JURNAL SATWIKA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

111
(FIVE YEARS 91)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Muhammadiyah Malang

2580-443x, 2580-8567

2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 284-302
Author(s):  
Widi Sukmawati Trisnatul Rohma ◽  
Eggy Fajar Andalas

Mitos Eyang Sapu Jagad adalah sastra lisan milik masyarakat Dusun Ubalan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Keberadaan mitos ini penting bagi kehidupan masyarakat karena dianggap memiliki nilai spiritual sekaligus dapat menjadi daya tarik wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan transformasi peninggalan Eyang Sapu Jagad sebagai alat promosi dan daya tarik wisata serta memaparkan tipe pengunjung berdasarkan motif yang mendasarinya datang. Penelitian menggunakan desain deskriptif-kualitatif dengan pendekatan sastra pariwisata. Sumber data penelitian ialah informan dari Dusun Ubalan dan berbagai daerah, catatan observasi, dan dokumentasi. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara tidak terstruktur, observasi non partisipan, dokumentasi, perekaman, dan pencatatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petilasan Eyang Sapu Jagad berupa “Sumber Umbulan” yang menjadi daya tarik pengunjung datang melakukan ritual pada malam jumat legi dan bulan Selo, telah dikomodifikasikan oleh pengelola wisata yang terdiri dari masyarakat Dusun Ubalan menjadi wisata religi bernama “Sumber Umbulrejo”. Komodifikasi dilakukan dengan menyediakan fasilitas utama seperti pesarean dan bilik mandi untuk melakukan ritual sakral, serta fasilitas pendukung seperti dua kolam renang, destinasi kreatif spot foto, tempat kuliner, akses jalan, lahan parkir, dan loket karcis. Sajian dua fasilitas tersebut mengakibatkan dualitas tipe pengunjung yakni pengunjung pilgrimis dan pengunjung generalis. Dapat disimpulkan adanya komodifikasi tidak menyebabkan hilangnya nilai kesakralan pada mitos, tetapi memperluas jaringan ekonomi-sosial masyarakat sekitar.       The myth of Eyang Sapu Jagad is an oral literature belonging to the people of Dusun Ubalan, Malang Regency, East Java Province. The existence of myths is important for people's lives because they are considered to have spiritual value as well as being a tourist attraction to improve the economy of the surrounding community.. This study aims to describe the transformation of Eyang Sapu Jagad heritage as a promotional tool and tourist attraction and to describe the types of visitors based on the underlying motive for coming. The research uses a descriptive-qualitative design with a tourism literature approach. Sources of research data are informants from Ubalan Hamlet and various regions, observation notes, and documentation. Data were collected by using unstructured interview techniques, non-participant observation, documentation, recording, and recording. The results showed that the petilasan of Eyang Sapu Jagad in the form of "Sumber Umbulan" which became an attraction for visitors to come to perform rituals on the night of Friday Legi and the month of Selo, had been commodified by the tour manager consisting of the people of Dusun Ubalan into a religious tour called "Sumber Umbulrejo". The commodification is carried out by providing main facilities such as boarding and bathing rooms to perform sacred rituals, as well as supporting facilities such as two swimming pools, creative photo spots destinations, culinary places, road access, parking lots, and ticket booths. The presentation of these two facilities resulted in a duality of types of visitors, namely pilgrim visitors and generalist visitors. It can be concluded that the existence of commodification does not cause the loss of the sacred value of the myth, but expands the socio-economic network of the surrounding community.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 303-316
Author(s):  
Iqbal Maulana ◽  
Riski Lestiono ◽  
Triastama Wiraatmaja ◽  
Rosalin Ismayoeng Gusdian

