Padjadjaran Journal of International Law
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

47
(FIVE YEARS 39)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Fakultas Hukum UNPAD (FHUNPAD)

2549-1296, 2549-2152

2021 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 81-97
Author(s):  
Astrid Adelina ◽  
Nadhifa Khairunissa Ishadi

ABSTRACT Armed conflict situations will always have real negative implications, one of them is the attack against civilians. Civilians are considered as non-combatant, they do not participate in armed conflicts, thus they should not be targeted and attacked. One of the civilian groups who have special protection is women. But, in reality, women still frequently become the main victim. In the case of non-international armed conflict between Nigeria and Boko Haram, it is found that 2000 female students were abducted. They were sexually abused such as raped, sexual slavery, forced marriage, trafficked and ordered to commit suicide bombing. Nigeria is a state party to Additional Protocol II of the 1949 Geneva Convention as well as Rome Statute 1998. Nonetheless the crimes cannot be avoided and go unpunished. This paper highlights the analysis of the crime addressed to women from the perspective of international humanitarian law and international criminal law particularly in regards to the law enforcement. Research indicates that there is impunity which causes unwillingness of Nigeria to enforce the law against Boko Haram. Hence the international mechanism through ICC can be the best option to bring justice. Keywords: Boko Haram, International Criminal Law, International Humanitarian Law, Non-International Armed Conflict, Women.   ABSTRAK Keadaan konflik bersenjata akan selalu memiliki implikasi negatif yang nyata, salah satunya terhadap pihak sipil. Pihak sipil disebut sebagai non-kombatan, yaitu orang-orang yang tidak berpartisipasi di dalam konflik bersenjata, yang berarti orang-orang tersebut bukanlah target dan tidak boleh diserang. Salah satu pihak yang mendapat perlindungan khusus adalah perempuan. Tetapi, pada kenyataannya perempuan masih sering menjadi korban utama. dalam konflik non-internasional antara Nigeria dan Boko Haram, ditemukan fakta 2000 pelajar perempuan diculik. Mereka mengalami berbagai kekerasan seksual seperti pemerkosaan, budak seks, kawin paksa, perdagangan manusia, dan bahkan untuk melakukan bom bunuh diri. Nigeria adalah negara pihak Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998. Namun kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat terhindari dan tidak diadili. Tulisan ini menitikberatkan penegakan hukum terkait kejahatan terhadap perempuan dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional. Berdasarkan penelitian, terdapat praktek impunitas yang menunjukan ketidakmauan Nigeria untuk melakukan penegakan hukum terhadap Boko Haram sebagai pelaku kejahatan tersebut. Oleh karenanya mekanisme ICC dapat merupakan pilihan terbaik untuk menegakan keadilan. Kata Kunci: Boko Haram, Hukum Humaniter Internasional, Hukum Pidana Internasional, Konflik Bersenjata Non-Internasional, Perempuan


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 265-279
Author(s):  
Renata Christha Auli

Abstract The tensions between Muslim and Buddhist communities in Rakhine, Myanmar have escalated and became the international spotlight. Massacre in the Rohingya is a serious violation of human rights. In accordance with the functions of the United Nation, this international organization is expected to prevent and eliminate crimes against humanity that occur in the Rohingya. One of the main organs in charge of maintaining international peace and security is the UN Security Council. However, the fact that the United Nations failed to carry out its duties was because Russia has veto power and has blocked the statement which was expressed by UN Security council concerning this situation to punish Myanmar in resolving the Rohingya case, solely due to the political relationship between Russia and Myanmar. The failure of the United Nations is the world's debt to the Rohingya tribe, accordingly to redeem the debt it is needed reform of the UN Security Council.  Keywords: Humanitarian Crimes, Rohingya, Security Council, United Nations, Veto   Abstrak Perseteruan yang terjadi antara umat Muslim dan Buddha di Rakhine, Myanmar, kembali terjadi dan menjadi sorotan dunia internasional. Pembantaian di Rohingya merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang diharapkan dapat mencegah dan menghapus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rohingya, sesuai dengan fungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu organ utama yang bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional adalah Dewan Keamanan PBB. Namun fakta yang terjadi PBB gagal dalam menjalankan tugasnya karena Rusia terus melakukan veto terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghukum Myanmar dalam penyelesaian kasus Rohingya, karena semata- mata hubungan politik antara Rusia dengan Myanmar. Kegagalan PBB merupakan utang dunia terhadap suku Rohingya, sehingga untuk dapat menebus utang tersebut diperlukan reformasi Dewan Keamanan PBB. Kata Kunci: Dewan Keamanan, Kejahatan Kemanusiaan, Perserikatan Bangsa- Bangsa, Rohingya, Veto


