scholarly journals RUMAH KACA PINGGIR KOTA DI DAAN MOGOT

Author(s):  
Valdo Helmy ◽  
Sutarki Sutisna

DKI Jakarta as the capitol consists of 5 regions and 1 district. Jakarta has the highest population density in Indonesia. In this modern ag, the population tends to live and work in the city thus psychological problems arise in the form of stress. In the urban lifestyle, stress is caused  due to daily routine where everybody is active between two places namely residence and work place. This routine can cause problems that begins with the feeling of boredom which can lead to a mental illness that is initially in the form of stress, anxiety disorder, and psychosis which can be worsen into depression. The step that can be made is to make a third place outside of domestic life at home and outside of professional life at work that aims to reduce psychologial symptoms that causes stress. Apart from that, it is said that a direct interaction with nature can help humans to strengthen their mental endurance to deal with symptoms that causes stress.The proposed design as a solution is in the form of an open public space, a plaza between two buildings, commercial building and a greenhouse where the commercial building has several functions such as food court, market, café, book shops, reading area, and workshop. While the greenhouse gives garden products to support the commercial functions and as a recreational spot. Apart from the functions within the buildings, in effort to encourage visitors into gardening activities and provide direct interactions to nature, community garden serves as a solution in which visitors can plant crops or plants if they wanted to in the provided area on the site. AbstrakDKI Jakarta sebagai ibukota negara terdiri dari 5 wilayah dan 1 kabupaten. Jakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Di masa modern ini penduduk cenderung tinggal dan beraktivitas di daerah perkotaan dengan demikian muncul permasalahan psikologis berupa stres. Dalam kehidupan perkotaan, stres tersebut diakibatkan karena aktivitas rutinitas sehari-hari dimana semua orang beraktivitas di antara kedua tempat yaitu tempat tinggal dan tempat kerja. Rutinitas ini dapat menimbulkan permasalahan yang dimulai dari perasaan bosan dan jenuh hingga bisa mengakibatkan suatu penyakit mental yang awalnya berupa stres, gangguan kecemasan, dan psikosis yang bisa menjadi depresi. Langkah yang dapat dilakukan adalah untuk membuat suatu tempat ketiga di luar dari kehidupan rumah tangga di tempat tinggal dan di luar kehidupan profesional di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala psikologis yang mengakibatkan stres. Selain dari itu dikatakan bahwa interaksi secara langsung dengan alam dapat membantu seorang manusia untuk memperkuat daya tahan mental mereka untuk menghadapi tekanan-tekanan yang mengakibatkan stres. Rancangan yang diajukan sebagai solusi berupa sebuah ruang publik terbuka berupa plaza diantara dua bangunan berupa bangunan komersil dan bangunan rumah kaca dimana bangunan komersil berupa pujasera, pasar modern, café, toko buku, ruang baca, serta workshop, sementara rumah kaca berfungsi untuk memproduksi hasil berupa hasil kebun kepada fungsi komersil dan sebagai fungsi rekreasi. Selain dari fungsi di dalam bangunan dalam upaya mendorong minat pengunjung tapak terhadap kegiatan berkebun serta memberikan interaksi langsung dengan alam, dibuat sebuah fungsi kebun komunitas dimana perngunjung yang mendatangi tapak dapat menanam tanaman yang mereka inginkan pada area yang disediakan di tapak.

