scholarly journals Perbedaan Tingkat Keragaman Pangan Balita dan Tingkat Pendidikan Orang Tua di Rumah Tangga Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Dan Non KRPL

2018 ◽  
Vol 2 (4) ◽  
pp. 364
Author(s):  
Annisa Fidya Lestari ◽  
Ratna Setyaningsih

Background: Sustainable Reserve Food Garden Area (KRPL) is program that to increase family dietary diversity, such as children. Children’s dietary diversity can affect to nutritional adequacy and can impact to growth process. The factor that can affect successful of KRPL program is parents’ education level.Objectives: The purpose of this study was to identify the difference between children’s dietary diversity level, household income level, and parents’ education level in sustainable reserve food garden area (KRPL) and non KRPL household in Kamal sub-district, Bangkalan district, Madura.  Method: This was an observational study with case control comparative study design was conducted among 25 children in KRPL area and 25 children in non KRPL area with mother or other family member as respondents. Simple random sampling method was used to select the samples. Children and parents’ characteristic were asked to answer structured questionnaire. Children dietary diversity level was asked by Individual Dietary Diversity Score (IDDS) instrument. The data was analyzed with Mann Whitney statistic test. Result: Children that involved in this study, either in KRPL or non KRPL area, was less than the same 35 months old (52%). Children from KRPL area was mostly girls (64%), while children from non KPRL area was mostly boys (56%). Children dietary diversity condition in KRPL area was low (52%), while children dietary diversity level in non KRPL area was sufficient (64%). Children who lived in KRPL area not always have diverse intake. The result showed that there was no difference between children dietary diversity level in KRPL and non KRPL area (p=0.259). Household income level on KRPL area was higher (68%) if compared to household on non KRPL area (44%). Parents’ education level in KRPL area was classified high (father=88%, mother=88%), while that parents’ education level in non KRPL area classified low (father=88%, mother=100%) (p=0.000). Parents in KRPL area have higher education level compare to parents in non KPRL area. Conclusion: Children dietary diversity in KRPL area are not different with non KRPL area. Children who lived in KRPL area not always have diverse intake. There is difference between household’s income level and parents’ education level. Household in KRPL area have higher income and parents in KRPL area have higher education level compare to households and parents in non KPRL area. ABSTRAKLatar Belakang: Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan program yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan keragaman pangan keluarga, salah satunya balita. Keragaman pangan pada balita dapat berpengaruh pada kecukupan kebutuhan gizi dan berdampak pada proses pertumbuhannya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program KPRL adalah tingkat pendidikan orang tua.Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat keragaman pangan balita dan tingkat pendapatan keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua di rumah tangga Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dan non KRPL Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura.Metode: Penelitian observasional dengan rancang bangun penelitian potong lintang komparatif dilakukan pada subjek penelitian yang terdiri dari 25 balita di wilayah KRPL dan 25 balita di wilayah non KRPL dengan ibu atau anggota keluarga lainnya sebagai responden. Metode simple random sampling digunakan untuk memilih sampel. Karakteristik balita dan orang tua ditanyakan melalui kuesioner. Tingkat keragaman pangan balita ditanyakan melalui instrumen Individual Dietary Diversity Score (IDDS) Data dianalisis menggunakan uji statistik Mann Whitney.Hasil: Balita yang terlibat dalam penelitian ini, baik di area KPRL maupun non KPRL, sebagian besar berusia kurang dari sama dengan 35 bulan (52%). Balita yang berasal dari wilayah KRPL sebagian besar perempuan (64%), sedangkan dari wilayah non KPRL sebagian besar laki-laki (56%). Kondisi tingkat keragaman pangan balita di wilayah KRPL tergolong rendah (52%), sedangkan tingkat keragaman pangan balita di wilayah non KRPL tergolong cukup (64%). Balita yang tinggal di rumah tangga KRPL tidak selalu mengonsumsi makanan yang beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat keragaman pangan balita di wilayah KRPL dan non KPRL (p=0,259). Tingkat pendapatan keluarga balita di wilayah KRPL lebih tinggi (68%) apabila dibandingkan dengan wilayah non KPRL (44%). Tingkat pendidikan orang tua di wilayah KRPL tergolong tinggi (ayah=88%, ibu=88%), sedangkan tingkat pendidikan orang tua di wilayah non KRPL tergolong rendah (ayah=88%, ibu=100%) (p=0,000).Kesimpulan: Tingkat keragaman pangan balita di area KRPL tidak berbeda dengan balita di area non KPRL. Terdapat perbedaan tingkat pendapatan keluarga dan tingkat pendidikan orang tua balita. Keluarga di wilayah KRPL memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan orang tua di area KRPL memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rumah tangga dan orang tua di wilayah non KPRL.