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 226-246
Author(s):  
Aisyah Jasmine Yogaswara

Abstract Rodrigo Roa Duterte is the incumbent president of the Philippines who was inaugurated on June 30th 2016 and initiated the War on Drugs Operation to eradicate drug abuse in the Philippines one day after his inauguration. The operation gave authorization to the members of Philippines National Police to ‘neutralize’ or kill suspects of illegal drugs dealers and users. The operation also related to other crime such as rape, imprisonment, and torture. The crimes are committed as part of a widespread and systematic attack directed against the civilian population as therefore it can be qualified as crimes against humanity. Philippines’ status as a state party to Rome Statute gives ICC the chance to prosecute Philippines’ nationals if they committed crimes against humanity. However, after the ICC Prosecutor initiated preliminary examination on the related case, Philippines deposited its instrument of withdrawal from the Rome Statute. The purpose of this research is to find out the legal effect of Philippines withdrawal toward ICC’s process of preliminary examination, investigation, and trial, and whether ICC have any jurisdiction over crimes against humanity that is committed after Philippines’ withdrawal becomes effective. Keywords: Crimes Against Humanity, International Criminal Court, Rome Statute  Abstrak Rodrigo Roa Duterte menjabat menjadi Presiden Filipina pada tanggal 30 Juni 2016 dan memulai operasi pemberantasan narkotika yang disebut War on Drugs Operation sehari setelahnya. Operasi tersebut memberikan izin bagi Polisi Nasional Filipina untuk melakukan penembakan di tempat atas tersangka pengguna dan pengedar narkotika. Selain itu, terdapat kejahatan lain terkait operasi tersebut di antaranya pemerkosaan, penyiksaan dan penahanan tanpa proses hukum. Kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan secara meluas, sistematis dan ditujukan pada populasi sipil yang menjadikannya dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Status Filipina sebagai negara pihak dalam Statuta Roma menjadikan ICC memiliki kewenangan untuk mengadili warga negara Filipina yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, setelah Jaksa Penuntut ICC memulai pemeriksaan pendahuluan atas War on Drugs Operation, Filipina melakukan penarikan diri dari Statuta Roma. Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh penarikan diri Filipina dari Statuta Roma terhadap pemeriksaan pendahuluan yang sedang dilakukan dan apakah ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang masih terjadi di Filipina pasca penarikan dirinya berlaku efektif. Kata kunci: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Mahkamah Pidana Internasional, Statuta Roma


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 207-225
Author(s):  
Muhammad Ryan Dwi Saputra