Author(s):  
Jessica Santoso ◽  
Sutarki Sutisna

The consequences of living in a big city with such an intense life pace putting the citizens at higher risk for stress compared to those who live in the rural areas. Jakarta ranked 132nd out of 150 in the world’s most stressfull cities ranking. The stress level of its citizens is at level five on a scale of 1-10 and the numbers of its population with mental health problem keeps increasing each year. There are several factors that contribute to stress, i.e. the high rate of urbanization, traffic congestion, the lack of green spaces availability, heavy workload and also the pace of life in cities that needs us to always be faster, dynamic and efficient. Therefore, those who live in the cities needs the third place. A comfier space between home (first place) and work (second place) for citizens to spend the time, to take  a break from the daily routine, to socialize and to interact with others, and also as a place to relieve the stress. Using the healing environment approach, the purpose of Tjikini Stress Relieve Art Space is to provide an urban public space for recreation, freedom of expression, social gathering, social interaction and to have better knowledge on the arts as one of the alternatives to relax and to relieve the stress. It also acts as an supporting facility for arts activities in Cikini area which will become art and culture center of Jakarta. Keywords: Interaction; Stress; Third Place; Urban Stress AbstrakKonsekuensi tinggal di kota besar dengan dinamika kehidupannya yang sangat intens menjadikan masyarakat perkotaan rentan mengalami stres dibandingkan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Jakarta menduduki peringkat ke-132 dari 150 kota paling stres di dunia. Tingkat stres masyarakatnya telah memasuki tahap kritis yakni, melebihi stadium lima dari skala 1-10 dan jumlah penderita gangguan mental emosional (stres) yang terus meningkat setiap tahunnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab stres masyarakat kota diantaranya, tingginya tingkat urbanisasi, kemacetan, kurangnya ketersediaan ruang terbuka hijau, stres akibat menghadapi beban tuntutan pekerjaan hingga stres akibat tuntutan kehidupan perkotaan yang serba cepat, dinamis, dan serba efisien. Maka dari itu, masyarakat kota membutuhkan tempat ketiga. Sebuah ruang yang menghubungkan  rumah atau tempat tinggal (tempat pertama) dan tempat kerja (tempat kedua) sebagai ruang publik yang lebih santai bagi masyarakat kota untuk dapat beristirahat, berhenti sejenak dari segala rutinitas yang dilakukan setiap hari, bersosialisasi dan  berinteraksi serta menjadi tempat untuk menyalurkan stres. Dengan menggunakan metode Healing Environment, Ruang Seni Bebas Stres Tjikini bertujuan untuk membuat sebuah ruang publik yang memberikan ruang dan waktu bagi masyarakat kota untuk berkreasi, berekspresi, berkumpul, berinteraksi, dan mengenal lebih luas mengenai seni sebagai salah satu alternatif untuk relaksasi dan menyalurkan stres mereka. Juga sebagai fasilitas pendukung kegiatan seni pada Kawasan Cikini yang akan menjadi Pusat Kesenian Dan Kebudayaan Jakarta.


Author(s):  
Denzel Suptan ◽  
Denny Husin

The phenomenon of the need to complement the daily activities of urban communities in an area need to be responded to in a design strategy that can resolve various kinds of conflicts. This is happening in Jakarta where there were still problems with the lack of public space facilities that not reach the residential area. The issue that the region has its characteristics that also raises a variety of activities in addition to daily routine activities in the form of a variety of entertainment activities, commerce, and even some activities accommodate various events. The purpose of this study is to raise public space as a unifying space or transition from routine home (first place) and work (second place). Cross, trans, and dis programming methods are used by not eliminating or changing things that are already characteristic of the region, by studying activities that might be reactivated and then simulated, hypothetically Pasar Baru can play a role in realizing physical identity as the old city to continue to live and be sustainable. The step used is to insert certain events in an empty slot in a year with the program insertion method. The findings are that program events can continue to be connected at all times through embedded programs. The results of this third place project show that architecture can contribute to the development of the program. Keywords:  Program; Third Place; Transition AbstrakFenomena kebutuhan akan pelengkap aktivitas keseharian masyarakat kota di suatu daerah perlu untuk direspon ke dalam strategi desain yang dapat menyelesaikan berbagai macam konflik. Hal tersebut tentunya terjadi di kota Jakarta yang masih terdapat masalah minimnya fasilitas ruang publik dan kurang menjangkau area permukiman. Isu bahwa wilayah memiliki karakteristiknya sendiri yang juga memunculkan berbagai aktivitas selain kegiatan rutinitas sehari-hari berupa ragam kegiatan hiburan, niaga, bahkan ada kegiatan yang menampung berbagai event/acara-acara menjadi latar belakang studi. Tujuan penelitian ini adalah mengangkat ruang publik sebagai ruang pemersatu atau transisi dari rutinitas rumah (first place) dan pekerjaan (second place). Metode programming cross, trans, dan dis digunakan dengan tidak menghilangkan atau mengubah secara total berbagai hal yang sudah menjadi karakteristik dari kawasan, dengan cara mempelajari aktivitas-aktivitas yang mungkin bisa diaktifkan kembali lalu disimulasikan. Secara hipotesis Pasar Baru dapat berperan kembali mewujudkan identitas fisik sebagai kota lama agar dapat terus hidup dan berkesinambungan. Langkah yang digunakan yaitu menyisipkan event tertentu pada celah yang kosong dengan metode penyisipan program. Temuannya berupa event program dapat terus terhubung di setiap waktu melalui program-program yang disisipkan. Hasil proyek tempat ketiga ini menunjukkan bahwa arsitektur dapat turut serta berkontribusi dalam mengupayakan pengembangan program.


