan kesetaraan gender di Filipina. Dalam artikel ini, penulis menjabarkan tiga argumen utama keberhasilan kesetaraan gender di Filipina pada tulisan ini: pertama,  diaodpsinya terminologi gender mainstraiming. Kedua, penerapan gender mainstraiming yang dibuktikan dengan dibentuknya beberapa undang-undang peraturan serta program terkait penerapan kesetaraan gender yaitu The Magna Carta of Women (MCW), The Philippine Development Plan for Women (PDPW) 1989-1992, dan The Philippine Plan for Gender-Responsive Development (PPGD) 1995−2025. Ketiga, implementasi gender mainstraiming dibeberapa sektor diantaranya partisipasi ekonomi dan peluang, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan pemberdayaan politik. Keseiusan dan kesadaran tinggi pemerintah mengenai pentingya kesetaraan gender konteks pembangunan dituangkan dalam perturan serta undang-undang sebagai kunci yang kemudian diimplementasikan disegala kebijakan. Dalam penjabarannya, penulisan ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan bersumber pada data sekunder. Kata Kunci: Kesetaraan gender, perempuan & pembangunan, gender mainstraiming, Filipina ABSTRACT The Philippines, which is known as a patriarchal country in the era of colonialism, is now the only country that has the highest level of gender equality in Asia. Development of government policies that focus on improving gender equality, giving men and women equal access to all resources. This raises questions about the implementation of gender mainstreaming seen from the context of development in the Philippines in enforcing gender equality policies. This paper elaborates that the implementation of the concept of gender mainstreaming which integrates a gender perspective into the preparation, design, implementation, monitoring and evaluation of policies, implementing regulations and financing programs, is one of the keys to the success of gender equality in the Philippines. In this article, the author outlines three main arguments for the success of gender equality in the Philippines in this paper: first, the diodection of the terminology of gender mainstreaming. Second, the implementation of gender mainstaking as evidenced by the formation of several laws and programs related to the implementation of gender equality, namely The Magna Carta of Women (MCW), The Philippine Development Plan for Women (PDPW) 1989-1992, and The Philippine Plan for Gender- Responsive Development (PPGD) 1995-2025. Third, the implementation of gender mainstreaming in several sectors including economic participation and opportunities, educational attainment, health and survival, and political empowerment. The seriousness and high awareness of the government regarding the importance of gender equality in the development context is outlined in regulations and laws as keys which are then implemented in all policies. In the elaboration, this paper will use qualitative research methods sourced from secondary data. Keywords: Gender Equality, women & Development, Gender Mainstraiming, Philippines  


2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 239-260
Author(s):  
Yanuar Albertus

Tulisan ini membahas bagaimana Greenpeace, sebagai organisasi non-pemerintah, memengaruhi rencana pengeboran lepas pantai Shell di wilayah Kutub Utara. Greenpeace adalah salah satu aktor utama yang menentang rencana Shell untuk memulai pengeboran di laut Arktik. Proyek ini muncul seiring dengan adanya penelitian yang menunjukkan bahwa Kutub Utara mempunyai porsi yang signifikan dari keseluruhan cadangan minyak dan gas alam dunia. Rencana pengeboran tersebut memicu penolakan karena meningkatnya kekhawatiran tentang risiko kegiatan pengeboran lepas pantai di Arktik. Setelah sekitar tiga tahun advokasi, Greenpeace berhasil memaksa Shell menghentikan rencana pengeborannya. Analisis penulis kemudian mencoba menganalisis bagaimana Greenpeace mencapai tujuan advokasinya dalam menghentikan rencana pengeboran Shell. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan jaringan advokasi transnasional (TAN) sebagai kerangka pemikiran penulis dalam menganalisis bagaimana Greenpeace memanfaatkan jaringannya untuk melakukan advokasi internasional. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder, serta dianalisis dengan cara kualitatif. Temuan penulis kemudian menunjukkan bahwa Greenpeace telah menggunakan setiap taktik dalam strategi TAN untuk mempengaruhi kebijakan Shell, yang mencakup politik informasi, politik simbolik, leverage politics, dan juga politik akuntabilitas. Penulis kemudian menyimpulkan bahwa keempat taktik inilah yang kemudian berhasil mendorong Shell untuk menghentikan rencana pengeboran lepas pantai di kawasan Kutub Utara.


2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 172-185
Author(s):  
Jerry Indrawan

Peran ASEAN selama berdirinya cukup mampu membuat negara-negara di kawasan ini survive dari ganasnya polarisasi selama perang dingin yang lalu. Namun, di tengah-tengah damainya kawasan ini, konflik minor antar-negara di ASEAN, maupun antar-negara ASEAN dengan negara-negara lain di wilayah tetangganya kerap terjadi. Konflik antara Vietnam dengan Kamboja, Kamboja dengan Thailand, Indonesia dengan Malaysia, termasuk konflik dalam negeri Myanmar terkait masalah Rohingya adalah beberapa konflik yang terjadi di kawasan tenggara benua Asia ini. ASEAN tidak tinggal diam menyikapi beberapa permasalahan diantara negara-negara anggotanya ini. Tercatat, paling tidak ASEAN memiliki enam dokumen penting yang mengatur tentang mekanisme manajemen konflik, mulai dari Piagam ASEAN sampai Cetak Biru Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN. Atas dasar itulah, penulis merasa penting untuk membahas salah satu dari dokumen tersebut, yaitu Traktat Persahabatan dan Kerjasama, sebagai mekanisme resolusi konflik di ASEAN. Pembahasan ini termasuk melakukan analisa terhadap kemungkinan ASEAN bertindak melalui mekanisme Majelis Tinggi atau mekanisme fasilitator konflik, dalam upaya resolusi konflik antara sesama negara anggota ASEAN.