Bahasa di dunia sangat beragam, tetapi dimungkinkan adanya persamaan. Sebagai pelajar, sangat penting untuk mempelajari fonologi dan fonetik dari berbagai  bahasa untuk membandingkan dan menyamakan satu dengan yang lainnya. Bahasa Inggris dan Arab sama-sama memiliki struktur linguistik terbesar dari semua bahasa di dunia. Kedua bahasa tersebut memiliki kesamaan ciri, seperti konsonannya. Dari persamaan tersebut, Lestiono dan Gusdian (2017) melakukan penelitian terhadap konsonan bahasa Arab dalam membantu pengucapan bahasa Inggris, yang dikenal sebagai tabel kosonan bahasa Inggris-Hijaiyah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengucapan dari delapan anggota paduan suara universitas dalam menyanyikan lagu-lagu bahasa Inggris sebelum dan sesudah pengenalan konsonan Hijaiyah sebagai mediasi. Dalam penelitian ini digunakan studi kasus, yang termasuk dalam desain kualitatif yang digunakan dalam mencapai pengucapan yang dibangun oleh subjek penelitian melalui observasi, analisis, dan deskripsi. Objek penelitian ini adalah bunyi konsonan yang dihasilkan oleh peserta penelitian saat menyanyikan lagu “When I Sing” oleh Russel Robinson dan Charolette Lee dan “The Seal Lullaby” oleh Eric Whitacre dan Rudyard Kipling. Instrumen yang digunakan adalah dokumen analisis. Dalam analisis ditemukan adanya partisipan yang salah dalam mengucapkan kosa kata yang ditargetkan sebelum diperkenalkan dengan konsonan Hijaiyah. Setelah pengenalan konsonan Hijaiyah sebagian besar peserta terdengar akurat. Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsonan Hijaiyah dapat memfasilitasi anggota paduan suara mahasiswa untuk belajar dan menghasilkan kata-kata bahasa Inggris yang akurat saat bernyanyi.    Language in the universe is various; however, it does not close the possibility that each languages have an equation. As a learner, it is crucial to learn the phonology and phonetics of some languages to compare and equalize one another. English and Arabic both have the biggest linguistic construction. Both languages have the sameness of characteristics such as some of their consonants. From those similarities, Lestiono and Gusdian (2017) conducted a study on Arabic Consonant sounds to arrive at English Pronunciation, known as English-Hijaiyah consonant corresponding chart. The objective of the current research is to discover the pronunciation of eight university choir members in singing English songs before and after the introduction of Hijaiyah consonants as the mediation. In this present study acquire a case study, which is included to qualitative design that was used in arriving at the pronunciation constructed by the research subjects through observation, analyzation, and description.. The research objects were the consonant sounds produced by research participants while singing “When I sing” by Russel Robinson and Charolette Lee and 'The Seal Lullaby” by Eric Whitacre and Rudyard Kipling. The instrument was document analysis. In the findings, participants mispronounced  many of the targetted words before they were introduced to Hijaiyah consonants as the mediation . Whereas, the pronunciation after the introduction showed that most of the participants sounded correct. This can be concluded that Hijaiyah consonants can facilitate the university student choir members to learn and produce accurate English words while singing. 


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 268-283
Author(s):  
Nabila Masruroh ◽  
Abdul Rahman ◽  
Yosafat Hermawan

