Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

46
(FIVE YEARS 30)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kemdikbud

2620-6927, 2541-1292

2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 119-132
Author(s):  
Sandy Maulana Yusuf ◽  
Andi Putranto

Bangunan tua di Kota Donggala adalah bangunan bersejarah yang berasal dari periode kolonial. Akan tetapi, bangunan-bangunan ini hingga sekarang belum ditetapkan sebagai cagar budaya karena terbatasnya tenaga ahli cagar budaya di instansi kebudayaan Kota Donggala. Selain itu, metode asesmen penilaian bangunan diduga cagar budaya yang ada umumnya rumit dan tidak komperehensif. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif metode penilaian nilai penting yang sederhana untuk bangunan-bangunan yang diduga cagar budaya, dan dapat dipraktikkan pekerja bidang kebudayaan di instansi pemerintah lokal. Terdapat enam nilai penting yang diamati pada bangunan yaitu nilai sejarah, arsitektural, estetika, sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Metode penilaian menggunakan pemberian skor pada masing-masing nilai kriteria yang ditentukan. Pemeringkatan bangunan diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu utama, madya, dan minor. Bangunan yang diobservasi ialah Kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD) Donggala dan Gudang PKKD Donggala, dua peninggalan dari masa kolonial yang berhubungan dengan perdagangan kopra. Dari penilaian yang dilakukan diperoleh hasil yakni Kantor PKKD Donggala memiliki total skor 21 dan berperingkat madya. Gudang PKKD Donggala memiliki total skor 29 dan berperingkat utama. Dengan adanya alternatif model penilaian nilai penting yang lebih sederhana, maka diharapkan pemerintah lokal, dalam hal ini Dinas Kebudayaan yang berwenang, dapat lebih mudah melakukan asesmen awal terhadap bangunan-bangunan yang diduga sebagai cagar budaya meskipun tanpa bantuan tenaga ahli. Some old buildings in Donggala City are historical heritages from colonial period. Thus far, these buildings have not been designated as cultural heritage due to the limited number of experts in the field. In addition, assessment methods for indicated cultural heritage buildings are generally complex and not comprehensive. This research aims to provide an alternative assessment method that can be practiced by cultural workers. There are six important values observed in buildings i.e. history, architecture, aesthetic, social, scientific, and educational. This method used a score for each of those specified criteria values. Building ratings were classified into primary, intermediate, and minor. Based from the assessment, the Donggala PKKD office has a total score of 21, middle ranked. While PKKD Donggala Warehouse has a total score of 29, top ranked. This alternative model as a simpler assessment of significant values can be easily carry out by local government without the help of experts.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 107-118
Author(s):  
Nenggih Susilowati - ◽  
Dyah Hidayati ◽  
Anik Juli Dwi Astuti ◽  
Teguh Hidayat ◽  
Dodi Chandra

Lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan di masa lalu hingga kini yang memiliki potensi sebagai sumber penghidupan manusia, seperti sumber air dan makanan. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungannya, dengan mengeksploitasi lingkungan dan menciptakan teknologi yang selaras dengan kebudayaannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas pertama, bagaimana gambaran daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung bagi keberlangsungan situs Gua Carano dan Gua Beringin di sekitar Danau Singkarak. Kedua, bagaimana nilai penting situs bagi penelitian dan pelestarian. Kemudian tujuannya adalah mengetahui daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung bagi keberlangsungan situs Gua Carano dan Gua Beringin di sekitar Danau Singkarak. Selain itu bertujuan untuk mengetahui nilai penting situs bagi penelitian dan pelestarian. Metode yang diterapkan adalah kualitatif menggunakan alur penalaran induktif. Hipotesisnya adalah lingkungan mempengaruhi budaya yang berkembang pada situs tersebut di masa lalu,dan  perubahan yang terjadi di sekitarnya akan mempengaruhi situsnya. Kemudian guna mempertajam analisis daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung dilakukan analisa terhadap data primer dan data sekunder melalui peta. Keberadaan Gua Beringin dan Gua Carano di tepian Danau Singkarak memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi sejak masa prasejarah. Nilai penting dari sisi pendidikan dan ilmu pengetahuan meliputi teknologi pembuatan gerabah dan aktivitas kemaritiman di lingkungan danau sebagai bagian dari pelajaran muatan lokal, maupun menjadi objek penelitian bagi disiplin ilmu lain selain arkeologi. Nilai penting bagi kebudayaan berkaitan dengan strategi adaptasi dan subsistensi terhadap sumber daya alam di lingkungan danau. Environment is important for human livelihood, such as a source of water and food. Humans have a good ability to adapt by exploiting the environment and creating technology which is in harmony with their culture. The problems in this study are how is environment carrying capacity for protection the sustainability of Carano and Beringin Caves around Singkarak Lake, and how important are the caves. The method applied was qualitative using inductive reasoning flow. The analysis of both primary and secondary data was carried out through maps. The result showed that these caves have a fairly high historical value since prehistoric times. The important values in terms of education and science include technology for making pottery and maritime activities as part of local content lessons, as well as being an object of research for disciplines other than archeology. The Important values of culture are related to adaptation and subsistence strategies for natural resources.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 133-146
Author(s):  
Derri Ris Riana, S.S. ◽  
Indrawati

Masyarakat Banjar sebagai salah satu etnik mayoritas di Kalimantan Selatan memiliki tradisi yang sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian orang. Salah satunya adalah tradisi tolak bala. Tradisi tolak bala digunakan untuk mengatasi perasaan dan menangkal hal-hal yang ditakutkan karena kepercayaan mereka terhadap kekuatan roh dan makhluk gaib. Bagaimana bentuk tradisi tolak bala yang dilakukan masyarakat Banjar dan apa makna simbol yang terdapat pada benda-benda yang digunakan untuk penolak bala menarik untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang makna simbol tradisi tolak bala dalam masyarakat Banjar yang dikaji dari teori etnolinguistik. Penulis menggunakan studi literatur dengan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banjar masih memiliki kepercayaan mengenai benda-benda sebagai penolak bala. Tradisi tolak bala dalam masyarakat Banjar dilakukan secara berkelompok melalui upacara adat, tetapi ada juga yang dilakukan secara perorangan. Bentuk tradisi tolak bala pada masyarakat Banjar berupa pemberian sesaji, penggunaan jimat atau benda bertuah, dan pemasangan motif hiasan di rumah. Piduduk merupakan salah satu bentuk sesaji sebagai penolak bala yang disiapkan dalam setiap upacara adat. Benda-benda seperti gelang sawan, kain sarigading, sapu tangan berajah, gelang dan cincin berajah merupakan penolak bala yang digunakan secara perorangan, sedangkan motif hiasan pada rumah merupakan penolak bala bagi keluarga di rumah.The Banjar people as one of the majority ethnic groups in South Kalimantan have a tradition named ward off misfortune. This tradition is used to overcome feelings and ward off things. How is the form of this tradition carried out by the Banjar people and what are the meaning of the symbols are interesting to study. This study aims to obtain an overview of the meaning of ward off misfortune’s symbol in Banjar society which is studied from ethnolinguistic theory. The author uses a literature study with qualitative descriptive data analysis techniques. The results shows that Banjar people still have beliefs about objects as a ward off missfortune. This tradition is carried out in groups through traditional ceremonies and individually. This tradition is in the form of offerings, the use of amulets or magical objects, and the installation of decorative motifs at home.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 91-106
Author(s):  
Amaluddin Sope ◽  
Suryanto

