Jurnal Sosiologi Reflektif
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

152
(FIVE YEARS 81)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Al-Jami'ah Research Centre

2528-4177, 1978-0362

2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 171
Author(s):  
Moh Rosyid

This paper aims to describe the existence of followers of the Baha'i religion in Cebolek Kidul, Margoyoso, Pati, Central Java. This lack of state and community recognition of the presence of followers of the Baha'i religion encourages them to preserve their existence by strengthening the interaction of fellow Baha'is with other interfaith fellows. Data of this paper was obtained by observing and doing in-depth interviews with the members of Baha'is. The results reveal that although Baha'i adherents have not yet received their rights as other recognized religious fellow in Indonesia, they maintain and preserve their existence by involving themselves in interfaith forums in the WhatsApp group. Their participation in the WhatsApp group becomes a medium for followers of other religions to understand Bahai teachings, follow information and dynamics of Baha'i, and provide a better understanding to the public about Baha'i religious teachings. As a consequence, Baha'i people in Cebolek Kidul feel close and become an inseparable part of their society.Artikel ini bertujuan untuk memaparkan eksistensi penganut agama Baha’i di Desa Cebolek Kidul, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kurangnya pengakuan negara dan masyarakat terhadap kehadiran para pemeluk agama Baha’i ini mendorong mereka untuk berupaya menjaga eksistensi dengan mengokohkan interaksi sesama pemeluk Baha’i dengan umat lintas agama lain. Upaya ini mereka lakukan melalui pengelolaan jaringan via grup WhatsApp (WA). Data diperoleh dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap umat Baha’i. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa meskipun pemeluk agama Baha’i belum mendapatkan haknya sebagai umat beragama di Indonesia, namun mereka menjaga eksistensi mereka dengan melibatkan diri dalam forum lintas agama di grup Whatsapp. Keikutsertaan ini menjadi media bagi pemeluk agama lain untuk memahami ajaran Bahai, mengikuti informasi dan dinamika Baha’i, serta memberi pemahaman pada publik tentang ajaran agama Baha’i. Sehingga secara tidak langsung, umat Baha’i merasa dekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat mereka.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 95
Author(s):  
Afifatul Munawiroh ◽  
M. Khoirul Hadi Al Asy Ari

The majority of pesantren, the oldest Islamic educational institution in Indonesia, are still giving a priority to men for most important positions and roles in managing the pesantren. However, there is an interesting phenomenon at Pesantren Roudhotul Qur'an in Jember, East Java, where Nyai Mulazimah took unusual position as a leader of the pesantren, as well as the teacher of Tafsir Jalalain, the most influential tafsir books at pesantren. One of her contribution is conducting a reading of Tafsir Jalalain using a gender approach. This article aims to analyze the role of Nyai Mulazimah and her influences on shaping socio-religious traditions within her pesantren, especially related to the interpretation of the Qur'an (tafsir). This study uses a qualitative approach with data collection techniques through observation and in-depth interviews with Mrs. Nyai Mulazimah and several students. The results reveal that the presence of Nyai Mulazimah as a teacher, who makes an interpretation of the Qur’an using a gender perspective, has created a new distinction to the tradition of teaching a tafsir within a pesantren which has been dominated by men. Therefore, this also gives rise to more diverse perspectives on the interpretation of certain verses within the pesantren, especially those related to the role and social position of women.Mayoritas pesantren di Indonesia masih memprioritaskan laki-laki pada posisi dan peran-peran penting di pondok pesantren. Salah satu fenomena menarik di Pondok Pesantren Roudhotul Qur’an di Jember adalah keberadan Bu Nyai Mulazimah sebagai pemimpin pondok sekaligus pengajar Tafsir Jalalain. Melalui peran Bu Nyai Mulazimah, pengajaran Tafsir Jalalain diajarkan dengan pendekatan gender. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis peran Bu Nyai tersebut dan pengaruhnya terhadap tradisi sosial-keagamaan di pesantren khususnya dalam konteks penafsiran al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara  mendalam terhadap Bu Nyai Mulazimah dan beberapa santri. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa keberadaan Bu Nyai Mulazimah sebagai pengajar tafsir dengan perspektif gender telah memberikan nuansa baru dalam tradisi pengajaran tafsir di pesantren yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga, hal ini memunculkan sudut pandang yang lebih beragam tentang tafsir ayat-ayat tertentu di pesantren, khususnya yang berkaitan dengan peran dan posisi sosial perempuan dalam masyarakat.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 73
Author(s):  
Trimurti Ningtyas ◽  
Fauzi Adhe Pradhana