2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 180
Author(s):  
Aisya Cici Putri Haryati ◽  
Trias Mahmudiono

ABSTRAK Latar Belakang: Masalah gizi rentan terjadi pada anak berusia dibawah dua tahun (baduta) yang diantaranya adalah stunting. Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh proses akumulatif dari rendahnya asupan gizi dan penyakit infeksi. Penyebab lain adalah kondisi social ekonomi yang dapat mempengaruhi praktik pemberian MP-ASI. Kualitas gizi pada makanan dipengaruhi oleh keragaman pangan yang ditentukan oleh pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan tingkat pendidikan.Tujuan: Menganalisis hubungan praktik pemberian makan pendamping ASI dengan kejadian stunting dan non-stunting pada baduta usia 6-24 bulan di Kelurahan Sidotopo, Kota SurabayaMetode: Jenis penelitian yaitu observasional analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Sampel penelitian sebesar 54 baduta dipilih menggunakan metode simple random sampling. Kuesioner Dietary Diversity Score digunakan untuk menilai keragaman pangan baduta dan food recall 24-hours untuk mengetahui frekuensi pemberian makanan. Uji statistik menggunakan chi-square.Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya korelasi antara Karakteristik keluarga, baduta dan keberagaman pangan dengan kejadian stunting, akan tetapi ada korelasi antara pendapatan orang tua (p=0,006) dan frekuensi pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting (p=0,028).Kesimpulan: Pendapatan orang tua dan frekuensi pemberian MP-ASI berhubungan dengan stunting, sedangkan karakteristik keluarga, baduta dan keragaman pangan tidak berhubungan dengan kejadian stuntingKata kunci: stunting, makanan pendamping, karakteristik keluarga, keragaman pangan 


2018 ◽  
Vol 2 (3) ◽  
pp. 219
Author(s):  
Samara Ika Soegeng Prakoso ◽  
Bibit Mulyana

