scholarly journals Habituasi untuk Menguatkan Karakter Nasionalisme Peserta Didik Wilayah Perbatasan pada Abad 21

2019 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 15-25
Author(s):  
Fransiskus Markus Pereto Keraf ◽  
Kokom Komalasari

Penelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui habituasi di SMPN Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik, guru, dan tokoh masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis keabsahan data terdiri dari reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui habituasi. Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan  best practice yang meliputi upacara bendera, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel – yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program habituasi yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari  -hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.

2019 ◽  
Vol 19 (2) ◽  
pp. 201-211
Author(s):  
Fransiskus M. P. Keraf ◽  
Kokom Komalasari

Penelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui pembiasaan (habituasi) di SMPN Silawan. Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui pembiasaan (habituasi). Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan best practice berupa program dan kegiatan-kegiatan yang bervariatif untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Adapun program pembiasaan itu meliputi upacara bendera, paskibra, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel-yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program pembiasaan (habituasi) yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari-hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.


2019 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
Author(s):  
Fransiskus Markus Pereto Keraf ◽  
Kokom Komalasari

ABSTRAKPenelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui pembiasaan (habituasi) di SMPN Silawan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik, guru, dan tokoh masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis keabsahan data terdiri dari reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui pembiasaan (habituasi). Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan  best practice yang meliputi upacara bendera, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel – yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program pembiasaan (habituasi) yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari  -hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.Kata kunci : habituasi, karakter nasionalisme, peserta didik, wilayah perbatasan, abad 21 ABSTRACTThis research is motivated by students’ behavior in Indonesian border region who prefer to behave, speak, cultured even use products from Timor Lestecompared to Indonesia. The purpose of this research was to describe the process of strengthening the character of nationalism through habituation in SMPN Silawan, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province. The research process used qualitative approach with descriptive methods. The subjects in this research were students, teachers, and community leaders. Data collection techniques used were observation, interviews, and documentation. The validity analysis of the data consists of data reduction, display, and conclusion drawing. The technique used by schools in strengthening the character of students' nationalism was through habituation. Through this practice, the school organized best practices in program included flag ceremonies, the use of good and appropriate Indonesian language, singing national anthem before and end the learning, welcoming state guests in the border region, and using national yells. The results of the study showed that through habituation programs organized by schools, it was able to strengthen the character of nationalism of students. This was proven by the behavior and daily activities of the students who have loved domestic products, speak Indonesian well and appropriate, even feel very fond of Indonesia.Key words: border area, habituation, nationalism character, student, the 21st century


2012 ◽  
Vol 36 (1) ◽  
pp. 25-45 ◽  
Author(s):  
John Macalister

Timor-Leste is a nation where three exogenous languages (Portuguese, Bahasa Indonesia, English) and one of many endogenous languages (Tetun) compete to be heard in public spaces. The constitution names both Tetun and Portuguese as co-official languages, and English and Bahasa Indonesia as working languages in the civil service; but official and de facto language policy are not necessarily the same. One mechanism that can mediate between ideology and practice, both as a way of imposing and of resisting official policy, is language in the public space. This paper demonstrates the insights that examining language in the public space can provide on language policy debates. It reports on the investigation of a linguistic landscape in Dili, the capital of Timor-Leste, and finds considerable difference between official language policy and language practices.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 51-55
Author(s):  
Karlena Indriani ◽  
Laura Gabriel Da Silva ◽  
Sumanto Sumanto
Keyword(s):  

Bahasa Tetun merupakan salah satu yang paling sering digunakan oleh penduduk Belu atau Timor Leste. Tujuan penerapan bahasa Indonesia dan Tetun adalah untuk membantu pengguna mempelajari bahasa Tetun dan bahasa Indonesia. Karena kamus Tetun tidak banyak tersedia dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada aplikasi terjemahan Tetun ke Bahasa Indonesia untuk membantu masyarakat menemukan bahasa yang mudah di fahami. Maka penulis bermaksud membuat sebuah penelitian menggunakan PHP dan MySQL sebagai server untuk bahasa pemrogramannya website penerjemah bahasa Tetun-Indonesia berbasis web dengan Pendekatan yang digunakan untuk pembangunan sistem adalah metode SDLC yang terdiri atas banyak tahapan seperti perencanaan sistem, tinjauan sistem, perancangan sistem, pengoperasian dan pemeliharaan. metodologi pengembangan sistem. Hasil penelitian pada aplikasi penerjemah bahasa Tetun-Indonesia ini mempermudah pengguna dalam memperoleh pengetahuan kosakata khususnya bahasa Tetun-Indonesia.


