scholarly journals ANALISIS KONTRASTIF KONSTRUKSI PASIF BAHASA JAWA KUNA DAN BAHASA JAWA (STUDI KASUS PRASASTI HARIÑJIŊ)

2019 ◽  
Vol 32 (2) ◽  
pp. 105
Author(s):  
Churmatin Nasoichah ◽  
Nfn Mulyadi

Passive sentence is a sentence subject to accept or subject to action. There are two languages which also have passive sentences, namely Javanese and Old Javanese. Before the Javanese language developed, it was known as Old Javanese. Old Javanese as one of the derivatives of Austronesian languages is a language that has very old literature. By studying the Hariñjiŋ A, B, C Inscriptions as one of the proofs of the use of Old Javanese language, the research was carried out with contrastive analysis, namely comparing it with Javanese. The problem is how do passive constructs in Old Javanese language (the case study of Hariñjiŋ A, B, CInscriptions) and Javanese when viewed using contrastive analysis? The purpose is to describe passive construction in Old Javanese (a case study on the Hariñjiŋ A, B, C Inscriptions) and Javanese inscriptions and compare the two sentence patterns. The method of this research is descriptive qualitative by using a descriptive comparative contrast method which aims to provide an overview of passive sentences and find differences. The conclusions are that the construction of passive sentences in Old Javanese (in the writing of the Hariñjiŋ A, B and C Inscriptions) has a transitive passive and intransitive passive form which is the same as Javanese. The passive form is indicated by a kiks prefix, a combination of affix-in, a combination of affixes, a combination of ma-affixes, and infix -in-. Whereas the Javanese language is only known to be a prefix, di- -ni, and di-confix, or to be deunned. It can be concluded also that passive sentence Javanese is not derived from Old Javanese but rather has an influence from Malay which is the forerunner of Indonesian. Kalimat Pasif merupakan sebuah kalimat subjek menerima atau dikenai aksi. Terdapat dua bahasa yang juga memiliki bentuk kalimat pasif, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Jawa Kuna. Sebelum bahasa Jawa berkembang, telah dikenal adanya bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna sebagai salah satu turunan dari bahasa Austronesia adalah bahasa yang mempunyai kesusastraan yang sangat tua. Dengan mengkaji Prasasti Hariñjiŋ A, B, C sebagai salah satu bukti adanya penggunaan bahasa Jawa Kuna, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif yaitu membandingkannya dengan bahasa Jawa. Adapun permasalahannya adalah bagaimanakah konstruksi pasif pada bahasa Jawa Kuna (studi kasus Prasasti Hariñjiŋ A, B, C) dan bahasa Jawa apabila dilihat dengan menggunakan analisis kontrastif? Adapun tujuannya untuk mendeskripsikan konstruksi pasif dalam bahasa Jawa Kuna (studi kasus pada Prasasti Hariñjiŋ A, B, C) dan bahasa Jawa serta membandingkan kedua pola kalimat tersebut. Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif komparatif kontras yang bertujuan memberikan gambaran tentang bentuk kalimat pasif serta menemukan perbedaannya. Adapun kesimpulannya adalah konstruksi kalimat pasif dalam bahasa Jawa Kuna (dalam penulisan Prasasti Hariñjiŋ A, B, dan C) memiliki bentuk pasif transitif dan juga pasif intransitif yang sama dengan bahasa Jawa. Bentuk pasifnya ditandai dengan prefiks ka-, kombinasi afiks -in- -an, kombinasi afiks -in- -akan, kombinasi afiks ma- -akĕn, dan infiks -in-. Sedangkan bahasa Jawa hanya diketahui prefiks di-, konfiks di- -ni, dan konfiks di- -ne, atau dipun- -aken. Dapat disimpulkan juga bahwa kalimat penanda pasif bahasa Jawa bukan diturunkan dari bahasa Jawa Kuna melainkan mendapat pengaruh dari bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia.