Masyarakat Jawa tidak lepas dengan budaya juga tradisi yang menjadi ciri khas daerahnya. Salah satunya tradisi sedekah bumi di Jawa menjadi manifestasi bentuk rasa syukur. Warga Plesungan masih menjaga tradisi ini meskipun mayoritas bukan petani dan tergolong masyarakat urban. Tujuan penelitian ini melihat sejarah tradisi sedekah bumi di era modern, makna yang terkandung pada tradisi sedekah bumi, proses tradisi dan dinamika untuk menyimpulkan eksistentesinya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif untuk menggambarkan fakta tentang tradisi sedekah bumi.  Sumber data penelitian adalah informan dan fenomena tradisi sedekah bumi. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan menggunakan tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi sedekah bumi telah dilaksanakan turun-temurun sejak nenek moyang, masyarakat melihat tradisi ini wajib dilaksanakan dan dilestarikan karena banyak menanamkan nilai-nilai luhur yang baik seperti gotong royong juga silaturahmi dengan adanya perubahan tersebut masyarakat Desa Plesungan mengambil sisi baik sebagai pengenalan tradisi sedekah bumi kepada generasi penerus agar tidak hilang ditelan zaman.                                 Javanese society cannot be separated from the culture and traditions that characterize the region. One of them is the earth alms tradition in Java which is a manifestation of gratitude. The people of Plesungan still maintain this tradition even though the majority are not farmers and belong to the urban community. The purpose of this study is to look at the history of the earth alms tradition in the modern era, the meaning contained in the earth alms tradition, the traditional process and the dynamics to conclude its existence. The research method used is descriptive qualitative to describe facts about the earth alms tradition. Sources of research data are informants and the phenomenon of the earth alms tradition. Data collection techniques by observation, interviews, and documentation. The data analysis technique uses three stages, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions. This study concludes that the earth alms tradition has been carried out from generation to generation since the ancestors, the community sees this tradition as obligatory to be implemented and preserved because it instills many good noble values ​​such as mutual cooperation and friendship. the tradition of giving the earth alms to the next generation so that it is not lost in time.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 187-198
Author(s):  
Jokhanan Kristiyono ◽  
Rachmah Ida

Biennale merupakan pameran dan diskusi karya seni yang rutin diadakan setiap dua tahun. Tahun 2019 merupakan kegiatan Biennale Jawa Timur (Jatim) ke-8 dengan tema “GAS TOK! Lebur Sakjeroning Jawa Timur” melibatkan 500 seniman dan 40 kurator, terdiri 65 kegiatan yang tersebar di 16 kota dan kabupaten di Jawa Timur. Berbeda dengan kegiatan Biennale Jatim sebelumnya, tahun ini lokasi pameran tersebar di berbagai daerah Jawa Timur. Seluruh arsip data dan dokumentasi rangkaian Biennale Jatim 8 dikumpulkan dan dipublikasikan melalui akun Instagram @jatimbiennale8 sebagai bentuk identitas gerakan komunitas Biennale Jawa Timur. Gelaran Biennale Jatim 8 merupakan sebuah perayaan dan imajinasi bersama yang bersifat inklusif. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang konstruksi identitas komunitas Biennale Jatim.  Metode analisa wacana digital dalam penelitian ini menganalisa kontruksi identitas yang diciptakan oleh Biennale Jatim 8 melalui media komunikasi digital media sosial Instagram. Akun Instagram @jatimbienale8 dan @biennalejatim menjadi obyek penelitan analisa wacana kontruksi identitas, dan praktik seni yang terjadi pada Biennale Jatim. Hasil penelitian ini menunjukkan sebuah wacana perubahan dan perlawanan terhadap kegiatan Biennale Jatim sebelumnnya. Perubahan ditunjukkan dari segi penyelanggara, pendanaan, format acara, lokasi berlangsungnya kegiatan, dan kerja kuratorial. Biennale Jatim 8 mendobrak dan melawan stigma tersebut. Diskursus kontruksi identitas baru tersebut ditunjukkan dengan jelas dan tegas pada proses produksi karya seni, pameran Biennale hingga pasca pameran melalui media sosial Instagram @biennalejatim8 yaitu identitas digital Biennale Jatim.     Biennale, an art event (visual) both exhibition and discussion of artworks, comes on regularly every two years. 2019 is the 8th East Java (Jatim) Biennale with the theme “GAS TOK! Lebur Sakjeroning Jawa Timur” involves 500 artists and 40 curators, consisting of 65 activities spread across 16 cities and regencies in East Java. Unlike the previous East Java Biennale, the exhibition locations are spreading across various regions of East Java. All data archives and documentation of the East Java 8 Biennale series are collected and published through the @jatimbiennale8 Instagram account as a form of identity for the East Java Biennale community movement. The 8th East Java Biennale is a celebration and shared inclusive imagination. This research raises the issue of the identity construction of the East Java Biennale community. The digital discourse analysis method in this study analyzes the identity construction created by the East Java 8th Biennale through the digital communication media of Instagram social media. Instagram accounts @jatimbienale8 and @biennalejatim became the object of research on the discourse analysis of identity construction and art practices at the East Java Biennale. The results of this study indicate a discourse of change and resistance to the previous East Java Biennale activities. The changes show organization, funding, event format, location of activities, and curatorial work. The 8th East Java Biennale breaks and fights the stigma. The discourse on constructing a new identity is clearly and unequivocally demonstrated in the art production process, the Biennale exhibition, and post-exhibition through social media Instagram @biennalejatim8, the digital identity of the East Java Biennale.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 173-186
Author(s):  
Marisa Oktaviana ◽  
Zainal Abidin Achmad ◽  
Heidy Arviani ◽  
Kusnarto Kusnarto