2019 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 189
Author(s):  
Wati Kurniawati

Napan village is located in the Indonesia-Timor Leste border region whose people speak in Dawan and Indonesian. The problem in this studyare the accommodation of Dawan speakers, what is the direction of their accommodation between languages, and how do speakers’ who accommodate at the syntactic level based on gender and age groupThis study aims to identify the level of syntax used in language accommodation and its frequency based on the characteristics of respondents in Napan Village, the Indonesia-Timor Leste border region, East Nusa Tenggara. The method of the study is the survey method with 72 respondents of Dawan speakers which are divided into 36 men and 36 women as the samples. The results show that speakers of Dawan accommodate the language because of the security, familiarity, and growing trust within the speech participants. Speakers of Dawan are very positive about their language, positive about Indonesian language and quite positive about the languages of the neighboring country, namely Tetun Portu or Tetun Dili. Speakers of the Dawan language accommodate the Tetun Portu or Tetun Dili language at the lexical level, phrases, sentences, and expressions. Based on gender, female speakers of Dawan accommodate the Tetun Portu or Tetun Dili language (9.7%) more than male speakers (8.3%). Meanwhile, male speakers of Dawan (41.7%) are less accommodative to Tetun Portu or Tetun Dili than female speakers (40.3%). Based on age, speakers of Dawan who accommodate the Tetun Portu or Tetun Dili languages dominantly come from the ages of 26--50 years old (8.3%) compared to ages less than 25 years old (5.5%) and more than 51 years old (4, 2%). In addition, speakers of Dawan who do not accommodate the Tetun Portu or Tetun Dili languages are speakers older than 51 years old (29.2%) more dominant than those aged less than 25 years (27.8%) and those aged between 26-50 years (25%). ABSTRAKDesa Napan terletak di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste yang masyarakatnya bertutur dalam bahasa Dawan dan bahasa Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini ialah mengapa penutur bahasa Dawan berakomodasi, bagaimana arah akomodasi antarbahasa, dan bagaimana penutur yang berakomodasi pada tataran sintaksis berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia? Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tataran sintaksis yang digunakan dalam akomodasi bahasa dan frekuensinya berdasarkan karakteristik responden di Desa Napan, wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian ini digunakan metode survei. Sampel dalam penelitian ini adalah 72 responden penutur bahasa Dawan, yang terdiri atas 36 pria dan 36 wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutur bahasa Dawan di Desa Napan berakomodasi karena kenyamanan, keakraban, dan untuk menumbuhkan rasa percaya mitra tutur. Penutur bahasa Dawan sangat positif terhadap daerahnya (bahasa Dawan), positif terhadap bahasa Indonesia, dan cukup positif terhadap bahasa negara tetangga, yaitu bahasa Tetun Portu atau Tetun Dili. Penutur bahasa Dawan berakomodasi terhadap bahasa Tetun Portu atau Tetun Dili pada tataran leksikal, frasa, kalimat, dan ungkapan. Berdasarkan jenis kelamin, penutur perempuan bahasa Dawan yang berakomodasi terhadap bahasa Tetun Portu atau Tetun Dili (9,7%) lebih dominan daripada laki-laki (8,3%). Sementara itu, penutur laki-laki bahasa Dawan yang tidak berakomodasi terhadap bahasa Tetun Portu atau Tetun Dili (41,7%) lebih dominan daripada perempuan (40,3%). Berdasarkan kelompok usia, penutur bahasa Dawan yang berakomodasi terhadap bahasa Tetun Portu atau Tetun Dili tampak dominan yang berusia 26—50 tahun (8,3%) dibandingkan dengan yang berusia <25 tahun (5,5%) dan > 51 tahun (4,2%). Di samping itu, penutur bahasa Dawan yang tidak berakomodasi bahasa adalah penutur yang berusia >51 tahun (29,2%) lebih dominan daripada yang berusia <25 tahun (27,8%) dan yang berusia 26—50 tahun (25%).