Jurnal KATA ◽  
2017 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 109
Author(s):  
Nova Mustika

<p><em>Contrastive analysis is a method that can be used to help the difficulties of a teacher in teaching a second language to their students, where learning a second language is strongly influenced by the mastery of the mother tongue. The purpose of this article is to describe comparison of passive sentences in Indonesian and English. The method of this research is descriptive qualitative to provide an overview of the form of the passive sentence and find differences and similarities between passive sentencesin Indonesian and English. Examples was created by the author herself taking into account the level of general acceptance by referring to the book of Tata Bahasa Indonesian and English Grammar. Passive sentences in Indonesian are characterized by use of the "di-", "ter" or "ke-". While in English it used “to be + V3 (Past participle)" which is based on the tenses used (time of occurrence). After comparing passive sentences in Indonesian and English, the author  found similarities and differences.</em></p><p><em><br /></em></p><p><em>Analisis kontrastif merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk membantu kesulitan seorang pengajardalam mengajarkan bahasa kedua kepada para siswanya, di mana dalam mempelajari bahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa ibu. Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan perbandingan kalimat pasif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. </em><em>Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif komparatif-kontras yang bertujuan memberikan gambaran tentang bentuk kalimat pasif serta menemukan perbedaan dan persamaan kalimat pasif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Contoh dibuat oleh penulis sendiri dengan mempertimbangkan tingkat keberterimaan secara umum dengan merujuk kepada buku Tata Bahasa Indonesia dan Grammar Bahasa Inggris. </em><em>Kalimat pasif dalam bahasa Indonesia dilihat dari strukturnya menggunakan “di-”, “ter-” ataupun “ke-”. Sementara dalam bahasa Inggris hanya mengenal “to be+ </em><em>V3 (Past Participle)</em><em>” yang </em><em>berdasarkankepada tenses yang digunakan (waktu kejadian)</em><em>. Setelah </em><em>membandingkan</em><em> kalimat pasif dalam bahasa Indonesia dan </em><em>b</em><em>ahasa Inggris, penulis telah menemukan persamaan dan perbedaan</em><em>nya</em><em>. </em><em></em></p><p><em><br /></em></p>


Kandai ◽  
2020 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 139
Author(s):  
Pipiet Palestin Amurwani

 Bahasa sebagai instrumen komunikasi berperan dalam menyampaikan pesan dari penutur kepada petuturnya. Salah satu faktor yang mendukung lancarnya komunikasi menggunakan bahasa adalah susunan kalimat atau sintaksis yang benar. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan kemampuan sintaksis Ezra setelah menjalani terapi wicara selama satu tahun. Subyek penelitian adalah seorang anak berusia tujuh tahun dengan gangguan pendengaran berat (kanan 95 dB, kiri 85 dB), bernama Ezra.  Data diperoleh dengan cara merekam dan mencatat ujaran-ujaran yang diucapkan Ezra. Data berupa ujaran dianalisis menggunakan teori sintaksis bahasa Indonesia oleh Chaer (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ezra dapat mengungkapkan keinginan, kemampuan, dan kesukaannya menggunakan pola kalimat dasar S+Adverbial+P, S+Adverbial+P+O, dan S+P+O. Dalam mengungkapan aktivitas yang sudah dia lakukan, Ezra menggunakan pola yang terbalik antara predikat dan adverbial “sudah”. Ezra belum bisa merespon pertanyaan dengan benar. Ini dapat dilihat dari jawaban yang diberikan tidak relevan dengan pertanyaan. Dalam mengungkapkan pertanyaan, Ezra cenderung menggunakan kata benda sebagai pengganti kata kerja.Language as an instrument of communication plays a role in conveying messages from speakers to their listeners. One of the factors that support the smooth communication using language is the correct sentence structure or syntax. This paper aims to describe the syntactic abilities of Ezra after undergoing speech therapy for one year. The study subjects were a 7-year-old child with severe hearing loss (right 95 dB, left 85 dB), named Ezra. Data obtained by recording and recording utterances uttered by Ezra. Data in the form of speech are analyzed using the syntactic theory of Indonesian Chaer (2009). The results showed that Ezra could express his desires, abilities, and preferences using basic sentence patterns S + Adverbial + P, S + Adverbial + P + O, and S + P + O. In expressing the activities that he has done, Ezra uses an inverse pattern between predicate and adverbial "sudah". Ezra hasn't been able to respond to questions correctly. This can be seen from the answers given that are not relevant to the question. In expressing the question Ezra tends to use nouns instead of verbs.