Background: Indonesia still facing some nutritional problems that hinder its economics development. The government itself has an effort to tackle nutritional problems by establishing  a program known as Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). The family expected to understand and overcome the nutritional problems affecting its members. One of Kadarzi’s five indicator is dietary diversity. Dietary divesity can reflected dietary quality. Therefore, dietary diversity assessment is influential to improve dietary quality. Objectives: The purpose of this study was to analyze the differences in dietary diversity scores among Kadarzi household. Method: The design of the study was cross sectional. Number of sample were 34 mothers who registered in Posyandu settled in Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Samples were selected using simple random sampling technique. Kadarzi data were collected from KMS book. Dietary diversity was assessed using Individual Dietary Diversity Score (IDDS). The data were analyzed using independent T-test. Result: The result showed that most families were not meeting Kadarzi’s indicator (73%). There were 32.4% family categorized as low dietary diversity, 47.1% family categorized as medium dietary diversity, and 20.6% family categorized as high dietary diversity. There were a difference of dietary diversity score beetwen Kadarzi’s household nor Kadarzi’s household (p<0.001). In Kadarzi’s household the consumption of dark green leafy vegetables, other vitamin A rich fruits and vegetables, anf other fruits and vegetables are higher than non Kadarzi’s household. Conclusions: There was a significant difference in dietary diversity score beetwen Kadarzi’s household and nor Kadarzi’s household. The importance of eating diverse and some references of affordable food choice to meet dietary diversity were needed to share.ABSTRAKLatar belakang: Indonesia masih menghadapi beberapa masalah gizi yang menghambat perkembangan ekonomi. Namun pemerintah memiliki suatu upaya untuk mengatasi permasalahan gizi tersebut dengan membentuk program Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Pada program ini keluarga diharapkan mampu mengerti dan mengatasi permasalahan gizi anggotanya. Salah dari lima perilaku Kadarzi adalah makan beragam. Makan beragam merupakan salah satu perilaku yang dapat menggambarkan kualitas diet individu. Oleh karena itu penilaian keragaman pangan perlu diketahui untuk mengetahui dan meningkatkan kualitas diet individu. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan skor keragaman pangan pada keluarga sadar gizi. Metode: Penelitian observasional ini disusun dengan rancang bangun cross sectional. Sejumlah 34 sampel yang merupakan ibu balita yang terdaftar di Posyandu di wilayah Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Data Kadarzi didapatkan dari observasi kartu menuju sehat (KMS). Keragaman pangan dinilai menggunakan instrumen Individual Dietary Diversity Score (IDDS). Data dianalisis menggunakan independent T-test. Hasil: Sebagian besar keluarga masih belum menerapkan perilaku Kadarzi (73%). Sebanyak 32,4% keluarga termasuk dalam kategori skor keragaman pangan rendah, 47,1% dalam kategori sedang, dan 20,6% dalam kategori tinggi. Terdapat perbedaan skor keragaman pangan antara keluarga yang menerapkan perilaku Kadarzi dan tidak menerapkan perilaku Kadarzi (p<0,001). Pada keluarga yang menerapkan perilaku Kadarzi konsumsi sayuran hijau, sayur dan buah vitamin A, sayur dan buah yang lain lebih tinggi daripada keluarga yang tidak menerapkan Kadarzi. Kesimpulan: Terdapat perbedaan skor keragaman pangan antara keluarga yang menerapkan perilaku Kadarzi dan tidak menerapkan perilaku Kadarzi. Diperlukan pemaparan informasi lebih lanjut mengenai pentingnya makan beragam dan pemilihan makanan yang terjangkau untuk dapat memenuhi konsumsi makan beragam.


2021 ◽  
Vol 21 (1) ◽  
Author(s):  
Aya Hinata ◽  
Keiko Kabasawa ◽  
Yumi Watanabe ◽  
Kaori Kitamura ◽  
Yumi Ito ◽  
...  

Abstract Background Income inequality has dramatically increased worldwide, and there is a need to re-evaluate the association between socio-economic status (SES) and depression. Relative contributions of household income and education to depression, as well as their interactions, have not been fully evaluated. This study aimed to examine the association between SES and depressive symptoms in Japanese adults, focusing on interactions between education and household income levels. Methods This cross-sectional study used data from baseline surveys of two cohort studies. Participants were 38,499 community-dwelling people aged 40–74 years who participated in baseline surveys of the Murakami cohort study (2011–2012) and Uonuma cohort study (2012–2015) conducted in Niigata Prefecture, Japan. Information regarding marital status, education level, household income, occupation, activities of daily living (ADL), and history of cancer, myocardial infarction, stroke, and diabetes was obtained using a self-administered questionnaire. Depressive symptoms were examined using the Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D). Logistic regression analysis was used to obtain odds ratios (ORs). Covariates included age, sex, marital status, education, household income, occupation, ADL, and disease history. Results Individuals with higher education levels had lower ORs (adjusted P for trend = 0.0007) for depressive symptoms, independently of household income level. The OR of the university-or-higher group was significantly lower than that of the junior high school group (adjusted OR = 0.79). Individuals with lower household income levels had higher ORs (adjusted P for trend< 0.0001) for depressive symptoms, independently of education level. The type of occupation was not associated with depressive symptoms. In subgroup analyses according to household income level, individuals with higher education levels had significantly lower ORs in the lowest- and lower-income groups (adjusted P for trend = 0.0275 and 0.0123, respectively), but not in higher- and highest-income groups (0.5214 and 0.0915, respectively). Conclusions Both education and household income levels are independently associated with the prevalence of depressive symptoms, with household income levels showing a more robust association with depressive symptoms than education levels. This suggests that a high household income level may offset the risk of depressive symptoms from having a low education level.


