Jurnal Bina Mulia Hukum
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

73
(FIVE YEARS 33)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Jurnal Bina Mulia Hukum

2540-9034, 2528-7273

2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 137-155
Author(s):  
Setyo Karno Widigdo

ABSTRAKTulisan ini bertujuan untuk menelaah pengaturan serta mekanisme pelaksanaan koordinasi antar lembaga terkait pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) bagi Bank sebagai implikasi terbitnya UU No.2 Tahun 2020. Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah berdampak terhadap memburuknya sistem keuangan terutama berkaitan erat dengan meningkatnya risiko likuditas Bank sehingga perlui dimitigasi, salah satunya melalui pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada BPR. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kewenangan Bank Indonesia dalam memberikan PLJP bagi Bank Sistemik dan Bank selain Bank Sistemik sebagai amanat UU No.2 Tahun 2020 merupakan penegasan atas kewenangan Bank Indonesia sebagaimana telah diatur dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UUPPKSK). Pengaturan pemberian PLJP kepada Bank Umum telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang telah mengakomodir kewenangan sebagaimana dalam UU PPKSK, namun belum terdapat pengaturan dan mekanisme pelaksanaan koordinasi antar lembaga terkait pemberian PLJP kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Ketentuan yang masih berlaku sehubungan dengan fasilitas PLJP bagi BPR masih merujuk pada PBI No. 10/35/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Perkreditan Rakyat dan PBI No. 11/29/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pengaturan yang ada saat ini dinilai sudah tidak relevan dan memadai dalam rangka mengakomodir UU No. 2 Tahun 2020 dan tentunya UUPPKSK, juga mengingat telah beralihnya kewenangan pengawasan perbankan secara mikroprudensial kepada Otoritas Jasa Keuangan.Kata kunci: otoritas jasa keuangan; pinjaman likuditas; pengaturan. ABSTRACTThis paper aims to examine the arrangements and mechanisms for implementing inter-institutional coordination related to the provision of Liquidity Assistance (PLJP) for Banks as the implications of the issuance of UU No.2 Tahun 2020. The Corona Virus Disease (Covid-19) pandemic has had an impact on the deterioration of the financial system, especially closely related to the increased liquidity risk, so it needs to be mitigated, one of which is through liquidity assistance or Sharia Liquidity Assistance to rural banks. In this study the authors use a normative method with a conceptual and statutory approach. Research shows that the authority of Bank Indonesia in providing PLJP for Systemic Banks and Banks other than Systemic Banks as mandated by PERPPU No.1 of 2020 is an affirmation of the authority of Bank Indonesia as stipulated in the Financial System Crisis Prevention and Management Act (UUPPKSK). The arrangement for granting PLJP to commercial banks has been regulated in a Bank Indonesia Regulation (PBI) that has accommodated the authority as stipulated in the UUPPKSK, but there is no regulation and mechanism for implementing coordination between institutions related to the granting of PLJP to Rural Banks (BPR). Provisions that still apply in relation to PLJP facilities for Rural Banks still refer to PBI No. 10/35/PBI/2008 concerning Liquidity Assistance for Rural Banks and PBI No. 11/29/PBI/2009 concerning Sharia Liquidity Assistance for Sharia Rural Banks. Existing regulations are considered to be irrelevant and insufficient in order to accommodate PERPPU No. 1 of 2020 and of course the UUPPKSK, also considering microprudential banking supervision authority has been transferred to the Financial Services Authority (OJK).Keywords: liquidity assistance; otoritas jasa keuangan; regulatation.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 74-88
Author(s):  
Cholifah Damayanti