Perang Dunia II di Asia dikenal dengan istilah Perang Pasifik, namun dipihak Jepang (Nippon) memakai istilah Perang Asia Timur Raya (Dai Toa Senso Senkum) dengan maksud propaganda Asia Untuk Orang Asia. Penyerangan Jepang atas Ford Island, Pearl Harbour, Hawaii menjadi penanda dimulainya perhelatan Perang Pasifik. Netherlands East Indies (Hindia Belanda) atau yang saat ini dikenal dengan nama Indonesia tidak terlepas dari imperialisme Jepang (Nippon) di masa Perang Pasifik. Kendari adalah salah satu wilayah di Indonesia yang terkena imbas imperialisme Jepang. Dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya setelah pendudukan, Jepang membangun berbagai fasilitas pertahanan. Penelitian ini mengkaji tentang tinggalan masa Perang Pasifik dari pihak Jepang yang masih dapat disaksikan saat ini, yaitu pillbox. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran dan fungsi bangunan pillbox di Kota Kendari. Dalam mencapai tujuan penelitian, digunakan metode survei yang didukung dengan data pustaka, dan informasi masyarakat. Hasil analisis arkeologis dan spasial yang dipadukan dengan analisis medan model COCOA menunjukan 21 bangunan pillbox yang tersebar di enam kecamatan di Kota Kendari membentuk pola mengelompok dan acak. Bangunan tersebut dibangun Jepang (Nippon) berfungsi sebagai fasilitas pertahanan, perlindungan, pemantauan, menghalau pergerakan militer sekutu, serta penguasaan area strategis di Kendari.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 73-90
Author(s):  
NFn Sunarningsih ◽  
Yuka Nurtanti Cahyaningtyas

Salah satu kerajaan Islam yang berada di aliran Sungai Kapuas, Kalimantan Barat adalah Kerajaan Tayan. Pusat kekuasaan awal berdiririnya kerajaan ini berada di aliran Sungai Tayan yang merupakan anak Sungai Kapuas, tepatnya di Bukit Rayang sebelum akhirnya pusat pemerintahannya berada di Teluk Kemilun yang bangunan Kraton dan masjidnya masih berdiri kokoh hingga sekarang. Keberadaan Bukir Rayang menarik untuk diteliti karena masih minimnya data awal pusat kekuasaan Tayan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ragam data arkeologi dan lanskap hunian di Bukit Rayang. Metode pengumpulan data menggunakan survei dan ekskavasi. Data selanjutnya dianalisisbaik lingkungan maupun artefaktualnya. Hasil penelitian mendapatkan beragam data arkeologi, yaitu benteng tanah, bekas pemandian putri, tonggak bekas jembatan, makam kerabat istana, tonggak bekas masjid, bekas pendapa, Meriam, dan artefak berupa fragmen dari bahan yang beragam (tanah liat, stoneware, porselen, kaca, logam, dan batu). Berdasarkan hasil analisis artefaktual, temuan fragmen berasal dari berbagai bentuk wadah dan non wadah yang digunakan oleh masyarakat pendukung Kerajaan Tayan, dan analisis lingkungan memberi gambaran lanskap hunian di lokasi Bukit Rayang sangat strategis karena berada di kelokan sungai, pengawasan ke arah hulu dan hilir mudah dilakukan, juga keberadaan benteng di bagian tertinggi dari bukit memiliki tujuan untuk mengamankan pengiriman upeti dari wilayah hulu.


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 61-72
Author(s):  
Helmi Yanuar Dwi Prasetyo ◽  
Komang Ayu Suwindiatrini

