Jurnal Aspirasi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

52
(FIVE YEARS 45)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Journal Of Economic And Public Policy

2614-5863, 2086-6305

2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 63-84
Author(s):  
Sri Nurhayati Qodriyatun

The government is trying to encourage the use of renewable energy, one of which is from waste to energy power plant. Efforts to accelerate the development of the plant are carried out through Presidential Regulation Number 35 of 2018. However, only one plant has been operating commercially since May 6th, 2021. This study aims to describe the development, the obstacles, and whether the plant is a solution to meet electricity needs or environmental problems. Through qualitative research, we found that the plant in Surabaya has been operating commercially; the plants in Surakarta and DKI Jakarta are in the construction stage; the plants in Palembang and Tangerang are in the stage of confirming the developer, and the rest are still on auction stage, Pre- Feasibility Study, Outline Business Case, or Final Business Case. The high tipping fee, limited local government budget, overestimation of potential for waste as electricity, limited competent human resources, the high selling price of the plant electricity, and no bankable guarantee for investment are obstacles to the plant development. The thermal plant is an instant solution for cities with above 1.000 ton/day waste and limited land for landfills. In the future, there should be regulatory support through the Renewable Energy Bill to overcome the obstacles. In addition, there should be a careful calculation of the energy potential of waste, a minimum budget allocation of 2–3% for waste management and preparing capable human resources, providing adequate waste collection and transportation infrastructure, and educating the public on sorting waste. AbstrakPemerintah berupaya mendorong pemanfaatan energi terbarukan, salah satunya dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Upaya mempercepat pembangunan PLTSa dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Namun, hingga 6 Mei 2021 hanya satu PLTSa telah beroperasi secara komersial. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perkembangan pembangunan PLTSa, kendala-kendala dan permasalahan pengembangannya, dan apakah PLTSa solusi pemenuhan kebutuhan listrik atau mengatasi masalah lingkungan. Melalui penelitian kualitatif, diketahui 1 PLTSa sudah beroperasi secara komersial (di Surabaya), 2 PLTSa dalam tahap konstruksi (di Surakarta dan DKI Jakarta), 2 PLTSa dalam tahap sudah ada pengembang (di Palembang dan Tangerang), dan sisanya masih dalam tahap lelang, Pre-Feasibility Study, Outline Business Case, atau Final Business Case. Lambatnya pembangunan PLTSa terjadi karena tingginya tipping fee, anggaran pemerintah daerah terbatas, over estimasi potensi listrik dari sampah, keterbatasan sumber daya manusia yang kapabel, tingginya harga jual listrik PLTSa, tidak adanya insentif bagi pengembang, dan tidak adanya jaminan bankable untuk investasi. PLTSa termal merupakan solusi instan mengatasi permasalahan lingkungan untuk kota dengan produksi sampah di atas 1.000 ton/hari dan keterbatasan lahan untuk TPA. Untuk itu, perlu ada dukungan regulasi melalui RUU EBT mengenai harga jual listrik PLTSa yang bersaing, insentif bagi pengembang PLTSa, dan jaminan bankable untuk investasi PLTSa. Selain itu, perlu ada perhitungan secara cermat potensi energi dari sampah, alokasi APBD minimal 2–3% untuk pengelolaan sampah, dan menyiapkan sumber daya manusia yang kapabel, menyediakan sarana prasarana pengumpulan dan pengangkutan sampah yang memadai, dan mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 31-45
Author(s):  
Yohanes Putut Wibhisana