ABSTRAKKegiatan peluncuran dan reentry merupakan kegiatan yang relatif unik karena dapat menimbulkan resiko pada manusia dan property di darat, laut dan udara bahkan di orbit. Beberapa kasus melibatkan peluncuran di mana wahana tersebut tidak berhasil mengorbit dan jatuh kembali ke Bumi. Untuk itu, pentingnya keselamatan dalam setiap peluncuran untuk suatu wahana ke antariksa perlu didukung dengan adanya regulasi yang jelas di Indonesia. Kajian ini ditujukan untuk memberikan rekomendasi berupa materi muatan regulasi yang dapat berlaku di Indonesia apabila akan meluncurkan satelit dari bandar antariksa di wilayah Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, adapun kesimpulan materi muatan yang wajib ada adalah keselamatan per tahapan peluncuran yaitu pra peluncuran, pada saat peluncuran dan setelah peluncuran termasuk apabila ada kegagalan dalam peluncuran (failed dan fase kritis peluncuran); perizinan dan tanggung jawab. Perlunya penyusunan Peraturan Pemerintah tersendiri mengenai keselamatan atau Peraturan Lembaga yang berlaku secara nasional.Kata kunci: keselamatan; peluncuran wahana antariksa (satelit); regulasi. ABSTRACTLaunch and reentry operations are relatively unique activities because they can place people at risk on land, at sea and in the air even in orbit. Several more cases involved launches where the vehicle did not make it to orbit and came crashing back to Earth. Therefore, the importance of safety in every launch for a vehicle to space needs to be supported by the existence of clear regulations in Indonesia. This study is intended to provide recommendations in the form of regulatory content material that can apply in Indonesia if it will launch satellites from space airports in the territory of Indonesia. This study uses a normative juridical method with a legislative approach and a conceptual approach. The results of this study are safety for launch phase, pre-launch, at launch and after launch including if there is a failure in a launch (failed and the critical phase of the launch); licensing and responsibility. Subsequently, needs to drafting separate Government Regulations regarding safety or Institution Regulations that apply nationally.Keywords: regulation; safety; spacecraft (satellite) launch.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 15-35
Author(s):  
Runggu Prilia Ardes

ABSTRAKUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan mengamanatkan Indonesia untuk menguasai teknologi keantariksaan secara mandiri. Namun, pemenuhan tujuan tersebut tidak mudah karena teknologi keantariksaan bersifat sensitif sehingga persebarannya dilindungi dan dibatasi oleh negara-negara maju. Wujud pelindungan tersebut adalah rezim pengendalian ekspor yang pada dasarnya bersifat soft law (hukum lunak), namun dalam penerapannya mengikat secara mutlak. Indonesia tengah menyusun sebuah Peraturan Pemerintah dengan harapan dapat meyakinkan negara-negara maju bahwa teknologi mereka akan aman di Indonesia. Tulisan ini hendak menganalisis bagaimana standar pengaturan pelindungan teknologi sensitif di negara-negara dan apakah ada kesenjangan antara praktik negara-negara dengan di Indonesia, dengan menggunakan metode perbandingan yaitu membandingkan peraturan di negara-negara (Uni Eropa dan Tiongkok) dengan peraturan Indonesia. Hasil analisis menunjukkan standar pengaturan pelindungan teknologi sensitif di negara-negara umumnya memuat (i) konsep pelindungan teknologi; (ii) penerapan rezim pengendalian ekspor internasional; (iii) daftar teknologi sensitif keantariksaan dan prinsip catch-all; (iv) perizinan dan penilaian; serta (v) pengawasan. Tulisan ini juga menemukan adanya kesenjangan antara standar tersebut dengan rancangan Peraturan Pemerintah di Indonesia. Kata kunci: pelindungan teknologi; pengendalian ekspor; teknologi sensitif. ABSTRACTLaw of the Republic of Indonesia Number 21 Year 2013 concerning Space Activities mandates Indonesia to master space technology independently. However, fulfilling these objectives is difficult because space technology is sensitive so that its distribution is protected and limited by developed countries. Such form of protection is export control regimes which is basically soft law but, in its application, is absolutely binding. Indonesia is currently drafting a Government Regulation in the hope of convincing developed countries that their technology will be safe in Indonesia. This paper intends to analyze how the standards for the regulation of the protection of sensitive technology in some States and whether there is a gap between such practices and in Indonesia, with comparative method which is comparing existing regulations in several States (European Union and China) with Indonesian regulations. The result of the analysis shows that the regulatory standards for sensitive technology protection in States generally consist of (i) the concept of technological protection; (ii) implementation of international export control regimes; (iii) list of space-sensitive technologies and the catch-all principle; (iv) licensing and assessment; and (v) supervision. This paper also finds gaps between these standards and the draft Government Regulation in Indonesia. Keywords: export control; sensitive technology; technology protection.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 119-136
Author(s):  
Hafrida Hafrida ◽  
Helmi Helmi

ABSTRAKArtikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep perlindungan korban melalui kompensasi dalam peradilan pidana anak sebagai wujud tanggungjawab negara. Peradilan Pidana Anak di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengedepankan penyelesaian perkara anak melalui keadilan restoratif yang memberikan perlindungan yang seimbang antara perlindungan pelaku anak melalui diversi dan perlindungan korban tindak pidana anak. Diversi yang memberikan perlindungan yang seimbang antara pelaku dan korban ini merupakan pembaharuan dalam hukum pidana anak yang berkeadilan untuk semua pihak (Victim-offender oriented). Keterlibatan korban/keluarganya dan pelaku/keluarganya sangat menentukan berhasil atau tidaknya diversi dalam penyelesaian perkara anak. Posisi pelaku/keluarganya dan korban/keluarganya adalah sejajar. Kepentingan kedua belah pihak harus sama dan seimbang. Perlindungan korban melalui kompensasi merupakan wujud tanggungjawab negara terhadap warga negara yang menjadi korban tindak pidana. Kondisi empirik menurut data Badilum MA menunjukan rendahnya keberhasilan diversi (4%), kegagalan diversi ini penyebab utamanya adalah tidak tercapainya kesepakatan ganti kerugian karena kesepakatan diversi hanya diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan pelaku dan korban. Disinilah menunjukan bahwa negara abai terhadap perlindungan korban, seharusnya ketika negara melindungi kepentingan pelaku anak melalui diversi maka seharusnya negara juga menjamin perlindungan korbannya melalui kompensasi, sehingga ke depan diharapkan tingkat keberhasilan diversi akan semakin baik. Kata kunci: kompensasi; korban tindak pidana; peradilan pidana anak; perlindungan korban. ABSTRACT This article aimed to analyze the concept of victim protection through compensation in juvenile criminal justice as a form of state responsibility. Juvenile Criminal Court in Indonesia through Law Number 11 of 2012 prioritizes the settlement of juvenile cases through restorative justice providing balanced protection between juvenile offenders through diversion and protection for victims of juvenile crimes through reform of juvenile criminal law that is just for all parties (victim-offender oriented). The involvement of the victim and his family and the perpetrator and his family will greatly determine the success or failure of diversion in solving juvenile cases. The position of the perpetrator and his family and the victim and his family are equal. The interests of both parties should be equal and balanced. Protection of victims through compensation is a form of state responsibility towards citizens who are victims of criminal acts. The empirical condition according to Badilum's data showed the low success of diversion (4%). The failure of this diversion is the main cause of the failure to reach an agreement for compensation because the diversion agreement is only left to the agreement of the perpetrator and victim. This showed that the state was ignorant of victim protection. When the state protects the interests of juvenile through diversion, the state should also guarantee the protection of the victims through compensation. Hence, the success rate of diversion will hopefully be better in the future. Keywords: compensation; juvenile criminal court; victims of crime; victim protection.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 103-118
Author(s):  
Intan Meitasari ◽  
Shinta Hadiyantina ◽  
Indah Dwi Qurbani

