KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

20
(FIVE YEARS 20)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja

2722-8800, 2722-8657

2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 61-78
Author(s):  
Fajar Gumelar ◽  
Christopher James Luthy ◽  
Robi Panggarra ◽  
Hanny Frederik

Abstract: Matthew 5:17-48 is part of Jesus' Sermon on the Mount, where it is the deepest reflection of God's law which contrasts sharply with the patterns and teachings of the scribes and Pharisees. This passage concludes with Jesus' mandate to His followers to be perfect as their Father in heaven is perfect (5:48). The word perfect in this text is translated from the Greek word τέλειος which can actually be translated as perfect, complete or mature. The difference in interpretation of the meaning of the word τέλειος has led to several different thoughts and doctrines. In Matthew 5:48's research, the author uses general hermeneutic principles to find the meaning or meaning conveyed by the author to the first reader. This research used the critical historical interpretation method. In addition, the author also uses library research methods, by reading books, journals and investigating books related to the discussion of this scientific work. Based on the description of this scientific work, the authors draw the following conclusions: first, the meaning of the word τέλειος in Matthew 5:48 does not refer to a sinless perfect state, but rather to the meaning of completeness. Second, the example of life for believers is God himself, not others. Third, the command to be perfect like God is not an impossible thing for God's people to do. Fourth, completeness like God can only be experienced if humans have an intimate relationship with God. Fifth, Jesus calls His people to be complete in fellowship. Abstrak: Matius 5:17-48 merupakan bagian dari khotbah Yesus di bukit, dimana isinya merupakan refleksi terdalam terhadap hukum Allah yang sangat kontras dengan pola dan ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Perikop ini diakhiri dengan amanat Yesus kepada para pengikut-Nya untuk menjadi sempurna sebagaimana Bapa di surga adalah sempurna (5:48). Kata sempurna dalam teks ini diterjemahkan dari kata Yunani τέλειος yang sebenarnya bisa diterjemahkan sebagai sempurna, lengkap atau dewasa. Perbedaan tafsir akan makna kata τέλειος ini kemudian memunculkan beberapa pemikiran dan doktrin yang berbeda-beda. Dalam penelitian Matius 5:48 ini penulis menggunakan prinsip-prinsip umum hermeneutik guna mencari makna atau maksud yang disampaikan penulis kepada pembaca pertama. Metode tafsir yang digunakan adalah metode tafsir historis kritis. Selain itu penulis juga menggunakan metode penelitian kepustakaan atau library research, dengan membaca buku-buku, jurnal-jurnal dan menyelidiki kitab yang berkaitan dengan bahasan karya ilmiah ini. Berdasarkan hasil uraian dari karya ilmiah ini, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, makna kata τέλειος dalam Matius 5:48 tidak menunjuk pada keadaan sempurna yang tanpa dosa, melainkan pada arti kelengkapan. Kedua, keteladanan hidup bagi orang percaya adalah Allah sendiri, bukan orang lain. Ketiga, perintah untuk menjadi sempurna seperti Allah bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan umat Allah. Keempat, kelengkapan seperti Allah hanya dapat dialami jika manusia memiliki hubungan yang intim dengan Allah. Kelima, Yesus memanggil umat-Nya untuk menjadi lengkap di dalam persekutuan.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 39-60
Author(s):  
Ascteria Paya Rombe