2019 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 114
Author(s):  
Atin Nurmayasanti ◽  
Trias Mahmudiono

Background: Stunting is a chronic nutritional problem caused by poor nutritional intake and infectious diseases. Other causes are maternal socio-economic and nutritional conditions during pregnancy. Nutritional quality in food is influenced by the diversity of types of food consumed. Food diversity can be determined by prosperity, children's age, and mother's education. Economic conditions have a risk of stunting because they can describe the family's ability to fulfill nutritious food intake.Objective: This study aimed to analyze the relationship between socio-economic and food diversity with the incidence of stunting in children aged 24-59 months.Method: This study was an observational study with case control research design. The population in this study were children aged 24-59 months who were enrolled in Posyandu in the Puskesmas Wilangan working area. The sample size taken by each 28 toddlers was selected through simple random sampling. The food diversity score is obtained from the Individual Dietary Diversity Score (IDDS) score. Descriptive data analysis to describe toddler age, gender, mother's education, and mother's work. While inferential analysis used the chi-square test to determine the relationship between food diversity and income level with the incidence of stunting.Results:The results showed that family income was related to the incidence of stunting in infants (p = 0.048). Low family income is at risk of getting stunting. Scores of food diversity for stunting and non-stunting children are still low. The chi-square results show that there is no relationship between food diversity and the incidence of stunting (p = 1.000) and not a risk factor for stunting toddlers (OR = 1.000).Conclusion: Family income has a significant relationship with the incidence of stunting. Food diversity is not related to stunting.ABSTRAKLatar Belakang: Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dan penyakit infeksi. Penyebab lain adalah kondisi sosial ekonomi dan gizi ibu saat hamil. Kualitas gizi pada makanan dipengaruhi oleh keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Keragaman pangan dapat ditentukan oleh kesejahteraan, usia anak, dan pendidikan ibu. Kondisi ekonomi memiliki risiko terjadinya stunting karena dapat menggambarkan kemampuan keluarga dalam memenuhi asupan makanan yang bergizi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara sosial ekonomi dan keragaman pangan dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan.Metode: Penelitian ini adalah jenis penelitian observasional dengan desain penelitian case control.  Populasi pada penelitian ini anak balita usia 24-59 bulan yang terdaftar dalam Posyandu wilayah kerja Puskesmas Wilangan. Besar sampel yang diambil masing-masing 28 balita yang dipilih melalui simple random sampling. Skor keragaman pangan diperoleh dari skor Individual Dietary Diversity Score (IDDS). Analisis data secara deskriptif untuk menggambarkan usia balita, jenis kelamin, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Sedangkan analisis inferensial menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan keragaman pangan dan tingkat pendapatan dengan kejadian stunting. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada balita (p=0,048). Pendapatan keluarga yang rendah berisiko terkena stunting. Skor keragaman pangan pangan balita stunting maupun non-stunting sama-sama masih rendah. Hasil chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keragaman pangan dengan kejadian stunting (p=1,000) dan bukanlah faktor risiko balita stunting (OR = 1,000).Kesimpulan: Pendapatan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting. Keragaman pangan tidak berhubungan dengan stunting.


