Peran Brain Stimulation TMS Pada Prajurit Penderita Depresi Yang Penugasan di Kapal Perang
Personel militer mempunyai resiko yang tinggi menderita depresi karena sifat pekerjaan dan latihannya, perpisahan dengan keluarga, melaksanakan misi militer , berpindah-pindah tugas, penugasan di tempat yang sempit (kapal perang) dan terpapar dengan peristiwa maupun peralatan yang berbahaya. Pada penelitian oleh Al-Amri et al., di Arab Saudi dengan mengambil 357 sampel secara acak, didapatkan hasil prevalensi depresi sebesar 17,1% disuatu daerah operasi militer di Timur Tengah. PDSKJI (2017) melaporkan 3,7% dari populasi di Indonesia menderita gangguan depresi. Studi ini merupakan case report pre dan post test design sebanyak 4 pasien prajurit angkatan laut yang sudah didiagnosis menderita gangguan depresi berat yang akan mendapatkan terapi standar berupa antidepresan dan psikoterapi . Pertama-tama dilakukan assesment tingkat depresi dengan memakai BDI (Beck Depression Inventory) dan HDRS (Hamilton Depression Rating Scale). Terapi standar depresi diberikan terhadap kedua kelompok dan satu kelompok ditambah terapi augmentasi TMS , power disesuaikan dengan RMT ( resting motoric threshold), protokol terapi TMS dengan amplitudo 100% figh frequency 18 Hz , 2 sec dengan interval inter train 20 sec , 55 dan 59 train selama 20 menit sebanyak 5 X seminggu . Dari hasil studi ini, secara klinis seluruh pasien yang mendapat augmentasi TMS menunjukkan hasil perbaikan klinis yang lebih baik mulai minggu I terapi dengan penurunan skor BDI 15 poin dan HDRS 14 poin. Penurunan skore dengan selisih 6-8 poin pada skala BDI dan selisih 5-7 pada skala HDRS pada pasien yang mendapat terapi standar dibandingkan dengan yang mendapat terapi standar dan augmentasi TMS.