Kata estetik mengalami perluasan makna dari makna asalnya akibat penggunaannya di Twitter dan TikTok. Perluasan makna itu menimbulkan perdebatan pada pengguna kedua media sosial tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab dan proses terjadinya perluasan makna, termasuk motivasi pengguna Twitter dan TikTok menggunakan kata estetik yang maknanya berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Studi berjenis kualitatif ini menggunakan pendekatan etnografi virtual dengan mewawancarai tujuh informan pengguna Twitter dan TikTok. Empat orang informan pengguna Twitter, yaitu @iyayaudahgpp, @semanismimpimu, @s8joh, dan @CharmingDevilll. Tiga orang informan pengguna TikTok, yaitu @Wiyantika, @aqua.ush, dan @pcynjm131. Hasil penelusuran virtual menunjukkan bahwa kata estetik telah mengalami perluasan makna. Kata estetik tidak sekadar bermakna indah tetapi juga berarti ungkapan kelucuan, ekspresi sindiran, dan pujian penampilan fisik. Penyebab perluasan makna adalah penggunaan kata estetik pada caption, cuitan, komentar, dan tagar oleh pengguna Twitter dan TikTok. Motivasi penggunaan kata estetik, disebabkan mengikuti tren, keisengan, dan candaan. Budaya berkomunikasi di media sosial berperan penting dalam perluasan makna kata dan penciptaan kata-kata baru.   The word aesthetic has expanded from its original meaning due to its use on Twitter and TikTok. The expansion of meaning has caused debate among users of the two social media. This study aims to determine the causes and processes of the expansion of meaning, including Twitter and TikTok users' motivation to use aesthetic words that have different meanings from the Indonesian Dictionary (KBBI). The type of research is qualitative with a virtual ethnographic approach by interviewing seven informants using Twitter and TikTok. Four Twitter user informants, namely @iyayaudahgpp, @semanismimpimu, @s8joh, and @CharmingDevilll. Three informants using TikTok, namely @Wiyantika, @aqua.ush, and @pcynjm131. The virtual search results show that the word aesthetic has expanded its meaning. The word aesthetic does not only mean beautiful but also means an expression of cuteness, an expression of satire, and a compliment of physical appearance. The cause of the expansion of meaning is the use of aesthetic words in captions, tweets, comments, and hashtags by Twitter and TikTok users. The motivation for using the word aesthetic is due to following trends, fads, and jokes. The culture of communicating on social media has an essential role in expanding the meaning of words and creating new words.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 241-253
Author(s):  
Agusman Agusman ◽  
Johan Mahyudi