Prostitution complex has so far been labeled as a risky place for the child's growth process, as well as in the aspect of forming religious behavior. This article intends to answer the question of how the process of forming religious behavior of the child in the prostitution complex at Weru, Kediri. This study uses a qualitative approach by observing and doing in-depth interviews with children, parents who work as prostitutes, pimps, mosque administrators and the head of POKJA at the prostitutions site, as data collection techniques. Concerning theoretical perspective, this research employs the Social Construction theory of Peter L. Berger. The results revealed that the children at the prostitution complex of Weru could not carry out religious activities properly because their family and surrounding environment was not supportive. The social construction that is formed the prostitution complex does not show religious values that should become the main focus of life.Lokalisasi selama ini dilabelkan sebagai tempat yang riskan untuk proses tumbuh kembang anak, demikian pula dalam aspek pembentukan perilaku religius. Artikel ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses pembentukan perilaku keagamaan anak-anak di lokalisasi Weru Kediri dengan menggunakan teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap anak-anak di lokalisasi, para orangtua yang bekerja sebagai PSK, mucikari, pengurus masjid, dan ketua POKJA di lokalisasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak di lokalisasi Weru ini tidak dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan baik karena faktor keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung. Konstruksi sosial yang terbentuk dalam lokalisasi ini tidak menunjukkan nilai-nilai religius yang seharusnya menjadi tumpuan utama kehidupan. 


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 133
Author(s):  
Wiwik Setiyani Khasbullah

The COVID-19 pandemic that has been going on for more than two years has changed most socio-religious activities of the community, including many academic communities, especially students. The fact that all educational activities must be carried out online has also changed their religious activities and socio-religious practices. Students use their spare time during the distance learning process with worshipping and doing some social activities at home. This article aims to elaborate on how students adapt to the new situation regarding their religious activities. The research was conducted using a qualitative approach. Data collection techniques used in this research are in-depth interviews with 18 student informants and collecting virtual data through google form. The results showed that students' religious adaptation in worship practices and social activities had helped increase their spirituality and closeness to religion. This conclusion is supported by an increase in the quantity of worship such as the intensity of reading the Qur'an, discipline in conducting obligatory prayers, and the involvement of students in religious-based charity activities in the community.Pandemi Covid-19 di Indonesia selama kurang lebih 2 tahun ini telah mengubah seluruh aktivitas sosial keagamaan masyarakat, tidak terkecuali segment pendidikan khususnya mahasiswa. Fakta bahwa seluruh aktivitas pendidikan harus dilakukan dalam situasi jarak jauh secara langsung juga telah mengubah aktivitas ibadah dan praktik sosial-keagamaan mereka. Mahasiswa mengisi waktu-waktu luang mereka selama pembelajaran jarak jauh dengan aktivitas ibadah dan kegiatan sosial di rumah. Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi bagaimana mahasiswa melakukan adaptasi keagamaan di masa pandemi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap 18 informan mahasiswa dan diperkuat dengan data virtual melalui google form. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi keagamaan mahasiswa dalam praktik ibadah dan aktivitas sosial telah membantu meningkatkan spiritualitas dan kedekatan mereka kepada agama. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan kuantitas ibadah seperti intensitas membaca Al-Qur’an, kedisiplinan dalam sholat wajib, dan keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas charity berbasis keagamaan di masyarakat.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 153
Author(s):  
Panggio Restu Wilujeng ◽  
Putra Pratama Saputra ◽  
Bustami Rahman ◽  
Luna Febriani ◽  
Herdiyanti Herdiyanti ◽  
...  