Abstract: The author raises this title departs from concerns about the problems that occur in the life of the Toraja people, especially regarding the culture of mantunu. Outside criticism emphasizes the abuse of motivation in rituals, which results in large-scale slaughter of animals. Another impact is the increasing gambling in the tedong silaga arena (buffalo fighter) which is carried out before a series of Rambu Solo’ ceremonies are held. The author then reviews theologically-sociologically to answer this problem. After the authors conducted the research, the saroan group sociologically is one of the causes of the slaughter of largescale animals today, with various motivations in them. Even if the cause is covered or wrapped in the value of respect for parents. But in reality these values have begun to be displaced by social motivations, such as the demands of saroan, to maintain a good name, as an identity of wealth, and as a cultural habit for the Toraja people. Based on theological observations, the truth is that your mantunu is not against the Christian faith, as long as your family is not motivated by things that do not respect or obey God. Abstrak: Penulis mengangkat judul ini berangkat dari keprihatinan terhadap masalah yang terjadi dalam kehidupan orang Toraja, khususnya menyangkut budaya mantunu. Berbagai kritik dari luar menegaskan mengenai penyelewengan motivasi dalam ritual tersebut, yang mengakibatkan penyembelihan hewan yang berskala besar. Dampak lainnya ialah semakin meningkatnya perjudian di arena tedong silaga (kerbau petarung) yang dilakukan sebelum serangkaian upacara Rambu Solo’ dilaksanakan. Penulis kemudian meninjau secara teologis-sosiologis guna menjawab permasalahan ini. Setelah penulis melakukan penelitian, secara sosiologis kelompok saroan merupakan salah-satu penyebab penyembelihan hewan bersakala besar saat ini, dengan berbagai motivasi di dalamnya. Sekalipun penyebab tersebut ditutupi atau dibungkus dalam nilai penghormatan terhadap orang tua. Tetapi pada kenyataannya nilai tersebut mulai tergeserkan oleh motivasi-motivasi sosial, seperti tuntutan saroan, untuk mempertahankan nama baik, sebagai identitas kekayaan, dan sebagai adat kebudayaan bagi orang Toraja. Berdasarkan peninjauan teologis, maka sesungguhnya mantunu tidaklah bertentangan dengan iman Kristen, sejauh keluarga yang mantunu tidak dimotivasi oleh hal-hal yang tidak menghormati atau mentaati Allah. 


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 26-38
Author(s):  
Ediman Jonson Manurung ◽  
Alvyn Hendriks ◽  
Stimson Hutagalung ◽  
Rolyana Ferinia

Batam Island has diverse social characteristics that are shown by many ethnicities, traditions, and religions. This diversity exists as a result of the population on this island is dominated by domestic migrants from all around Indonesia. In line with the expansion of industry in Batam, the island's population is rapidly increasing, which is accompanied by the establishment of various types of worship places.  Based on population growth, it is essential to examine the historical development of churches of all denominations as well as the establishment of worship places in other religions. The research method used in this writing is qualitative research method by conducting literature review related to church growth. The result of this historical review was, the growth of Christian churches in Batam is not as fast as the growth of mosques, but that does not mean it has decreased in number. They continue to grow and shift geographically in various ways. Clearly, Christianity has spread far from its historical origins and supports Jesus' great commission of making disciples of all nations, baptizing him, and teaching the gospel throughout the world. Abstrak: Pulau Batam merupakan wilayah dengan unsur masyarakat heterogen yang ditunjukkan dengan keberagaman suku, adat istiadat, serta agama yang dianut oleh masyarakat pulau Batam. Keberagaman ini terbentuk karena masyarakat di pulau Batam didominasi oleh pendatang yang berasal dari seluruh Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan industri di pulau Batam, maka pertumbuhan penduduk juga meningkat pesat dan diikuti juga bertumbuhnya berbagai macam rumah ibadah.  Berdasarkan latar belakang pertumbuhan penduduk tersebut, maka perlu dilakukan tinjauan historis perkembangan gereja dari semua denominasi dan juga berdirinya rumah ibadah agama -agama lainnya. Penulisan ini menggunakan metodologi kualitatif dengan melakukan penelitian kepustakaan atau kajian literatur yang berhubungan dengan pertumbuhan gereja. Hasil tinjauan historis ini adalah pertumbuhan gereja Kristen tidak sepesat pertumbuhan masjid tetapi bukan berarti berkurang dalam jumlah.  Mereka terus bertumbuh dan bergeser secara geografis dalam berbagai cara, Jelas agama Kristen telah menyebar jauh dari asal usul historisnya dan mendukung amanat agung Yesus yaitu menjadikan semua bangsa murid, membaptiskannya dan mengajar injil keseluruh dunia.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 14-25
Author(s):  
Martiyani ◽  
Iman Krisdayanti Halawa ◽  
Firman Panjaitan