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 214-224
Author(s):  
BADELAH BADELAH

This assistance aims to improve the ability of target teachers who teach Indonesian in the even semester of 2020-2021 at SD-SMP Satap 8 Paremas, SMP Islam Al-Mahmudiah Rensing, SMP Islam Darut Tauhid NW Tangar, and SMP Islam Babussalam Montong Sari, in learning in the preliminary activities using a role model with the Lesson Study method. This assistance is a best practice report that uses data collection techniques through observation techniques, interview techniques, and documentation. The data analysis technique used a qualitative descriptive technique. This assistance is carried out to improve learning conditions and improve the quality of learning carried out by target teachers. This assistance is carried out only once, which aims to improve the ability of the target teacher in carrying out preliminary activities using a role model with the Lesson Study method. Assistance to the target teacher is carried out in four stages, namely the planning stage, the implementation stage, the observation stage, and the reflection stage. The results of this best practice show that the application of a role model with the lesson study method by a mentor can improve the target teacher's ability to carry out learning in the preliminary activity steps in the Indonesian language learning process for class VIII even semesters.            ABSTRAKPendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru sasaran yang mengajar Bahasa Indonesia kelas VIII semester genap tahun 2020-2021 di SD-SMP Satap 8 Paremas, SMP Islam Al-Mahmudiah Rensing, SMP Islam Darut Tauhid NW Tangar, dan SMP Islam Babussalam Montong Sari, dalam pembelajaran pada kegiatan pendahuluan menggunakan role model dengan metode Lesson Study. Pendampingan ini merupakan laporan best practice yang menggunakan teknik pengumpulan data melalui teknik observasi, teknik wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Pendampingan ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran dan peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru sasaran. Pendampingan ini dilaksanakan hanya satu kali, yaitu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru sasaran dalam melaksanakan kegiatan pendahuluan menggunakan role model dengan metode Lesson Study. Pendampingan terhadap guru sasaran dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan tahap refleksi. Hasil best practice ini menunjukkan bahwa penerapan role model dengan metode lesson study oleh pendamping dapat meningkatkan kemampuan guru sasaran dalam melaksanakan pembelajaran dalam langkah kegiatan pendahuluan dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII semester genap.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 176-182
Author(s):  
R. NOVIYATI HASYIANI

The School Literacy Movement launched by the Ministry of Education and Culture in the school environment is not easy to implement in SMP Negeri 1 Sampang. Students often say it is difficult to complete assignments from the teacher. This is evident when writing activity reports students often say I can't, how do I start and where do I start. The inability of students in literacy is caused by very low interest in reading because students spend more time with gadgets. Here the researcher as a social studies teacher carries out a strategy of integrated learning activities with Civics, PAI, Indonesian language, and cultural arts subjects, Best practice using the Discovery Learning method through the media screening of the G30S/PKI event documentary. Integrative RPP material with the theme Political Development in Indonesia for class IX odd semesters is able to create a literacy culture at SMP Negeri 1 Sampang. This is evidenced by the increase in the number of students who are able to complete assignments by 88%, from 12% to 100%. ABSTRAKGerakan Literasi Sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud di lingkungan sekolah tidaklah mudah untuk dilaksanakan di sekolah SMP Negeri 1 Sampang. Siswa sering kali mengatakan sulit untuk menyelesaikan tugas dari guru. Hal ini terbukti ketika menuliskan laporan kegiatan seringkali siswa mengatakan saya tidak bisa, bagaimana saya memulainya dan dari mana saya memulainya. Ketidak mampuan siswa dalam berliterasi disebabkan oleh minat baca yang sangat rendah karena siswa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gawai. Disini peneliti selaku guru IPS melakukan strategi kegiatan pembelajaran berintegrasi dengan mata pelajaran PPKn, PAI, Bahasa Indonesia, dan seni Budaya, Best practice menggunakan metode Discovery Learning melalui media pemutaran film documenter peristiwa G30S/PKI. Materi RPP Integratif dengan tema Perkembangan Politik di Indonesia kelas IX semester ganjil mampu mewujudkan budaya literasi di SMP Negeri 1 Sampang. Hal ini dibuktikan dari peningkatan jumlah siswa yang mampu menyelesaikan tugas sebesar 88% yaitu dari 12% menajadi 100%


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 349
Author(s):  
Agnira Rekha ◽  
Firstya Evi Dianastiti ◽  
Riva Ismawati