2019 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 46-48 ◽  
Author(s):  
Yasmin Salim

A person’s livelihood implies as the means of securing the basic necessities of life, example food, water, shelter and clothing. A livelihood is sustainable only when they can address, recover, maintain or enhance their necessities, now and the future. However, Rohingya refugee is lack of official status in Malaysia and they have a limited access on a sustainable livelihood. This study aims to understand and determine whether the current household income able to create a sustainable livelihood. The sample was selected based on simple random sampling method for which the sampling frame are those refugees reside in Taman Senangin. The findings indicate majority of household expenditures increases while saving, were allocated only a small proportion of their remaining income. Hence, with the small proportion of saving, they are able to survive day-to-day life and are sustainable if the proportion of saving increased.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 20
Author(s):  
Cynthia Angelica ◽  
Linda Sari Sembiring ◽  
Winny Suwindere

Pendahuluan: Karies gigi merupakan masalah utama dalam kesehatan gigi masyakat, terlihat dengan tingginya prevalensi karies pada anak usia 1‒4 tahun (10,4%), dan pada anak usia 5‒9 tahun adalah 28,9%. Karies yang terjadi pada anak disebut Early Childhood Caries (ECC) atau karies dini yang terjadi pada anak usia 71 bulan atau lebih muda. Anak memperoleh perilaku kebersihan mulut dan kebiasaan kesehatan rongga mulut dari ibu sehingga peran ibu sangat mempengaruhi keadaan rongga mulut anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan tinggi dan perilaku ibu terhadap indeks def-t pada anak usia 4‒5 tahun di TK Santa Maria Kota Cirebon. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah anak usia 4‒5 tahun di TK Santa Maria Kota Cirebon. Sampel penelitian berjumlah 74 orang dengan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. Hasil: Analisis statistik penelitian dilakukan dengan menggunakan model regresi Tobit. Simpulan: Terdapat pengaruh tingkat pendidikan tinggi dan perilaku ibu terhadap indeks def-t pada anak usia 4‒5 tahun di TK Santa Maria Kota Cirebon.Kata kunci: Tingkat pendidikan, perilaku ibu, indeks def-t, anak usia 4-5 tahun ABSTRACTIntroduction: Dental caries is a major problem in the dental health of the community, reflected by the high prevalence of caries in children aged 1‒4 years old (10.4%), and in children aged 5‒9 years old (28.9%). Caries that occur in children is called Early Childhood Caries (ECC), or early caries that occurs in children aged 71 months or younger. Children get their oral hygiene behaviour and oral health habits from their mothers; thus, the mother's role profoundly affects the children's oral cavity condition. This study was aimed to determine the influence of higher education level and maternal behaviour on the def-t index in children aged 4‒5 years old at Santa Maria Kindergarten in the city of Cirebon. Methods: This study was using an observational analytic method with a cross-sectional research design. The study population was children aged 4‒5 years old at Santa Maria Kindergarten in the city of Cirebon. The research sample was 74 people taken with stratified random sampling technique. Results: Statistical analysis of the study was conducted using the Tobit regression model. Conclusion: There is an influence of higher education level and maternal behaviour on the def-t index in children aged 4‒5 years old at Santa Maria Kindergarten in the city of Cirebon.Keywords: Education level, maternal behaviour, def-t index, 4-5-years old children


Author(s):  
Nyasiro S Gibore ◽  
Agatha F Ngowi ◽  
Mariam J Munyogwa ◽  
Mwanaisha M Ali