Mystical Theology of Hope for a Restoration: The Interpretation of Ezekiel 37: 1-14. Various problems in the world have made humans live in suffering, especially when facing a pandemic which is still ongoing today. Humans need strength and certainty to face these difficult times in order to rise from adversity and experience restoration that is able to bring life into hope. This article examines efforts to cultivate hope theologically by describing a mystical theological view of hope in Ezekiel 37: 1-14. By using qualitative methods, especially through the approach of textual interpretation that examines the text to find the core of the news, the main message is found in the view of the mystical theology of the hope of the Prophet Ezekiel regarding the picture of Israel's recovery in exile, through Ezekiel's vision of the condition of dry bones scattered in the valley. The final findings of this article reveal that restoration from God is both a physical and a spiritual one that is represented by the act of God's Spirit awakening the dry bones. This event contains a bright hope for Israel, and for humans who believe, that life will be restored as long as humans are willing to keep themselves faithful as God's people. Abstrak: Teologi Mistik Pengharapan bagi Sebuah Restorasi: Tafsir Yehezkiel 37:1-14. Berbagai persoalan di dunia telah menjadikan manusia hidup di dalam penderitaan, terkhusus ketika menghadapi pandemi yang masih berlangsung saat sekarang. Manusia membutuhkan kekuatan dan kepastian untuk menghadapi masa-masa sulit ini guna bangkit dari keterpurukan penderitaan dan mengalami restorasi yang mampu mengantar kehidupan ke dalam pengharapan. Artikel ini mengupas upaya menumbuhkan pengharapan secara teologis dengan menjabarkan sebuah pandangan teologi mistik pengharapan dalam Yehezkiel 37:1-14. Dengan menggunakan metode kualitatif, khususnya melalui pendekatan tafsir tekstual yang meneliti teks untuk menemukan inti berita, ditemukan pesan utama dalam pandangan teologi mistik pengharapan Nabi Yehezkiel mengenai gambaran pemulihan Israel dalam pembuangan, melalui penglihatan Yehezkiel terhadap kondisi tulang-tulang kering yang berserakan di lembah. Temuan akhir dari artikel ini mengungkapkan bahwa pemulihan dari Allah merupakan pemulihan fisik dan sekaligus spiritual yang digambarkan melalui tindakan Roh Allah yang membangkitan tulang-tulang kering. Peristiwa ini berisi harapan yang cerah bagi Israel, dan manusia yang percaya, bahwa akan membuat pulih lagi kehidupan asalkan manusia mau tetap menjaga diri untuk setia sebagai umat kepunyaan Allah.  


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 1-13
Author(s):  
Martinus Esong

The aim to be achived in this paper is to analyze the relevant pastoral services (praxis) for the problems of seafares in the service area of the Southern  Makale Classics Toraja Church. In this paper, the approach method that i use is a qualitative approach. Qualitative research is research that intends or aims to understand the phenomena experienced by research subjects sich as perseptual behavior, motivation, action, etc., holistically, and by means of description in the form of words and language. In addition, the authors also use literature studies. Based on the results obtained from field research and literature riview, the author can conclude that basically the servants (counselors) understand their duties but they have not been able to prove it in the world of service specifically to seafarers (theoretical). This is what makes the image seafarer continue to be under the bad quotes and also experiencing such dire conditions. That is what makes sailors continue to live in deep inner wounds. Servants should make visits, contact seafarers who are far from family, regularly refer seamen, make no distinctions about seafarers and be trustworthy friends. These are the practical things that sailors desperately need. Abstrak: Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah hendak menganalis pelayanan pastoral (praksis) yang relevan bagi permasalahan pelaut dalam wilayah Pelayanan Gereja Toraja Klasis Makale Selatan. Dalam karya tulisan ini metode pendekatan yang penulis gunakan adalah metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud atau bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Selain itu penulis juga menggunakan studi literature atau kajian pustaka. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian lapangan dan kajian pustaka, penulis dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya para pelayan (konselor) paham akan tugasnya tetapi mereka belum mampu membuktikan hal itu dalam dunia pelayanan secara khusus kepada para pelaut (teoritis). Hal itulah yang mebuat citra pelaut terkesan terus berada  dalam tanda kutip buruk dan juga mengalami kondisi yang memprihatinkan. Hal itulah yang mebuat para pelaut terus hidup dalam luka batin yang mendalam. Para pelayan seharusnya melakukan perkunjungan, menghubungi para pelaut yang jauh dari kelaurga, rutin mendokan pelaut, tidak mebeda-bedakan pelaut dan menjadi sahabat yang dapat dipercaya. Itulah hal-hal praksis yang sangat dibutuhkan pelaut.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 59-75
Author(s):  
Erwin Bunga Sapan

