Undang Jurnal Hukum
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

56
(FIVE YEARS 32)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By "Faculty Of Education And Teacher Training, Jambi University"

2598-7933, 2598-7941

2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 81-124
Author(s):  
Sartika Intaning Pradhani

Scientific study on adat law starts from empirical research, which finds that adat law does not stand alone but works together with other legal orders. This paper is written based on normative legal research by collecting secondary data to answer (1) how legal pluralism explains adat law and adat law community; and (2) how the application of legal pluralism approach in adat law study. The legal pluralism approach explains adat law not as an isolated/marginalized legal order but as a dynamic legal order which interacts with national and international law. From the perspective of legal pluralism, the adat law community is a semi-autonomous social field that produces rules from the interplay between the adat law community and other legal communities/institutions. Categorization of legal pluralism approach application are as follow: first, weak legal pluralism where state law recognizes adat law either by law and regulation or court decision; second, strong legal pluralism which describes through the semi-autonomous social field, shopping forum, and forum shopping concept; third, legal pluralism multi-sited which explain the relationship between legal phenomena in local, national, and international level; and elaborate the role of information, communication, and technology which bridges legal phenomenon from one to another. Abstrak Kajian ilmiah terhadap hukum adat berangkat dari penelitian lapangan yang menemukan bahwa hukum adat tidak pernah berdiri sendiri dan selalu berinteraksi dengan tertib hukum yang lain. Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan data sekunder berupa laporan-laporan penelitian dan artikel jurnal untuk untuk menjawab (1) bagaimana pendekatan pluralisme hukum menjelaskan hukum adat dan masyarakat hukum adat; dan (2) bagaiamana pendekatan pluralisme hukum digunakan dalam studi hukum adat hari ini. Pendekatan pluralisme hukum memahami hukum adat tidak sebagai suatu ketertiban hukum yang terpisah atau termarginalisasi dari ketertiban hukum yang lain, tetapi secara dinamis terus berinteraksi dengan hukum nasional maupun internasional. Dari perspektif pluralisme hukum, masyarakat hukum adat merupakan suatu wilayah sosial semi otonom yang melahirkan hukum berdasarkan hubungan saling memengaruhi dengan masyarakat hukum lain. Penerapan pendekatan pluralisme hukum dalam studi hukum adat dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pluralisme hukum lemah di mana negara mengakui hukum adat baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Kedua, pluralisme hukum kuat yang dideskripsikan melalui konsep wilayah sosial semi-otonom, forum shopping, dan shopping forum. Terakhir, pluralisme hukum multi-sited yang digunakan untuk menjelaskan hubungan berbagai fenomena hukum antara hukum adat (lokal), nasional, dan internasional serta peran teknologi informasi dan komunikasi dalam menjembatani hubungan tersebut.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 125-157
Author(s):  
Usman Usman ◽  
Sri Rahayu ◽  
Elizabeth Siregar

Reflecting on the impact of adultery, adultery is a despicable act that deserves to be criminalized. Even so, the prohibition on adultery in Article 284 of the Criminal Code does not cover every form of adultery as in the view of the law that lives in society as reflected in Islamic and customary laws. The model for the formulation of the criminal act of adultery in the 2019 Criminal Code Bill has adopted the definition of adultery from the law that lives in society, although it does not yet view the perpetrator's marital status and pregnancy as burdensome elements. Likewise, it does not criminalize women who with their consent commit adultery because of trickery, and lightly penalize the perpetrators of living together as a family without being married. Therefore, the model for the formulation of the criminal act of adultery in the upcoming Criminal Code Bill should take into account: a) the marital status of the perpetrator and pregnancy as elements that are burdensome for the crime; b) a woman who with her consent commits adultery because of a trick is both a victim and a perpetrator so that she can be convicted; c) persons who live together as husband and wife outside of marriage should receive a heavier punishment than the basic form of adultery. Abstrak Bercermin dari dampak perzinaan, maka perzinaan merupakan perbuatan tercela yang pantas dikriminalisasi. Meskipun demikian, larangan perzinaan dalam Pasal 284 KUHP belum mencakup setiap bentuk perzinaan sebagaimana dalam pandangan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tercermin dari hukum Islam dan hukum adat. Model perumusan tindak pidana perzinaan dalam RUU KUHP tahun 2019 telah mengadopsi definisi zina dari hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun belum memandang status perkawinan pelaku dan kehamilan sebagai unsur yang memberatkan. RUU juga tidak mengkriminalisasi perempuan yang dengan persetujuannya melakukan perzinaan karena tipu muslihat, dan memidana ringan pelaku hidup bersama sebagai keluarga tanpa nikah. Oleh karena itu model pengaturan tindak pidana perzinaan dalam RUU KUHP mendatang sebaiknya memerhatikan: a) status perkawinan pelaku dan kehamilan sebagai unsur yang memberatkan pidana; b) perempuan yang dengan persetujuannya melakukan perzinaan karena tipu muslihat merupakan korban sekaligus pelaku sehingga dapat dipidana; c) orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan seharusnya mendapat pidana lebih berat dibanding jenis perzinaan dalam bentuk pokok.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 49-80
Author(s):  
Herlambang P. Wiratraman