Jurnal KATA ◽  
2017 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 45
Author(s):  
Diana Kartika

<p>This study focus on differences grammatical between transitive and intransitif  verb forms Indonesian and Japanese that analyzed by comparing it. This study used contrastive analysis, of all the elements lingual, in this research  the object of this study is the morphological form of transitive and intransitif  verbs in Indonesian and Japanese. After analysed with contrastive how the shape of transitive and intransitif  verbs from both languages, then concluded as the final result of this study. The results of this study show that, (1) transitive verbs in Japanese need the object in the sentence and intransitif  verbs in Japanese doesn’t need the object in a sentence. Then, Indonesian transitive verbs are verbs that require object. (2) The transitive verb in Japanese is patterned (subject) wa / ga (object) o (transitive verb-tadoushi). Then, the intransitif  verb in Japanese patterned (subject) ga (intransitif  verb-jidoushi). In Indonesian sentence patterns transitive and intransitif  verbs S + P, which distinguishes the two verbs that are on each object. (3) in Japanese transitive and intransitif  verbs have endings as markers of each verb. Namely: a) -aru (tran), -eru (intran), b) -aru (intran), u (tran), c) -reru (intra), -sU (tran), d) -reru (intra- ), -ru (tran), e) - arareru (intran), u (trans), f) -ru (intran), -sU (tran), g) -eru (intran), -asu (tran), h) -u (intran), -asu (tran), i) -iru (intra), -osu (tran), and j) -u (intran), -eru (tran). While in Indonesian for a transitive verb is marked with the suffix Me-, memper-, memper-kan,  me-i, memper-I, me-kan and verba intransitif  marked by basic verbs, and  suffix  ber-, ber-kan, ter-, ke-an.</p><p> </p><p>Penelitian ini berfokus terhadap perbedaan gramatikal bentuk verba transitif dan intransitif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang yang dianalisis dengan cara membandingkan bentuk verba transitif dan intransitif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Penelitian ini menggunakan metode analisis kontrastif, dari semua unsur lingual kajian linguistic dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah morfologi bentuk verba transitif dan intransitif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Setelah dikontrastifkan bagaimana bentuk verba transitif dan verba intransitif dari kedua bahasa tersebut kemudian ditarik kesimpulan sebagai hasil akhir dari penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, (1) verba transitif dalam bahasa Jepang memerlukan objek penderita pada kalimat tersebut dan verba intransitif dalam bahasa Jepang tidak perlu objek penderita dalam sebuah kalimat. Sedangkan verba transitif dalam bahasa Indonesia adalah verba  yang membutuhkan objek. (2) Verba transitif dalam bahasa Jepang ini berpola (subjek) wa/ga (objek) o (kata kerja transitif-tadoushi). Sedangkan verba intransitif dalam bahasa Jepang berpola (subyek) ga (kata kerja intransitif-jidoushi). Sedangkan dalam bahasa Indonesia pola kalimat verba transitif dan intransitif S+P, yang membedakan dari kedua verba tersebut hanyalah pada objek masing-masing. (3) dalam bahasa Jepang verba transitif dan intransitif memiliki akhiran sebagai penanda masing-masing verba. Yaitu:a)  -aru (tran), -eru (intran), b) –aru (intran), -u (tran), c) –reru (intra), -su (tran), d) –reru (intra), -ru (tran), e) – arareru (intran), -u (trans), f) –ru (intran), -su (tran), g) –eru (intran), -asu (tran), h) –u (intran), -asu (tran), i) –iru (intra), -osu (tran), dan j) –u (intran), -eru (tran). Sedangkan dalam bahasa Indonesia untuk verba transitif ditandai dengan imbuhan Me-, memper-, memper-kan,  me-i, memper-I, me-kan dan verba intransitif ditandai dengan Verba dasar, dan imbuhan  ber-, ber-kan, ter-, ke-an.</p><p> </p>