ABSTRAKPemerintah pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi pelayanan publik kepada masyarakat. Karena itu pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan professional, namun pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik di rasa masih belum maksimal, hal ini di tandai dengan masih banyaknya praktik-praktik Maladministrasi dan pengaduan dari masyarakat. Ombudsman Republik Indonesia yang dibentuk dan disahkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang memiliki tugas dan fungsi untuk mengawal proses pelayanan publik yang efisien, efektif, dan terlepas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Selain itu Ombudsman juga memiliki wewenang dalam menyelesaikan sengketa pelayanan publik dengan cara mediasi, konsiliasi dan ajudikasi khusus atau ganti rugi yang dapat di putus oleh Ombudsman. Kenyataannya Ombudsman hanya mampu memberikan rekomendasi kepada terlapor, untuk tindakan selanjutnya tergantung dari itikad baik terlapor, karna rekomendasi yang di berikan oleh Ombudsman tidak bersifat mengikat. Selain itu terdapat ketidak relevasian antara Undang-Undang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Ombudsman sehingga perlu adanya pembaharuan dalam kedua Undang-Undang tersebut, dan perlu di atur lebih lanjut terkait Peraturan Presiden Tentang mekanisme dan tata cara pembayaran ganti rugi ajudikasi khusus.Kata kunci: ajudikasi khusus; ombudsman; pelayanan publik; urgensi. ABSTRACTThe government is essentially carrying out the function of public services to the community. Therefore the government is obliged and responsible to provide good and professional public services. However, the public services provided by the public service providers are felt still not optimal, this is marked by the many practices of maladministration and complaints from the community. The Ombudsman of the Republic Indonesia which was formed and approved in UUD (Indonesian constitution) Number 37 of 2008 concerning of the Ombudsman of the Republic Indonesia, which has the duty and function to oversee the process of public services that is efficient, effective, and free from collusion, corruption and nepotism. In addition, the Ombudsman also has the authority to resolve public service disputes by means of mediation, conciliation and special adjudication or compensation that can be decided by the Ombudsman. In reality the Ombudsman is only able to provide recommendations to the reported, for further action depends on the reported good faith, because the recommendations given by the Ombudsman are not binding. In addition, there is an irrelevance between the Public Service Act and the Ombudsman Law, so there is a need for reforms in both of these Laws, and it needs a renewal to the both of the Act, and also needs to be regulated further related to the Presidential Regulation concerning the mechanism and procedures for paying special adjudication compensation.Keywords: ombudsman; public services; special adjudication; urgency.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 156-175
Author(s):  
Dona Pratama Jonaidi ◽  
Andri G Wibisana

ABSTRAKMeskipun hak gugat pemerintah atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup telah menjadi hal yang lazim dewasa ini, namun di Indonesia landasan doktriner gugatan pemerintah tersebut masih jarang diperbincangkan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis landasan teoretis hak gugat pemerintah. Berdasarkan kajian analisis atas peraturan dan putusan pengadilan yang berlaku, serta melakukan perbandingan dengan doktrin-doktrin yang berlaku dalam tradisi common law, tulisan ini menemukan bahwa gugatan pemerintah telah diajukan dalam beberapa dasar teoretis yang berbeda, antara lain: i) pemerintah sebagai wali lingkungan hidup; ii) kerugian negara; dan iii) konsekuensi tanggung jawab negara terkait lingkungan hidup. Selain itu, hak gugat pemerintah di Indonesia memiliki karakteristik yang serupa dengan yang ditemukan dalam doktrin public trust dan doktrin parens patriae. Kemiripan ini membawa pada konsekuensi hukum bahwa gugatan pemerintah atas pencemaran harus ditujukan semata-mata untuk memulihkan lingkungan hidup yang mengalami kerusakan/pencemaran.Kata kunci: doktrin; hak gugat pemerintah; kerugian lingkungan hidup. ABSTRACTDespite the government’s right to sue for environmental damage is a common practice in various countries nowadays, in Indonesia the theoretical basis of it is rare to be discussed. Using a doctrinal-research, this article analyzes the government’s right to sue with prevailing laws and court rulings and compares it to several common law doctrines. This article finds the government’s right to sue in Indonesia is based to three different theories, including: i) the government as a trustee of public natural resources; ii) state’s damage; and iii) the tail of state’s responsibility. In addition, the government’s right to sue also shares similar characteristics found in the public trust doctrine and parens patriae doctrine. The similarities bring about the legal basis that the government’s suit against pollution should primarily aim at restoration.Keywords: doctrine; environmental damage; government’s right to sue.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 53-73
Author(s):  
Rosdiana Rosdiana ◽  
Ulum Janah