Freedom of political expression has not been fully guaranteed in the Indonesian legal system. One of the most prominent in the legal debate is the matter of treason (makar) charges against political expressions of self-determination. In the case of Papua, many Papuans have been detained, criminalised, and even killed because of their political expression. Interestingly, the Constitutional Court, through its decision Number 7/PUU-XV/2017, provided guidance in its ‘ratio decidendi’ argument, specifically the interpretation of treason phrases in the Criminal Code. Interpretation is given by the Constitutional Court after seeing the reality that law enforcement has been arbitrarily abused by the application of the treason article. This is contrary to the freedom of association, opinion and expression, as guaranteed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This article discusses how the application of the phrase treason in law enforcement, especially in connection with the conviction of many Papuans after the Surabaya anti-racism rallies in September 2019. A number of district court decisions on dozens of convicted Papuans show that the legal system that guarantees freedom of political expression has not changed much and law enforcement in fact emphasises the position of racial discrimination and is far below the standard of human rights law. Abstrak Kebebasan ekspresi politik belum sepenuhnya dijamin dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu yang paling mengemuka dalam perdebatan hukum adalah soal tuduhan makar terhadap ekspresi politik menentukan nasib sendiri. Dalam kasus Papua, tidak sedikit jumlah warga Papua yang ditahan, dikriminalkan, hingga tewas terbunuh karena soal ekspresi politiknya. Menariknya, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 7/PUU-XV/2017 memberikan panduan dalam argumen ratio decidendinya, khusus interpretasi frasa makar dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana. Penafsiran diberikan oleh Mahkamah Konstitusi setelah melihat realitas penegakan hukum telah banyak disalahgunakan penerapan pasal makar. Hal demikian bertentangan dengan kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel ini membahas bagaimana penerapan frasa makar dalam penegakan hukumnya, khususnya berkaitan dengan dipidananya banyak warga Papua setelah aksi anti rasisme Surabaya pada September 2019. Sejumlah putusan pengadilan negeri atas puluhan warga Papua yang dipidana tersebut memperlihatkan sistem hukum yang menjamin kebebasan ekspresi politik tidak banyak berubah dan penegakan hukum justru menegaskan posisi diskriminasi rasial serta jauh dari standar hukum hak asasi manusia.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 245-279
Author(s):  
Mahrus Ali ◽  
M. Arif Setiawan

