Negara Hukum Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

49
(FIVE YEARS 28)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Journal Of Economic And Public Policy

2614-2813, 2087-295x

2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 191-210
Author(s):  
Novianto Murti Hantoro

Constitutional justices have a five-year term and can be re-elected for only one subsequent term. There has been an effort to correct this provision through a request for judicial review of the Constitutional Court Law. Still, there is no decision by the Constitutional Court which states that the term of office of constitutional justice is against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This paper analyzes the need to reform the provisions regarding the term of office of constitutional justices associated with the principle of judicial independence. An analysis of the term of office of constitutional justices was also carried out by comparing international principles and practices in other countries. The term of office of 5 years and can be re-elected has its weaknesses, because it opens up opportunities for political influence and controversy in candidacy proposal for the second term of constitutional justices. This term of office needs to be changed with a longer time length without extension combined with the retirement age. The determination of the term of office of constitutional justices which is related to the judicial independence cannot be separated from the requirements, selection, supervision, and dismissal of constitutional justices. Those requirements, mechanisms for selection, supervision, and dismissal of constitutional justices also need to be improved. AbstrakHakim konstitusi memiliki periode masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan ini telah coba dikoreksi melalui permohonan uji materi terhadap UU Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tidak ada putusan MK yang menyatakan periode masa jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini menganalisis mengenai perlunya reformulasi ketentuan mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Analisis mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi juga dilakukan dengan membandingkan prinsip internasional dan praktik di negara lain. Periode masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali memiliki kelemahan, karena membuka peluang pengaruh politik dan kontroversi pada pengajuan calon hakim konstitusi periode kedua. Periode masa jabatan ini perlu diubah dengan masa jabatan yang lebih lama tanpa perpanjangan dikombinasikan dengan usia pensiun. Penentuan periode masa jabatan hakim konstitusi yang dikaitkan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman tidak dapat lepas dari persyaratan, seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi. Persyaratan, mekanisme seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi juga perlu disempurnakan.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 267-287
Author(s):  
Cita Yustisia Serfiyani ◽  
Iswi Hariyani ◽  
Citi Rahmati Serfiyani

Traditional alcoholic beverages have existed in Indonesian culture and society for various purposes. Its existence has been influenced by the concoction of alcoholic beverages which adversely affects the traditional alcoholic beverages’ image. These beverages are actually Intellectual Property Rights, IPR-based products of cultural heritage with indications of origin that have characteristics so that they cannot be compared to other countries’ alcoholic beverages, even though current regulations still regulate the opposite. This paper examines the legal protection of Indonesian traditional alcoholic beverages which are also adapted to their characteristics and the influence of Indonesian legal culture on these traditional alcoholic beverages. This research is a normative study with statutory, conceptual, and comparative approach method with South Korea and France as a comparison. Prudent and objective legal protection from the point of view of IPR for traditional alcoholic beverages is expected to develop positive aspects while still anticipating negative ones. This study concludes that Indonesian traditional alcoholic beverages that fulfill 3 unique characteristics can be protected as intangible cultural heritage (public property) or an indication of origin (belongs to local communities), although what is more appropriate now is an indication of origin so that the Government needs to adjust the regulatory design, especially at the national level, according to the indication of origin. AbstrakMinuman alkohol tradisional telah ada di budaya masyarakat Indonesia dengan berbagai tujuan peruntukan. Perkembangan eksistensinya dipengaruhi oleh minuman beralkohol racikan yang memberi pengaruh buruk ke citra alkohol tradisional. Minuman alkohol tradisional sesungguhnya merupakan produk berbasis kekayaan intelektual di bidang warisan budaya dan indikasi asal yang memiliki karakteristik sehingga tidak dapat disamakan dengan minuman beralkohol lainnya, meskipun regulasi yang ada saat ini masih mengatur sebaliknya. Tulisan ini meneliti mengenai pelindungan hukum minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang disesuaikan pula dengan karakteristiknya dan pengaruh budaya hukum masyarakat Indonesia terhadap minuman alkohol tradisional tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan perbandingan dengan Korea Selatan dan Prancis. Pelindungan hukum yang bijak dan objektif dari sudut pandang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap minuman alkohol tradisional diharapkan dapat mengembangkan aspek positif dengan tetap mengantisipasi aspek negatifnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang memenuhi 3 karakteristik khusus dapat dilindungi sebagai warisan budaya tak benda (milik publik) ataupun indikasi asal (milik masyarakat lokal) walaupun yang lebih tepat untuk diterapkan saat ini adalah indikasi asal sehingga Pemerintah perlu menyesuaikan perancangan regulasi di tingkat pusat sesuai indikasi asal.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 125-144
Author(s):  
Bernhard Ruben Fritz Sumigar