ABSTRAKKesadaran akan penyelesaian melalui peradilan formal umumnya masih dirasakan kurang memberikan keadilan bagi korban, seringkali masih menyimpan ketidakpuasan korban atas sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku oleh pengadilan. Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian delik adat secara musyawarah mufakat dalam bentuk perdamaian adat masih menjadi primadona dalam menyelesaikan delik adat. Penyelesaian antara pelaku dan korban secara kekeluargaan ataupun melalui peradilan adat merupakan penyelesaian dengan mencari keadilan hakiki. Penelitian ini dilakukan dengan metode sosiologis. yaitu penelitian studi empiris, penelitian yang berorientasi pada aspek hukum dan aspek non hukum yakni mengkaji dan menganalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan penerapan restorative justice dalam tindak pidana perzinaan pada Masyarakat Kutai Adat Lawas. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian tindak pidana perzinahan pada Masyarakat Kutai Adat Lawas menerapkan konsep restorative justice, yang model penyelesaiannya ditentukan oleh ketua adat, atau melalui peradilan adat. Keadilan restoratif ini diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana perzinahan sebagai upaya untuk memulihkan penderitaan yang dialami korban dan untuk memperbaiki keseimbangan masyarakat. Sanksi bagi pelaku zina bukan sanksi fisik tetapi sanksi berupa pengganti kerugian atau denda yang dikenakan atas perbuatan yang dilakukan. Jika kejadian perselingkuhan terjadi selama 3 (tiga) kali dan yang melakukan orang yang sama maka menggunakan hukum positif yaitu hukum pidana.Kata kunci: adat; perzinahan; restorative justice. ABSTRACTThe awareness of settlement with formal justice mostly does not offer satisfactory towards the victim, often times the victim still holds grudge and does not satisfied with the punishment given to the perperator. Therefore, the settlement of offense consetuede with restorative justice is the pre-eminent choice to solve the problem. The settlement between the perperator and the victim with kinship or customary court is really essential. This research is using sociology methods, that is an empirical study oriented towards legal & non legal aspects which is examine & analyze the work of law within the society with the application of restorative justice in criminal act of adultery in the Society of Kutai Adat Lawas. The result of the the research is to show that settlement of criminact act of adultery in Society of Kutai Adat Lawas apply the restorative justice, that the solving model is determined by the chief of the society, or customary justice. This restorative justice applied to solve the criminal act of adultery in attempt to console the victim and the harmony of the society. The penalty for the adultery perparator is not a physical punishment but with a fine worth of the criminal that has been done. If the same person did an affair 3 times, then the y use the positive punishment which is the criminal law.Keywords: adultery; customary; restorative justice.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 89-102
Author(s):  
Efa Laela Fakhriah

ABSTRAKBerdasarkan sistem hukum acara perdata yang berlaku, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR. Di samping itu juga alat bukti pemeriksaan setempat sebagaimana dan keterangan saksi ahli Hukum pembuktian yang berlaku saat ini, secara formal belum mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sedangkan dalam praktiknya di masyarakat melalui transaksi perdagangan secara elektronik, alat bukti elektronik sudah banyak digunakan, terutama dalam transaksi bisnis modern. Tulisan ini menghasilkan simpulan bahwa dalam hal memeriksa perkara yang pembuktiannya menggunakan bukti-bukti bersifat elektronik, karena hukum acara perdata (HIR) sebagai hukum formil tidak mengaturnya, maka hakim dapat mendasarkan pembuktian pada hukum materiil yang juga mengatur tentang hukum acara, dalam hal ini Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-undang Dokumen Perusahaan. Akan tetapi seandainya pun tidak ada peraturan materil yang mengatur tentang bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan, atau hakim tidak mau mendasarkan pembuktian pada hukum materiil, hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan cara analogi atau penafsiran hukum terhadap bukti yang bersifat elektronik agar dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan sebagaimana halnya alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata.Kata kunci: bukti elektronik; pembuktian; penemuan hukum. ABSTRACTAccording to the Civil Procedural Law system, the judges were bound to the legal evidences, which meant that the judges might only impose the verdict based on legal evidences which determined by the law as stated in Article 164 HIR for instances: documentary evidence, witness’ statement, allegation, recognition, and oath. In addition, the local inspection as legal evidence was also regulated in Article 153 HIR, and the expert statement stipulated in Article 154 HIR. The current of evidentiary law, was not accommodating electronic documents yet as legal evidence, while in fact electronic trading transactions among societies needed electronic evidence had been widely used, especially in modern business transactions. The problem was how the judge conducted a legal discovery in giving verdict in lawsuit dispute which was handled to use electronic evidence as legal evidence, in the other hand, according to the Civil Procedural Law system stated that evidentiary was legitimate when done using the evidence that had been determined/regulated in the Civil Procedural Regulation.Keywords: electronic evidence; evidentiary; legal discovery.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 1-14
Author(s):  
Nun Harrieti ◽  
Lastuti Abubakar

