scholarly journals Actividad física y percepciones de beneficios y barreras en una universidad colombiana (Physical activity and perceptions of benefits and barriers in a Colombian university)

Retos ◽  
2016 ◽  
pp. 15-19
Author(s):  
Víctor Hugo Arboleda Serna ◽  
Elkin Fernando Arango Vélez ◽  
Yuri Feito

Los objetivos de esta investigación fueron determinar los niveles, los beneficios y las barreras de la actividad física (AF) en una de la sedes de la Universidad de Antioquia, Medellín, Colombia. Participaron de manera voluntaria 92 estudiantes, 72 docentes y 45 empleados; utilizando un muestreo aleatorio simple para cada grupo. Se empleó el Cuestionario Global de Actividad Física (GPAQ) para identificar los niveles de actividad física (NAF) y el cuestionario para medir la percepción de los beneficios y las barreras de AF The Exercise Benefits/Barriers Scale (EBBS). Las encuestas fueron recolectadas durante el segundo semestre del año 2012. Se manejó el programa estadístico SPSS versión 21 para el análisis de los datos, utilizando técnicas de distribución de frecuencias y la prueba de X2 para comparar las proporciones, de acuerdo al vínculo con la universidad y al sexo. Se identificó que el 51.1% de los estudiantes, el 48.6% de los docentes y el 46.7% de los empleados presentan NAF altos. No se encontraron diferencias estadísticamente significativas entre las percepciones de beneficios de AF; la menor percepción de barreras fue observada en los estudiantes y la mayor en los docentes. Los resultados del presente estudio podrían servir como insumos para la creación de estrategias que posibiliten mejorar los programas de AF ofrecidos dentro del campus universitario y permitan incrementar los NAF de la población, al mismo tiempo aumentar la adherencia a dichos programas.Abstract. The objectives of this research were to determine the levels, benefits and barriers to physical activity in one of the campuses of the University of Antioquia, Medellin, Colombia. 92 students, 72 teachers and 45 employees voluntarily participated in this study using simple random sampling for each group. The Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) was used to identify levels of physical activity (PA) and the Exercise Benefits/Barriers Scale (EBBS) questionnaire to measure the perceived benefits and barriers of PA. The surveys were collected during the second half of 2012. We used SPSS version 21 for analysis of the data, using techniques of frequency distribution and the X2 test to compare proportions based on the participants’ relationship with the university and gender. It was found that 51.1 % of students, 48.6 % of teachers and 46.7 % of employees have high levels of PA. No statistically significant differences between the perceptions of benefits of PA were found; the lowest perceived barriers were observed in students and the highest in teachers. The results of this study could serve as input for the creation of strategies to build better PA programs offered within the university campus and allow to increase PA levels of the population, while increasing adherence to such programs.

2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
Author(s):  
Faza Nurul Wardhani ◽  
Susanti Dharmmika ◽  
Hilmi Sulaiman Rathomi

Beta-thalassemia major (BTM) is difficult to treat chronic disease, causing physical and psychological burdens for the patient. Several studies have confirmed a decrease in physical activity and depression in thalassemia patients, but limited studies examine the relationship between these two conditions. This study aims to analyze the relationship between depression and physical activity in BTM patients in Bandung city. It was analytical observational research with a cross-sectional design. Data were collected during September–December 2018 by interviewing 65 patients selected by simple random sampling from 300 thalassemia patients registered at the Association of Parents with Thalassemia Indonesia/Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassemia Indonesia (POPTI) Bandung city. The instruments used were the Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) to measure physical activity and the Beck Depression Inventory (BDI) to assess depressive symptoms. Data were analyzed by chi-square test using SPSS for Windows ver. 23.0. The results showed that most BTM patients in Bandung city were depressed (52%) and had low physical activity levels (65%). Furthermore, there was a statistically significant relationship between depression and physical activity in thalassemia patients in Bandung city (p=0.04, p<0.05). Therefore, it can be concluded that BTM patients in Bandung city with depression have lower physical activity. DEPRESI BERDAMPAK PADA AKTIVITAS FISIK YANG RENDAH PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYORTalasemia beta mayor merupakan penyakit kronis yang sulit disembuhkan sehingga menimbulkan beban fisik dan psikologis bagi pasien. Beberapa penelitian telah mengonfirmasi penurunan aktivitas fisik dan depresi pada pasien talasemia, namun studi yang mengkaji hubungan antara kedua kondisi ini masih terbatas jumlahnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara kondisi depresi dan tingkat aktivitas fisik pada penderita talasemia beta mayor di Kota Bandung. Desain penelitian bersifat observasional analitik dengan rancangan potong lintang. Pengambilan data dilakukan selama September–Desember 2018 dengan mewawancarai 65 pasien yang dipilih secara simple random sampling dari 300 pasien talasemia yang terdaftar di Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassemia Indonesia (POPTI) Kota Bandung. Instrumen yang digunakan adalah Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) untuk mengukur aktivitas fisik dan Beck Depression Inventory (BDI) untuk menilai gejala depresi. Data dianalisis dengan uji chi-square menggunakan SPSS for Windows ver. 23.0. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas penderita talasemia beta mayor di Kota Bandung mengalami depresi (52%) dan memiliki tingkat aktivitas fisik rendah (65%). Selanjutnya, terdapat hubungan bermakna secara statistik antara depresi dan aktivitas fisik pada penderita talasemia di Kota Bandung (p=0,04; p<0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penderita talasemia beta mayor di Kota Bandung yang mengalami depresi memiliki aktivitas fisik yang lebih rendah.