Author(s):  
Tramilia Salsabila Utami ◽  
Nina Carina

Cinema in Jakarta generally located in a shopping mall in Jakarta. Cinema nowadays becomes a destination for people but not yet become a third place. The lack of third place in Jakarta that can provide a place for gathering, as a meeting point, and entertainment makes Jakarta residents used commercial building as a third place. Looking at the design and program a cinema that can meet the conditions and characteristics of a third place by looking at the phenomenon cinema in Jakarta. Open cinema takes layar tancap concept or "misbar" that have been established in Indonesia. The purpose of layar tancap is to give an entertainment in areas that are difficult to reach, apparently can be applied in the city. Under the discussion, a cinema should be able to become the third place so that makes the visitor feel comfortable, with the main activity is watching a movie. Open cinema is expected to become a third place that can provide entertainment watching a movie in Jakarta without having to come to a cinema in a shopping center. Cinema that can become a third place in Jakarta. Giving a cinema with a different atmosphere, trying to give space for people to interact while providing entertainment. Keywords: Entertainment; Open Cinema; Third place AbstrakBioskop di Jakarta umunya berada di dalam pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Bioskop saat ini menjadi tujuan namun belum menjadi sebuah third place. Minimnya third place di Kota Jakarta yang dapat memberikan wadah untuk berkumpul, titik temu, dan menyediakan sebuah hiburan membuat warga Jakarta menjadikan bangunan komersil sebuah third place. Bagaimana desain dan program sebuah bioskop yang dapat memenuhi syarat dan ketentuan sebuah third place dengan melihat fenomena bioskop di Jakarta saat ini. Open cinema atau sinema terbuka mengambil konsep layar tancap atau misbar yang dari dulu sudah ada di Indonesia. Layar tancap yang tujuan utamanya adalah untuk memberikan hiburan di daerah yang sulit dijangkau ternyata dapat diterapkan di kota besar. Dalam pembahasan sebuah bioskop seharusnya dapat menjadi ruang ketiga sehingga dapat membuat penggunanya merasa nyaman, dengan memberikan aktivitas utama menonton film. Open Cinema diharapkan dapat menjadi third place yang dapat menyediakan hiburan menonton di Jakarta tanpa harus datang ke bioskop di pusat perbelanjaan kota seperti bioskop saat ini. Open Cinema dapat menjadi sebuah third place di kota Jakarta, yang memberikan hiburan menonton dengan suasana yang berbeda, berusaha memberikan ruang hiburan dan interaksi bagi masyarakat.


