Vitruvian
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

30
(FIVE YEARS 24)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Mercu Buana

2598-2982, 2088-8201

Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 81
Author(s):  
Muhammad Zakaria Umar ◽  
Masfan Agus

ABSTRAKMasjid-masjid di Indonesia khususnya di Jawa juga tidak bebas dari pengaruh kebudayaan lokal. Hal ini disebabkan manusia Indonesia pada umumnya bersifat eklektik, maka bentuk masjid-masjid di Indonesia pun bergaya campuran sisa-sisa kebudayaan Hindu, bangunan-bangunan India, atau Turki. Saat ini kebudayaan Buton kembali direvitalisasi seperti bentuk atap Malige terdapat pada bangunan sekolah, pertokoan, dan perkantoran. Sedangkan bentuk masjid Keraton Buton dan rumah tradisional Buton Malige belum pernah diadaptasi menjadi alternatif bentukan masjid di Kota Baubau. Penelitian ini ditujukan untuk mendesain masjid skala kecamatan di Kelurahan Tongano Barat, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi dengan prinsip-prinsip arsitektur eklektik terhadap masjid Keraton Buton dan rumah tradisional Buton Malige. Penelitian ini menggunakan metode grounded theory dengan pendekatan kualitatif. Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan cara data direduksi, disajikan, dan disimpulkan. Penelitian ini disimpulkan bahwa elemen-elemen arsitektural masjid di Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dimodifikasi dari bangunan Masjid Agung tradisional Keraton Buton adalah denah masjid, jendela masjid, tangga eksterior masjid, dan fondasi masjid sedangkan dari rumah tradisional Buton Malige adalah rumah atap bersusun (Malige) serta masjid berbentuk rumah panggung. ABSTRACTMosques in Indonesia especially in Java are also not free from the influence of local culture. This is because Indonesian people are generally eclectic, so the form of our mosques are a mixture of remnants of Hindu culture, Indian buildings, or Turkey. Nowadays, Buton culture has been revitalized like the shape of the Malige roof on school buildings, shops, and offices. While the form of the Palace of Buton mosque and the traditional house of Buton Malige have never been adapted to be an alternative form of a mosque in the City of Baubau. This research is intended to design a sub-scale mosque in the West Tongano Village, Tomia Timur District, Wakatobi Regency with eclectic architectural principles towards the Keraton Buton mosque and the traditional house of Buton Malige. This study uses a grounded theory method with a qualitative approach. Data sources consist of primary data and secondary data. Data collected by observation, interview, and documentation. Data were analyzed by means of data reduced, presented, and concluded. This study concluded that the architectural elements of the mosque in Tomia Timur Subdistrict, Wakatobi Regency, Southeast Sulawesi Province which were modified from the traditional Great Mosque building of the Keraton Buton were mosque plans, mosque windows, mosque exterior stairs, and mosque foundations, while from the traditional houses of Buton Malige were a double-decker roof house (Malige) and a mosque on stilts.


Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 109
Author(s):  
Kadek Agus Surya Darma

‘Bale saka roras’ merupakan bangunan tradisional berarsitektur bali kuno yang tidak mendapat pengaruh arsitektur era majapahit. Terletak di Kawasan pegunungan Desa Sukawana yang beriklim tropis. ‘Bale saka roras’ memiliki keistimewaan, selain daya tarik estetika arsitektur tradisionalnya, juga pada desain bentuk struktur konstruksi yang seolah mengesankan fungsi dalam merespon iklim setempat. Menjadi menarik untuk diteliti tentang hubungan antara desain bentuk konstruksi dan pemilihan material bangunan ‘bale saka roras’ terhadap terjadinya pengendalian pasif terhadap pengaruh iklim setempat. Untuk dapat menemukan benang merah tersebut, maka penelitian ini akan mengungkap serta menganalisis prinsip-prinsip pengendalian pasif yang terdapat pada bangunan ‘bale saka roras’. Penelusuran langsung dan perekaman data melalui pengukuran lapangan, dokumentasi, studi literatur hingga wawancara kesan penghuni asli merupakan data mendasar yang akan dianalisis kembali untuk menemukan dan menegaskan kembali prinsip-prinsip yang terdapat pada desain bentuk maupun pemilihan material bangunan ‘bale saka roras’ ini.


Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 69
Author(s):  
Vanessa Susanto ◽  
Muhammad Arif Mappe Amir ◽  
Muhammad Arkan Haqqi ◽  
Agus Suharjono Ekomadyo ◽  
Annisa Safira Riska

ABSTRAKKafe menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi generasi milenial. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi generasi milenial dalam menentukan pilihan kafe yang akan dikunjungi, yakni aspek kenyamanan, pelayanan yang baik, harga yang terjangkau, variasi dan inovasi produk, keunikan menu, kelengkapan fasilitas, dan masukan teman. Dalam penelitian ini, Penulis ingin mencari tahu apakah gaya hidup milenial dengan preferensi penilaian akan aspek tersebut memiliki pengaruh pada desain arsitektural sebuah kafe, baik dari segi pensuasanaan, pencahayaan, hingga pengaturan ruang. Metode yang dipakai adalah penyebaran kuesioner kepada pengunjung dalam kategori milenial yang sedang berada di dalam kafe yang terpilih. Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa desain arsitektural kafe memiliki pengaruh dalam menarik minat pengunjungnya terkhusus kaum milenial, sesuai dengan keunikan maupun branding yang ditawarkan pada setiap kafe. Selain itu, keunggulan utama setiap kafe terdapat pada aspek kenyamanan ruang sebagai modal utama pengelola kafe dalam membuat pengunjung betah kongko di dalam kafe. ABSTRACTCafes have become one of the favourite places that suits the lifestyle of current millennials. In choosing one to visit, millennials tend to select based on these aspects: comfortable place, good service, affordable price, varied products, complete facilities, unique menus, friend’s recommendation, reflecting social status, and innovative products. Our team is determined to find out whether this lifestyle affect these aspects that play a huge role in a café’s architectural design. In this journal, the method we chose to gather data is using a questionnaire we shared with millenials whilst visiting these cafes to find out whether the architectural design of a cafe has an impact with the overall scores of the aspects. Based on our analysis, we can conclude that the design of a cafe plays a role in getting visits from customers, especially millennials. It can be observed by the way the cafes brand itself or the uniqueness it share. Comfort becomes the key in attracting customers and making them feel at ease in cafes.


Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 91
Author(s):  
Mona Anggiani ◽  
Ilal Rohmat

ABSTRAKRuang terbuka publik merupakan salah satu ruang yang seharusnya berada pada sebuah perumahan. Saat ini banyak ruang terbuka publik yang fungsinya sudah dibangkitkan kembali oleh pihak penyelenggara, baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Secara fisik, keberadaan ruang terbuka publik kini dalam keadaan yang layak dan baik. Namun, pada ruang publik ini terlihat fasilitas ruang publik yang sangat sederhana dan jumlahnya pun terbatas. Penelitian ini disusun untuk melihat persepsi pengunjung pada kelengkapan fasilitas di ruang terbuka dengan tingkat kenyamanan pengunjungnya. Dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif, penelitian ini dilakukan dengan observasi kajian di ruang terbuka publik dan menyebarkan kuisioner kepada pengunjung. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa menurut pengunjung, mereka merasa nyaman ketika berada di ruang terbuka publik ini. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk peningkatan perencanaan ruang terbuka publik di perumahan selanjutnya. ABSTRACTPublic open space is one of the spaces that should be in a housing complex. At present many public open spaces whose functions have been resurrected by the organizers, both the government and private parties. Physically, the existence of public open space is now in a decent and good condition. However, in this public space public facilities are very simple and the number is limited. This research is structured to see the perception of visitors on the completeness of facilities in open space with the level of comfort of visitors. By using descriptive quantitative methods, this research was conducted by observing studies in public open spaces and distributing questionnaires to visitors. The results of this study are that according to visitors, they feel comfortable when in this public open space. This research can be useful for improving public open space planning in the next housing complex.


Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 115
Author(s):  
Suciati Suci Permata

ABSTRAKMasyarakat Kecamatan Bogor Selatan pada umumnya bergerak di bidang industri kecil atau usaha rumah tangga yang tumbuh cukup pesat. Pada Kelurahan Cikaret sebagian besar masyarakat memiliki usaha industri kerajinan sepatu dan sendal, yang memanfaatkan ruang pada rumah hunian sebagai ruang usaha industri. Dalam kondisi seperti itu secara langsung yang terlibat bekerja adalah anggota keluarga seperti ayah, ibu dan anak serta ada partner kerja selain keluarga. Apabila kegiatan usaha dilaksanakan didalam rumah dan melibatkan beberapa orang sebagai partner kerja maka akan berpengaruh pada penataan ruang dan juga tingkat privasi dan kenyamanan penghuni rumah. Penelitian ini dilakukan pengambilan data dengan kuesioner dan wawancara langsung terhadap penghuni dan rumah dengan usaha industri. Dari penelitian ini nantinya akan dihasilkan beberapa standar ruang untuk rumah usaha industri sandal dan sepatu karet serta beberapa pola tata ruang rumah usaha berdasarkan preferensi masyarakat Kelurahan Cikaret. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi masyarakat atau pemerintah apabila akan melakukan pembangunan atau revitalisasi rumah industri di Kelurahan Cikaret. ABSTRACTThe community Kecamatan Bogor South in generally moves in the field of small industry or home industries in growing rapidly .On the cikaret the majority of the community has a business the industry shoes and sendal , who use space of occupancy as space industry .Under such conditions directly involved work is family members like father , mother and child and there are partner work except the family .When business activities carried out in the house and involved some as a partner work so it would affect in a pattern of spatial plan and as well as the level privacy and comfort the inhabitants of the house . This research was undertaken data retrieval with questionnaires and interviews directly against house occupant and with industrial undertakings. From the study will be produced some standard room for a house industry sandals and shoes karet and some pattern spatial house business based on urban village community preference cikaret.The result of this research could be one of reference for public or government when is set to build or revitalization house industries in urban village cikaret.


Vitruvian ◽  
2020 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 99
Author(s):  
Roni Sugiarto

ABSTRAKKetika kita mendengar suara (audial, akustikal) kitapun dapat melihat ruang (spatial). Di samping dapat melihat bentuk dan mendengar bunyi, kita dapat juga mendengar bentuk dan melihat bunyi. Meskipun bahasa yang dipergunakan arsitektur dan musik berbeda, namun kedua bidang ini memiliki karakter berkesenian yang sama yaitu pencarian makna keindahan yang tiada akhir. Arsitektur dan musik berbagi tujuan yang sama dalam hal estetika, namun keduanya memiliki perbedaan wujud. Melalui penjelajahan imajinatif dan perseptif karya seni Barok, tulisan ini mencoba mencari hubungan yang analogis antara sensasi auditory berupa tatanan melodi dan irama dengan manifestasi ruang arsitektural. Dengan menerapkan pendekatan yang bersifat kualitatif dengan teknik penarikan sampel yang sesuai dengan ruang lingkup pembahasan, dan menelusuran hubungan yang analogis (yang atributif) dicapai juga dengan kajian komparatif tatanan/ruang antara arsitektur dengan musik Barok. Dengan Sistem representasi yang menjadi kunci dalam menghantarkan visi tatanan/ruang arsitektural serta musikal Barok, maka diharapkan secara imajinatif dan ekspresif perwujudan dinamika hubungan antara ruang arsitektural dan musikal Barok dapat ditemukan. Di lain hal, penelusuran keterhubungan antara arsitektur dan musik terbuka bagi berbagai kekuatan seni, dapat berkomunikasi dengan aspek arsitektur dan dapat dicari kedekatan hubungan antar masing-masing kekuatan seni. ABSTRACTWhen we hear the sound (audial, acoustical) we can see the space (spatial). In addition to being able to see the shapes and hear the sound, we can also hear the shapes and see the sound. Although the language used by architecture and music s different, but these two fields have the same artistic character that is the exploration for the endless beauty of the end. Through the imaginative and perseptive exploration of Baroque artwork, it seeks to find an analogic relationship between the auditory sensation of melody and rhythm with the manifestation of architectural space. By using a qualitative approach with sampling techniques that fit the scope of the discussion, and tracking analogical (attributive) relationships is also achieved by a comparative study of the order / space between Baroque architecture and music. With the representation system, the key of delivering the vision of Baroque architectural / space order and musicals, it is hoped that imaginatively and expressively the realization of the dynamics of the relationship between architectural space and Baroque music can be found. On the other hand, the research for the connection between architecture and music is open to various artistic, possible to communicate with aspects of architecture and to find the closeness of the relationship between each art.