Mantra dalam sejumlah literatur dan kajian dijelaskan sebagai ucapan atau perkataan yang memiliki fungsi, bentuk dan bisa mendatangkan kekuatan. Fungsinya bisa sebagai pengobatan, pelindung diri, pemikat, dan sebagainya. Bahasa  yang digunakan berbentuk perpaduan antara bahasa daerah dengan kalimat-kalimat islami yang memberikan aspek kesakralan. Namun demikian, terdapat seuatu yang berada di dalam mantra tersebut, yaitu aspek teologi atau pemahaman tentang Tuhan. Pemahaman tentang Tuhan itulah yang sesungguhnya memberikan implikasi terhadap fungsi atau kekuatan mantra tersebut. Dengan demikian, tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan aspek teologi dalam bentuk dan fungsi mantra yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Sasak. Metode yang digunakan ialah kualitatif-etnografi dengan narasumber  2 orang tokoh adat, 2 orang dukun (tukang obat) dan 2 orang pemilik mantra yang diwawancarai untuk memperoleh sejarah serta contoh mantra. Hasil temuan yang diperoleh yaitu mantra ialah ucapan yang memiliki bentuk seperti pantun, teka-teki atau puisi dan berfungsi sebagai pengobatan, pelindung diri, berburu dan sebagainya serta bisa menghadirkan kekuatan. Kekuatan yang bisa didatangkan dari mantra tersebut harus didasarkan kepada kepercayaan tentang kekuasaan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuasaan Allah SWT itulah yang merujuk kepada aspek teologi masyarakat yang tersusun dalam dimensi kepercayaan terhadap Allah SWT, Rasul, takdir, alam gaib dan janji serta ancaman Allah SWT.                               Mantra in a number of literatures and studies are described as sayings or words that have function, form and can bring power. Its function can be as treatment, self-protection, charm, and so on. The language used is in the form of a blend of regional languages ​​with Islamic sentences that provide a sacred aspect. However, there is something in the mantra, namely the theological aspect or understanding of God. The understanding of God that actually has implications for the function or power of the mantra. Thus, the purpose of this study is to describe the theological aspects in the form and function of mantra contained in the culture of the Sasak people. The method used is qualitative-ethnographic, with 2 traditional leaders, 2 shamans (medicines) and 2 mantra owners being interviewed to obtain the history and examples of mantra. The findings obtained are that mantra are utterances that have forms such as rhymes, riddles or poetry and function as treatment, self-protection, hunting and so on and can bring the power. The power that can be obtained from the mantra must be based on belief in the power of Allah SWT. This belief in the power of Allah SWT refers to the theological aspects of society which are structured in the dimensions of belief in Allah SWT, Rasul, Takdir, the supernatural things and the promises and threats of Allah SWT.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 214-228
Author(s):  
Daroe Iswatiningsih ◽  
Fauzan Fauzan

Syair lagu merupakan rangkaian dan tatanan kata indah yang diberi notasi dan dilagukan. Syair lagu memuat simbol-simbol pesan yang hendak disampaikan pencipta kepada pendengarnya. Simbol dalam syair lagu tidak mudah dimengerti dan perlu penafsiran. Pencipta lagu menggunakan simbol verbal pada syair lagu guna mewakili segala hal terkait dengan maksud, harapan, perasaan serta kondisi yang terjadi di lingkungan fisik  serta menerjemahkan kehidupan di dunia yang diketahuinya. Untuk memahami sistem tanda yang menggambarkan budaya kemaritiman dalam syair lagu digunakan pendekatan semiotik.  Penelitian ini bersifat deskriptif  kualitatif, mengkaji bahasa berupa tanda atau simbol dalam syair lagu kemaritiman. Teknik pengumpulan data dengan mendokumentasikan  lagu di Museum Musik Indonesia (MMI) di Malang serta eksplorasi di internet. Data berupa aspek kebahasaan yang mengandung sistem tanda budaya kemaritiman dari 14 lagu. Tujuan penelitian mendeskripsikan bentuk penanda dan petanda budaya kemaritiman pada syair lagu dan aspek budaya kemaritiman masyarakat Indonesia. Hasil penelitian ditemukan penanda dan petanda yang menunjukkan budaya kemaritiman pada syair lagu kemaritiman serta  empat aspek sistem budaya masyarakat maritim meliputi, sistem mata pencaharian hidup, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem pengetahuan, dan sistem keorganisasian sosial. Lagu-lagu kemaritiman Indonesia merepresentasikan budaya kemaritiman masyarakat pesisir melalui simbol tanda yang ada. Untuk itu, lagu merupakan rekaman budaya masyarakat di masanya.   Song verse is a series and arrangement of beautiful words that are noted and performed. The song verse contains symbols of the message that the creator wants to convey to his listener. The symbols in the verse of the song are not easy to understand and need interpretation. The songwriter uses verbal symbols in the song's verse to represent everything related to the intentions, expectations, feelings and conditions that occur in the physical environment and translate life in the world he knows. To understand the sign system that describes maritime culture in song verse, a semiotic approach is used.  This research is qualitative descriptive, studying the language in the form of signs or symbols in maritime song verse. Data collection techniques by documenting songs at the Indonesian Music Museum (MMI) in Malang as well as exploration on the internet. Data in the form of language aspects that contain a maritime cultural sign system of 14 songs. The purpose of the study describes the form of markers and signs of maritime culture in song verses and aspects of maritime culture of Indonesian society. The results of the study found markers and signs that show maritime culture in maritime song verses as well as four aspects of the maritime community cultural system including, livelihood system, living equipment system and technology, knowledge system, and social organization system. Indonesian maritime songs represent the maritime culture of coastal communities through the symbol of existing signs. For this reason, the song is a recording of the culture of the people of his time.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 370-383
Author(s):  
Asep Nurjaman