The empowerment of social community in a sustainable way becomes an unavoidable need, including within the fishermen community. As one of the economically marginalized social communities, the Fisherman community needs more serious attention from all related parties to create a join business group (Kelompok Usaha Bersama/KUBE) to improve their welfare. This article intends to find out how KUBE in Ketapang strengthen social capital in their groups as a strategy to increase the welfare of their members. This research was conducted using a qualitative approach through observation and in-depth interviews with 5 (five) fisherman informants as data collection techniques. The results showed that economic capital was not the main factor in increasing the empowerment of fishermen, but the social capital of KUBE group, such as networks, trust, and social bonds (bonding), have played a more important role in increasing the welfare of their members.Upaya untuk mengembangkan pemberdayaan kelompok sosial secara berkelanjutan saat ini menjadi suatu kebutuhan tak elakkan, termasuk dalam hal ini adalah kelompok nelayan. Sebagai salah satu kelompok sosial yang termarginalisasi secara ekonomi, kelompok ini membutuhkan intervensi dari berbagai pihak untuk meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Ketapang, Pangkalpinang, Bangka adalah dengan memperkuat modal sosial dalam kelompok tersebut. Artikel ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana upaya KUBE untuk menguatkan modal sosial di kelompok mereka sehingga mendorong para nelayan untuk menjadi lebih berdaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara mendalam terhadap 5 (lima) orang informan nelayan anggota KUBE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal ekonomi tidak menjadi faktor utama dalam meningkatkan keberdayaan nelayan, namun di kelompok KUBE ini modal sosial berupa jaringan, kepercayaan, dan ikatan sosial (bonding) memegang peranan yang lebih penting. Melalui kedua modal ini nelayan dapat saling membantu kebutuhan ekonomi satu sama lain, dan meningkatkan keberdayaan mereka dalam mencapai akses sumberdaya ekonomi yang lebih baik.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 113
Author(s):  
Bella Fadhilatus Sanah ◽  
Ika Wildah Nafisah ◽  
Maulidina Zahrah Mukmina ◽  
Satria Adli Cholid ◽  
Taufan Adi Prayoga

Gender equality still becomes a sensitive issue in Islamic educational institutions, especially in pesantren, a traditional Islamic educational institution. There is a strong assumption that in the socio-religious tradition of pesantren, women's subordination still practices widely. However, some pesatren take serious attention to overcome this issue through their daily activities within pesantren. One of which is Pesantren Sabilurrosyad in Malang, East Java. This article aims to elaborate on the realization of gender justice in the pesantren. This research uses a qualitative approach through observation and in-depth interviews with the board members of pesantren, as well as its male and female students. The results showed that the Pesantren Sabilurrosyad had implemented the values of gender justice in their socio-religious activities. The implementation forms include providing opportunities for female students to become head of student association; female students are given freedom to recite the Koran directly to the kyai; and female teachers (ustadzah) are given the opportunity to share in one forum with male students.Kesetaraan gender masih menjadi isu sensitive di lembaga pendidikan Islam, khususnya di pondok pesantren. Terdapat anggapan bahwa dalam tradisi sosial-keagamaan di pesantren  subordinasi perempuan masih terjadi. Hal ini menjadi perhatian bagi beberapa pesantren yang ingin menjadikan isu ini sebagai bagian dari aktivitas pesantren, salah satunya adalah Pondok Pesantren Sabilurrosyad di Malang. Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi perwujudan keadilan gender di pondok tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap para pengurus ponpes dan santri putra dan santri putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pondok pesantren Sabilurrosyad telah mengimplementasikan nilai-nilai keadilan gender dalam tradisi sosial-keagamaan pesantren. Wujud implementasi tersebut diantaranya adalah memberikan kesempatan kepada santri putri untuk menjadi ketua pondok, santri putri diberikan kebebasan untuk mengaji langsung kepada kyai, serta pengajar putri (ustadzah) diberikan peluang untuk bersama 1 (satu) forum dengan santri putra.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 53
Author(s):  
Zarnab Rana