Vitruvian ◽  
2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 17
Author(s):  
Nevine Rafa Kusuma ◽  
Enira Arvanda

ABSTRAKKeberadaan fasilitas publik di bawah tanah saat ini semakin banyak berkembang di kota Jakarta. Dalam prosesnya, pengadaan infrastruktur tersebut, lebih fokus pada aspek fisik secara fungsi. Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai isu mengenai perasaan takut terhadap tindak kejahatan terkait keamanan dan kenyamanan bagi pengguna wanita.  Salah satu penyebabnya, fasilitas yang ada secara fisik masih belum banyak mempertimbangkan kebutuhan kaum wanita, terutama dalam hal keamanan dan kenyamanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi relasi rasa takut pengguna perempuan terhadap lingkungan jalur underpass atau Tempat Penyeberangan Orang (TPO) bawah tanah dan juga mengetahui faktor lingkungan yang mendominasi rasa takut tersebut. Metode yang digunakan untuk penelitian adalah dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang didistrubusikan melalui media survei online, kepada para mahasiswi di sebuah kampus negeri di Depok dan juga survey langsung di lokasi penelitian. Hasil yang didapatkan melalui riset ini menguatkan beberapa riset terdahulu bahwa adanya relasi yang kuat antara aspek fisik lingkungan TPO dengan perasaan takut akan tindak kejahatan pada pengguna wanita.Kata Kunci:   Perasaan takut akan tindak kejahatan (fear of crime), Tempat Penyeberangan Orang, bawah tanah (underground), pengguna wanita  ABSTRACTThe train station as one of the public facilities supporting activities intended for the entire community. Underground public in Jakarta has been increasingly developed. In this infrastructure, the focus is more on functional physical aspects. Over time, various issues has been emerged regarding fear of crime related to security and comfort for female users. One of the reasons, the physical facilities has not been considered for the needs of female users, especially in terms of security and comfort. The aim of this study is to identify the relation between female users’ fear of crime and the environment of underpasses and also to understand the environmental factors that dominate it. To confirm the hypothesis, we distributed structured questionnairse using an online survey platform to female students in one of national university in Depok and also direct survey in research location. As a result, several environmental cues have been identified as fear-provoking and the findings confirm the relation between female users’ fear of crime and physical aspect in underpass.Keywords: Fear of crime, Underpass, Underground, women user


Vitruvian ◽  
2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 47
Author(s):  
Tathia Edra Swasti

