scholarly journals PENANAMAN KARAKTER CINTA LINGKUNGAN MELALUI PROGRAM INTEGRASI LITERASI DENGAN MEDIA KARTU KWARTET UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER CINTA LINGKUNGAN BAGI SISWA MI MAARIF ARROSYIDIN

2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 349
Author(s):  
Agnira Rekha ◽  
Firstya Evi Dianastiti ◽  
Riva Ismawati

<p><em>Tujuan penelitian ini yaitu (a) mendeskripsi best practice program integrasi literasi dengan media kartu kwartet untuk meningkatkan pemahaman dan karakter cinta lingkungan bagi siswa, serta (b) mendeskripsi peningkatan pemahaman siswa ihwal literasi lingkungan. Pendekatan penelitian yang digunakan yakni pendekatan kualitatif dengan tradisi studi naratif. Subjek penelitian yakni siswa kelas tiga </em><em>MI Ma’arif Arrosyidin sejumlah 44 siswa. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2019. Integrasi pembelajaran dilaksanakan pada jam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Muatan Lokal/Bahasa Asing. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, evaluasi hasil penilaian dan perubahan motivasi siswa, serta didukung dengan teknik wawancara.  Berdasarkan implementasi pembelajaran dan best practice yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa penanaman pendidikan karakter cinta lingkungan dapat dilakukan dengan program integrasi literasi dengan media kartu kwartet. Kartu kwartet cinta lingkungan yang digunakan sebagai media pembelajaran memiliki lima seri, yaitu (1) ayo, cintai tanaman, (2) ayo, pelihara udara, (3) ayo, kenali sampah, (4) ayo, jaga air, dan (5) ayo, sayangi fauna. Selain adanya peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar memahami lingkungan hidup,  terjadi pula meningkatkan kesadaran anak tentang fenomena kerusakan lingkungan dan aksi nyata yang dapat mereka lakukan untuk menjaga kelestarian alam dalam kehidupan sehari-hari.</em><em></em></p>

2019 ◽  
Vol 19 (2) ◽  
pp. 201-211
Author(s):  
Fransiskus M. P. Keraf ◽  
Kokom Komalasari

Penelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui pembiasaan (habituasi) di SMPN Silawan. Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui pembiasaan (habituasi). Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan best practice berupa program dan kegiatan-kegiatan yang bervariatif untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Adapun program pembiasaan itu meliputi upacara bendera, paskibra, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel-yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program pembiasaan (habituasi) yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari-hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.


2019 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 15-25
Author(s):  
Fransiskus Markus Pereto Keraf ◽  
Kokom Komalasari

Penelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui habituasi di SMPN Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik, guru, dan tokoh masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis keabsahan data terdiri dari reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui habituasi. Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan  best practice yang meliputi upacara bendera, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel – yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program habituasi yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari  -hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.


2019 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
Author(s):  
Fransiskus Markus Pereto Keraf ◽  
Kokom Komalasari

ABSTRAKPenelitian ini dilatar belakangi oleh perilaku peserta didik di wilayah perbatasan yang cenderung bersikap, berbahasa, berbudaya hingga menyukai penggunaan produk dari Timor Leste dibandingkan Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan penguatan karakter nasionalisme melalui pembiasaan (habituasi) di SMPN Silawan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik, guru, dan tokoh masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis keabsahan data terdiri dari reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Teknik yang digunakan oleh sekolah dalam menguatkan karakter nasionalisme peserta didik adalah melalui pembiasaan (habituasi). Melalui pembiasaaan ini, sekolah menyelenggarakan  best practice yang meliputi upacara bendera, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan mengakiri pembelajaran, penyambutan tamu kenegaraan di wilayah perbatasan, penggunaan yel – yel kebangsaan, hingga keteladanan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui program pembiasaan (habituasi) yang diselenggarakan oleh sekolah, mampu untuk menguatkan karakter nasionalisme peserta didik. Hal tersebut dibuktikan oleh perilaku dan juga aktivitas sehari  -hari peserta didik yang sudah mencintai produk dalam negeri, berbahasa Indonesia dengan baik, dan benar hingga merasa sangat mencitai Indonesia.Kata kunci : habituasi, karakter nasionalisme, peserta didik, wilayah perbatasan, abad 21 ABSTRACTThis research is motivated by students’ behavior in Indonesian border region who prefer to behave, speak, cultured even use products from Timor Lestecompared to Indonesia. The purpose of this research was to describe the process of strengthening the character of nationalism through habituation in SMPN Silawan, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province. The research process used qualitative approach with descriptive methods. The subjects in this research were students, teachers, and community leaders. Data collection techniques used were observation, interviews, and documentation. The validity analysis of the data consists of data reduction, display, and conclusion drawing. The technique used by schools in strengthening the character of students' nationalism was through habituation. Through this practice, the school organized best practices in program included flag ceremonies, the use of good and appropriate Indonesian language, singing national anthem before and end the learning, welcoming state guests in the border region, and using national yells. The results of the study showed that through habituation programs organized by schools, it was able to strengthen the character of nationalism of students. This was proven by the behavior and daily activities of the students who have loved domestic products, speak Indonesian well and appropriate, even feel very fond of Indonesia.Key words: border area, habituation, nationalism character, student, the 21st century