  Abstract; The ecumenical life movement is a movement that seeks to unite churches which are essentially one but separated by different denominational organizations. The ecumenical movement is a movement that must continue to be built but not to eliminate denominations because denominational wealth is God's work that is unique to His church. So the question that arises is what is the ecumenical spirit between the two denominations? The author discusses this topic with the aim of building an ecumenical spirit or church unity among church denominations. how to build an ecumenical spirit, which often results in the lack of an ecumenical spirit. The authors target in this study are all church members, be it the Toraja Church, GPdI, and also for all existing church denominations. In this study the authors have conducted research, and the method used in this study is a qualitative method, namely interviews and observations. In the interview, the author obtained or obtained information that sometimes the two congregations cornered each other in their territory so that sometimes there were disputes between members of the congregation of these two denominations, for this the conclusion of this study about ecumenicalism is that in building an ecumenical spirit, mutual respect between denominations is very important. It is important, besides building good relationships with other church members and then running away from cooperation in serving God and His people. These things can be done in building an ecumenical spirit between denominations Abstrak; Gerakan hidup ekumenis adalah gerakan yang berusaha menyatukan gereja-gereja yang pada dasarnya satu tetapi dipisahkan oleh organisasi denominasi yang berbeda. Gerakan ekumenis adalah gerakan yang harus terus dibangun tetapi tidak menghilangkan denominasi karena kekayaan denominasi adalah karya Tuhan yang unik bagi gereja-Nya. Jadi pertanyaan yang muncul adalah apa semangat ekumenis di antara kedua denominasi itu? Penulis membahas topik ini dengan tujuan untuk membangun semangat ekumenis atau kesatuan gereja di antara denominasi gereja. bagaimana membangun semangat oikumenis, yang seringkali mengakibatkan kurangnya semangat oikumenis. Sasaran penulis dalam penelitian ini adalah seluruh anggota gereja, baik itu Gereja Toraja, GPdI, dan juga untuk semua denominasi gereja yang ada. Dalam penelitian ini penulis telah melakukan penelitian, dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu wawancara dan observasi. Dalam wawancara tersebut penulis memperoleh atau memperoleh informasi bahwa terkadang kedua tarekat tersebut saling memojokkan di wilayahnya sehingga terkadang terjadi perselisihan antar anggota jemaah kedua denominasi ini, untuk itu kesimpulan dari penelitian ini tentang ekumenikalisme adalah bahwa dalam membangun semangat ekumenis, saling menghormati antar denominasi sangat penting. Hal ini penting, selain membangun hubungan baik dengan anggota gereja lain kerjasama dalam melayani Tuhan dan umat-Nya. Hal-hal ini dapat dilakukan dalam membangun semangat oikumene antar denominasi


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 16-31
Author(s):  
Kosma Manurung