Douglas Husak has been widely known, especially in the United States and Europe, as a leading theorist who combines the disciplines of legal philosophy and criminal law. Most of his writings were directed at the use of the coercive means of the state through criminal law as minimum as possible. The minimalist theory of criminal law that he coined was motivated by the phenomenon of the increasing number of acts criminalized in the United States Federal State Law in which the majority related to offenses of risk prevention causing overcriminalization. To prevent this, criminal law must be placed as a last resort. The state’s decision to criminalize an act must pay attention to internal and external constraints. The first includes the nontrivial harm or evil constraint, the culpability of the actor, and the proportionality of punishment, while the second is related to the substantiality of the state’s authority to punish. The thought is relevant to be adopted in the criminalization policy in Indonesia, especially regarding the principle of the blameworthiness of conduct, the severity of punishment must weigh the dangerousness of the (actor) offenses, and criminalization should not be taken if other means are equally effective or even more effective to achieve the goal. Abstrak Douglas Husak dikenal luas terutama di Amerika Serikat dan Eropa sebagai teoretisi terkemuka yang menggabungkan antara disiplin filsafat hukum dan hukum pidana. Tulisan-tulisan Husak kebanyakan diarahkan pada penggunaan sarana koersif negara melalui hukum pidana seminimal mungkin. Teori hukum pidana minimalis yang dicetuskannya dilatarbelakangi fenomena semakin banyaknya perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam undang-undang Negara Federal Amerika dan mayoritas terkait offenses of risk prevention sehingga menimbulkan kelebihan kriminalisasi. Untuk mencegahnya, hukum pidana harus ditempatkan sebagai sarana terakhir. Keputusan negara untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan harus memperhatikan pembatas internal dan pembatas eksternal. Yang pertama meliputi sifat jahat dan dampak kerugian/kerusakan yang begitu serius dari dilakukannya suatu tindak pidana, kesalahan pembuat, dan proporsionalitas pidana; sedangkan yang kedua terkait substansialitas kewenangan negara untuk memidana. Pemikiran Husak relevan untuk diadopsi dalam kebijakan kriminalisasi di Indonesia terutama menyangkut prinsip ketercelaan suatu perbuatan, penetapan beratnya ancaman pidana mengacu pada seriusitas delik dan kesalahan pembuat, dan kriminalisasi tidak boleh ditempuh jika cara-cara lain sama efektif atau bahkan lebih efektif untuk mencapai tujuan.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 191-211
Author(s):  
Rosdalina Bukido ◽  
Hasyim Sofyan Lahilote ◽  
Irwansyah Irwansyah

The Omnibus Law for Job Creation establishes a special agency called the land bank agency that manages state land, including planning, acquisition, procurement, management, utilization, and distribution of land. This article revisits on how urgent this land bank is and how its supervisory powers and mechanisms are implemented. This article demonstrates that the formation of the land bank is actually related to problems in land acquisition, especially those intended for infrastructure development, which has triggered land liberalization and caused the increase of land price. Therefore, the land bank is urgent to ensure the availability of land for various development purposes in the future, budget efficiency, as well as to avoid conflicts in the land acquisition process and reduce the side effects of land liberalization. In order to encourage the land bank play its role and function as intended in its formation, good and efficient supervision is also needed. So far, it has been stated in the Omnibus Law for Job Creation that internal supervision is carried out by the supervisory board. Taking into account the relationship of the land bank and the supervisory board with other agencies or institutions that carry out the functions of land and bank as well as their supervision, like the one by the National Land Agency and the Financial Service Authority, it is necessary to have clarity on each role and function to avoid overlap. Abstrak UU Cipta Kerja membentuk badan khusus yang mengelola tanah, yaitu badan bank tanah, yang berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Dalam artikel ini dibahas apa sebetulnya urgensi bank tanah ini dan bagaimana pula kewenangan dan mekanisme pengawasannya. Artikel ini memperlihatkan pembentukan bank tanah sebetulnya terkait dengan permasalahan dalam pengadaan tanah terutama yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur, sehingga memicu terjadinya liberalisasi tanah dan mengakibatkan harga tanah melambung tinggi. Karena itu, bank tanah urgen dalam rangka menjamin ketersediaan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi anggaran, serta mengurangi konflik dalam proses pembebasan tanah dan dampak buruk liberalisasi tanah. Dalam rangka mendorong agar bank tanah berperan dan berfungsi sebagaimana dikehendaki dalam pembentukannya, maka diperlukan pengawasan yang baik dan efisien pula. Sejauh ini dalam UU Cipta disebutkan pengawasan dilakukan secara internal oleh dewan pengawas. Dengan mempertimbangkan adanya keterkaitan bank tanah dan dewan pengawas ini dengan badan atau lembaga lainnya yang menjalankan fungsi pertanahan dan bank serta pengawasannya juga, misal Badan Pertanahan Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan, maka adanya kejelasan terhadap masing-masing peran dan fungsi sangatlah diperlukan, agar tidak malah terjadi tumpang tindih.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 1-48
Author(s):  
Muhammad Dahlan ◽  
Syahriza Alkohir Anggoro