The spirit of the drafter of the Criminal Code Bill (CCB) to fully codify all criminal provisions, including those relating to the gross violations of human rights, into a single legally binding instrument is marked with the inconsistency of its formula with the standard provided in numerous instruments under international law. In light of this situation, this article is presence to discuss legal challenges arising from the stipulation of gross violations of human rights under CCB. By using qualitative and descriptive normative methods, this article finds three fundamental problems between the provisions of CCB and the international legal framework. The problems in question are related to (i) the inaccuracy of the use of the term “Serious Crimes against Human Rights” in CCB, as well as misregulation of (ii) crimes of genocide and (iii) crimes against humanity in CCB with international law. On this basis, this article concludes that the provisions of gross human rights violations in CCB are contrary to the provisions of international law which are binding and applicable to Indonesia, and therefore, this article is prepared to provide recommendations for policymakers to reconsider the formulation of the provisions of gross human rights violations in CCB in order to be compatible with Indonesia’s international obligations to comply with the provisions of international law. AbstrakSemangat perumus Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) untuk melakukan kodifikasi total semua ketentuan pidana, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM, ditandai dengan ketidak-konsistenan antara rumusan yang diatur dengan standar dalam sejumlah instrumen hukum internasional. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini disusun untuk mendiskusikan tantangan hukum yang akan timbul dari pengaturan tentang pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP. Dengan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif normatif, artikel ini menemukan 3 (tiga) permasalahan antara ketentuan RUU KUHP dan kerangka hukum internasional, yaitu (i) istilah “Tindak Pidana Berat terhadap HAM” yang tidak tepat (ii) kejahatan genosida, dan (iii) kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan 6pembahasan, artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang mengikat dan berlaku bagi Indonesia. Oleh karena itu, artikel ini memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan kembali ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP agar sepadan dengan ketentuan hukum internasional.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 167-190
Author(s):  
Yaris Adhial Fajrin ◽  
Ach Faisol Triwijaya ◽  
Moh Aziz Ma’ruf

Homosexuality is seen as deviant behavior and often becomes the background of a crime. Punishing a criminal offender who has a homosexual background does not automatically solve a crime. Crime punishment actually has a negative impact on criminal offenders, such as stigmatization and obstruction of any efforts to restore the criminal’s sexual orientation. The purpose of punishment in criminal law reform is to improve criminal offenders into better individuals. Based on this background, the “double track system” becomes a relevant idea to be developed, especially now that Indonesia is in the era of reforming the national criminal law. The issues raised were the position of homosexuality in criminal law and the idea of a double track system against the criminal with a homosexual background. The legal research method used is normative research method. The results show that homosexuality is not a criminal offense under Indonesia’s positive criminal law; it is just that homosexuality can be the cause of a crime. The criminal offenders can be given a sanction of action, given that psychology recognizes that there are various therapies to restore sexual orientation. The idea of a double track system is a reflection of the reform of national criminal law which is oriented towards balance values. These values can be used as a basis for immediate implementation of a double track system legislative policy for criminal offenders with a homosexual background in Indonesia’s criminal system. AbstrakHomoseksualitas dipandang sebagai penyimpangan perilaku, tidak sedikit homoseksual menjadi latar belakang terjadinya suatu tindak pidana. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang memiliki latar belakang homoseksualitas, tidak serta merta menjadi solusi penyelesaian suatu kejahatan. Pidana justru memberikan dampak negatif terhadap pelaku, seperti stigmatisasi dan terhambatnya upaya mengembalikan orientasi seksual pelaku. Tujuan pemidanaan dalam pembaruan hukum pidana adalah memperbaiki pelaku menjadi individu yang lebih baik. Berdasarkan latar belakang tersebut, “double track system” menjadi gagasan yang relevan untuk diupayakan, terlebih saat ini Indonesia sedang berada pada periode pembaruan hukum pidana nasional. Permasalahan yang diangkat yakni kedudukan homoseksualitas dalam hukum pidana dan gagasan double track system terhadap pelaku tindak pidana berlatarbelakang homoseksualitas. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil yang didapat bahwa homoseksualitas bukan merupakan tindak pidana menurut hukum pidana positif Indonesia, hanya saja homoseksualitas dapat menjadi penyebab terjadinya tindak pidana. Pelaku tindak pidana tersebut dapat diberikan sanksi tindakan, mengingat dalam ilmu kejiwaan mengenal adanya berbagai terapi pengembalian orientasi seksual. Ide double track system merupakan cerminan pembaruan hukum pidana nasional yang berorientasi kepada nilai-nilai keseimbangan. Manfaat tersebut dapat dijadikan pijakan untuk segera melakukan kebijakan legislasi double track system bagi pelaku tindak pidana yang berlatarbelakang homoseksual dalam sistem pemidanaan di Indonesia.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 145-165
Author(s):  
Prianter Jaya Hairi