Persatuan dan kesatuan bangsa sangat penting dalam sebuah negara bangsa (nation state). Indonesia dihadapkan pada persoalan heterogenitas suku, bahasa, ras, agama, dan kedaerahan yang menjadi tantangan dalam membangunan budaya politik nasional. Oleh karena itu tujuan artikle ini adalah untuk mengkaji ikatan primordial dalam proses national and character building. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur. Sementara teknis analisanya menggunakan analisis isi. Kebutuhan data diambil dari berbagai sumber, baik buku, jurnal, maupun dokumen cetak dan digital. Temuan penelitian menunjukan bahwa (1) Primordialisme menjadi unsur yang paling penting dalam kenakaragaman bangsa dan berperan dalam menumbuhkan patriotisme, namun menjadi tantangan ketika membangun budaya nasional, (2) negara melakukan berbagai upaya dalam mempersatukan keragaman memalui berbagai kebijakan seperti monitisasi ideologi yang cenderung mengarah ke totaliter. Hal tersebut berimplikasi pada marginalisasi dan eliminasi yang menghambat kebebasan yang penting dalam membangun kreativitas dan inovasi dalam negara demokrasi.           Unity and diversity is the most urgent thing in a nation-state (nation-state). Indonesia is faced with the problem of ethnic, linguistic, racial, religious, and regional heterogeneity which is a challenge in building a national political culture. Therefore, the purpose of this paper is to examine primordial bonds in the process of national and character building. This study used a qualitative approach with a systematic literature method. While the technical analysis used content analysis. Data needs were taken from various sources, books, journals, and documents, both printed and digital. The research findings show that: (1) Primordialism is the most important element in the diversity of the nation and play a role in fostering patriotism, but it becomes a challenge when building a national culture. (2) The state makes various efforts to unite diversity through various policies such as ideology uniformity which tends to lead to totalitarian. This has implications for marginalization and elimination that hinder freedom which is important in building creativity and innovation in a democratic country.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 317-336
Author(s):  
Sarah Dannita ◽  
Shannaz Deniar