Abstract Environment has been widely recognized as international interest and all states shall avoid any activities that may damage the environment. The adoption of Stockholm Declaration 1972, World Charter for Nature 1982, and Rio Declaration 1992 denotes that protection of the environment reflects customary international law. War or armed conflict was one of the principal contributors to the environmental damages. As in the Vietnam War, the United States attempted to create artificial rain by seeding the cloud which led to the establishment of the 1976 Convention on the Prohibition of Military or Any Hostile Use of Environmental Modification Techniques (ENMOD Convention) and the Additional Protocol I 1977. However, the Gulf War 1990-1991 gave rise to the questions whether those two instruments were sufficient to encompass the environmental damages caused by the Iraqi methods of warfare by burning oil wells and spilling oil to the sea. This issue was raised by the author since these two instruments set a high threshold and unclear terms on a degree of environmental damages to be considered as a violation. Accordingly, this paper discusses whether the environmental damages caused by the Persian Gulf War meets the threshold set by the Additional Protocol I and the ENMOD Convention, and further discusses the international responsibility that arose from the damages caused by the War. The result of this research shows that environmental damages caused by Iraqi burning oil wells and oil spill apparently did not satisfy the threshold set by the Additional Protocol I and the ENMOD Convention.  Keywords: Armed Conflict, Environment, Gulf War, International Humanitarian Law, Responsibility   Abstrak Lingkungan sudah diakui sebagai permasalahan internasional dan semua negara wajib untuk menghindari kegiatan yang berakibat kerusakan terhadap lingkungan. Pembentukan Deklarasi Stockholm 1972, Piagam Dunia Untuk Lingkungan 1982 dan Deklarasi Rio 1992 menunjukkan bahwa perlindungan terhadap lingkungan telah merefleksikan hukum kebiasaan internasional. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan. Seperti percobaan untuk membuat hujan buatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam Perang Vietnam yang berujung dibentuknya Convention on the Prohibition of Military or Any Hostile Use of Environmental Modification Techniques 1976 (Konvensi ENMOD) dan Protokol Tambahan I 1977. Namun, Perang Teluk 1990-1991 menimbulkan pertanyaan apakah kedua instrumen tersebut dapat mencakup kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh metode berperang Irak dengan membakar dan menumpahkan minyak. Permasalahan tersebut diangkat oleh penulis karena kedua instrumen tersebut menetapkan kriteria kerusakan lingkungan yang kurang jelas dan standar yang terlalu tinggi untuk dinyatakan sebagai pelanggaran. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas apakah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh Perang Teluk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Protokol Tambahan I dan Konvensi ENMOD, dan juga membahas tanggung jawab internasional yang timbul sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh Irak dengan membakar dan menumpahkan minyak ternyata tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Protokol Tambahan I dan Konvensi ENMOD. Kata kunci: Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata, Lingkungan, Perang Teluk, Pertanggungjawaban


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 154-169
Author(s):  
Khansa Aminatuzzahra ◽  
Atip Latipulhayat

Abstract Lion Air JT610 and Ethiopian Airlines ET302 crashes occurred on October 2018 and March 2019 respectively. The main cause of the accident on both flights, which used Boeing 737 MAX 8 aircraft, is the defect on the Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), a new anti-stall system of this aircraft model. Boeing 737 MAX 8 is produced by Boeing Company which resides in the United States. However, passengers on both accidents could not claim compensation from Boeing Company because there is no international law that regulates aircraft manufacturer responsibilities. This research tries to analyze whether passengers can request for compensation to the United States and whether national court rulings or judgments can fill the gap in international law regarding aircraftmanufacturer. The research uses the normative juridical approach with analytical descriptive method. The research uses the library research method, focusing mainly on primary, secondary, and tertiary legal resources. This research found that the current international law could not accommodate the interests of plaintiffs to hold the United States accountable. The usage of forum non conveniens principle at the national courts made it difficult for the plaintiffs to obtain the compensation they are entitled to. Subsequently, the national law applied in each case is different which created a distinction on the compensation received by each plaintiff for the loss they suffered. Author comes into the conclusion that there is a need for the establishment of regulations in international law concerning the responsibilities of aircraft manufacturer. Keywords: Aircraft Manufacturer, Forum Non Conveniens, State Responsibility    Abstrak Kecelakaan pesawat terbang Lion Air JT610 dan Ethiopian Airlines ET302 terjadi pada bulan Oktober 2018 dan Maret 2019 secara berturut-turut. Penyebab utama kecelakaan kedua penerbangan yang menggunakan pesawat terbang Boeing 737 MAX 8 ialah kerusakan sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), sebuah sistem anti-stall terbaru untuk model pesawat terbang ini. Boeing 737 MAX 8 diproduksi oleh Boeing Company yang berkedudukan di Amerika Serikat. Penumpang pada kedua kecelakaan tidak dapat meminta ganti rugi pada Boeing Company karena belum adanya hukum yang dapat mewadahi penggantian rugi serta tanggung jawab manufaktur pesawat terbang dalam hukum internasional. Penelitian ini akan menganalisis apakah penumpang dapat memintakan ganti rugi kepada Amerika Serikat sebagai negara dan apakah putusan pengadilan nasional dapat mengisi kekosongan hukum internasional terkait manufaktur pesawat terbang. Penelitian dilakukan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Tahap penulisan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode studi kepustakaan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini menemukan bahwa hukum internasional yang ada saat ini pun belum dapat mewadahi kepentingan penumpang sebagai penggugat untuk dapat meminta pertanggungjawaban kepada Amerika Serikat atas kesalahan manufaktur pesawat terbang. Selain itu, munculnya prinsip forum non conveniens pada level nasional mempersulit penggugat untuk mendapatkan ganti rugi pada pengadilan nasional. Hukum nasional yang diterapkan pada tiap kasus pun berbeda sehingga muncul kesenjangan mengenai ganti rugi yang diperoleh penggugat atas kerugian yang diderita. Melihat situasi ini, peneliti berkesimpulan perlunya pembentukan pengaturan dalam hukum internasional mengenai tanggung jawab manufaktur pesawat terbang. Kata Kunci: Forum Non Conveniens, Manufaktur Pesawat Terbang, Tanggung Jawab Negara