2015 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 180-188
Author(s):  
Anjarsari Retno Utami ◽  
Nurmasari Widyastuti

Latar Belakang : Menari termasuk dalam kategori aktivitas fisik yang berat . Penari harus mempunyai ketahanan fisik yang baik untuk menunjang performa dalam menari dan mengurangi kejadian cedera tari  Pada saat melakukan latihan tubuh membutuhkan cairan yang lebih banyak sebagai akibat dari pengeluaran cairan yang berlebihan melalui keringat dan pernafasan tidak diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup jika kekurangan akan berpotensi mengalami dehidrasi. Dehidrasi dapat mempengaruhi kelelahan pada penari.Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan status hidrasi setelah tes ketahanan fisik pada mahasisiwi jurusan tariMetode : Peneliti menggunakan deskriptif analitis yang melibatkan 53 mahasiswi jurusan tari (usia 19-22 tahun) di Universitas Negeri Semarang. Subjek dipilih dengan simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik subjek, konsumsi cairan, tes ketahanan fisik, data aktifitas fisik, status hidrasi setelah tes harvard. Konsumsi cairan diukur dengan menggunakan food recall, data aktivitas fisik didapatkan melalui formulir International Physical Activity Questionnaire (IPAQ), tes ketahanan fisik diukur dengan nilai VO2max dan status hidrasi setelah tes harvard diketahui dengan pemeriksaan berat jenis urin. Hasil : Rerata konsumsi cairan pada sebelum, selama dan sesudah melakukan test harvard (4.2827±208.17 ml, 3.4454±157.1ml, dan 3.817±188.00 ml) masih kurang dari kebutuhan (400-2000 ml). Semua subjek mengalami dehidrasi, yang terdiri dari 56,6% mengalami minimal dehydration dan 43,4% mengalami significant dehydration. Subjek mempunyai nilai VO2max yang rendah (62.3%), dan baik (9.4%).Simpulan  Sebagian mahasisiwi jurusan tari mengalami dehidrasi dan mempunyai nilai vo2max yang rendah


2017 ◽  
Vol 41 (S1) ◽  
pp. S559-S559
Author(s):  
A.M. Romero Otalvaro ◽  
M. Perez-Vargas ◽  
V. Pena ◽  
M. Martha

The research has the intention to determinate the prevalence, risky factors of overweight and obesity in a sample of six hundred people between seven (7) and eighteen (18) years old, chosen by a simple random sampling with exclusion criteria, pathologies that affect the weight and size (diabetes paralysis; malformation or physic limitations). The data was collected through national poll of the nutritional situation and Colombia ENSIN, in the demographic and anthropometric information register and poll identification of food habits and physical activity questionnaire for children PAQ-C. The comparative analysis was made through SPSS in two determined populations by the low and medium social status criteria in the overweight and obesity variables, risky factors related with physical activity food habits and gender. It can be concluded that the population presents normal weight, prone to obesity. Based on the medium socioeconomic status, the percent of male obese teenagers is higher than the female one. Children independent of the socioeconomic status, present a higher percentage of obesity than teenagers. A high percent of population do not do physical exercise. There is no evidence of the relation between socioeconomic level and the presence of unhealthy food habits.Disclosure of interestThe authors have not supplied their declaration of competing interest.