The opportunity to fulfill the rights to work for persons with disabilities has been increasing since the ratification of Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Indonesia has adopted a “quota scheme” through the Law Number 8 of 2016 on Persons with Disabilities where government institution has set a minimum quantity of two percent as the number of workers for persons with disabilities as affirmative action targeted at promoting human rights. This article examines the progress of the legal framework for persons with disabilities by using a case study in civil cervants in the public sector. We argue that despite Indonesia’s disability legal regime has pushed the social model of disabilities that promotes human rights-based approach, its implementation is still based on the medical model of disability, in which it sees persons with disabilities on physical condition, and thus, they are assumed to be able to work in a certain field determined by the government. This article argues that affirmative policy does not provide equal opportunities to persons with disabilities as the special formation and medical requirements prevent them from applying for occupations that match their interests and educational background. The use of the medical model of disability in providing employment opportunities in the public sector prevents the level of participation and the formation of an inclusive workplace environment. Abstrak Peluang untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi para penyandang disabilitas terus meningkat sejak ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Indonesia mengadopsi “skema kuota” melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di mana institusi negara menetapkan minimal dua persen jumlah formasi pekerja bagi para penyandang disabilitas sebagai tindakan afirmatif yang ditargetkan untuk mempromosikan hak asasi manusia. Artikel ini memeriksa sejauh mana kerangka kerja hukum disabilitas di Indonesia memfasilitasi pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas dengan menggunakan contoh kasus pada penyelenggaraan ketenagakerjaan di sektor publik. Kami berpendapat bahwa meskipun rezim hukum disabilitas di Indonesia menekankan model sosial disabilitas yang mempromosikan pendekatan berbasis hak asasi manusia, implementasinya masih didasarkan pada model medis disabilitas yang memandang penyandang disabilitas berdasarkan kondisi fisik dan karenanya diasumsikan hanya dapat masuk pada bidang pekerjaan yang telah ditentukan oleh negara. Artikel ini berpendapat bahwa kebijakan afirmatif tidak memberikan peluang yang setara bagi penyandang disabilitas karena formasi khusus dan persyaratan medis menghambat mereka untuk melamar pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikannya. Penggunaan model medis disabilitas dalam penyelenggaraan kesempatan kerja di sektor publik pada gilirannya menghambat tingkat partisipasi dan pembentukan lingkungan kerja yang inklusif.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 213-244
Author(s):  
Yetniwati Yetniwati ◽  
Taufik Yahya ◽  
Diana Amir