Abstract: The Bible places the fear of God as the main foundation of believers' faith and provides examples of how the heroes of faith in the Bible carry out their daily lives in fear of God. This research explains how pantecostal theological reflection of the fear of God in people's lives is based on Psalm 25: 12-14. This article examines the Bible's view of the fear of God which is landed with real examples in the lives of several servants of God such as Abraham, Joseph, Job, David, Daniel and his three friends. This article also discusses the fear of God based on Psalm 25: 12-15 and Pentecostal theological reflection on the fear of God. Based on the results of the discussion, it was revealed that in the reflection of the Pentecostal theology of fearing God, an attitude that respects God, a choice taken by believers to live in God's blessings, the efforts made by believers to tie themselves to God's promises and finally believers to live in the way of the Lord. Abstrak: Alkitab meletakan takut akan Tuhan sebagai fondasi utama iman orang percaya dan memberikan contoh bagaimana para pahlawan iman di Alkitab menjalankan keseharian hidup mereka dalam takut akan Tuhan. Penelitian ini bermaksud menjelaskan bagaimana refleksi teologi pentakosta terkait sikap takut akan Tuhan dalam kehidupan orang percaya berdasarkan Mazmur 25: 12-14. Artikel ini mengulas tentang pandangan Alkitab tentang takut akan Tuhan yang didaratkan dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan beberapa hamba Tuhan seperti Abraham, Yusuf, Ayub, Daud, Daniel dan ketiga sahabatnya. Artikel ini juga membahas tentang karakteristik takut akan Tuhan berdasarkan Mazmur 25: 12-15 dan refleksi teologi Pentakosta tentang takut akan Tuhan. Berdasarkan hasil pembahasan disimpulkan bahwa dalam refleksi teologi Pentakosta takut akan Tuhan merupakan sikap yang menghormati Tuhan, sebuah pilihan yang diambil oleh orang percaya untuk hidup dalam berkat Tuhan, usaha yang dilakukan oleh orang percaya untuk mengikatkan diri pada janji Tuhan dan akhirnya menempatkan orang percaya untuk hidup dalam jalan-jalan Tuhan.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 47-58
Author(s):  
Rannu Sanderan ◽  
Yohanes Krismantyo Susanta

Abstract; This article discusses the meaning of wings according to the book of Ruth in an authentic purpose.  By using the narrative methods, in more deeply, this research is intend to examine the basic motive why Ruth uses the word of wings in order to ask Boaz to spread his wings on Ruth. On the other hand, Ruth did not belong to God’s covenant nation. The perspective of the theory of narrative criticism used in this research is to look at the biblical narrative by referring to the analysis of the book of Ruth and its parts of the book as a complete literary work. The aim of this method is focusing on the storyteller or narrator, plot and scene, as well as repetition and keywords, characters, atmosphere, and point of view. The narrative analysis in the results of this paper not based on the author but merely on the text. So that readers can find out the values ​​and theological views conveyed through the text. The result of research on the meaning of wings in this text is Yahweh's own wing (2:12) as a place for Ruth to take refuge. In fact, Ruth was already under God's wing, because she had previously had a strong belief in becoming the covenant people of Yahweh.  Hoped that this study can make a theological contribution in studying the God’s sovereignty towards all nations. Abstrak; Artikel ini membahas tentang makna sayap dalam dalam kitab Rut sesuai konteks yang otentik. Dengan metode naratif, riset ini hendak mengkaji secara lebih dalam motif dasariah, mengapa Rut memakai kata sayap dalam rangka meminta kesudian Boas agar mau mengembangkan sayapnya atas Rut. Padahal Rut tidak tergolong bangsa perjanjian Allah. Perspektif teori kritik naratif yang digunakan dalam penelitian ini hendak melihat narasi Alkitab dengan mengacu pada analisa terhadap kitab Rut dan bagian-bagian kitab sebagai sebuah karya sastera yang utuh. Metode ini hendak mengarahkan fokus pada pencerita atau narrator, alur/plot serta adegan, juga pengulangan dan kata kunci, tokoh, suasana, dan sudut pandang. Setelah dikerucutkan lebih tajam, maka analisa naratif dalam hasil tulisan ini bukan pada penggubahnya tetapi ada teks. Sehingga pembaca dapat mengetahui nilai-nilai dan pandangan teologi yang disampaikan melalui teks yang diselidiki. Hasil penelitian tentang makna sayap dalam teks ini adalah sayap Yahweh sendiri (2:12) sebagai tempat bagi Rut untuk berlindung. Sejatinya, Rut sudah berada di bawah sayap Tuhan, karenya ia sebelumnya telah memiliki keyakinan kuat akan masuk menjadi umat perjanjian Yahweh. Diharapkan agar studi kepustakaan ini memberi sumbangsih teologis dalam mengkaji kedaulatan Allah bagi seluruh bangsa.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 32-46
Author(s):  
Kalis Stevanus
Keyword(s):  