The idea of criminalization of fraudulent acts by advocates in the judicial process has received public attention, especially from advocates. The criminal law norms regarding fraudulent acts by advocates in the Criminal Code Bill (CCB) raise many questions from the point of view of the criminalization policy. This study aims to analyze the criminalization policy against these acts in the CCB. This study is a juridical-normative study with descriptive-analytical methods. The discussion concluded that fraudulent acts by advocates in the form of “playing two feet” and actions “influencing parties in the law enforcement process with or without compensation” are actions that are not following the fundamental values prevailed by the public and also considered punishable. This arrangement aims to protect clients who request legal assistance services. The formulation of this regulation then becomes regulated to complement the criminal law norms related to the existing advocate profession. However, from the aspect of offense formulation, there are still things that need to be addressed so as not to cause multiple interpretations during its implementation, especially in relation to Article 282 of the CCB. AbstrakGagasan mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan curang oleh advokat dalam proses peradilan mendapat perhatian masyarakat, terutama dari kalangan advokat. Norma hukum pidana mengenai perbuatan curang oleh advokat dalam RUU KUHP menimbulkan banyak pertanyaan dari sudut pandang kebijakan kriminalisasi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut dalam RUU KUHP. Kajian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan metode analisis yang bersifat deskriptif analitis. Pembahasan di antaranya menyimpulkan bahwa perbuatan curang oleh advokat dalam bentuk perbuatan “main dua kaki” dan perbuatan “mempengaruhi pihak-pihak dalam proses penegakan hukum dengan atau tanpa imbalan” merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patut untuk dihukum. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi klien yang meminta jasa pendampingan hukum. Rumusan pengaturan ini kemudian menjadi diatur untuk melengkapi norma hukum pidana terkait profesi advokat yang ada selama ini. Namun dari aspek formulasi delik, masih ada yang perlu dibenahi agar tidak menimbulkan multitafsir saat penerapannya, khususnya terkait dengan Pasal 282 RUU KUHP. 


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 249-266
Author(s):  
Luthvi Febryka Nola