Author(s):  
Christine Christine ◽  
Suwandi Supatra

The process of building a city is inseparable from the development of parks within the city. Whilst the process of building a city must have a priority towards the designing of parks in each region. One of the cities that has issues with the process of developing parks in Indonesia is Jakarta. Jakarta is classified as a city with minimal park recreation although benefits of having a park recreation might help individuals in overcoming stress. Utilization of green open space in urban areas that parks have 4 main functions namely ecological, social, economic, and aesthetic functions. However, people who live in big cities are faced with a variety of occupations and work demands, therefore individuals need a place of entertainment or recreation, one of which can be a flower garden. As we know at this moment in time, individuals more often interact through social medial, therefore we unconsciously lose the essence of social life. The loss of direct interaction between individuals, resulted in the growth of individualism, narcissism and lack of empathy in humans. With that being said, we need a proper place for the community to refresh their mind, socialize, relax themselves in order to increase interaction between individuals. The facilities needed are in the form of a public educational flower garden and therapy park which is commercial, especially for the surrounding community. In addition, the existence of the Educational Flower Garden and Therapy Park will be able to enhance social interactions and in accordance with the character of the surrounding community. Keywords: Park; Social; Third place AbstrakProses pengembangan suatu kota tidak terlepas dari perkembangan taman hijau RTH dalam kota tersebut. Dimana proses pembangunan suatu kota harus memberikan prioritas terhadap perancangan taman hijau RTH pada setiap wilayah. Ruang terbuka hijau RTH merupakan sebuah kebutuhan dasar yang dibutuhkan masyarakat perkotaan. Taman hijau RTH memiliki 4 fungsi utama, yaitu fungsi ekologis, sosial, ekonomis, dan estetika. Fungsi ekologis, taman merupakan paru-paru dunia dan taman memiliki fungsi untuk meredam kebisingan. Fungsi sosial, taman dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi dimana individu dapat berkumpul dan bersosialisasi, fungsi estetika, taman memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperindah kota dan taman juga memberikan unsur ketenangan. Setelah dianalisa RTH Jakarta termasuk kota yang minim akan rekreasi taman hijau RTH. Seperti yang kita ketahui pada zaman sekarang individu lebih sering berinteraksi melalui sosial media, sehingga kehidupan bersosial mulai kehilangan makna. Oleh karena itu, dibutuhkan berupa taman edukasi bunga dan terapi yang berupa komersial, khususnya bagi masyarakat sekitar. Selain itu keberadaan Taman Edukasi Bunga dan Terapi harus bisa memicu interaksi sosial dan sesuai dengan karakter masyarakat sekitar. Terdapat 3 program utama untuk mewujudkan visi yaitu : edukasi bunga, pasar bunga dan kuliner yang dapat dilakukan bersama keluarga ataupun kerabat. Tujuan dari proyek ini agar masyarakat dapat merasakan pengalaman berada di bagunan  yang dipenuhi dengan taman hijau RTH serta sebagai tempat pertemuan, bersosialisai dan berkumpul masyarakat