2017 ◽  
Vol 1 (4) ◽  
pp. 266
Author(s):  
Ajeng Putri Rahmandita ◽  
Merryana Adriani

Background: Central obesity cases in Indonesia gradually increase time to time. Central obesity is a situation when there is excess fat in abdomen. It can be triggered by over consumption of high calories food, less consumption of fiber, and lack of physical activities. Objective: This study aimed to analyze the differences of intake level and physical activity on women (20-54 years) with central and non central obesity. Methods: This study was an observational analytic comparative using cross sectional design, 58 women (29 women with central obesity and 29 women with non-central obesity) 20-54 years were selected using simple random sampling technique. Data were collected by measuring weight, height, abdominal circumference, 2x24 hours recall for intake level, and interview using the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Results: the results showed that there was differences in intake level of energy (p=0.000), intake level of carbohydrate (p=0.001), intake level of protein (0.000), intake level of fat (p=0.000), and physical activity (0.041) between women with central obesity and non central. Meanwhile, there was no difference in intake level of fiber (p=0.076) between women with central and non central obesity. Conclusion: Women with central obesity had higher intake of energy, carbohydrate, protein, and fat compared to women with non central obesity. Meanwhile, fiber intake and physical activity were low in women with central obesity. So, women with central obesity were needed to improve energy, carbohydrate, protein, and fat intake as recommended in the AKG and increased physical activity at least three times a week to reduce abdominal fat.ABSTRAKLatar Belakang: Kejadian obesitas sentral di Indonesia terus mengalami peningkatan. Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak pada daerah perut. Gaya hidup seperti mengonsumsi makanan tinggi lemak, rendahnya konsumsi serat, dan rendahnya aktivitas fisik dapat menyebabkan obesitas sentral.Tujuan: tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan tingkat konsumsi dan aktivitas fisik pada wanita (20-54 tahun) obesitas sentral dan non sentral.Metode: penelitian ini dilaksanakan dengan metode observasional analitik komparasi menggunakan desain penelitian cross sectional pada 58 wanita (29 obesitas sentral dan 29 obesitas non sentral) berusia 20-54 tahun dan dipilih menggunakan simple random sampling. Pengumpulan data terdiri dari pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pengukuran lingkar perut, recall 2x24 jam untuk mengetahui tingkat konsumsi, dan wawancara dengan kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ).Hasil: penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat konsumsi energi (p=0,000), tingkat konsumsi karbohidrat (p=0,001), tingkat konsumsi protein (p=0,000), tingkat konsumsi lemak (p=0,000), dan aktivitas fisik (p=0,041) pada wanita obesitas sentral dan non sentral. Akan tetapi, tidak ada Xperbedaan tingkat konsumsi serat (p=0,076) pada wanita obesitas sentral dan non sentral. Kesimpulan: wanita obesitas sentral memiliki asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan wanita obesitas non sentral. Namun, asupan serat dan aktivitas fisik masih rendah pada wanita obesitas sentral. Dengan demikian maka wanita obesitas sentral diharapkan dapat memperbaiki asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak sesuai anjuran pada AKG dan meningkatkan aktivitas fisik minimal tiga kali seminggu untuk mencegah penumpukan lemak dalam perut.


2017 ◽  
Vol 1 (4) ◽  
pp. 266
Author(s):  
Ajeng Putri Rahmandita ◽  
Merryana Adriani