Poverty is quite closely related to rural conditions, especially when comparing the life patterns of rural and urban communities, infrastructure development, and human resources. It is time for the people to become the subject of any poverty alleviation program. This paper aims to describe the process of community empowerment through the Jogoboyo Purworejo Tourism Village program by looking at planning strategies and developing tourist areas and seeing the impacts that arise in the development of these tourist areas. Purworejo Regency has various efforts to reduce poverty, one of which is a community empowerment program through tourism villages. This research uses a qualitative approach with descriptive research type. Data collection used in-depth interviews with six informants consisting of the district government, village officials, the tourism community, and local residents. The results showed that the community empowerment process was running quite well. Furthermore, community empowerment through the tourism village program that uses the community-based tourism scheme has a positive impact, where there is progress in the economic mindset, increasing new livelihoods, increasing income and financial management, as well as changes in work methods and behavior. However, efforts are needed to improve local human resources in the use of social media with content that attracts tourists. In addition, good coordination between local governments and local village communities that receive programs and communities engaged in tourism is also needed. AbstrakKemiskinan cukup erat kaitannya dengan kondisi perdesaan, terlebih jika membandingkan pola kehidupan masyarakat perdesaan dan perkotaan, pembangunan infrastruktur serta sumber daya manusia (SDM). Sudah sepatutnya saat ini masyarakat menjadi subjek dalam setiap program pengentasan kemiskinan. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan proses pemberdayaan masyarakat melalui program Desa Wisata Jogoboyo Purworejo dengan melihat strategi perencanaan dan pengembangan kawasan wisata serta melihat dampak yang muncul dalam pengembangan kawasan wisata tersebut. Kabupaten Purworejo memiliki berbagai upaya dalam mengurangi angka kemiskinan, salah satunya adalah program pemberdayaan masyarakat melalui desa wisata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam dengan enam informan yang terdiri dari pihak pemerintah kabupaten, perangkat desa, komunitas pariwisata, dan warga setempat. Hasil penelitian menunjukkan proses pemberdayaan masyarakat berjalan dengan cukup baik. Selanjutnya pemberdayaan masyarakat melalui program desa wisata yang menggunakan skema community-based tourism memberikan dampak positif, di mana ada kemajuan pola pikir ekonomi, pertambahan mata pencaharian baru, peningkatan pendapatan dan pengelolaan keuangan, serta perubahan cara dan perilaku kerja. Namun demikian, perlu upaya untuk meningkatkan SDM lokal dalam pemanfaatan media sosial dengan konten yang menarik perhatian wisatawan. Selain itu, koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat desa setempat yang menerima program dan komunitas yang bergerak di bidang pariwisata juga diperlukan.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 15-30
Author(s):  
Nurfadilah Nurfadilah ◽  
Anisa Rahmadani ◽  
Bahrul Ulum

The results of a survey by the Indonesian Psychology Student Association (ILMPI) show that students still do not understand the meaning of mental health services. Meanwhile, the results of the 2018 Basic Health Research stated that handling mental health is as important as physical health. Therefore, it is necessary to conduct research to get a picture of the attitudes of students in seeking psychological assistance in colleges. This mixed methods research was conducted at the University of Al Azhar Indonesia (UAI). Quantitative data was collected using a questionnaire on the attitude of seeking professional psychological assistance to 180 students, while the qualitative data were obtained using semi-open interviews with 12 students via telephone. The results showed that the students’ attitudes tended to be neutral in seeking psychological help; students are even less familiar with the existence of psychological services and have a negative stigma against psychological services, and the psychological service campaign that has been carried out is ineffective. In order to create students who are healthy physically and mentally, therefore, this article suggests some points. First, as mandated by Law of the Republic of Indonesia Number 18 of 2014 concerning Mental Health, derivative regulations must be made at the level of ministerial regulation which mandates that universities should develop a strategy for the implementation of sustainable, implementative, comprehensive, and integrated youth psychological service units in universities. Second, Commission X DPR RI should oversee the process of forming these derivative regulations and supervise their implementation.  AbstrakHasil survei Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI) menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa masih tidak memahami maksud dari layanan kesehatan mental. Sementara hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyatakan bahwa penanganan kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang sikap mahasiswa dalam mencari bantuan psikologis pada perguruan tinggi. Penelitian mixed method ini dilakukan di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner Attitude Toward Seeking Professional Psychological Help terhadap 180 orang mahasiswa, sedangkan data kualitatif diperoleh menggunakan wawancara dengan format semi terbuka terhadap 12 orang mahasiswa via telepon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa cenderung netral dalam mencari bantuan psikologis; mahasiswa bahkan kurang familiar dengan keberadaan layanan psikologis, dan memiliki stigma negatif terhadap layanan psikologis; dan belum efektifnya kampanye layanan psikologis yang telah dilakukan. Demi tercapainya mahasiswa yang sehat fisik dan mental maka artikel ini menyarankan beberapa hal. Pertama, amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa harus dibuatkan peraturan turunan pada tingkat penyelenggaraan universitas melalui peraturan menteri yang menangani pendidikan tinggi, yang di dalamnya mengamanatkan agar universitas menyusun strategi penyelenggaraan unit layanan psikologis remaja yang berkesinambungan, implementatif, komprehensif, dan terintegrasi dengan sumber-sumber dukungan yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Kedua, Komisi X DPR RI sebaiknya mengawal proses pembentukan aturan turunan tersebut dan mengawasi pelaksanaannya.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 1-13
Author(s):  
Agung Dwi Laksono ◽  
Ratna Dwi Wulandari