Abstract Background Anemia is a major cause of morbidity and mortality of pregnant women and increases the risks of fetal and neonatal morbidity and mortality. Approximately 50% of all anemia is estimated to be caused by low dietary intake of iron, poor absorption of dietary iron, or blood loss. The objective of the present study was to determine the prevalence and assess the dietary habits associated with anemia among pregnant women receiving antenatal care in Unguja Island, Tanzania. A cross-sectional study was conducted to select 338 pregnant women at Kivunge, Mwembeladu and Mnazimmoja hospitals from March to June, 2018. Hemoglobin concentration was measured using a HemoCue photometer on capillary blood. Sociodemographic data and dietary habits were collected using a structured questionnaire. The data were analysed using the SPSS version 21.0. Multivariate logistic regression analysis was carried out to determine the predictors of anemia among pregnant women. The overall prevalence of anemia was 80.8%. Of these 68.64% had mild anemia, 11.24% had moderate anemia and 0.89% had severe anemia. Anemia was significantly associated with inadequate dietary diversity (Adjusted Odds Ratio (AOR) = 1.16, 95%CI = 0.57–2.36, p &lt; 0.05), drinking tea or coffee with meal (AOR = 0.06, 95%CI = 0.03–0.13, p &lt; 0.001), consuming less than three meals per day (AOR = 2.92, 95%CI = 1.60–5.84, p &lt; 0.001), higher education level (AOR = 3.4, 95%CI = 1.6–7.2, p &lt; 0.0001), birth interval of less than two years (AOR = 3.6, 95%CI = 1.1–11.9, p &lt; 0.05) and multigravida (AOR = 1.2, 95% = 0.3–4.4, p &lt; 0.0001). The prevalence of anemia in this study demonstrates a severe public health problem among pregnant women. Inadequate dietary diversity coupled with inadequate daily meal intake and consumption of tea or coffee were the dietary habits predictors of anemia among pregnant women. Other predictors of anemia were higher education level, multigravida and birth interval of less than two years. Nutrition policy interventions are needed in order to complement antenatal care services by providing important information on healthy eating habits during pregnancy.


2018 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Jhon Wardie ◽  
Tri Yuliana Eka Sintha

The research aims to analyse the level of sustainability and the level of household income in the farming of rice on the peatland. The research location was determined by purposive sampling in Terusan Karya Village, Bataguh District, Kapuas Regency. The simple random sampling method was taken on 50 farmer household served as respondent. The data were collected in the form of primary and secondary data. To achieve the first research objective, it was conducted by an analysis of sustainability indicators of farming using Likert Scale system. The index of farming sustainability includes biophysical and socio-economic aspects in the rice farming on peatland. Meanwhile, to achieve the purpose of the second research, it was operated by using a simple tabulation to measure the level of farmer household income. The result of the analysis showed that farming sustainability of rice in the peatland found index by 76.10%, which means that the level of farming sustainability is a good category or highly sustainable. The result of the analysis of farm household income was 16.9 million rupiahs, which means that the farm household income has been categorized as good.  Keywords: sustainability index, peatland, income, rice, farmer householdJEL Classification: D10, Q01, Q12


2017 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
pp. 172
Author(s):  
Dwi Putri Pangesti Suryo Andadari ◽  
Trias Mahmudiono

Background: Childrens needs adequacy nutrients to support the growth process. Nutritional needs in children period can be fullfiled by consuming a variety of foods. Agricultural and pond dominated area can to provide adequate food availability. Objectives: The purpose of this study is to analyze the differences of dietary diversity and the level of energy and protein adequacy in children in agricultural and pond dominated areas. Method: This cross sectional study design and samples are 55 children under five years with the mothers/babysitters as respondents. Samples are taken using proportional random sampling. Dietary diversity are assessed using Individual Dietary Diversity Score (IDDS) with the criteria considered to consume if the amount minimum 10 grams. Adequacy energy and protein is assessed using food recall 2×24 hours and continued by compared with AKG. The differences of dietary diversity, energy ad protein adequacy rates are analyzed using Mann Whitney Test. Results: The results shows that  children in agricultural area classified low dietary diversity and middle dietary diversity in children pond dominated area (p=0.024). Children in agricultural and pond dominated areo classified less energy adequate (0.588) and more protein adequacy (0.459). Conclusion: There is difference of dietary diversity at children in agricultural and pond dominated area and ther is no difference of energy and protein adequacy in children in agricultural and pond dominated area.ABSTRAK Latar Belakang: Pada masa balita membutuhkan asupan gizi yang mencukupi untuk menunjang proses tumbuh kembang tersebut. Kebutuhan gizi pada balita dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam. Pemenuhan pangan yang cukup tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup. Sumber daya pertanian dan perikanan seperti tambak memiliki potensi untuk menyediakan sumber pangan.Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perbedaan keragaman pangan dan tingkat kecukupan energi dan protein pada balita di wilayah pertanian dan tambak.Metode: Penelitian cross sectional ini menggunakan sampel sebanyak 55 balita dengan ibu/pengasuh sebagai responden. Sampel diambil menggunakan proportional random sampling. Keragaman pangan dinilai menggunakan Individual Dietary Diversity Score (IDDS) dan dinilai dengan kriteria minimum konsumsi 10 gram. Data konsumsi pangan dikumpulkan menggunakan food recall 2×24 jam kemudian dikonversi dibandingan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk mendapatkan Tingkat Kecukupan Energi dan Tingkat Kecukupan Protein. Data dianalisis menggunakan Mann Whitney Test.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita di wilayah pertanian tergolong keragaman pangan rendah dan balita di wilayah tambak tergolong keragaman pangan sedang (p=0,024). Balita di wilayah pertanian maupun tambak tergolong tingkat kecukupan energi kurang (p=0,588) dan tingkat kecukupan protein (p=0,459).Kesimpulan: Terdapat perbedaan keragaman pangan minimum konsumsi 10 gram diterapkan pada balita di wilayah pertanian dan tambak dan tidak terdapat perbedaan kecukupan energi serta protein pada balita di wilayah pertanian dan tambak. 