Background: Central obesity cases in Indonesia gradually increase time to time. Central obesity is a situation when there is excess fat in abdomen. It can be triggered by over consumption of high calories food, less consumption of fiber, and lack of physical activities. Objective: This study aimed to analyze the differences of intake level and physical activity on women (20-54 years) with central and non central obesity. Methods: This study was an observational analytic comparative using cross sectional design, 58 women (29 women with central obesity and 29 women with non-central obesity) 20-54 years were selected using simple random sampling technique. Data were collected by measuring weight, height, abdominal circumference, 2x24 hours recall for intake level, and interview using the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Results: the results showed that there was differences in intake level of energy (p=0.000), intake level of carbohydrate (p=0.001), intake level of protein (0.000), intake level of fat (p=0.000), and physical activity (0.041) between women with central obesity and non central. Meanwhile, there was no difference in intake level of fiber (p=0.076) between women with central and non central obesity. Conclusion: Women with central obesity had higher intake of energy, carbohydrate, protein, and fat compared to women with non central obesity. Meanwhile, fiber intake and physical activity were low in women with central obesity. So, women with central obesity were needed to improve energy, carbohydrate, protein, and fat intake as recommended in the AKG and increased physical activity at least three times a week to reduce abdominal fat.ABSTRAKLatar Belakang: Kejadian obesitas sentral di Indonesia terus mengalami peningkatan. Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak pada daerah perut. Gaya hidup seperti mengonsumsi makanan tinggi lemak, rendahnya konsumsi serat, dan rendahnya aktivitas fisik dapat menyebabkan obesitas sentral.Tujuan: tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan tingkat konsumsi dan aktivitas fisik pada wanita (20-54 tahun) obesitas sentral dan non sentral.Metode: penelitian ini dilaksanakan dengan metode observasional analitik komparasi menggunakan desain penelitian cross sectional pada 58 wanita (29 obesitas sentral dan 29 obesitas non sentral) berusia 20-54 tahun dan dipilih menggunakan simple random sampling. Pengumpulan data terdiri dari pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pengukuran lingkar perut, recall 2x24 jam untuk mengetahui tingkat konsumsi, dan wawancara dengan kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ).Hasil: penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat konsumsi energi (p=0,000), tingkat konsumsi karbohidrat (p=0,001), tingkat konsumsi protein (p=0,000), tingkat konsumsi lemak (p=0,000), dan aktivitas fisik (p=0,041) pada wanita obesitas sentral dan non sentral. Akan tetapi, tidak ada Xperbedaan tingkat konsumsi serat (p=0,076) pada wanita obesitas sentral dan non sentral. Kesimpulan: wanita obesitas sentral memiliki asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan wanita obesitas non sentral. Namun, asupan serat dan aktivitas fisik masih rendah pada wanita obesitas sentral. Dengan demikian maka wanita obesitas sentral diharapkan dapat memperbaiki asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak sesuai anjuran pada AKG dan meningkatkan aktivitas fisik minimal tiga kali seminggu untuk mencegah penumpukan lemak dalam perut.


2013 ◽  
Vol 2 (4) ◽  
pp. 447-457
Author(s):  
Ulfah Puspita Dewi ◽  
Fillah Fithra Dieny

Latar Belakang : Kualitas diet rendah dikaitkan dengan konsumsi makanan berdensitas energi tinggi yang secara langsung berkontribusi dalam peningkatan asupan energi total dan berakibat pada peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara densitas energi dan kualitas diet dengan IMT (Indek Massa Tubuh) pada remaja. Metode : Penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional, bertempat di SMA N 9 Semarang dengan jumlah sampel 71 remaja usia 16-18 tahun yang dipilih dengan simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi identitas sampel, Indeks Massa Tubuh (IMT), densitas energi, kualitas diet, dan aktisfitas fisik. IMT diperoleh dari perhitungan Z-score berdasarkan BMI/U, densitas energi  menggunakan recall 3x24 jam, kualitas diet menggunakan formulir DQI-I (Diet Quality indexs International), dan aktifitas fisik menggunakan kuisioner IPAQ (International Physical Activity Questionnaire). Data dianalisis dengan uji rank spearman. Hasil : Konsumsi makanan berdensitas energi tinggi lebih banyak pada perempuan (32,4%) dibandingkan laki-laki (5,9%). Kualitas diet pada laki-laki 8,8% tergolong tinggi sedangkan pada perempuan 100% tergolong rendah. Gizi lebih (obesitas dan overweight) pada remaja sebesar 35,2% dan secara umum lebih tinggi pada perempuan 37,8% dibandingkan laki-laki 32,3%. Ada hubungan signifikan antara kualitas diet dengan densitas energi (r = -0,502; p=0,000). Ada hubungan signifikan antara densitas energi dengan IMT (r = 0,569; p=0,000). Namun, tidak terdapat hubungan antara aktifitas fisik dengan IMT (r = -0,194; p=0,106). Simpulan : Remaja yang mengkonsumsi lebih banyak makanan berdensitas energi rendah (buah dan sayur) kualitas dietnya lebih baik dan IMT nya lebih rendah daripada remaja yang mengkonsumsi makanan berdensitas energi tinggi (sumber lemak). Kualitas diet rendah berhubungan dengan tingginya konsumsi makanan berdensitas energi tinggi yang dapat berdampak pada peningkatan IMT.