2021 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 186-199
Author(s):  
Dewa Ayu Putu Eva Wishanti ◽  
Joko Purnomo ◽  
Wishnu Mahendra Wiswayana

Climate change adaptation is globally arranged in many agreements. Those regimes realize the importance of small islands and vulnerable community as the entities at prime risk. However, as climate change progresses slowly, developing countries do not put this as a priority compared to other natural calamities like earthquake of volcanic eruption. Ternate authority as a government of sub-national small island is prone to climate hazard, but practically not prepared to defend the island against climate disaster. Despite receiving an award as a climate-resilient city, a wider governance aspect is left incapable to build an early initiative to construct a solid governance mode to manage its vulnerability. Through a set of indicators of policy approach, institutional capability, and social capability, this research finds that local governance and local politics in small island government is not supporting the establishment of an adaptable government, particularly on the context of decentralization. Technical capabilities in Ternate is present as a best practice to respond to volcanic eruption and tsunami, but not to the threat of climate change. Eventually, the case of Ternate highlights the importance to position subnational small islands according to its unique feature as a frontline to climate change adaptation, both in global and national context. Decentralization of governance does not automatically intensify the initiative of Ternate government to adapt with climate change imperatives.


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 121-137
Author(s):  
Meilinda Sari Yayusman

Transisi politik di tahun 2011 mendorong Myanmar untuk menjadi negara yang lebih demokratis. Pemilihan umum pada tahun 2010 telah mengubah sistem pemerintahan Myanmar dari dominasi militer junta menuju pemerintahan sipil di bawah Presiden terpilih, U Thein Sein. Kondisi ini mendorong Myanmar untuk melakukan perbaikan kualitas demokrasi dengan segera. Hal ini juga dilihat sebagai kesempatan bagi Uni Eropa sebagai aktor normatif untuk mempromosikan norma-norma demokrasi dan sampai batas tertentu, memberikan kontribusi untuk peningkatan demokrasi di Myanmar. Menggunakan metodologi kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk memeriksa sejauh mana kontribusi Uni Eropa dalam promosi demokrasi telah membawa peningkatan demokrasi di Myanmar dengan berpedoman pada tiga model promosi demokrasi, yakni linkage, leverage, dan governance. Penelitian ini juga bermaksud untuk menentukan model mana yang dianggap paling efektif bagi Uni Eropa untuk peningkatan demokrasi di Myanmar. Berdasarkan penelitian ini, dapat dikatakan bahwa Uni Eropa telah berkontribusi dalam peningkatan demokrasi dimana model linkage dan governance dianggap sebagai cara paling efektif untuk mempromosikan demokrasi di negara tersebut. Namun, model leverage dianggap sulit untuk digunakan dalam implementasi promosi demokrasi di Myanmar. Beberapa komponen dalam model ini tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya ketika berbicara tentang persyaratan politik sebagai instrumen untuk promosi demokrasi. Hal ini dikarenakan oleh sejauh ini apa yang telah dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Myanmar tidak memberlakukan persyaratan politik.Kata kunci: model promosi demokrasi Uni Eropa; aktor normatif; Myanmar


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 31-46
Author(s):  
Darynaufal Mulyaman ◽  
Kanya Damarçanti ◽  
Aldrin Rocky Sampeliling

This study undermines a recent development of joint-cooperation between Indonesia and China regarding high-speed railway and its supporting constructions. New dedicated railway, train technology, and Transit Oriented Development (TOD) are part of the initial project, which planned concurrently along the projected area. All of these new railway and TODs are new and distant from already built residences and business centers. These study breakdowns how the Indonesia-China High Speed Train project were initiated and explaining vital factors that surrounds it. Reflecting on how Korea and France dealt with KTX (Korean Train Express) project, the TODs, railways, and train technology compare to Indonesia-China High Speed Train project, Indonesia-China project appears not sustainable and driven by other political and economical will.


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 47-76
Author(s):  
Gwladys Nicimbikije ◽  
Elisabeth Dewi

Family farming exists overall and each has its own unicity in term of managing the farm operations, farm size, productivity, socio-economic conditions, local knowledge and geographical location besides the externalities such as depletion of resources exacerbated by the climate change. Hence, the following question drove the authors: “to what extent of involvement are intergovernmental organization concerned with farmers’ livelihood in Morocco?” Therefore, this research purpose outlines the role of family farming and their characteristics; challenges of farming livelihood and productivity in Morocco; and IFAD’s support for inclusive rural transformation. The authors hold view that family farming with higher on-farm innovative inputs of processing activities can expect increased yield. The findings revealed that IFAD’s global governance endowed by modern corporation, -corporate governance for instance, - enables participation of rural beneficiaries in their projects thus increases their self-management onto (environmental) natural resources and sustainability. Skills, training, innovation and technologies allow them to diversify and intensify their agricultural holdings hence access to new markets and cope with the ecological risks though there is limitation with the innovation and services extension.


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 139-152
Author(s):  
Muhammad Angga Ramdhan

ABSTRACTMcCormick counter-insurgency diamond model is staple theoretical framework to describe Indonesia’s military strategy in quelling Papuan insurgencies. The paper offers new meaning in interpreting the model by focusing on the lens of conflict and international relations studies. To achieve its purpose, this paper use qualitative method of literature study to explain why the internationalization of unresolved Papuan issues can hinder Indonesian government efforts to win the war against Papuan insurgencies. The result shown in the analysis identified that impunity and economic inequalities had become the triggering factor for Papuan conflict internationalization, making the conflict more complex, and ended strengthening insurgency groups against Indonesian government. Thus the paper recommends to address impunity and economic inequality first before attempting to eliminate the Papuan insurgency groups.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document