ABSTRAKBank wakaf dapat didefinisikan sebagai Lembaga Keuangan Syariah yang menjalankan aktivitas wakaf uang termasuk dalam proses penghimpunan, pendayagunaan, dan pendistribusiannya dalam rangka memanfaatkan harta benda wakaf berupa uang sesuai dengan fungsinya untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Bank wakaf dapat menjadi salah satu solusi dalam mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat termasuk di Indonesia. Saat ini, pengelolaan wakaf uang melibatkan perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang. Menarik untuk dikaji bagaimanakah pembaruan regulasi sektor jasa keuangan dalam pembentukan bank wakaf di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pembaruan regulasi sektor jasa keuangan dalam pembentukan bank wakaf di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan perundang-undangan terkait wakaf uang yang khususnya meliputi Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Wakaf beserta peraturan pelaksanaannya. Sebaiknya pembaruan regulasi tersebut dilakukan dengan membentuk forum koordinasi antar lembaga-lembaga terkait meliputi Kementrian Agama, BWI, OJK, BI, dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), terutama terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan wakaf uang di Indonesia dengan membuat aturan khusus mengenai bank wakaf sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Wakaf yang sudah diperbarui yang memuat aturan secara terperinci mengenai operasional bank wakaf. Kata kunci: bank wakaf; perbankan Syariah; regulasi; wakaf ABSTRACTA waqf bank can be defined as a Sharia Financial Institution that carries out the money waqf activities, including in the process of collecting, utilizing and distributing in the context of utilizing the waqf properties in the form of money in accordance with their function for worship interest and also to develop the public welfare. Waqf Bank can be one of the solutions in optimizing money waqf management in order to improve the welfare of the people including in Indonesia. Currently, the management of money waqf involves Sharia Banking as a Sharia Financial Institution that receives money waqf. It is interesting to investigated how is the renewal of financial service regulation within the establishment of waqf banks in Indonesia. This research was engaging a normative juridical research method with descriptive analytical research specifications. Renewal of financial services sector regulations within the establishment of waqf banks in Indonesia is by doing the amendment which related to money waqf in particular that covering the Sharia Banking Act and Waqf Act together with the implementing regulations. It is recommended that the renewal of the regulation is conducted by establish a coordinating forum between relevant institutions which includes Ministry of Religion, BWI, OJK, BI and Sharia National Economics and Finance (KNEKS), especially regarding the provisions which relating directly to the money waqf management in Indonesia by making a specific regulation about waqf banks as implementing regulations of the Sharia Banking Law and updated Waqf Law which accommodate a detailed regulations regarding waqf banks operations. Keywords: regulation; sharia banking; waqf; waqf bank.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 36-52
Author(s):  
Sri Ratna Suminar ◽  
Yoni Fuadah Syukriani ◽  
U Sudjana ◽  
Efa Laela Fakhriah

This article aims to determine the criterion of legal capacity of a patient in a contract for medical treatment and the legal consequences of a contract for medical treatment made by a minor. This article uses a normative juridical research method with a law approach and the data sources used are obtained from literature studies and document studies, and study results showed that there is a similar criterion for determining whether a patient is competent or not in giving consent for medical treatment between Indonesian law and Dutch law that is based on a legally fixed age. However, based on Dutch law, the age of legal capacity to consent for medical treatment differs from the age of legal majority. Meanwhile, English law uses mixed approaches to determine a minor capacity in giving consent for medical treatment that is based on the age and competence of a minor. Furthermore, according to Indonesian Law, a contract for medical treatment made by minors is voidable, whereas according to Dutch Law and also English Law any contract for medical treatment made by minors is legally binding.  


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document