Article 31 paragraph (1) and paragraph (2) of the Indonesian Bankruptcy Law stipulate that all seizures that have been determined on the debtor's assets are null and void since the bankruptcy verdict is pronounced and since then the only validity is general seizure. However, in its practice various seizures are still stipulated on bankrupt assets ranging from civil, criminal and tax seizures. This paper discusses the forms of seizure in the bankruptcy process, the position of general seizure of other seizures in bankruptcy and the impact of the position of general seizure on debt payments to creditors. The research method used is normative legal research using secondary data collected through library studies and document studies. The various data were then analyzed descriptively and qualitatively. This writing found that there are rules in other laws such as Article 39 paragraph (2) KUHAP and Article 6 paragraph (1) Law No. 19 of 2000 that have ruled out the position of general seizure. The experts in each field of science also have different views regarding the position of general seizure. This condition has resulted in the emergence of friction between law enforcement, inconsistency of judges’ decisions, length of bankruptcy proceedings, injustice, unclear data on bankruptcy assets and reduced bankruptcy assets. Therefore, the understanding of law enforcement regarding legal principles, especially the principle of lex specialis derogate legi generalis, needs to be improved. The use of prejudgment seizure in the bankruptcy process must be socialized to maximize control over bankrupt assets. To avoid prolonged process of bankruptcy, the bankruptcy law should limit the time period for the settlement of assets to the curator.AbstrakPasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan mengatur bahwa segala sita yang telah ditetapkan atas harta kekayaan debitor menjadi hapus semenjak putusan pailit diucapkan dan semenjak itu satu-satunya yang berlaku adalah sita umum. Akan tetapi pada praktiknya berbagai sita tetap ditetapkan atas harta pailit mulai dari sita perdata, pidana dan pajak. Tulisan ini membahas tentang bentuk-bentuk sita dalam proses kepailitan, kedudukan sita umum terhadap sita lainnya dalam kepailitan dan dampak dari kedudukan sita umum terhadap pembayaran utang kepada para kreditor. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan studi perpustakaan maupun studi dokumen. Berbagai data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Penulisan ini menemukan bahwa adanya aturan dalam UU lain seperti Pasal 39 ayat (2) KUHAP dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2000 telah mengesampingkan kedudukan sita umum. Ahli masing-masing bidang ilmu juga memiliki pandangan yang berbeda terkait kedudukan sita umum. Kondisi ini berdampak pada munculnya pergesekan antara penegak hukum, inkonsistensi putusan hakim, lamanya proses kepailitan, terjadi ketidakadilan, ketidakjelasan data harta pailit, berkurang bahkan hilangnya harta pailit. Oleh sebab itu, pemahaman penegak hukum tentang asas hukum terutama asas lex specialis derogate legi generalis perlu ditingkatkan. Penggunaan lembaga sita jaminan dalam proses kepailitan harus disosialisasikan untuk memaksimalkan penguasaan terhadap harta pailit. Supaya proses kepailitan tidak berlarut-larut, UU kepailitan harusnya membatasi jangka waktu penyelesaian aset kepada kurator.