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 198
Author(s):  
Saiful Akmal ◽  
Fera Busfina Zalha ◽  
Rita Hermida ◽  
Satria Juni ◽  
Lianita Ali Nasution

This study focuses on analyzing and contrasting sentence pattern differences in both English and Sigulai languages. The study intends to find out the differences in sentence pattern between English and Sigulai language and how the sentence pattern of two languages are different. This current study was conducted by employing the qualitative method by using the contrastive analysis approach. Purposive sampling was used to select samples comprising two native-Simeulue students studying in Banda who speaks Sigulai. The findings show that there were contrast differences in verbal and nominal sentence patterns between English and Sigulai. Moreover, it can be concluded that Sigulai language has a non-configurational sentence pattern as many other Austronesian languages in Aceh and Indonesia in general.


2017 ◽  
Vol 4 (1) ◽  
pp. 82 ◽  
Author(s):  
Noezafri Amar

This research was aimed at describing the accuracy level of Google Translate especially in translating English text into Indonesian based on language error analysis and the use of equivalence strategy. The data were collected by taking one paragraph from Johann Gottfried Herder’s Selected Writings on Aesthetics book as the source text. Then they were translated by Google Translate (GT). The data of GT translation were analyzed by comparing them with the measurement instrument of translation equivalence level and elaborating the equivalence strategy of GT. By doing so the language errors were seen thus the accuracy level of GT translation could be described. The result of this research showed that (1) out of 13 source data only 4 or 31% are accurate translation, 7 or 54% are less accurate translation, and 2 or 15% are inaccurate translation. Therefore it is implied that its reliability for accurate level is only 31%. Half of them is less understandable and a few are not understandable. (2) If the appropriate equivalence translation strategy is sufficiently transposition and literal, GT can produce an accurate translation. (3) If the appropriate equivalence translation strategy is combined strategy between transposition and modulation or descriptive, more difficult strategies, GT just produce less accurate translation because it kept using literal and transposition strategies. (4) But if the appropriate equivalence translation strategy is only modulation, GT just produce inaccurate translation which is not understandable because it can only use transposition strategy. Even if the appropriate equivalence translation strategy is just a transposition strategy, in one case, GT failed to translate and it produced inaccurate translation because its strategy is only literal. In conclusion, especially in this case study, Google Translate can only translate English source text into Indonesian correctly if the appropriate equivalence translation strategy is just literal or transposition.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat keakuratan Google Translate khususnya dalam menerjemahkan teks berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan analisis kesalahan bahasa dan penggunaan strategi pemadanan. Data dikumpulkan dengan mengambil satu paragraf dari buku Johann Gottfried Herder yang berjudul ‘Selected Writings on Aesthetics’ sebagai teks sumber. Kemudian data tersebut diterjemahkan oleh Google Translate (GT). Data terjemahan GT itu dianalisis dengan cara membandingkannya dengan instrumen pengukur tingkat kesepadanan terjemahan dan menjelaskan strategi pemadanan yang digunakan. Dengan melakukan hal tersebut kesalahan bahasanya dapat terlihat sehingga tingkat keakuratan terjemahan GT dapat dideskripsikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Dari 13 data sumber hanya 4 data atau 31% yang merupakan terjemahan akurat, 7 data atau 54% merupakan terjemahan yang kurang akurat, dan 2 data atau 15% merupakan terjemahan tidak akurat. Dengan demikian tingkat kehandalannya sampai pada tingkat akurat hanya sebesar 31% saja. Sementara sekitar setengahnya lagi kurang dapat dipahami. Sedangkan sisanya tidak bisa dipahami. (2) Apabila strategi pemadanan yang seharusnya dipakai cukup transposisi dan terjemahan literal saja ternyata GT mampu menghasilkan terjemahan yang akurat. (3) Apabila strategi yang harus dipakai adalah strategi kombinasi antara transposisi dan modulasi atau deskriptif, strategi yang lebih sulit, GT hanya mampu menghasilkan terjemahan yang kurang akurat karena tetap menggunakan strategi penerjemahan literal dan transposisi saja. (4) Tetapi apabila strategi yang seharusnya dipakai hanya strategi modulasi saja GT hanya menghasilkan terjemahan tidak akurat, yang tidak bisa dipahami karena hanya mampu memakai strategi transposisi saja. Bahkan jika seharusnya strategi yang dipakai adalah sekedar transposisi, pada satu kasus, GT ternyata gagal menerjemahkan dan menghasilkan terjemahan tidak akurat karena strategi yang dipakainya adalah penerjemahan literal. Sebagai simpulan, khususnya dalam studi kasus ini, Google Translate hanya mampu menerjemahkan teks sumber berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia secara akurat jika strategi pemadanannya yang sesuai hanya sekedar literal atau transposisi.