A notary is a public official authorized to draw up and keep authentic deeds and other documents permitted by laws and regulations. Whenever a notary dies, or reaches retirement age, changes his/her domicile or profession, he/she shall submit his/her retired notary protocol to another notary appointed by the Regional Supervisory Council. The submission of notary protocol is regulated in Article 65 of the Law on Notary Positions, yet without legal protection. In some cases, court decisions are found to have imposed sanctions upon a notary who received the protocol despite the mistake of the notary protocol giver. This article encourages that the notary who receives the protocol be provided with legal protection, because he/she is only the party who receives the protocol made by another notary. The imposition of responsibility upon the notary protocol recipient  regarding the contents of the deed he/she keeps will only lead to injustice and legal uncertainty. Since no regulation has been provided concerning to such  matter, it is necessary to afford legal protection which comprises: the responsibility of the heirs of the notary (giver); the limitation of the responsibility of the protocol recipient; the limitation of protocol retention time; and the necessity of storing notary protocols in the form of microfilm. Nevertheless, the notary  protocol recipient shall also have limited protection, in the sense that he/she can be held accountable with respect to the obligation to keep the notary protocol he/she receives in proper ways. Abstrak Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat dan menyimpan akta dalam bentuk akta otentik, serta dokumen lain yang diperbolehkan oleh perundang-undangan.  Setiap notaris yang meninggal dunia, mencapai usia pensiun, pindah domisili, atau pindah profesi, wajib menyerahkan protokol notarisnya kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Pengaturan penyerahan protokol notaris diatur dalam Pasal 65 Undang-undang Jabatan Notaris, namun tidak dengan perlindungan hukumnya. Dalam beberapa kasus dijumpai putusan pengadilan yang memberikan sanksi kepada notaris penerima protokol sekalipun berkaitan dengan kesalahan notaris pemberi protokol. Artikel ini mendorong agar notaris penerima protokol mendapatkan perlindungan hukum, sebab ia hanya sebagai pihak yang menerima protokol yang dibuat oleh notaris lainnya. Pembebanan tanggung jawab kepada notaris penerima protokol terkait isi akta yang disimpannya justru akan menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Oleh karena sejauh ini belum ada pengaturannya, maka perlu diupayakan perlindungan hukum yang meliputi: tanggung jawab ahli waris notaris (pemberi); batasan tanggung jawab penerima protokol; batasan waktu penyimpanan protokol; dan keharusan penyimpanan protokol notaris dalam bentuk mikrofilm. Meski demikian, notaris penerima protokol tentu harus pula dibatasi perlindungannya, dalam artian dapat dimintai pertanggungjawabannya, yaitu dalam hal keharusannya menyimpan protokol notaris yang diterimanya secara patut.


2021 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 159-190
Author(s):  
Rocky Marbun

The Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 has placed restrictions on the investigator’s discretional action in determining a person as a suspect in addition to being based on two valid evidence, it is also based on the completion of an examination of a potential suspect. However, in the realm of legal praxis, the meaning of the phrase “examination of potential suspects” has been reduced by means of grammatical-lexical knowledge produced by the authorities. As a result, it raises the meaning that the phrase “potential suspect” is not known only based on the Criminal Procedure Code. The problem that will be discussed in this research is “how does the Trichotomy of Relation work in reducing the meaning of” Suspect Candidate Examination “in the pretrial process?” This study uses a normative juridical research method based on secondary data through literature study. In this study, in order to complement the normative juridical method, also use a semiotic approach and a critical discourse analysis approach. The results of this study indicate a pattern of power that produces knowledge of the phrase “Examination of Potential Suspects” in order to defend the interests of formal and instrumental proof. Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memberikan pembatasan terhadap tindakan diskresional penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka selain berbasis pada dua alat bukti yang sah, pun berbasis pada disertainya pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun demikian, dalam ranah praksis hukum, frasa “pemeriksaan calon tersangka” telah direduksi pemaknaannya melalui pengetahuan yang diproduksi oleh pemegang otoritas secara gramatikal-leksikal. Hal tersebut memunculkan pemaknaan bahwa frasa “calon tersangka” tidak dikenal hanya disandarkan pada KUHAP semata. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pola kerja trikotomi relasi dalam mereduksi makna ‘pemeriksaan calon tersangka’ dalam proses praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berbasis pada data sekunder melalui studi kepustakaan. Pada penelitian ini, guna melengkapi metode yuridis normatif, digunakan pula pendekatan semiotik dan analisis wacana kritis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya suatu pola kekuasaan yang memproduksi pengetahuan terhadap frasa “pemeriksaan calon tersangka” guna mempertahankan kepentingan pembuktian yang formilistik dan instrumental melalui penggunaan konsep yang lazim digunakan dalam KUHAP (langue) dan menolak konsep yang belum dikenal dalam KUHAP (parole).