Abstract; The discussion of the preaching of the gospel cannot be separated from the doctrine of the supremacy of Christ as the only way of salvation. In the context of a pluralist Indonesian society, the author tries to give an understanding of the supremacy of Christ and its relevance to the preaching of the Gospel based on John 14:6 so that Christians are not influenced by pluralism. Through the exegetical approach to the text of the Gospel of John 14:6, it is obtained the meaning of the supremacy of Christ which is stated by John that He is the only way of salvation or the true Savior. This is a relevant message to be expressed in the ministry of preaching the gospel. Abstrak; pembahasan mengenai pemberitaan Injil tidak dapat dipisahkan dari doktrin tentang supremasi Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralis, penulis mencoba untuk memberi pemahaman tentang supremasi Kristus dan relevansinya bagi pemberitaan Injil berdasarkan Yohanes 14:6 sehingga umat Kristen tidak terpengaruh pluralisme. Melalui pendekatan eksegetikal pada teks Injil Yohanes 14:6 tersebut diperoleh makna tentang supremasi Kristus yang dinyatakan Yohanes bahwa Dia adalah satu-satunya jalan keselamatan atau Juruselamat sejati. Hal ini menjadi berita yang relevan untuk dinyatakan dalam pelayanan pemberitaan Injil.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-15
Author(s):  
Teny Manopo

Abstract: Pandemic is a momentum that presents ecological reflection, forcing people to return to basic lessons about life and reflect on reconstructing new relations with the natural environment, which is closely related to the philosophy of "Sangserekan Bane" in the Toraja context. In the writer's perspective, the community needs to get good and correct eco-theological education to help think comprehensively about an ecological dynamic that occurs. This is what the authors then see that it is necessary to get a proper explanation using a qualitative-descriptive historical model approach that aims to create an ecological conversion for society that can help restore the earth's homiostatic status. The result is that through the philosophy of "Sangserekan Bane" it is realized that “lolo tau" (human), “lolo tananan” (plant) and” lolo patuan” (animal) have the same ontological status, because they are created from the same material, namely gold, so that they can help to form a synergy understanding, creation as a narrative narrative of creation in the book of Genesis. Abstrak: Pandemi adalah momentum yang menghadirkan refleksi ekologis, memaksa manusia untuk kembali kepada pelajaran dasar tentang hidup dan berefleksi untuk merekostruksi relasi baru dengan alam sekitar, yang memiliki kaitan erat dengan filosofi “Sangserekan Bane’” pada konteks Toraja. Dalam perspektif penulis masyarakat perlu mendapatkan pendidikan eko-teologi yang baik dan benar untuk membantu berfikir secara komprehensif akan sebuah dinamika ekologis yang terjadi. Hal inilah yang kemudian penulis lihat perlu mendapatkan penjelasan yang tepat dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif model historis yang bertujuan menciptakan pertobatan ekologis bagi masyarakat yang dapat membantu mengembalikan status homiostatik bumi. Hasilnya ialah melalui filosofi “Sangserekan Bane’” disadari bahwa “lolo tau” (manusia), “lolo tananan” (tumbuhan) dan “lolo patuan” (hewan) memiliki status ontologis yang sama, sebab diciptakan dari bahan yang sama yakni emas, sehingga dapat membantu untuk membentuk sebuah sinergitas pemahaman antar ciptaan sebagaiaman narasi penciptaan dalam kitab Kejadian.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document