Law No. 18 of 2017 on the Protection of Indonesian Migrant Workers (PIMW Law) mandates the formulation of a number of implementing regulations within a period of 2 (two) years since the enactment of the Law. However, only 3 (three) implementing regulations were successfully promulgated within the scheduled time period. While the rest, some are behind schedule, and some have yet to be drafted. To overcome this, the government exercised discretion while still enforcing the former regulations. This paper discusses some impacts of failure to meet the deadline for the formulation of implementing regulations from the PIMW Law and identification of some efforts to overcome these impacts. The writing method used is juridical normative through library studies of secondary data for descriptive qualitative analysis. From the discussion, it is known that the cause of failure to meet the deadline for the formation of implementing regulations is the technical and material constraints of the regulations. The failure to meet the deadline lead to failure in implementing most of the provisions in the PIMW Law and affecting the process of protecting Indonesian migrant workers (IMW), not only before, but also during and after working abroad, such as the imposition of placement fees; existing shelter which is the source of the Covid-19 transmission; and the rampant practice of IMW seafarers’ slavery. Therefore, all implementing regulations of the PIMW Law need to be promulgated. The House, through its supervisory function, both in the Commission and the IMW Supervisory Team, needs to continue to urge the government to establish implementing regulations for the PIMW Law. AbstrakUU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengamanatkan pembentukan sejumlah aturan pelaksana dalam jangka waktu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akan tetapi hanya tiga aturan pelaksana yang berhasil diundangkan dalam jangka waktu tersebut. Sedangkan sisanya, ada yang terlambat dan ada yang belum terbit. Untuk mengatasinya pemerintah melakukan diskresi dengan tetap memberlakukan aturan lama. Tulisan ini membahas mengenai dampak pelanggaran aturan batas waktu pembentukan peraturan pelaksana dari UU PPMI, sehingga dapat diketahui upaya mengatasi dampak tersebut. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa penyebab dilanggarnya batas waktu pembentukan aturan pelaksana adalah adanya kendala teknis dan materi peraturan. Pelanggaran tersebut berdampak tidak terlaksananya sebagian besar ketentuan dalam UU PPMI dan berpengaruh pada proses pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI), baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja, seperti masih adanya pembebanan biaya penempatan; adanya penampungan PMI yang menjadi sumber penularan Covid-19; dan maraknya praktik perbudakan PMI pelaut. Oleh karena itu, semua peraturan pelaksana dari UU PPMI perlu segera diundangkan. DPR melalui fungsi pengawasan, baik di Komisi maupun Tim Pengawas PMI, perlu terus mendesak pemerintah membentuk aturan pelaksana dari UU PPMI.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 211-230
Author(s):  
R Muhamad Ibnu Mazjah

Presidential Decree No. 18 of 2011 on the Prosecutors Commission of the Republic of Indonesia (PCRI) does not contain textual procedural law provisions regarding follow-up reports on public complaints. This raises a question of whether the PCRI has the authority to carry out direct examinations and investigations as part of its authority to follow up public complaints. Based on the provisions of Articles 4 a and 4 b of the Presidential Decree No. 18 of 2011, it is acknowledged that after PCRI received public complaints, PCRI has two options in exercising its authority, namely carrying out a direct follow-up or forwarding these public complaints to the Attorney General and have it followed-up by internal supervisors. However, the absence of written or textual provisions in the Presidential Decree No. 18 of 2011 regarding this matter has resulted in the interpretation that PCRI is not authorized to conduct direct examinations, inspections, and investigations. This encourages the author to interpret that the authority of the PCRI in carrying out the follow-up on public complaints is based on a progressive legal perspective. This writing uses a normative research method, which aims to obtain legal arguments about the dimensions of supervision as a follow-up to public complaint reports. This paper is expected to introduce a reasoned discussion of PCRI in carrying out the supervisory duties. At the end part of this paper, there are recommendations regarding the need for regulatory authority as reinforcement for PCRI in carrying out supervisory duties and its authority to impose sanctions in the event of non-compliance. At the operational level, it is necessary to have a common perception shared between PCRI and Prosecutors of the Republic of Indonesia to create synergy in carrying out supervisory duties. AbstrakPerpres Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan RI (KKRI) tidak memuat secara tekstual ketentuan hukum acara tentang tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat (lapdumas). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah KKRI memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan dan pengusutan secara langsung sebagai bagian dari kewenangan menindaklanjuti lapdumas. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 a dan 4 b Perpres No. 18 Tahun 2011 dapat diketahui bahwa setelah KKRI menerima lapdumas, KKRI memiliki dua opsi kewenangan yakni menindaklanjuti secara langsung atau meneruskan lapdumas tersebut kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti pengawas internal. Namun, tidak adanya ketentuan tertulis di dalam Perpres No. 18 Tahun 2011, menimbulkan tafsir KKRI tidak berwenang melakukan pemeriksaan, pengusutan, penyelidikan secara langsung. Hal ini mendorong penulis untuk menafsirkan kewenangan KKRI dalam menindaklanjuti lapdumas berdasarkan perspektif hukum progresif. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif, yang bertujuan untuk mendapatkan argumentasi hukum tentang dimensi pengawasan sebagai tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat berdaya guna dalam pengembanan tugas pengawasan oleh KKRI. Di bagian akhir, tertuang rekomendasi mengenai perlunya pengaturan kewenangan sebagai penguatan bagi KKRI dalam menjalankan tugas pengawasan serta kewenangan penjatuhan sanksi apabila terjadi ketidakpatuhan. Pada tataran operasional, diperlukan penyamaan persepsi antara KKRI dengan Kejaksaan RI agar tercipta sinergitas dalam menjalankan tugas pengawasan.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 231-248
Author(s):  
Dian Agung Wicaksono ◽  
Faiz Rahman