2019 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 73
Author(s):  
Anandita Mega Kumala ◽  
Ani Margawati ◽  
Ayu Rahadiyanti

Latar belakang: Beberapa studi menunjukkan terdapat hubungan antara screen-time viewing, aktivitas fisik dan pola makan dengan status gizi pada remaja. Penggunaan gadget yang berlebihan pada remaja berkaitan dengan status gizi. Screen-time yang tinggi, tingkat aktivitas fisik rendah, dan pola makan menjadi tidak sesuai dengan rekomendasi sehingga dalam jangka panjang dapat mempengaruhi status gizi.Metode: Desain studi observasional dengan rancangan cross-sectional yang melibatkan remaja usia 13-15 tahun di Kendal. Pengambilan sampel menggunakan simple random sampling dengan 61 responden. Status gizi ditentukan berdasarkan z-score indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U). Data durasi penggunaan alat elektronik (gadget) diperoleh dari kuesioner terstruktur yang telah divalidasi, data aktivitas fisik diperoleh dari kuesioner International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) dan data pola makan diperoleh melalui wawancara dan kuesioner Semi-Quantitative Food Frequency Questionnare (SQ-FFQ) yang ditentukan berdasarkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS). Analisis data menggunakan uji Chi-Square serta Fisher Exact.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 72,1% responden memiliki durasi penggunaan alat elektronik (gadget) yang tinggi. Selain itu, ditemukan 14,8% responden dengan aktivitas fisik rendah. Pola makan pada 80,3% responden sudah sesuai dengan anjuran PGS, tetapi 96,7% responden tidak memenuhi anjuran konsumsi sayur. Status gizi pada responden berdasarkan Z-score IMT/U ditemukan sebanyak 6,6% responden dengan kategori kurus dan 14,8% gemuk. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan antara durasi penggunaan alat elektronik (gadget), aktivitas fisik dan pola makan dengan status gizi (p<0,05).Simpulan: Terdapat hubungan antara durasi penggunaan alat elektronik (gadget), aktivitas fisik dan pola makan dengan status Gizi pada remaja usia 13-15 tahun (p<0,05).


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 15-21
Author(s):  
M Havidh Rousdyanto Rousdyanto ◽  
Yulia Ratimiasih ◽  
Asep Ardiyanto

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan hasil Korelasi Antara Aktivitas Fisik dan Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Kebugaran Jasmani Siswa Kelas XI di SMA Negeri 3 Pemalang Tahun 2020/2021. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan Instrumen mengunakan cara untuk mengukur aktifitas fisik ialah Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). dan indeks massa tubuh diukur menggunakan rumus hasil pembagian berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2) untuk mengukur tingkat kebugaran jasmani mengunakan Multistage Fitness Test. Analisis data menggunakan uji korelasi Metode yang digunakan adalah survei. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas XI di SMA Negeri 3 Pemalang tahun 2020/2021 yang berjumlah 85 siswa. Teknik sampling menggunakan teknik random sampling yang memenuhi berjumlah 33 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan, yaitu Nilai korelasi Aktivitas Fisik dengan Tingkat kebugaran Jasmani = -0,512 dan nilai signifikansi p 0,001 <0,025 untuk Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat kebugaran jasmani = -0,512 dan nilai signifikansi p 0,002 <0,025


2012 ◽  
Vol 36 (1) ◽  
pp. 62
Author(s):  
Riska Habriel Ruslie ◽  
Darmadi Darmadi

AbstrakSebagian besar penelitian tentang gizi lebih memperhatikan masalah ketidakseimbangan antara asupan makan dan aktivitas fisik dan kurang memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti body image, depresi, dan gender secara terintegrasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi status gizi remaja dan hubungannya dengan pelbagai aspek seperti nutrisi, aktivitas fisik, body image, depresi, dan gender. Dilakukan penelitian cross-sectional terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Atma Jaya Jakarta. Melalui perhitungan besar sampel dipilih 147 mahasiswa secara Simple Random Sampling. Terdapat 3 responden yang dikeluarkan sebab menderita penyakit kronik. Terhadap responden dilakukan wawancara mengenai asupan makan, aktivitas fisik, body image, dan depresi menggunakan kuesioner yang sudah diuji coba. Dengan Program SPSS versi 16 dilakukan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Didapatkan prevalensi underweight 9,03%, status gizi normal 70,83%, dan overweight 20,14%. Hasil studi menunjukkan asupan makan yang berlebih, aktivitas fisik kurang, body image positif, dan mahasiswa laki-laki berhubungan secara signifikan dengan overweight (p-value <0,05).Kata kunci : Status Gizi, Body Image, Depresi, RemajaAbstractMost studies in nutrition gave more concern in the imbalance between food intake and physical activity, however less concern was given to other factors such as body image, depression, and gender. The purpose of this research is to know about adolescents’ nutritional status prevalence and its relation with other aspects such as food intake, physical activity, body image, depression, and gender. This study was done using cross sectional method. Population of this study was the students of the Faculty of Medicine of Atma Jaya Catholic University. 147 were chosen randomly with Simple Random Sampling. Three respondents were excluded because they had chronic illness. The respondents were questioned about food intake, physical activity, body image, and depression using validated questionnaires. Univariate, bivariate, multivariate analyses were done by SPSS version 16. The result shows the prevalence of underweight 9,03%, normal nutritional status 70,83%, and overweight 20,14%. Higher food intake, less physical activity, positive body image, and male are related significantly with overweight (p-value <0,05).Key word : Nutritional Status, Body Image, Depression, Adolescent