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 170-191
Author(s):  
Mohamad Afdha Lardo

Abstract Conflict in Gaza Strip involving Israel and Palestine has continuously attracted international concerns.  Under the strict authority of Israel, humanitarian issues materialize in the strip as Gaza’s inhabitants undergo crises including energy and subsistence while Israel fails to fulfill the basic needs of the people. In 2007, Jaber Al-Bassiouni Ahmed with his associates sought legal remedy to the Supreme Court of Israel to clarify their rights inhabiting the Gaza Strip. The purpose of this article is to explain whether international humanitarian law could be implemented to the occupying power of Israel in Gaza Strip and elucidate the limitation of the occupying power regarded by the law. Achieving this explanation requires a qualitative legal approach. It emphasizes on documents scrutiny using the perspectives of primary, secondary, and tertiary laws. The research result shows that under the regime of international humanitarian law, “alien occupation” is the key to regulate the Gaza Strip against the regime of the occupying power by Israel. The one-year rule in the Case of Gaza Strip indicates that Israel held the occupying power of the territory as not only did Israel act as a controller but also it participated in the physical activities to regulate the lives of Gaza residents in addition to the limitation of the functions of Palestinian Authority posed by Israel. Keywords: Gaza Strip, International Humanitarian Law, Occupying Power     Abstrak Konflik di Jalur Gaza yang melibatkan Israel dan Palestina terus menarik perhatian internasional. Di bawah kekuasaan Israel, isu humaniter mencuat di jalur tersebut karena penduduk Gaza mengalami krisis energi dan mata pencaharian, sementara Israel tidak memenuhi kebutuhan dasar hidup penduduk tersebut. Pada tahun 2007, Jaber Al-Bassiouni Ahmed bersama rekan-rekannya mengajukan tinjauan hukum kepada Pengadilan Tinggi Israel untuk mengklarifikasi hak-hak mereka sebagai penduduk di Jalur Gaza. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan dalam kasus penguasa pendudukan di Jalur Gaza oleh Israel dan menjelaskan batasan kekuasaan pendudukan tersebut. Pendekatan kualitatif hukum berbasis studi dokumen dengan perspektif hukum primer, sekunder dan tersier digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di bawah hukum humaniter internasional, “pendudukan asing” menjadi kunci regulasi yang dapat diterapkan di Jalur Gaza di bawah resim penguasa pendudukan yakni Israel. Aturan “Satu Tahun” di jalur tersebut menunjukan bahwa Israel memegang kendali wilayah tersebut karena Israel tidak hanya bertindak sebagai pengontrol melainkan juga melakukan kegiatan fisik untuk mengatur kehidupan masyarakat Gaza juga membatasi fungsi-fungsi autoritas Palestina. Kata Kunci: Hukum Humaniter Internasional, Jalur Gaza, Penguasa Pendudukan


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 192-206
Author(s):  
Rahmah Kusumayani