2019 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
pp. 171
Author(s):  
Arian Susanti Dewi Cahyani

Background : Pre-school age children often have picky eater behavior. Perception of picky eater usually describes as the strong preference of children for food, inadequate of dietary diversity, restrain of certain food groups and won’t try new food. One of factors that causes this behavior is history of complementary feeding.Objectives: This study purposes was to analyze correlation between history of complementary feeding and perception of picky eater behavior among children age 12-36 month oldMethods: This study was analytic observasional study with cross-sectional design. The research was conducted in Sidotopo Health Center Surabaya City. There were 75 children age 12-36 month old. The inclusion criteria are children who have no history of food allergies. Sample was chosen by simple random sampling. Data collected by interview using questionnaires included characteristics of children and mothers, history of complementary feeding and perceptions of picky eater behavior. The data was analyzed by chi-square test.Results: The result show that inappropriate history of complementary feeding in children was 66.7% and prevalensi perception of picky eater behavior in children was 48.7%. There was significant correlation between history of complementary feeding and perception of picky eater behavior (p<0.001). Conclusions : There was a relationship between history of complementary feeding and perceptions of picky eater behavior among children age 12-36 month. Children with inappropriate history of complementary feeding tend to have picky eater behavior.ABSTRAKLatar Belakang : Anak usia pra-sekolah sering mengalami perilaku picky eater. Persepsi perilaku picky eater digambarkan bahwa anak cenderung memiliki preferensi makanan yang kuat, konsumsi makanan yang kurang beragam, membatasi asupan beberapa kelompok makanan tertentu dan tidak mau mencoba makanan baru. Salah satu faktor yang melatarbelakangi picky eater adalah riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).Tujuan : Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis hubungan riwayat pemberian MP-ASI dengan persepsi perilaku picky eater pada anak usia 12-36 bulan.Metode : Jenis penelitian ini merupakan observasional analitik menggunakan desain penelitian cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sidotopo Surabaya. Sampel penelitian sebesar 78 anak berusia 12-36 bulan. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah anak tidak memiliki riwayat alergi makanan. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dengan wawancara menggunakan kuesioner meliputi karakteristik anak dan ibu, riwayat pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan persepsi perilaku picky eater. Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-Square.Hasil :  Hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat pemberian MP-ASI pada anak sebagian besar tidak sesuai yaitu 66,7% dan prevalensi persepsi perilaku picky eater pada anak sebesar 48,7%. Terdapat hubungan antara riwayat pemberian MP-ASI dengan persepsi perilaku picky eater (p<0,001).Kesimpulan : Terdapat hubungan antara riwayat pemberian MP-ASI dengan persepsi perilaku picky eater pada anak usia 12-36 bulan. Anak dengan riwayat pemberian MP-ASI yang tidak sesuai cenderung memiliki perilaku picky eater.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document