Author(s):  
Indra Aristyanto ◽  
Timmy Setiawan

The life of Jakarta’s people who are very dynamic in their routine sometimes makes them forget the importance of socializing and resting for a while. The need for a third place, in addition to home and workplace, could be a solution to provide space that is able to make people forget their main activities and relieve fatigue from their routine in order to have a better quality of life. Tebet as one of the densely populated residential areas in Jakarta certainly needs this third place so that its people can have a better quality of life. The existence of many kinds of public transportation in Tebet such as electric trains, Transjakarta buses and LRT (which are still in the development stage) makes the flow of the movement of people who are the users become very dynamic. The space between the house and the transportation points is needed as a third place that becomes a transit point and can accommodate activities that can make them comfortable after / before their routine. In addition, Tebet Park as the largest form of public space in the Tebet area needs to be encouraged to better accommodate the activities of its people. From the various potentials and problems, project designed close to Taman Tebet that able to accommodate the activities of the Tebet community as a gate between home and work place with programs such as shops, restaurants, sports facilities, parking facilities and a place to gather and relax to accommodate their activities and needs. AbstrakKehidupan masyarakat Jakarta yang sangat dinamis dalam rutinitasnya kadang membuat mereka lupa akan pentingnya bersosialisasi dan beristirahat sejenak. Kebutuhan akan ruang ketiga, selain rumah dan tempat kerja, dapat menjadi solusi untuk memberikan ruang yang mampu membuat masyarakat melupakan kegiatan dan melepas penat dari rutinitasnya agar memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Kawasan Tebet sebagai salah satu kawasan permukiman yang padat di Jakarta tentu membutuhkan ruang ketiga ini agar masyarakatnya dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Keberadaan transportasi publik yang beragam di kawasan ini seperti kereta listrik, bus Transjakarta serta LRT yang masih dalam tahap pembangunan membuat alur pergerakan masyarakat yang menjadi pengguna menjadi sangat dinamis. Ruang antara rumah dan titik-titik transportasi tersebut diperlukan sebagai ruang ketiga yang menjadi titik transit dan mampu mewadahi aktivitas yang bisa membuat mereka nyaman setelah/sebelum beraktivitas. Selain itu, Taman Tebet sebagai bentuk ruang publik terbesar yang ada di kawasan Tebet perlu didorong untuk lebih mewadahi aktivitas masyarakatnya dengan lebih baik. Dari beragam potensi dan masalah tersebut, dirancanglah proyek yang berada dekat dengan Taman Tebet dan mampu mengakomodasi aktivitas masyarakat Tebet sebagai gerbang di antara tempat tinggal dan tempat kerja dengan program seperti pertokoan, tempat makan, sarana olahraga, fasilitas parkir dan tempat berkumpul dan bersantai untuk mewadahi aktivitas dan kebutuhan mereka.


Author(s):  
Devi Septiani ◽  
Tony Winata

Reduced public open space due to competition in urban areas has resulted in reduced community gathering activities (third place). Many big cities in Indonesia are aggressively building new parks or revitalizing old parks, like in the city of Jakarta. This is because the population density reaches 15,663 people / km2. The population continues to grow from 4.5 million people (1970) to double that, which is 9.6 million in 2010, while now it has reached 10.4 million people and is estimated to be 11-15 million by 2020-2030. As a result, almost all of the surface of the city has been devoured by buildings and changed the function of its designation Kelapa Gading sub-district with an area of 161.21 ha, this district has several shopping centers whose area exceeds the existing green space, namely, an area of 996,215 m2, through the results of observational studies that have been carried out then a proposed project that can meet the needs of the ivory coconut community for a healthy lifestyle with limited land as a means of sports that can accommodate various groups of people. Not only as a sports facility, but as a recreational facility and container that can accommodate interactions in the ivory coconut community. By looking at the parameters that exist in designing the third space, this design is adjusted to the ivory community's need for public space as the third space. AbstrakBerkurangnya ruang terbuka publik akibat persaingan lahan di perkotaan mengakibatkan berkurangnya aktivitas berkumpul bagi masyarakat (third place). Banyak kota – kota besar di Indonesia yang gencar untuk membangun taman baru atau merevitalisasi taman lama, seperti di Kota Jakarta. Hal ini dikarenakan tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 15.663 jiwa/km2. Populasi terus bertambah dari 4.5 juta jiwa (1970) hingga menjadi dua kali lipatnya, yaitu 9.6 juta pada tahun 2010, sedangkan sekarang telah mencapai 10.4 juta orang dan diperkirakan untuk menjadi 11 – 15 juta pada tahun 2020 – 2030 mendatang. Akibatnya hampir seluruh permukaan kota telah habis dimakan bangunan dan berubah fungsi peruntukannya Kecamatan Kelapa gading dengan luasan wilayah 161,21 ha, kecamatan ini memiliki beberapa pusat perbelanjaan yang luasnya melebihi RTH yang ada yaitu, seluas 996.215 m2, melalui hasil studi observasi yang telah dilakukan maka diusulkan proyek yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kelapa gading akan gaya hidup yang sehat dengan lahan yang terbatas sebagai sarana olahraga yang dapat menampung berbagai kalangan maasyarakat. Tidak hanya sebagai sarana olahraga, tetapi sebagai sarana rekreasi dan wadah yang dapat menampung terjadinya interaksi dalam masyarakat kelapa gading. Dengan melihat parameter yang ada dalam mendesain ruang ketiga maka rancangan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kelapa gading akan ruang publik sebagai ruang ketiga.