The Elucidation of the 2014 Local Government Law has divided the concurrent government affairs between the central government and local governments in detail. To carry out government affairs, local governments have the authority to stipulate regional regulation. The existence of that specific list of concurrent affairs, therefore, raises a question regarding what extent the local government can “elaborates” the government affairs that become their domain in the formulation of regional regulation. This research focuses on two questions: (1) regarding constitutional construction of local government’s authority to regulate; and (2) interpretation of the implementation of the authority to regulate in the formulation of regional regulation. This normative legal research is descriptive, evaluative, and prescriptive in nature. The results indicate alternative interpretations of the authority to regulate, namely implementation in (1) a legalistic-formal approach, through the rigid implementation of the authority and NSPK set by the Government; (2) a normative-extensive approach, by implementing the authority and NSPK, as well as paying attention to the Region’s needs; and (3) a supra-extensive approach, in which the Region goes beyond the corridors of their authority and the NSPK. For this reason, the author suggests that in the formulation of the NSPK, the accuracy of the Central Government is needed, so that can serve as a guideline for implementing flexible government affairs and can accommodate the legal needs of the community in the regions. abstrakLampiran UU Pemda 2014 telah membagi secara detail urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren tersebut, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah. Kehadiran daftar urusan pemerintahan yang spesifik menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana pemerintahan daerah dapat “menjabarkan” urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian ini berfokus pada dua permasalahan, yaitu: (1) konstruksi konstitusional kewenangan mengatur pemerintahan daerah; dan (2) penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengkaji data sekunder, dengan sifat penelitian deskriptif, serta berbentuk evaluatif dan preskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya alternatif penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan dalam pembentukan peraturan daerah, yaitu: (1) pelaksanaan kewenangan mengatur secara legalistik-formal, mendasarkan kewenangan dan NSPK yang ditetapkan Pemerintah secara kaku; (2) pelaksanaan kewenangan mengatur secara normatif-ekstensif, yaitu selain mendasarkan pada kewenangan dan NSPK, Daerah juga memperhatikan kebutuhan hukum di Daerah; dan (3) pelaksanaan kewenangan mengatur secara supra-ekstensif, dimana Daerah mengatur melebihi koridor kewenangan dan NSPK. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan dalam perumusan NSPK diperlukan kecermatan Pemerintah Pusat, sehingga dapat menjadi pedoman pelaksanaan urusan pemerintahan yang luwes dan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat di daerah.