Abstract Self defence known as an inherent right that is owned by states to protect its sovereignty from attack by other states. The international rules about self defence do not give any limitation about the type of weapon that can be used by states, including the threat or use of nuclear weapons to act self defence. In Practice, many requirements must be fulfilled by states when they claim the act of self defence. Since 2006, North Korea proclaimed its capability to develop nuclear weapons based on self defence argument. The Security Council concluded that North Korea’s development of nuclear weapon program is a threat to international peace and security and condemned such acts with sanctions based on act 41 UN Charter. The purposes of this study are to examine whether the North Korea’s nuclear program as an act of self defence and the UN Security Council’s sanctions to North Korea are in line with the principle of self defence in international law. The result of this research concludes that North Korea’s nuclear program does not meet the requirements as stated in article 51 UN Charter and customary international law regarding self defence. North Korea can not prove that the United States’ threat is jeopardy, and has a wide and dangerous effect for North Korea. Regarding the Security Council’s primary responsibility to maintain international peace and security, states must report his act of self defence to the Security Council immediately. As therefore, sanctions given by the Security Council are in line with the principle of self defence since North Korea can not fulfil the requested requirements of self defence. Keywords: Act 51 UN Charter, Korean Nuclear Development, Principle of self defence   Abstrak Hak untuk menerapkan self defence dimiliki oleh tiap negara untuk melindungi kedaulatannya dari serangan negara lain. Peraturan internasional mengenai self defence tidak membatasi jenis senjata yang dapat digunakan oleh negara, termasuk ancaman dan penggunaan senjata nuklir dalam melakukan tindakan self defence. Dalam prakteknya banyak syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara ketika akan mengklaim tindakan self defence. Sejak tahun 2006, Korea Utara mendeklarasikan kesiapannya dalam mengembangkan senjata nuklir dengan alasan self defence. Dewan Keamanan menganggap bahwa program pengembangan senjata nuklir Korea Utara mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB, Dewan Keamanan memberikan sanksi kepada Korea Utara. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji legalitas pengembangan senjata nuklir di Korea Utara atas tindakan yang diklaim negaranya sebagai self defence serta kesesuaian penerapan sanksi Dewan Keamanan PBB dengan prinsip self defence. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa program senjata nuklir Korea Utara tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 51 Piagam PBB maupun hukum kebiasaan internasional terkait self defence. Korea Utara tidak bisa membuktikan bahwa ancaman Amerika Serikat bersifat genting dan nyata menimbulkan efek luas dan berbahaya bagi Korea Utara. Berdasarkan tugas utama Dewan Keamanan dalam menjaga kedamaian dan keamanan internasional, negara-negara harus melaporkan tindakan self defence  kepada Dewan Keamanan dengan segera. Berdasarkan uraian diatas, sanksi yang diberikan Dewan Keamanan tidak bertentangan dengan prinsip self defence karena Korea Utara tidak bisa memenuhi hal-hal yang disyaratkan untuk melakukan tindakan self defence. Kata Kunci: Pasal 51 Piagam PBB, Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara, Prinsip Pembelaan Diri


2021 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 247-264
Author(s):  
Christopher Valerio Jovan

Abstract In 2015, Iran with the P5 + 1 countries (China, France, Germany, Russia, Britain and the United States, as well as the European Union High Representative for Foreign Affairs and Security Policy) agreed on a JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) which deals with Iran's nuclear program. The Joint Comprehensive Plan of Action 2015 (JCPOA) is a controversial agreement. First, the JCPOA's status in international law is debated and is not considered as an international treaty. In the midst of the uncertainty over the status of the JCPOA, on May 8 2018, the United States unilaterally declared that it was withdrawing from the JCPOA. Even though the JCPOA has been endorsed by UN Security Council Resolution 2231 (2015). Thus, other JCPOA participating countries view the withdrawal of the United States as an act that is against international law. This article aims to determine whether the JCPOA is an international treaty and whether the withdrawal of the United States from the JCPOA is justified under international law. Keywords: JCPOA, UN Security Council Resolution, Withdrawal   Abstrak Pada tahun 2015, Iran dengan negara-negara P5+1 (China, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat, serta Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan) menyepakati JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) mengenai pembatasan program nuklir Iran. Joint Comprehensive Plan of Action 2015 (JCPOA) merupakan perjanjian yang mengundang kontroversi. Pertama, status JCPOA mendapat perdebatan karena dianggap bukan perjanjian internasional. Kemudian pada 8 Mei 2018, Amerika Serikat secara sepihak menyatakan menarik diri dari JCPOA. Padahal JCPOA telah dimasukkan ke dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231 (2015). Sehingga peserta JCPOA lainnya menganggap tindakan Amerika Serikat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum internasional. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apakah JCPOA merupakan suatu perjanjian internasional dan apakah penarikan diri Amerika Serikat dari JCPOA dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional. Kata kunci: JCPOA, Penarikan Diri, Resolusi Dewan Keamanan PBB