2011 ◽  
Vol 243-249 ◽  
pp. 6530-6533
Author(s):  
Yun Yang Zheng

Shopping mall plays an important role in a city’s public space. It is the major site for the economic information exchanging, a vivid reflection of a city’s economic status, and to a large extent, it is a miniature of the city. This paper analyzes the function division, indoor space, mass and elevation of shopping mall, and thereby summarizes the future trend in the development of major commercial building.


Author(s):  
Vensiscaria Vensiscaria ◽  
Mieke Choandi

The fact is that the average Jakarta community has activities that only revolve around the scope of the first place (home-place of residence) and second place (office-place of work-place of study), this continues over and over until it becomes a boring routine. Therefore they need somewhere in between of their daily scope of routine. But ironically, when people need public space to be able to interact with each other, there is no place outside the first place and second place to do activities or just gather among people because of the lack or even the absence of public space facilities to accommodate them based on space limitations. Therefore, people need a Third place container that can be a place for answers to the needs of the space they need. Not only as a place to release stress and boredom due to routine, but also as a place to socialize with relatives, friends and neighbors who come from different backgrounds so they can live in mutual respect and side by side, where social inequalities will not be exposed at all to form humanistic, open, dynamic, and productive for each individual. These things that make the need for Third place to bridge life in the home and work activities with informal activities are needed. AbstrakFaktanya masyarakat Jakarta rata-rata memiliki kegiatan yang hanya berkisar di ruang lingkup first place (rumah-tempat tinggal) dan second place (kantor-tempat bekerja-tempat belajar), hal ini terus menerus berulang hingga menjadi sebuah rutinitas yang membosankan. Oleh karena itu mereka butuh suatu tempat in between dari rutinitas ruang lingkup mereka sehari hari. Namun ironisnya ketika masyarakat membutuhkan ruang publik untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya, tidak ditemukan tempat di luar lingkungan first place dan second place untuk melakukan kegiatan ataupun sekedar berkumpul antar sesama dikarenakannya minimnya atau bahkan tidak adanya fasilitas ruang publik untuk mewadahi mereka yang didasari oleh keterbatasan ruang. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan sebuah wadah Third place yang dapat menjadi tempat untuk jawaban atas kebutuhan ruang yang mereka butuhkan. Bukan hanya sebagai tempat melepaskannya stress dan kejenuhan akibat rutinitas, tapi juga sebagai wadah untuk bersosialisasi dengan saudara, teman-teman maupun tetangga yang berasal dari latar belakang berbeda agar dapat hidup saling respek dan berdampingan, yang dimana nantinya kesenjangan sosial tidak terekspos sama sekali guna membentuk sifat humanis, terbuka, dinamis, dan produktif bagi tiap individu. Hal-hal tersebut yang membuat kebutuhan akan Third place untuk menjembatani kehidupan dalam rumah dan aktifitas kerja dengan kegiatan informal sangat dibutuhkan.