ABSTRAK Mall saat ini marak menggunakan clerestory sebagai salah satu upaya untuk penerangan alami pada siang hari. Namun, cahaya matahari pada sore hari (barat) akan menghasilkan cahaya matahari yang lebih panas dan silau dibandingkan cahaya matahari pada pagi hari (timur). Oleh karena itu, dengan pemakaian clerestory yang cukup besar pada bangunan, masalah panas tentu tak dapat dihindari. Begitu pula dengan glare yang berasal dari pantulan sinar matahari. Salah satu Mall yang menggunakan clerestory adalah Mall AEON BSD. Pengukuran suhu udara, temperatur efektif, kelembaban udara, kecepatan angin, PMV (Predicted Mean Vote) dan PPD (Predicted Percentage of Dissatisfied) dilaksanakan pada 4 waktu dengan 5 lokasi titik ukur yang memiliki kondisi berbeda untuk membuktikan bahwa clerestory dapat mempengaruhi kenyamanan termal. Disimpulkan bahwa titik 2 yaitu titik yang berdekatan dengan clerestory sisi kanan (ukurannya lebih kecil daripada clerestory sisi kiri) memiliki temperatur efektif dan kelembaban udara yang lebih rendah dari titik lain, dan kecepatan udara (dipengaruhi oleh hembusan AC) lebih tinggi dari titik lain. Responden merasa nyaman saat berada di titik tersebut.Titik paling nyaman menurut responden adalah titik 2 dengan TE rata-rata berkisar 27,4˚C, kelembaban udara rata-rata berkisar 52,2%, kecepatan udara rata-rata berkisar 0,15 m/s, PMV berkisar 0,5 dan PPD berkisar 12,7%. Dengan begitu semakin kecil ukuran skylight terbukti mempengaruhi kenyamanan termal dan membuat kenyamanan termal dapat tercapai. Kata Kunci: Mall, Clerestory, PMV, PPD, Kenyamanan Termal ABSTRACT Nowadays mall is decorated with clerestory as an effort to lighten naturally during the day. However, sunlight in the afternoon (west) will produce more sunlight and glare than sunlight in the morning (east). Therefore, with the use of a fairly large clerestory in buildings, the problem of heat certainly can not be avoided. Similarly, glare that comes from the reflection of sunlight. One of the malls that use clerestory is BSD AEON Mall. Measurement of air temperature, effective temperature, air humidity, wind speed, PMV (Predicted Mean Vote) and PPD (Predicted Percentage of Dissatisfied) carried out at 4 times within 5 measuring spots that have different conditions, proving that clerestory can affect thermal comfort. It was concluded that point 2, which is the point adjacent to the right side clerestory (smaller in size than the left side clerestory) has an effective temperature and lower air humidity than other points, and air velocity (affected by blowing AC) is higher than other points. Respondents felt comfortable when they were at that point. The most comfortable point according to respondents was point 2 with TE averaging around 27.4˚C, air humidity averaged 52.2%, the average air speed ranged from 0.15 m / s, PMV ranges from 0.5 and PPD ranges from 12.7%. Thus, the smaller size of the clerestory is affecting thermal comfort and thermal comfort can be achieved. Keywords: Mall, Clerestory, PMV, PPD, Thermal Comfort


Vitruvian ◽  
2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 27
Author(s):  
Diana Ayudya ◽  
Saeful Mahfud Permana ◽  
Stenly Go Lakafin ◽  
Gabriela Tri Wuryaningsih
Keyword(s):  

Kamal Muara adalah permukiman nelayan perkotaan di pesisir Utara Jakarta yang keberadaannya ternyata menyumbangkan beberapa isu terkait permasalahan lingkungan, sosial dan ekonomi yang terus berkembang. Dengan mayoritas penghuni yang merupakan masyarakat tradisional Bugis, karakter fisik kawasan ini menunjukkan ciri-ciri arsitektur vernakular Bugis yang terlihat dari bentuk rumah penduduk yang didominasi dengan rumah panggung bergaya arsitektur Bugis. Namun kondisi lingkungan yang berbeda memaksa masyarakat Bugis di permukiman ini untuk beradaptasi, salah satunya terhadap lingkungan fisik sehingga menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada bentuk dan pola perkampungan, termasuk pola pemanfaatan ruang di bawah rumah panggungnya. Keberagaman pemanfaatan ruang tersebut ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berujung pada permasalahan lingkungan kawasan permukiman.Tujuan penelitian ini adalah menemukan pola pemanfaatan ruang di bawah rumah panggung nelayan dengan pendekatan perilaku dan lingkungan untuk mengurangi permasalahan sehingga didapatkan rekomendasi yang bisa memberikan manfaat lebih pada lingkungan Kawasan permukiman.Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan metode pengumpulan data (survey) primer dan sekunder. Survey primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara, adapun survey sekunder melalui studi literatur dari berbagai media seperti buku, jurnal, dokumen, artikel cetak maupun online.