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 214-224
Author(s):  
BADELAH BADELAH

This assistance aims to improve the ability of target teachers who teach Indonesian in the even semester of 2020-2021 at SD-SMP Satap 8 Paremas, SMP Islam Al-Mahmudiah Rensing, SMP Islam Darut Tauhid NW Tangar, and SMP Islam Babussalam Montong Sari, in learning in the preliminary activities using a role model with the Lesson Study method. This assistance is a best practice report that uses data collection techniques through observation techniques, interview techniques, and documentation. The data analysis technique used a qualitative descriptive technique. This assistance is carried out to improve learning conditions and improve the quality of learning carried out by target teachers. This assistance is carried out only once, which aims to improve the ability of the target teacher in carrying out preliminary activities using a role model with the Lesson Study method. Assistance to the target teacher is carried out in four stages, namely the planning stage, the implementation stage, the observation stage, and the reflection stage. The results of this best practice show that the application of a role model with the lesson study method by a mentor can improve the target teacher's ability to carry out learning in the preliminary activity steps in the Indonesian language learning process for class VIII even semesters.            ABSTRAKPendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru sasaran yang mengajar Bahasa Indonesia kelas VIII semester genap tahun 2020-2021 di SD-SMP Satap 8 Paremas, SMP Islam Al-Mahmudiah Rensing, SMP Islam Darut Tauhid NW Tangar, dan SMP Islam Babussalam Montong Sari, dalam pembelajaran pada kegiatan pendahuluan menggunakan role model dengan metode Lesson Study. Pendampingan ini merupakan laporan best practice yang menggunakan teknik pengumpulan data melalui teknik observasi, teknik wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Pendampingan ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran dan peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru sasaran. Pendampingan ini dilaksanakan hanya satu kali, yaitu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru sasaran dalam melaksanakan kegiatan pendahuluan menggunakan role model dengan metode Lesson Study. Pendampingan terhadap guru sasaran dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan tahap refleksi. Hasil best practice ini menunjukkan bahwa penerapan role model dengan metode lesson study oleh pendamping dapat meningkatkan kemampuan guru sasaran dalam melaksanakan pembelajaran dalam langkah kegiatan pendahuluan dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII semester genap.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 176-182
Author(s):  
R. NOVIYATI HASYIANI

The School Literacy Movement launched by the Ministry of Education and Culture in the school environment is not easy to implement in SMP Negeri 1 Sampang. Students often say it is difficult to complete assignments from the teacher. This is evident when writing activity reports students often say I can't, how do I start and where do I start. The inability of students in literacy is caused by very low interest in reading because students spend more time with gadgets. Here the researcher as a social studies teacher carries out a strategy of integrated learning activities with Civics, PAI, Indonesian language, and cultural arts subjects, Best practice using the Discovery Learning method through the media screening of the G30S/PKI event documentary. Integrative RPP material with the theme Political Development in Indonesia for class IX odd semesters is able to create a literacy culture at SMP Negeri 1 Sampang. This is evidenced by the increase in the number of students who are able to complete assignments by 88%, from 12% to 100%. ABSTRAKGerakan Literasi Sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud di lingkungan sekolah tidaklah mudah untuk dilaksanakan di sekolah SMP Negeri 1 Sampang. Siswa sering kali mengatakan sulit untuk menyelesaikan tugas dari guru. Hal ini terbukti ketika menuliskan laporan kegiatan seringkali siswa mengatakan saya tidak bisa, bagaimana saya memulainya dan dari mana saya memulainya. Ketidak mampuan siswa dalam berliterasi disebabkan oleh minat baca yang sangat rendah karena siswa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gawai. Disini peneliti selaku guru IPS melakukan strategi kegiatan pembelajaran berintegrasi dengan mata pelajaran PPKn, PAI, Bahasa Indonesia, dan seni Budaya, Best practice menggunakan metode Discovery Learning melalui media pemutaran film documenter peristiwa G30S/PKI. Materi RPP Integratif dengan tema Perkembangan Politik di Indonesia kelas IX semester ganjil mampu mewujudkan budaya literasi di SMP Negeri 1 Sampang. Hal ini dibuktikan dari peningkatan jumlah siswa yang mampu menyelesaikan tugas sebesar 88% yaitu dari 12% menajadi 100%


2019 ◽  
Vol 28 (4) ◽  
pp. 877-894
Author(s):  
Nur Azyani Amri ◽  
Tian Kar Quar ◽  
Foong Yen Chong

Purpose This study examined the current pediatric amplification practice with an emphasis on hearing aid verification using probe microphone measurement (PMM), among audiologists in Klang Valley, Malaysia. Frequency of practice, access to PMM system, practiced protocols, barriers, and perception toward the benefits of PMM were identified through a survey. Method A questionnaire was distributed to and filled in by the audiologists who provided pediatric amplification service in Klang Valley, Malaysia. One hundred eight ( N = 108) audiologists, composed of 90.3% women and 9.7% men (age range: 23–48 years), participated in the survey. Results PMM was not a clinical routine practiced by a majority of the audiologists, despite its recognition as the best clinical practice that should be incorporated into protocols for fitting hearing aids in children. Variations in practice existed warranting further steps to improve the current practice for children with hearing impairment. The lack of access to PMM equipment was 1 major barrier for the audiologists to practice real-ear verification. Practitioners' characteristics such as time constraints, low confidence, and knowledge levels were also identified as barriers that impede the uptake of the evidence-based practice. Conclusions The implementation of PMM in clinical practice remains a challenge to the audiology profession. A knowledge-transfer approach that takes into consideration the barriers and involves effective collaboration or engagement between the knowledge providers and potential stakeholders is required to promote the clinical application of evidence-based best practice.