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 54-60
Author(s):  
Candra Irawan ◽  
Mudafiq Riyan Pratama

String matching is an algorithm for matching a text to another text or also known as a text search. There are several algorithms that can be used for string matching, including the Boyer-Moore algorithm and the Brute Force algorithm. The Boyer-Moore algorithm is a string matching algorithm published by Robert S. Boyer and J. Strother Moore in 1977. This algorithm is considered the most efficient algorithm in general applications. The Boyer-Moore algorithm starts matching characters from the pattern on the right. While the Brute Force algorithm is an algorithm that matches a pattern with all text between 0 and n-m to find the existence of a pattern in the text. These two algorithms have different patterns in the search process. In this article, a comparative analysis of the performance of the Boyer-Moore and Brute Force algorithms is carried out in a case study of the search for the Big Indonesian Dictionary (KBBI) based on Android. The search process is carried out by searching based on words and word descriptions. The results of this study indicate that the criteria for running time, the Brute Force algorithm is faster than the Boyer-Moore algorithm with the total running time of the Brute Force algorithm is 168.3 ms in words, 6994.16 ms in word descriptions, while the Boyer-Moore algorithm for running time reached 304.7 ms on the word, 8654.77 ms on the word description. In the testing criteria based on related keywords, the two algorithms can display the same list of related keywords.


2018 ◽  
Vol 29 (2) ◽  
Author(s):  
Salma Sunaiyah
Keyword(s):  

Implementasi Kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh kelas I sampai dengan kelas XI pada tahun ajaran 2015/2016. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK dan PMP), telah menyiapkan strategi pelatihan implementasi Kurikulum 2013 bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif  dengan rancangan studi kasus (case study). Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut: permasalahan dan solusi rencana pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 bagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia di MAN 3 Kota Kediri. Permasalahan pembelajaran Kurikulum 2013 bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia Di MAN 3 Kota Kediri, antara lain sebagian guru mata pelajaran bahasa Indonesia tidak telaten dengan penerapan model saintifik. Problem lain yaitu perbedaan input peserta didik yang diatasi dengan melaksanakan program matrikulasi. Adapun permasalahan penilaian pembelajaran berupa kurangnya pemahaman guru mengenai standar penilaian karena penilaian sikap. Solusi yang diambil adalah dengan mendatangkan widiaiswara dari balai diklat menelaah 4 hal pada tahun 2015 dan tahun 2016 (standar isi, standar kelulusan, standar proses, standar penilaian, dan kompetensi inti dan kompetensi dasar).