Vitruvian ◽  
2019 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 57
Author(s):  
Ivana Yesika Leatimia ◽  
Rahil Muhammad Hasbi

ABSTRAKArsitektur akan selalu mengalami perubahan. Hal ini merupakan sifat alami dari arsitektur. Perubahan ini seringkali terjadi sesuai dengan masa dan teknologi yang sedang berkembang. Salah satu arsitektur yang banyak mengalami perubahan adalah arsitektur kolonial Indonesia. Arsitektur kolonial Indonesia muncul di masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Arsitektur ini muncul akibat percampuran antara arsitektur Eropa dengan budaya dan cara membangun di Indonesia serta penyesuaian diri terhadap iklim setempat. Bangunan dengan arsitektur kolonial di beberapa tempat sudah dijadikan sebagai bangunan konservasi oleh pemerintah sebagai pengingat sejarah perkembangan Indonesia. Meskipun begitu, di beberapa wilayah terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur kolonial yang luput perhatian dari pemerintah sehingga tidak di konservasi. Hal ini menyebabkan bangunan-bangunan tersebut dihancurkan dan diganti dengan yang baru ataupun berubah bentuk fisiknya karena menyesuaikan diri dengan zaman dan perkembangan teknologi. Sebagai contoh adalah bangunan Gereja Gereja GPIB Immanuel di Kota Depok Lama yang telah banyak mengalami perubahan. tetapi walaupun begitu karakteristik dari arsitektur kolonial masih bisa terlihat walaupun di dibeberapa bagian fasad sudah menunjukkan banyak perubahan. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana perubahan yang terjadi pada fasad gereja GPIB Immanuel di kota Depok Lama. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana bangunan dengan arsitektur kolonial yang tidak dikonservasi beradaptasi dengan perkembangan zaman serta untuk melihat factor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan perubahan tersebut. Penelitian akan dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif dengan melihat perubahan fasad dari periode penjajahan (sekitar tahun 1920) dan dimasa sekarang. Hasil penelitian adalah terdapat beberapa perubahan pada elemen-elemen arsitektur fasad yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti faktor Agama, kebutuhan, faktor Iklim, Estetika, dan perubahan di sekitar lokasi studi.Kata Kunci:   Fasad, arsitektur kolonial, Gereja ABSTRACTIndonesian kolonial architecture emerged during the Dutch occupation of Indonesia. This architecture arises because of the conglomeration of European architecture with Indonesian culture, building technique, and adaptation to the local climate. Kolonial architecture’s building in some places has been made as conservation buildings by the government. The aim is to make this building as a reminder of Indonesia's historical development. Nevertheless, in some areas, there are buildings with kolonial architecture that have been missed by the government so they are not preserved. This causes the building has is demolished and replaced with new ones or change it's physical form because the building has to adapt to the new era and technology. An example is the GPIB Immanuel Church in Depok Lama which has undergone many changes. Notwithstanding, the characteristics of kolonial architecture can still be seen in some parts of the façade. Therefore this study wants to see to what extent the Immanuel GPIB church facade has been changed. The purposes are to see how buildings with kolonial architecture that were not preserved, adapted to the new era and also to see what factors could cause this changing. This research is conducted using qualitative descriptive methods by observing at the façade changing. The observation is done by comparing to eras to see the changing process which is the kolonial period (around 1920) and in the present (2019). The results of this study are; there are some changes in the facade even though the kolonial characteristic still can be seen in some architectural elements. The changes are influenced by many factors such as religion, needs, climate, aesthetics, and changes in site boundaries.Keywords: Facade, Kolonial Architecture, Church


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document