2019 ◽  
Vol 4 (5) ◽  
pp. 936-946
Author(s):  
Dawn Konrad-Martin ◽  
Neela Swanson ◽  
Angela Garinis

Purpose Improved medical care leading to increased survivorship among patients with cancer and infectious diseases has created a need for ototoxicity monitoring programs nationwide. The goal of this report is to promote effective and standardized coding and 3rd-party payer billing practices for the audiological management of symptomatic ototoxicity. Method The approach was to compile the relevant International Classification of Diseases, 10th Revision (ICD-10-CM) codes and Current Procedural Terminology (CPT; American Medical Association) codes and explain their use for obtaining reimbursement from Medicare, Medicaid, and private insurance. Results Each claim submitted to a payer for reimbursement of ototoxicity monitoring must include both ICD-10-CM codes to report the patient's diagnosis and CPT codes to report the services provided by the audiologist. Results address the general 3rd-party payer guidelines for ototoxicity monitoring and ICD-10-CM and CPT coding principles and provide illustrative examples. There is no “stand-alone” CPT code for high-frequency audiometry, an important test for ototoxicity monitoring. The current method of adding a –22 modifier to a standard audiometry code and then submitting a letter rationalizing why the test was done has inconsistent outcomes and is time intensive for the clinician. Similarly, some clinicians report difficulty getting reimbursed for detailed otoacoustic emissions testing in the context of ototoxicity monitoring. Conclusions Ethical practice, not reimbursement, must guide clinical practice. However, appropriate billing and coding resulting in 3rd-party reimbursement for audiology services rendered is critical for maintaining an effective ototoxicity monitoring program. Many 3rd-party payers reimburse for these services. For any CPT code, payment patterns vary widely within and across 3rd-party payers. Standardizing coding and billing practices as well as advocacy including letters from audiology national organizations may be necessary to help resolve these issues of coding and coverage in order to support best practice recommendations for ototoxicity monitoring.


2011 ◽  
Vol 21 (1) ◽  
pp. 18-22
Author(s):  
Rosemary Griffin

National legislation is in place to facilitate reform of the United States health care industry. The Health Care Information Technology and Clinical Health Act (HITECH) offers financial incentives to hospitals, physicians, and individual providers to establish an electronic health record that ultimately will link with the health information technology of other health care systems and providers. The information collected will facilitate patient safety, promote best practice, and track health trends such as smoking and childhood obesity.


Author(s):  
Ashley Pozzolo Coote ◽  
Jane Pimentel

Purpose: Development of valid and reliable outcome tools to document social approaches to aphasia therapy and to determine best practice is imperative. The aim of this study is to determine whether the Conversational Interaction Coding Form (CICF; Pimentel & Algeo, 2009) can be applied reliably to the natural conversation of individuals with aphasia in a group setting. Method: Eleven graduate students participated in this study. During a 90-minute training session, participants reviewed and practiced coding with the CICF. Then participants independently completed the CICF using video recordings of individuals with non-fluent and fluent aphasia participating in an aphasia group. Interobserver reliability was computed using matrices representative of the point-to-point agreement or disagreement between each participant's coding and the authors' coding for each measure. Interobserver reliability was defined as 80% or better agreement for each measure. Results: On the whole, the CICF was not applied reliably to the natural conversation of individuals with aphasia in a group setting. Conclusion: In an extensive review of the turns that had high disagreement across participants, the poor reliability was attributed to inadequate rules and definitions and inexperienced coders. Further research is needed to improve the reliability of this potentially useful clinical tool.


2011 ◽  
Vol 21 (3) ◽  
pp. 89-99
Author(s):  
Michael F. Vaezi

Gastroesophageal reflux disease (GERD) is a commonly diagnosed condition often associated with the typical symptoms of heartburn and regurgitation, although it may present with atypical symptoms such as chest pain, hoarseness, chronic cough, and asthma. In most cases, the patient's reduced quality of life drives clinical care and diagnostic testing. Because of its widespread impact on voice and swallowing function as well as its social implications, it is important that speech-language pathologists (SLPs) understand the nature of GERD and its consequences. The purpose of this article is to summarize the nature of GERD and GERD-related complications such as GERD-related peptic stricture, Barrett's esophagus and adenocarcinoma, and laryngeal manifestations of GERD from a gastroenterologist's perspective. It is critical that SLPs who work with a multidisciplinary team understand terminology, diagnostic tools, and treatment to ensure best practice.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document