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 409-440
Author(s):  
Tristam Pascal Moeliono ◽  
Koerniatmanto Soetoprawiro

Agricultural law is an emerging specialized field in Indonesian legal discourse and the public as well as academics has yet to get acquainted with this new perspective. The importance of agricultural law should be placed in relation with the fact that the Indonesian government, even after more then 75 year of independence, did not seriously address the plight of peasants and fishermen, living in rural areas throughout Indonesia. Agricultural law as a perspective is developed to bring back the focus of national development to agriculture in its widest sense. The focus of analysis of this approach will be on policies and rules regarding agriculture and how it affects peasants-farmers working in informal-semi formal setting as well those working in the agroindustry and business. Other basic concepts employed relates to ecological-social justice, food sovereignty, security, and safety. Hopefully, this new approach to human development and agriculture may contribute to a better analysis of the plight of agriculture in Indonesia and how to improve this particular sector. Abstrak Hukum pertanian sebagai suatu kajian belum begitu dikenal dalam khasanah ilmu hukum Indonesia. Masyarakat umum, akademisi dan praktisi hukum masih harus berkenalan dengan pendekatan ini. Pentignya hukum pertanian harus ditempatkan dalam konteks kurangnya kepedulian rezim pemerintah Indonesia, bahkan dalam kurun waktu 75 tahun sejak merdeka, pada pembangunan sektor pertanian rakyat. Hukum pertanian merupakan satu upaya untuk mendorong kehidupan pertanian di Indonesia dan mayoritas masyarakat petani (bukan semata-mata perkebunan besar) menjadi bagian dari kehidupan modern yang manusiawi. Fokus kajian hukum pertanian adalah kebijakan dan aturan hukum yang diterbitkan pemerintah dari waktu ke waktu di bidang pertanian dalam arti luas yang bersentuhan dengan kehidupan petani-nelayan, mereka yang bekerja di sektor-sektor informal maupun semi formal sampai dengan agrobisnis dan industri.  Sebagai titik tolak, digunakan konsep-konsep dasar keadilan sosial-ekologi, ketahanan-kedaulatan dan keamanan pangan. Salah satu sumbangan yang diharapkan adalah munculnya perspektif pemikiran dan solusi konstruksif yang baru untuk membangun manusia serta agrikultur dalam rangka menangani persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Indonesia.


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 341-375
Author(s):  
Ahmad Sadzali

For ages, the relationship between state and religion in Indonesia is always become a controversy, and the tension were getting higher in the early period before the declaration of independence. This article discusses how the controversy was occurred within period of Constitution making, and its influence in the text of Constitution, amendment or replacement of the Constitution. The debate on the issue of state and religion were focused on weather Indonesia would become a religious state (Islamic state) or secular state. The issue was consciously repeated in the event of amendment or replacement of Constitution. The implication of the discourse between state and religion lead to the gentlemen agreement on Pancasila, which one of the principles is “Believe in one God”. Therefore, the principle is reflected in Constitution such as recognition of certain religions; equality among the officially recognized religions; guaranteeing of freedom of religion; human rights protection which consider religious values; and developing national education system that based on religious aspect. Abstrak Polemik tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung lama, dan semakin meningkat tensinya pada saat kemerdekaan Indonesia sedang dipersiapkan. Artikel ini membahas bagaimana polemik itu berlangsung dalam kaitannya dengan pembentukan dan perubahan Konstitusi, dan bagaimana pula implikasinya pada Konstitusi yang dibentuk, diganti, dan diamandemen. Dalam artikel ini ditunjukkan, polemik hubungan agama dan negara berlangsung sengit pada masa persiapan kemerdekaan, atau jika dikaitkan dengan Konstitusi berarti pada saat Konstitusi pertama sedang dirumuskan. Polemik itu berkutat pada perdebatan apakah Indonesia menjadi negara agama (Islam) ataukah negara yang tidak didasarkan pada agama tertentu. Polemik semacam ini ternyata kembali berulang pada saat Konstitusi diganti dan diamandemen. Pada perkembangannya, polemik ini berimplikasi pada lahirnya kesepakatan mulia berupa Pancasila, di mana negara didasarkan salah satunya pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam isi atau batang tubuh Konstitusi, kesepakatan semacam ini menimbulkan implikasi turunannya berupa pengakuan negara terhadap eksistensi agama tertentu; perlakuan secara sama terhadap semua agama yang diakui; pemberian jaminan kebebasan penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama; pengakuan dan penghormatan hak asasi yang mempertimbangkan nilai-nilai agama; dan pengembangan pendidikan nasional yang berbasis dan berorientasi pada peningkatan aspek spiritual keagamaan.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document