Korean Wave atau yang dikenal dengan Hallyu Wave menjadi salah satu ciri nation branding dari Korea Selatan. Sebagai sebuah kebutuhan dari negara untuk memperkuat eksistensinya, kajian mengenai nation branding menjadi menarik untuk melihat bagaimana strategi yang dipilih dari aktor negara serta bagaimana bentuk kolaborasi yang mereka lakukan. Penelitian ini menelaah kontribusi Chaebol dalam penguatan nation branding melalui Korean Wave.  Dengan menggunakan Nation Branding Index oleh Simon Anholt, penelitian ini melihat bagaimana bentuk kontribusi dan kolaborasi antar aktor dalam enam index, yakni national governance, export promotion, tourism, investment and immigration, cultural/heritage relations, dan public/ people. Hasil penelitian ini memperlihatkan usaha Chaebol melalui kerjasama, joint venture, produksi, distribusi, serta promosi konten-konten dalam hallyu terlihat  berdampak signifikan baik dalam citra promosi  maupun pemasaran produk kepada masyarakat internasional.   The Korean Wave, also known as the Hallyu, is one of the nation branding’s characteristics of South Korea. As a need from the state to strengthen its existence, the study of nation branding is interesting to see how the strategies chosen by state actors are and what forms of collaboration they take. This study will examine the contribution of Chaebol in strengthening nation branding through the Korean Wave. By using the Nation Branding Index by Simon Anholt, this study looks at the forms of contribution and collaboration between actors in six nation branding indexes, namely national governance, export promotion, tourism, investment and immigration, cultural/heritage relations, and public/people. The results of this study show that Chaebol's strategies through cooperation, joint ventures, production, distribution, and promotion of hallyu content has a significant impact both in image promotion and product marketing to the international community towards South Korea.


2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 199-213
Author(s):  
Rossa Fitriana ◽  
Diaz Restu Darmawan

Penelitian ini membahas mengenai fenomena gaya hidup yang baru muncul pada wanita modern di perkotaan. Gaya hidup yang muncul ini adalah usaha untuk meningkatkan kualitas tubuh yang sehat dengan aktivitas workout. Faktor kehidupan masyarakat modern, khususnya wanita modern di perkotaan yang sudah sangat tergantung pada media sosial dan beragam aplikasi mobile, membuat perilaku kesehatan workout semakin melekat dalam kehidupan modernitas. Hal ini menunjukkan peran media sosial tidak sebatas sebagai komunikasi melainkan juga sebagai media kesehatan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dalam menganalisis bagaimana kemunculan gaya hidup workout terutama pada kalangan wanita perkotaan. Dalam pengumpulan data digunakan metode etnografi dengan mewawancarai informan melalui jaringan media sosial. Melalui teori self efficacy, tulisan ini menjelaskan aktivitas workout merupakan hasil meniru dari postingan-postingan media sosial. Dalam poses peniruannya mempertimbangkan aspek compliance, identification, dan internalization. Tulisan ini memunculkan narasi gaya hidup workout sebagai konsep kesehatan baru di kehidupan manusia yang telah terdigitalkan. Terjadi perubahan konsep sehat yang tidak sebatas terhindar penyakit dari tubuh, tetapi dapat sebagai bentuk pemenuhan gaya hidup yang menjadi prioritas masyarakat modern. Ditambah faktor pandemi, kegiatan workout menjadi pilihan utama untuk meningkatkan kualitas kesehatan disaat kebijakan untuk mengurangi kegiatan di luar rumah.      This research will discuss the new lifestyle phenomenon that has just emerged in the urban area around the modern women, the lifestyle itself emerged from the notion in attempt to improve the quality of the healthy body with workout activities, The factor of living in modern society, especially around the modern women in urban areas who are already highly dependent on social media and various mobile applications, make a healthy behavior such as “workout” increasingly embedded in modern life. This suggests that the role of social media is not limited to just media for communication but also health media. This research will be conducted in the qualitative method in analyzing how the emergence of the so-called workout lifestyle happened, more specifically around urban women. The ethnography method will be used in the process of collecting the data with the interview of the informant through social media networks. Through self-efficacy theory, this research will explain how the activity such as workout is an output of a replicate from the social media posts. The process of replicating will be based on aspects such as compliance, identification, and internalization. This article will show the narration of the workout lifestyle as a new health concept in human life that has been digitalized. There’s a change in health concept that’s not limited avoid disease from the body, but also could be a form of fulfilling the lifestyle that has become a priority in modern society. The factor of pandemic also makes the workout activities become the primary choice to improving the quality of health when the policy is to reduce activities outside the home.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document