2021 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 21-36
Author(s):  
Nova Maulani ◽  
Shannon Suryaatmadja

ABSTRACT Jurisdiction is essential for statehood along with the right to prescribe and enforce laws. Unruly behaviour may threaten air transportation security and safety, including the passenger safety, disrupts other passengers and crew causing delays and diversions. But due to loopholes on the existing laws, and lack of choice of jurisdiction, such offenses often remain unpunished. This article aims to seek the best role that Indonesia should take to implement its jurisdiction on aircrafts in international flights and to protect its citizens in international flight. It provides an overview and analysis of existing international and Indonesian legal instruments in handling unruly passengers and to support extended jurisdiction choices so unruly passengers and other related criminal activities can be regulated and punished as necessary to ensure the safety and security, including the Chicago Convention 1944 and the Annex 17 on Security, The Tokyo Convention 1963 and the Montreal Protocol 2014. Keywords: Air Law, Aviation, Aviation Security, Jurisdiction, Unruly Passengers   ABSTRAK Esensi dari yurisdiksi  penting bagi negara dalam menjalankan dan menegakan hukum. Perilaku tidak tertib dapat mengancam keamanan dan keselamatan transportasi udara, dimana di dalamnya terdapat unsur keselamatan penumpang, gangguan terhadap awak dan penumpang lainnya, serta dapat mengakibatkan keterlambatan dan diversi. Namun demikian, dengan adanya celah dalam hukum dan peraturan, serta minimnya pilihan yurisdiksi, tindakan tersebut sering tidak dikenakan hukuman.  Artikel ini bertujuan mencari peran terbaik yang harus diambil Indonesia, dalam mengimplementasi yurisdiksinya di pesawat dan melindungi warga negaranya dalam penerbangan internasional. Artikel ini memberikan tinjauan umum dan analisis instrumen hukum Internasional dan hukum Indonesia yang menangani penumpang yang sulit diatur, termasuk di dalamnya  Konvensi Chicago 1944 dan Annex 17 tentang Keamanan,Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 . Kata Kunci: Aviasi, Hukum Udara, Keamanan Penerbangan, Penumpang yang Sulit Diatur, Yurisdiksi


2021 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 37-54
Author(s):  
Garry Gumelar Pratama

AbstractEach party of the Chicago Convention 1944, the treaty governing international aviation, has agreed to take effective measures to prevent the spreading of diseases including the New CoronaVirus 2019 or COVID-19, which ruptures so many aspects of life. In fact, the current situation is not the first encounter of international aviation law with the same problem, combating dangerous and contagious disease pandemic. Before COVID-19, International aviation had to deal with highly contagious diseases such as Avian Influenza and Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Now, states have learned better to keep in close consultation with the organizations that adopt international regulations relating to sanitary measures applicable to aviation. Due to the great danger to humankind, cutting the spreading of communicable diseases on international flights is not a mere legal obligation but also a moral responsibility to the human race as a whole. Keywords: Air Law, COVID 19, International Aviation, International Regulations, New Normal   AbstrakNegara pihak dalam Chicago Convention 1944 sebagai salah satu sumber hukum internasional yang mengatur penerbangan internasional telah berkomitmen untuk mencegah penyebaran penyakit melalui penerbangan, termasuk juga penyebaran Novel Coronavirus 2019 atau disingkat COVID-19. Pandemik yang telah meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan tersebut, sebenarnya bukan merupakan situasi pertama yang dihadapi oleh dunia penerbangan internasional, pada khususnya. Sebelum pandemik COVID-19, telah terdapat berbagai macam penyakit yang menyebar, salah satunya melalui penerbangan, termasuk Flu Burung (Avian Influenza) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Saat ini, dengan demikian, negara telah memiliki pengalaman untuk mengadakan koordinasi dengan lembaga-lembaga internasional terkait tindakan saniter yang dapat diaplikasikan pada perjalanan pesawat. Pemutusan penyebaran penyakit menular melalui penerbangan internasional merupakan masalah moral sekaligus masalah hukum. Kata Kunci: COVID-19, Hukum Udara, Penerbangan Internasional, Regulasi Internasional, Normal Baru


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document