Since advertising was introduced many centuries ago, women have been objectified and, in some cases, insulted or belittled. The second wave of feminists challenged society's definition of femininity, and society's insistence on equating men with “thought” and women with “nature” and “body.” This paper aims to investigate the question of women portrayal in Pakistani media with “Jean Baudrillard theory of Simulacra and Simulation”. It focuses on how media and writing are constantly affected by hyperreality. Films, commercials, news, web-based media, and so on address fake real factors with the goal that the current world can't understand reality and innovation. Content analysis was used to emphasize how sexist media constructs an unattainable or objective image of female beauty. This paper shows how personal achievements and accomplishments are only acceptable if they meet the criteria of unrealistic beauty standards. The idea of being “perfect” is reinforced through media but mostly women are suffering with anxiety, depression and the feeling of being insecure in their homes. The fear of being inferior and rejection make them vulnerable and less competitive in society which develops a sense of passiveness and low self-esteem.Sejak dunia periklanan diperkenalkan, perempuan telah menjadi objek, dan dalam beberapa kasus mereka direndahkan dan mengalami penolakan. Gelombang feminis telah menentang definisi feminitas dan desakan masyarakat untuk menyamakan laki-laki dengan ‘pikiran’ dan perempuan dengan ‘nature’ dan ‘body’. Artikel ini bermaksud untuk menyelidiki bagaimana proses penggambaran perempuan di media Pakistan melalui teori Simulacra dan Simulasi Jean Baudrillard. Tulisan ini juga berfokus pada bagaimana media secara terus-menerus dipengaruhi oleh hiperrealitas. Film, iklan, berita, media berbasis website, dan yang lainnya membahas realitas palsu dengan tujuan agar dunia saat ini tidak memahami realitas dan inovasi. Analisis Konten digunakan untuk menekankan bagaimana media seksis membangun citra kecantikan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana pencapaian pribadi hanya dapat diterima jika telah memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis. Gagasan untuk menjadi perempuan “sempurna” diperkuat melalui media, namun pada kenyataannya para perempuan justru mengalami kecemasan, depresi, dan perasaan tidak aman. Inferioritas dan dan ketakutan akan penolakan membuat mereka rentan dan kurang kompetitif dalam masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi sikap pasif dan memiliki harga diri yang rendah.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 185
Author(s):  
Sanny Nofrima ◽  
Zuly Qodir

The Gejayan Calling Movement 2019 becomes an interesting phenomenon of the development of new student social movements in Indonesia. Using social media platforms (#tranding topics) as a means of mass mobilization, this action succeeded in managed around 15,000 protesters. This article aims to elaborate the 2019 Gejayan Menanggil Movement in more detail, covering the background of the action, the means of mass mobilization, the consolidation process, and the issues raised. The research method uses a qualitative approach with data collection techniques through virtual observations on social media, data searches on the Drone Emprit website, and in-depth interviews with members of HMI DIPO, HMI MPO, IMM, GMNI, and ARB (Aliansi Rakyat Bergerak). The collected data were analyzed using NVivo Plus software. The results show that the Gejayan Calling Movement has become the starting point for changes in social movements in Indonesia, where the foundations built are no longer based on material resistance, but are more based on issues of humanity, injustice, politics, the environment and women. Therefore, the ideology of the movements has also changed from a class resistance to an identity resistance.Gerakan Gejayan Memanggil 2019 menjadi salah satu fenomena menarik dari perkembangan gerakan sosial baru mahasiswa di Indonesia. Melalui platform media sosial (tranding topic) sebagai alat mobilisasi massa, aksi ini telah melibatkan 15.000 (lima belas ribu) demonstran. Artikel ini bermaksud untuk mengelaborasi Gerakan Gejayan Memanggil 2019 secara lebih mendalam, meliputi latar belakang aksi, sarana mobilisasi massa, proses konsolidasi, dan isu yang diangkat. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi virtual di sosial media, penelusuran data di situs internet Drone Emprit, dan wawancara mendalam terhadap anggota HMI DIPO, HMI MPO, IMM, GMNI, dan ARB (Aliansi Rakyat Bergerak). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan software NVivo Plus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gerakan Gejayan Memanggil ini telah menjadi titik tolak perubahan gerakan sosial di Indonesia, dimana pondasi yang dibangun tidak lagi berbasis pada perlawanan yang bersifat material, tetapi lebih berbasiskan pada isu-isu kemanusiaan, ketidakadilan, politik, lingkungan dan perempuan. Oleh sebab itu, ideologi yang berkembang berubah dari hal yang bersifat perlawanan kelas menjadi perlawanan identitas.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Fitriatul Hasanah ◽  
Ahmad Arif Widianto ◽  
Joan Hesti Gita Purwasih