Abstrak. Pandemik Covid-19 di awal tahun 2020 berdampak besar pada seluruh aspek kehidupan manusia. Pembatasan aktivitas banyak diterapkan di berbagai tempat untuk memutus penyebaran virus Corona. Hal tersebut juga berdampak pada kegiatan penyebaran informasi tentang cagar budaya, seperti sosialisasi, pameran, seminar, dan kegiatan lainnya yang tidak bisa dilaksanakan secara tatap muka. Pembatasan aktivitas juga menyebabkan kunjungan museum dan situs-situs bersejarah tidak dapat dilakukan. Pemanfaatan media informasi baru perlu dilakukan untuk menyebarkan informasi tentang cagar budaya secara virtual. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana peran media baru dalam penyebaran informasi tentang cagar budaya di masa pandemi Covid-19 serta manfaat yang didapatkan oleh masyarakat. Data yang digunakan bersumber internet dan hasil kuesioner yang diikuti oleh responden dari enam belas provinsi di Indonesia dengan menggunakan platform Google Form yang disebarkan melalui sosial media WhatsApp. Hasil penelitian mengetahui bahwa media baru mampu memberikan solusi dalam penyebaran informasi cagar budaya yang biasa dilakukan secara tatap muka dengan menghadirkannya secara virtual. Penyebaran informasi secara virtual juga memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman baru dalam pembelajaran untuk mengenal cagar budaya walaupun dalam kondisi pandemic seperti saat ini.   Abstract. The Covid-19 pandemic in early 2020 had a wide impact on all aspects of human life, with activity restrictions aimed at stopping the spread of the Coronavirus. Activity restrictions are widely applied in every place to cut off the transmission of the Coronavirus. The restrictions affect the information dissemination on cultural heritage, such as socialization, exhibitions, seminars, and others that can not be done directly. Due to the restrictions, a site visit to the museum and historical sites is hard to do. The utilization of new media needs to be considered to disseminate cultural heritage information virtually.  This study aims to acknowledge the role of new media for information dissemination during the pandemic and its benefits to the community. Data were collected from internet sources and questionnaires followed by respondents using the Google Form platform shared through WhatsApp. The results found out that the new media can provide solutions in cultural heritage dissemination virtually. This new method also provides knowledge and experiences in learning to recognize cultural heritage in this period.


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 1-16
Author(s):  
Yori Akbar Setiyawan

Abstrak. Penelitian mengenai prasasti-prasasti pada masa pemerintahan Airlangga telah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai latar belakang kebijakan Airlangga yang berkaitan dengan kehidupan politik, ekonomi, dan sosio-religi kerajaannya dengan berdasar pada bukti prasasti belum banyak disentuh oleh arkeolog maupun ahli epigrafi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang salah satu kebijakan Airlangga berupa penetapan sīma bagi pertapaan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis menggunakan pendekatan epigrafi dengan data utama berupa alih aksara dan alih bahasa prasasti, serta data sekunder berupa naskah kesastraan dan literatur mengenai Airlangga dari buku, jurnal, laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Analisis penelitian dilakukan terhadap isi prasasti dan kebijakan yang dilakukan selama Airlangga menjadi raja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang melatarbelakangi penetapan sīma bagi pertapaan pada masa Airlangga yaitu faktor politik sebagai upaya menarik simpati dan menegakkan hegemoninya sebagai raja dan faktor sosio-religi berkaitan dengan kewajiban raja untuk mengayomi rakyat.   Abstract. There are several kinds of research on the inscriptions during the reign of Airlangga at 1019-1043 C.E. However, research on Airlangga's policy related to the political, economic, and socio-religious aspects based on inscription evidence has not been widely discussed. This study aims to determine the background of the sima establishment policy for the hermitage set by Airlangga. This is analytical descriptive research using an epigraphic approach. Primary data is the transliteration and translation of inscriptions, while secondary data is literary texts and literature studies on Airlangga. Research analysis was carried out on the contents of the inscriptions and Airlangga’s policies during his reign. The results showed that there were two factors behind the establishment of sīma for a hermitage. First, the political factor was an effort to get sympathy and strengthen his hegemony. Second, socio-religious factors related to the king's obligation to protect the people.