Author(s):  
Irfan Iryadi

After the enactment of Government Regulation Number 24 of 2016, the provisions regarding dual positions as civil servants become one of the substances regulated by this Government Regulation. The existence of these provisions has led to the blurring of norms over the head of sub-district’s position as temporary land deed officers in creating an authentic deed in the land sector. Based on this legal issue, this article was written with the aim of finding out the status of the head of sub-district’s position as temporary land deed officer and offering a concept that should be implemented when temporary land deed officer’s position is needed. The results showed that in Government Regulation Number 24 of 2016, there was no legal certainty in the formulation of the article as a result of the blurring of legal norms over officer assigned to the temporary land deed position. This obscurity can be seen from designation of the temporary land deed officer to the head of sub-district, where the head of sub-district is a State Administration Officer that is contrary to the land deed officer’s rules that prohibit land deed officer from being held by Civil Servants. The task of temporary land deed officer should be transferred to the head of village, since the head of village’s position has already been acknowledged and accommodated in the land deed officer’s rules as temporary land deed officer. This alternative is considered to provide more legal certainty and an ideal solution to the status of temporary land deed officer. Therefore, it is recommended to stakeholders in the land sector, on matters regarding the land deed officer, to conduct further assessment on this idea in order to be implemented in the assignment of temporary land deed officer in Indonesia. AbstrakPasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, aturan mengenai rangkap jabatan sebagai pegawai negeri menjadi salah satu substansi yang diatur Peraturan Pemerintah itu. Adanya ketentuan itu telah menimbulkan kekaburan norma atas kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan. Bertolak dari isu hukum itu, artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui status kekuatan kepastian hukum Camat sebagai PPAT Sementara dan menawarkan konsep yang seharusnya dilaksanakan dalam pemangkuan jabatan PPAT Sementara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 terdapat ketidakpastian hukum dalam rumusan pasalnya sebagai akibat adanya kekaburan norma hukum atas penyelenggaraan jabatan PPAT Sementara. Kekaburan itu terlihat dari penunjukan PPAT Sementara kepada Camat, dimana Camat merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan aturan Jabatan PPAT yang melarang PPAT diselenggarakan oleh Pegawai Negeri Sipil. Seharusnya pengembanan PPAT Sementara itu dialihkan kepada kepala desa, dimana keberadaan kepala desa itu juga diakomodasi dalam ketentuan jabatan PPAT sebagai PPAT Sementara. Hal itu dianggap lebih memberikan kepastian hukum dan merupakan solusi ideal dalam pemangkuan PPAT Sementara. Oleh sebab itu, disarankan kepada pemangku kepentingan dibidang pertanahan, khususnya di bidang PPAT agar dapat melakukan pengkajian atas gagasan ini untuk diimplementasikan terhadap pemangkuan jabatan PPAT Sementara di Indonesia.


Author(s):  
Bagus Oktafian Abrianto ◽  
Xavier Nugraha ◽  
Nathanael Grady

The existence of a lawsuit for unlawful acts by the authorities (onrechtmatige overheidsdaad) is one of the means of providing legal protection for the citizens from actions (handling) carried out by the government. Over time, the concept of onrechtmatige overheidsdaad has develops dynamically. The change in the concept of the State Administrative Decree in Article 87 of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration has caused an onrechtmatige overheidsdaad lawsuit which was once the absolute competence of the District Court, and now became the absolute competence of the State Administrative Court. This research attempts to explain the changes in the regulation and changes in the concept of onrechtmatige overheidsdaad after the enactment of Law Number 30 of 2014. The transfer of authority to examine onrechtmatige overheidsdaad lawsuit from the general court to the state administrative court has various juridical consequences, ranging from changes in procedural law, petitum and posita. One of the important consequences is a change related to the implementation or execution of the judicial decision, where in the past, when an onrechtmatige overheidsdaad lawsuit was an absolute competence of a district court, the implementation of the decision depended on the good will of the government. However, after becoming absolute competence of the Administrative Court, there is a mechanism of forced efforts so that the decision can be carried out by the relevant government agencies (defendants).AbstrakKeberadaan gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan salah satu sarana pelindungan hukum masyarakat atas tindakan (handeling) yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun konsep mengenai onrechtmatige overheidsdaad berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konsep Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyebabkan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang dahulu merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri, berubah menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini berusaha memaparkan mengenai perubahan pengaturan dan perubahan konsep onrechtmatige overheidsdaad pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Beralihnya kewenangan untuk memeriksa gugatan onrechtmatige overheidsdaad dari lingkungan peradilan umum ke peradilan tata usaha negara memiliki berbagai konsekuensi yuridis, mulai dari perubahan hukum acara, petitum, dan posita. Salah satu konsekuensi yang cukup penting adalah perubahan terkait dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dahulu, gugatan onrechtmatige overheidsdaad merupakan kompetensi absolut pengadilan negeri, sehingga pelaksanaan putusan tergantung dari itikad baik (good will) dari pemerintah. Pasca-beralih ke kompetensi absolut PTUN, terdapat mekanisme upaya paksa agar putusan tersebut dapat dijalankan oleh instransi pemerintah terkait (tergugat).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document