The polemic of religious identity between “penghayat kepercayaan” (believers of indigenous religion) and followers of the official religions in Indonesia is still become a sensitive issue, which adds to the long list of marginalization of indigenous believers in Indonesia. Several forms of marginalization are: forcing to choose certain official religions in their National ID Card, the pros and cons of the burial places of the deceased indigenous believers, and restrictions on the construction of their worship places. This article aims to elaborate the dynamics of identity conflict between adherents of the Sapta Darma (one of indigenous belief) and the followers of official religions in Sukoreno Village, Jember, East Java. This study uses a qualitative approach using observation, in-depth interviews with 7 (seven) informants of Sapta Darma followers, and members of FKUB (Forum of Religious Harmony) for the data collection. The results of the study reveal that this identity polemic has made it difficult for adherents of Sapta Dharma to change their religious identity on their ID cards. As a consequence, they also have difficulty in accessing public burial places. Conflict resolution efforts are carried out through FKUB by providing socialization of knowledge on nationality and cultural perspective to the interfaith leaders. Polemik identitas agama antara penghayat kepercayaan dengan pemeluk agama resmi di Indonesia masih menjadi isu yang menambah daftar panjang marginalisasi penganut kepercayaan di Indonesia. Bentuk marginalisasi ini mengarah kepada pemaksaan pencantuman agama tertentu dalam KTP dan KK warga penghayat, pro dan kontra tempat pemakaman warga penghayat yang meninggal, dan pembatasan pembangunan rumah peribadatan bagi warga penghayat. Artikel ini bermaksud untuk mengelaborasi dinamika konflik identitas antara penghayat kepercayaan Sapta Darma dengan para pemeluk agama resmi, dengan mengambil lokasi tempat di Desa Sukoreno, Jember, Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam terhadap 7 (tujuh) informan warga penghayat Sapta Darma, dan anggota FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa polemik identitas ini mengakibatkan warga pengahayat kesulitan dalam mengganti identitas agamanya di KTP dan KK sehingga mereka memiliki identitas ganda dan kesulitan dalam mengakses tempat pemakaman umum. Upaya resolusi konflik dilakukan melalui FKUB dengan memberikan sosialisasi wawasan kebangsaan dan pendekatan kultural dengan tokoh lintas agama.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
Author(s):  
Achmad Zainal Arifin

Alhamdulillah, puji syukur atas terbitnya Jurnal Sosiologi Reflektif (JSR) Vol.16/No.1 Tahun 2021 ini. Untuk terbitan edisi Oktober kali ini, JSR masih melanjutkan isu-isu yang diangkat dalam Konferensi Panel ke-4 Jurnal Sosiologi Reflektif yang dilaksanakan pada tanggal 24-25 November 2020, yaitu terkait dengan ragam ekspresi keberagamaan pada beberapa kelompok social-keagamaan yang ada di masyarakat, khususnya komunitas penghayat keagamaan, komunitas Islam tradisional, dan komunitas berbasis profesi. Isu yang dimunculkan pada terbitan kali ini juga cukup beragam, meski kajian dari perspektif gender terasa lebih dominan karena diwakili setidaknya oleh empat artikel.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document