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 31-44
Author(s):  
Diyah Wara Restiyati

Abstrak. Minum teh sudah menjadi tradisi etnis Tionghoa di Batavia secara turun-temurun. Etnis Tionghoa juga mengenalkan tradisi minum teh kepada masyarakat lain di Batavia, yang saat ini dikenal sebagai Jakarta. Pembahasan mengenai tradisi minum teh yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di Batavia pada masa lalu dan di Jakarta saat ini merupakan hal yang menarik. Penelitian ini membahas tentang bagaimana tradisi minum teh dilakukan oleh etnis Tionghoa pada masa lalu, apa maknanya, dan adakah pergeseran makna yang terjadi saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyebarkan pengetahuan tradisi minum teh etnis Tionghoa di Jakarta sebagai bagian dari budaya Indonesia agar dapat dilestarikan oleh generasi berikutnya. Kajian ini menggunakan pendekatan etnohistori dengan kajian pustaka, pengamatan dan wawancara dengan masyarakat Tionghoa di Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi minum teh merupakan representasi nilai luhur masyarakat Tionghoa yang menganut agama Budha, Konghucu, dan Tao. Namun, tradisi minum teh saat ini sudah mengalami pergeseran makna dan tidak lagi dilakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur masa lalu. Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Jakarta sekarang meminum teh sebagai bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari tanpa melihat tata cara dan maknanya.   Abstract. Drinking tea has been a Chinese tradition in Batavia for generations. They also introduced this tradition to other communities in Batavia, which is now known as Jakarta. Talking about the drinking tea tradition carried out by Chinese people in old Batavia and in Jakarta recently is quite interesting. This study discusses how this tradition carried out in the past, means, and is there a shift in meaning today. The research aimed to spread the Chinese drinking tea tradition in Jakarta as part of Indonesian culture so could be preserved by the next generation. This study uses an ethnohistorical approach with literature review, observations and interviews with the Chinese community in Jakarta. The results showed that the Chinese drinking tea tradition is a representation of the noble values ​​of the Chinese community who adhere to Buddhism, Confucianism, and Taoism. However, this tradition today has experienced a shift in meaning and no longer carried out with values. Recently, most Chinese people in Jakarta drink tea as part of their daily habits regardless of the rites and meanings.


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 45-60
Author(s):  
Abednego Andhana Prakosajaya ◽  
Aziza Dwimas Hendarini

Abstrak. Konflik pasca G/30/S tahun 1965 merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang banyak menuai kontroversi di masyarakat luas bahkan hingga saat ini. Konflik ini menjadi perhatian luas bidang ilmu politik dan sejarah, namun dalam pengungkapannya dibutuhkan metode dan ilmu arkeologi untuk menjelaskan fenomena hasil konflik kontemporer di lapangan. Tiga permasalahan yang akan diajukan adalah sejauh mana keterlibatan arkeolog dalam konflik pascaG/30S, apakah etika dan kebijakan arkeologi menjadi pembatas keterlibatan arkeolog dalam kasus ini, dan bagaimana kebijakan serta etika arkeologi di luar negeri menanggapi kasus serupa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat alasan ketiadaan peran arkeologi terhadap kasus ini dan keterkaitannya dengan etika dan kebijakan arkeologi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dengan pengolahan data menggunakan analisis konten. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa ketiadaan peranan arkeologi dalam diskusi perkembangan narasi sejarah pascaG/30/S merupakan akibat dari kontradiksi kebijakan dan etika profesi arkeolog Indonesia dengan etika arkeologi secara luas. Penelitian ini berkesimpulan bahwa ketiadaan peran arkeolog dalam perkembangan diskusi narasi sejarah pascaG/30/S memiliki keterkaitan dengan penafsiran kebijakan dan etika profesi arkeologi di Indonesia yang dalam beberapa aspek bertolak belakang dengan etika ilmu arkeologi secara luas. Untuk mencapai peranan arkeologi yang diharapkan sebagaimana telah ditunjukan oleh negara lain dengan kasus serupa, dibutuhkan etika ilmu arkeologi yang lebih diprioritaskan dibandingkan kebijakan nasional dan etika profesi arkeologi.   Abstract. The post-G/30/S conflict in 1965 is part of Indonesia's history, which has drawn a lot of controversy in the wide community even today. This conflict has received wide attention in the fields of political science and history. The disclosure requires archaeological methods and science to explain the phenomenon of contemporary conflict results in the field. this article will discuss the extent to which archaeologists are involved in the post-G/30S conflict, whether archaeology ethics and policies are a barrier to archaeologists' involvement in this case, and how foreign archaeological policies and ethics respond to a similar matter. This study aims to understand the reasons for the absence of archaeology's role in this case and its relationship to archaeology ethics and policies in Indonesia. This study uses library research methods collected through documentation techniques with content analysis data processing. The results obtained indicate that the absence of archaeology's role in the discussion of the development of post-G/30/S historical narratives is the result of the contradictions between the policies and ethics of the Indonesian archaeologist profession with archaeology ethics in general. Archaeological ethics need to be considered so that archaeology can play a better role in post-G/30/S historical narratives.