2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 52
Author(s):  
Nanang Bustanul Fauzi ◽  
Muh. Fatoni Rohman ◽  
Maulfi Syaiful Rizal

Writing is a skill that must be mastered by students. These language skills are useful for writing a thesis as a final assignment for students to get a bachelor's degree (master and / or doctorate). In thesis writing, spelling, and sentences used are standard and effective sentences so that readers easily understand the intent of the author. This study aims to describe mistakes in writing spelling, terminology, and writing mistakes in the thesis of UB's Faculty of Arts students. This study uses qualitative research with a case study design to obtain a description of the data. The results of this study reveal that the most common language errors are found, namely spelling errors used by students in the thesis. The spelling mistakes were 52.03% the use of punctuation, 39.53% word writing, and 0.08% letter writing, while sentence writing errors were found in aspects of structural incompatibility, inequality, inaccuracy, incoherence, disparity, and incoherence in the sentence .


2019 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 113
Author(s):  
Dina Handayani ◽  
Sarwiji Suwandi ◽  
Budhi Setiawan

<em>This research aims to describe and explain: (1) the conversation structure in the classroom interaction of Indonesian language subject between teachers-students and among students and (2) the language function of the teachers' language and students' language in the classroom interaction. This research was conducted at SMA Negeri 2 Sragen. The subjects of this study were the use of language the teacher and students in Indonesian language course. The data in the form of sentences and discourse were analyzed by Sinclair &amp; Cotlthard (1975) theory and Halliday (1973) theory. This research belongs to qualitative research using case study methods. The results of this study are; first, in the teachers-students conversation structure and the students-students conversation structure found new actions, namely, repeat. Both of the sequences of the conversation structure unit are from the largest to the smallest, namely: lesson, transaction, exchange, move, and act. Second, the language functions in the teachers’ language and students’ language, namely: the instrumental function, the regulatory function, the interaction function, the representational function, the personnel function, and the heuristic function.</em>


2020 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 233
Author(s):  
Heni Adawiyah B.HS ◽  
I Ketut Gading ◽  
Gede Wira Bayu
Keyword(s):  

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya minat baca siswa yang menyebabkan kemampuan membaca pemahaman siswa menjadi rendah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Guru kelas IV di sekolah tempat penelitian mengetahui hasil bahwa masih ada beberapa siswa yang membacanya secara terbata-bata, bahkan ada siswa kelas IV yang belum bisa membaca, dengan demikian akan menjadi penghambat atau permasalahan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.Penelitian (Dibia, 2007)ini bertujuan untuk menganalisis model pembelajaran Cooperatif Integrated Reading Composition (CIRC) terhadap kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV SD. Jenis penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimental. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah One Shot-Case Study. Populasi penelitian ini berjumlah 178 siswa yang tersebar pada 7 sekolah, sedangkan sampel berjumlah 35 siswa. Adapun teknik pengambilan sampel ini dilakukan dengan cara yaitu,  menulis nama kelas yang menjadi populasi pada kertas sampai semua nama kelas IV yang menjadi populasi tersebut ditulis, kertas tersebut kemudian dilipat atau diremas hingga tulisannya tidak terlihat, ambil satu kertas tersebut untuk memilih sampel yang akan digunakan sebagai kelas eksperimen. Sampel dalam penelitian ini akan mendapatkan perlakuan berupa penerapan Model Pembelajaran Cooperatif Integrated Reading Composition(CIRC) dalam proses pembelajarannya. Data Kemampuan membaca pemahaman siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes pilihan ganda mata pelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan indikator kemampuan membaca pemahaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistika inferensial (Uji T Burning). Hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran Cooperatif Integrated Reading Composition (CIRC)  terhadap kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV SD didapat (nilai signifikansi = 0,000 < 0,05).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document