2020 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 79
Author(s):  
Erlina Nurlaili Rahma ◽  
Bambang Wirjatmadi

Background: Overnutrition status can be influenced by multifactor such as behaviors are eating habits, physical activity, sedentary activity, and genetic. Objectives: Analyze the relationship between of physical activity and sedentary activity with overnutrition status of elementary students.Methods: The study using a case control design, with respondents were 22 students in overnutrition status group and 22 students in normalnutrition status group.  Simple random sampling was used this study. Data were collected throught direct interview using Physical Activity Questionnare-Children (PAQ-C) to record respondent’s physical activity, and Adolescent Sedentari Activity Questionnaire (ASAQ) to record respondent’s sedentary activity. Analysis data using Chi-Square test for physical activity and Spearman test for physical activity. Results: The result showed that there was a relationship between physical activity with overnutrition status (p=0.016) and an OR=0.218 with CI 95% (0.061 – 0.775) which mean that student who did physical activity with good category at risk 0.218 times less to be overnutition status. As for sedentary activity (p=0.026) with OR=5.5 and CI 95% (1.145–17.679), which mean students who did sedentary activity more than 5 hour at risk 4.5 times greater than to be overnutrition status compared with students who did physical activity less than 2 hour. Conclusion: The low of physical activity and high of sedentary activityin elementary students were related with overnutrition status.  Student with overnutrition status must be increase physical activity and reduced sedentary activity.  ABSTRAK Latar Belakang: Status Gizi Lebih disebabkan oleh multifaktor yaitu faktor perilaku seperti kebiasaan makan, aktivitas fisik, aktivitas sedentari, dan faktor genetik.Tujuan: Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik serta aktivitas sedentari dengan status gizi lebih pada anak usia sekolah dasar.Metode: Penelitian ini menggunakan desain case control, dengan sampel 22 anak kelompok status gizi lebih dan 22 anak kelompok status gizi normal. Simple random sampling merupakan metode yang digunakan dalam pengambilan sampel. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara langsung dengan bantuan kuesioner PAQ-C (Physical Activity Questionnare-Children) untuk mencatat aktivitas fisik, dan kuesioner ASAQ (Adolescent Sedentari Activity Questionnaire) untuk mencatat aktivitas sedentari. Data dianalisis dengan uji statistik Chi-Square untuk aktivitas fisik dan Spearman untuk aktivitas sedentari.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih (p 0,016) didapatkan nilai OR= 0,218 dengan CI 95% (0,061 – 0,775) dapat diartikan bahwa siswa yang melakukan aktivitas fisik dengan kategori baik beresiko 0,218 kali lebih kecil mengalami status gizi lebih. Sedangkan, untuk aktivitas sedentari (p= 0,026) dengan nilai OR = 4,5 dan CI 95% (1,145 – 17, 679) artinya siswa yang melakukan aktivitas sedentari > 5 jam maka memiliki kecenderungan 4,5 kali lebih besar untuk mengalami status gizi lebih dibandingkan dengan siswa yang melakukan aktivitas sedentari < 2 jam.Kesimpulan: Rendahnya aktivitas fisik dan tingginya aktivitas sedentari pada anak sekolah dasar berhubungan dengan masalah status gizi lebih. Siswa dengan status gizi lebih sebaiknya melakukan aktivitas fisik lebih banyak lagi, dan mengurangi kegiatan yang kurang gerak.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document