Author(s):  
Erwin Andrianto ◽  
Rudy Trisno

In this study aims to discuss about the third place in the motorcycle community at Kotamatsum III in the city of Medan. The purpose of this study is to propose a design urban planning in the form of both physical and non-physical needs needed in the Kotamatsum III area of Medan by designing a motorcycle community place in the area, as a suitable third place in accordance with the program that has been prepared and to support the Masjid Raya Al-Mashun area as a place of worship and tourism that is comfortable, safe and creative, which is realized in the design of architectural designs that benefit all parties and on target. Third place as a public space in a neutral place, where people can gather and interact. Unlike the first place (home) and the second place (work), the third place allows people to put aside their worries and just enjoy the company and the conversation around them. The third place “holds individual, regular, voluntary, informal meetings and are happily anticipated outside the realm of home and work.”. These spaces promote social justice by enhancing guest status, providing background for grassroots politics, creating public association habits, and offering psychological support to individuals and society. The design methods used in this study are the concept of a metaphor. Second function follows  form. The results of the study produce designs that are expected to meet the needs of the motorcycle community in the area both in design, function and program. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menulusuri tentang tempat ketiga, dimana merupakan lingkungan sosial yang terpisah dari dua lingkungan sosial lainnya. Penelitian ini membahas tentang tempat ketiga yakni wadah komunitas motor di kawasan Kotamatsum III di kota Medan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan usul perencanaan urban desain berupa kebutuhan–kebutuhan fisik maupun non fisik yang diperlukan pada kawasan Kotamatsum III – Medan, sebagai tempat ketiga yang layak sesuai dengan program yang telah disusun serta untuk mendukung kawasan Mesjid Raya Al – Mashun sebagai tempat ibadah dan parawisata yang nyaman, aman dan rekreatif yang diwujudkan dalam perancangan desain arsitektur yang menguntungkan semua pihak dan tepat sasaran. Tempat ketiga sebagai ruang publik di tempat netral, tempat orang dapat berkumpul dan berinteraksi. Berbeda dengan tempat pertama (rumah) dan tempat kedua (bekerja), tempat ketiga memungkinkan orang untuk mengesampingkan kekhawatiran mereka dan hanya menikmati suasana dan percakapan di sekitar mereka. Tempat ketiga "menyelenggarakan pertemuan individu, reguler, sukarela, informal, dan yang dengan gembira diantisipasi di luar ranah rumah dan pekerjaan." Oldenburg menjelaskan bahwa taman , jalan-jalan utama, pub, kafe, kedai kopi, kantor pos, dan tempat ketiga lainnya adalah jantung dari vitalitas sosial komunitas. Tempat ketiga yang berfungsi mempromosikan keadilan sosial dengan meningkatkan status tamu, menyediakan latar bagi politik akar rumput, menciptakan kebiasaan asosiasi publik, dan menawarkan dukungan psikologis kepada individu dan masyarakat. Metode perancangan yang digunakan dalam penilitian ini adalakonsep metafor. Kedua, menggunakan konsep fungsi mengikuti bentuk. Hasil penelitian menghasilkan desain yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan komunitas sepeda motor di Kawasan tersebut baik dalam desain, fungsi maupun program.


This article analyzes the main problems of urban public spaces, because today public spaces can determine the future of cities. It is noted that parks are multifunctional public spaces in the urban environment, as they are an important element of the citywide system of landscaping and recreation, perform health, cultural, educational, aesthetic and environmental functions. The article notes that the need for easily accessible and well-maintained urban parks remains, however, the state of parks in many cities of Russia remains unsatisfactory, requiring reconstruction. A brief historical background of the Park of Culture and Rest of the Soviet period in Omsk is expounded, the analysis of the existing territory of the Park is presented. It is revealed that the Park, being the largest public space in Omsk, does not meet the requirements of modern urbanism, although it represents a great potential for designing the space for the purpose of recreation of citizens. Performed functional zoning scheme of the territory of the Park in question, where its division into functional areas destined for active recreational users of the Park is presented, considered the interests of senior citizens, people with limited mobility, etc. Reconstruction of Parks of the Soviet period can provide the city with additional recreational opportunities, as well as increase its tourist attractiveness.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document