2021 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 17-30
Author(s):  
Rusyanti Rusyanti

 Rumah adalah kebutuhan dasar manusia yang dibangun dengan berbagai bahan, teknik, dan sistem kepercayaan dan sekaligus menggambarkan identitas dan status sosial pemiliknya. Rumah merupakan kesatuan dari struktur bangunan yang terdiri dari konstruksi dasar, konstruksi tubuh, dan konstruksi atap. Setiap kelompok masyarakat memiliki konstruksi bangunan yang berbeda-beda yang mencerminkan kondisi geografis dan lingkungan setempat. Penelitian arkeologi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Semangka, Kabupaten Lampung Barat menemukan lebih dari empat puluh batu tufa dan batu apung di enam situs arkeologi di Liwa. Batu-batu tersebut memiliki beragam bentuk dan ukuran yang belum diketahui fungsinya. Tulisan ini bertujuan mengetahui fungsi batu-batu tersebut kaitannya dengan bangunan tradisional Lampung. Penelitian dilakukan dengan metode survei arkeologi, deskripsi, dan perbandingan data etnografi. Hasil penelitian memperlihatkan ada persamaan karakteristik batu pada bangunan rumah-rumah tradisional di Liwa, Kenali, dan Canggu dengan artefak batu yang ditemukan di situs-situs arkeologi di DAS Way Semangka. Batu-batu tersebut diasumsikan sisa umpak atau batu pondasi dari struktur bangunan tradisional Lampung yang dibuat dengan teknik konstruksi tradisional kalindang yang tahan gempa. Umpak batu dari batuan tufa dan batu apung terbilang unik karena ringan, mudah dibentuk, dan memiliki keunggulan sebagai bahan beton ringan. Penggunaan batuan tufa dan apung sebagai umpak bangunan, merupakan bukti kearifan lokal yang masih dilestarikan di Lampung Barat. House as a basic need was built with various materials, techniques, and the belief system of the supporting community, as well as describe the identity and social status of the owner. A house is a unit of the building structure that generally consists of basic construction, body, and roof construction. Each community group has a different building construction and can also reflect their geographical and climatic conditions. Archaeological research in the Way Semangka Watershed (DAS), West Lampung Regency, found more than forty stones of tuf and pumice in six archaeological sites in Liwa. The stones have various shapes and sizes whose function is not yet known. This paper aims to determine the utility of these stones in traditional Lampung buildings. The research was conducted using archaeological survey methods, descriptions, and a comparison of ethnographic data. The results showed similarities in the characteristics of the stones in the traditional houses in the Liwa, Kenali, and Canggu areas, with stone artefacts found at archaeological sites in the Way Semangka watershed. These stones are assumed to be remnants of the column base of traditional Lampung building structures made with the Kalindang technique of which is traditionally earthquake-resistant construction. The tuf and pumice stone are unique because it is light, shapeable and it has the advantage of being a lightweight concrete material. The use of tuf and pumice stone as a column base is evidence of local wisdom preserved in West Lampung.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document