<p><em>Tujuan penelitian ini yaitu (a) mendeskripsi best practice program integrasi literasi dengan media kartu kwartet untuk meningkatkan pemahaman dan karakter cinta lingkungan bagi siswa, serta (b) mendeskripsi peningkatan pemahaman siswa ihwal literasi lingkungan. Pendekatan penelitian yang digunakan yakni pendekatan kualitatif dengan tradisi studi naratif. Subjek penelitian yakni siswa kelas tiga </em><em>MI Ma’arif Arrosyidin sejumlah 44 siswa. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2019. Integrasi pembelajaran dilaksanakan pada jam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Muatan Lokal/Bahasa Asing. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, evaluasi hasil penilaian dan perubahan motivasi siswa, serta didukung dengan teknik wawancara.  Berdasarkan implementasi pembelajaran dan best practice yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa penanaman pendidikan karakter cinta lingkungan dapat dilakukan dengan program integrasi literasi dengan media kartu kwartet. Kartu kwartet cinta lingkungan yang digunakan sebagai media pembelajaran memiliki lima seri, yaitu (1) ayo, cintai tanaman, (2) ayo, pelihara udara, (3) ayo, kenali sampah, (4) ayo, jaga air, dan (5) ayo, sayangi fauna. Selain adanya peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar memahami lingkungan hidup,  terjadi pula meningkatkan kesadaran anak tentang fenomena kerusakan lingkungan dan aksi nyata yang dapat mereka lakukan untuk menjaga kelestarian alam dalam kehidupan sehari-hari.</em><em></em></p>


2019 ◽  
Vol 28 (4) ◽  
pp. 877-894
Author(s):  
Nur Azyani Amri ◽  
Tian Kar Quar ◽  
Foong Yen Chong

Purpose This study examined the current pediatric amplification practice with an emphasis on hearing aid verification using probe microphone measurement (PMM), among audiologists in Klang Valley, Malaysia. Frequency of practice, access to PMM system, practiced protocols, barriers, and perception toward the benefits of PMM were identified through a survey. Method A questionnaire was distributed to and filled in by the audiologists who provided pediatric amplification service in Klang Valley, Malaysia. One hundred eight ( N = 108) audiologists, composed of 90.3% women and 9.7% men (age range: 23–48 years), participated in the survey. Results PMM was not a clinical routine practiced by a majority of the audiologists, despite its recognition as the best clinical practice that should be incorporated into protocols for fitting hearing aids in children. Variations in practice existed warranting further steps to improve the current practice for children with hearing impairment. The lack of access to PMM equipment was 1 major barrier for the audiologists to practice real-ear verification. Practitioners' characteristics such as time constraints, low confidence, and knowledge levels were also identified as barriers that impede the uptake of the evidence-based practice. Conclusions The implementation of PMM in clinical practice remains a challenge to the audiology profession. A knowledge-transfer approach that takes into consideration the barriers and involves effective collaboration or engagement between the knowledge providers and potential stakeholders is required to promote the clinical application of evidence-based best practice.


2019 ◽  
Vol 4 (5) ◽  
pp. 936-946
Author(s):  
Dawn Konrad-Martin ◽  
Neela Swanson ◽  
Angela Garinis

Purpose Improved medical care leading to increased survivorship among patients with cancer and infectious diseases has created a need for ototoxicity monitoring programs nationwide. The goal of this report is to promote effective and standardized coding and 3rd-party payer billing practices for the audiological management of symptomatic ototoxicity. Method The approach was to compile the relevant International Classification of Diseases, 10th Revision (ICD-10-CM) codes and Current Procedural Terminology (CPT; American Medical Association) codes and explain their use for obtaining reimbursement from Medicare, Medicaid, and private insurance. Results Each claim submitted to a payer for reimbursement of ototoxicity monitoring must include both ICD-10-CM codes to report the patient's diagnosis and CPT codes to report the services provided by the audiologist. Results address the general 3rd-party payer guidelines for ototoxicity monitoring and ICD-10-CM and CPT coding principles and provide illustrative examples. There is no “stand-alone” CPT code for high-frequency audiometry, an important test for ototoxicity monitoring. The current method of adding a –22 modifier to a standard audiometry code and then submitting a letter rationalizing why the test was done has inconsistent outcomes and is time intensive for the clinician. Similarly, some clinicians report difficulty getting reimbursed for detailed otoacoustic emissions testing in the context of ototoxicity monitoring. Conclusions Ethical practice, not reimbursement, must guide clinical practice. However, appropriate billing and coding resulting in 3rd-party reimbursement for audiology services rendered is critical for maintaining an effective ototoxicity monitoring program. Many 3rd-party payers reimburse for these services. For any CPT code, payment patterns vary widely within and across 3rd-party payers. Standardizing coding and billing practices as well as advocacy including letters from audiology national organizations may be necessary to help resolve these issues of coding and coverage in order to support best practice recommendations for ototoxicity monitoring.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document