Some tribes in Indonesia have a big family culture. The study aimed to analyze factors that correlate to family size in Indonesia. The study employed secondary data from the 2017 Indonesia’s Demographic and Health Survey. The samples used were 34,353 childbearing age couples. The variables analyzed included type of residence, wealth, marital, cohabitation duration, complete child gender, contraceptive, age of husband-wife, education of husband-wife, and occupation of husband-wife. Final test by binary logistic regression. The results show that couples in urban areas are less likely to have a family size ≤ 4 than couples who live in rural areas. The better the wealth status, the higher the possibility to have a family size ≤ 4. The longer the cohabitation period, the lower the possibility of having a family size ≤ 4. Couples who already have complete child gender were 0.148 times more likely to have a family size < 4 than couples with incomplete child gender. The contraceptives use has a probability of 0.727 times more than those not using it to have a family size ≤ 4. The husband with primary education was 1.242 times more likely than the husband with no education to have a family size ≤ 4. The study found that a wife’s age correlated to family size. Couples with employed wives were 1.273 times more likely than those not employed to have a family size ≤ 4. The study concluded that eight variables correlated to family size among childbearing age couples in Indonesia: residence, wealth, cohabitation duration, complete child gender, contraceptive use, husband’s education, wife’s age, and wife’s employment.  AbstrakBeberapa suku di Indonesia memiliki budaya keluarga besar yang sangat kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan ukuran keluarga di Indonesia. Studi memanfaatkan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017. Sampel yang digunakan adalah 34.353 pasangan usia subur. Variabel yang dianalisis meliputi jenis tempat tinggal, kekayaan, perkawinan, lama kohabitasi, kelengkapan jenis kelamin anak, kontrasepsi, umur suami-istri, pendidikan suami-istri, dan pekerjaan suami-istri. Pengujian akhir dengan regresi logistik biner. Hasilnya menunjukkan pasangan di daerah perkotaan lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki ukuran keluarga ≤ 4 dibandingkan pasangan yang tinggal di daerah pedesaan. Semakin baik status kekayaannya maka semakin tinggi kemungkinan memiliki ukuran keluarga ≤ 4. Semakin lama kohabitasi maka semakin kecil kemungkinan memiliki ukuran keluarga ≤ 4. Pasangan yang sudah memiliki jenis kelamin anak lengkap kemungkinannya 0,148 kali dibandingkan dengan yang tidak lengkap untuk memiliki ukuran keluarga ≤ 4. Pemakaian alat kontrasepsi memiliki probabilitas 0,727 kali lipat dibandingkan dengan yang tidak menggunakannya untuk memiliki ukuran keluarga ≤ 4. Suami yang berpendidikan dasar 1,242 kali lebih mungkin untuk memiliki ukuran keluarga ≤ 4 dibanding keluarga dengan suami tidak berpendidikan. Usia istri menjadi faktor penentu ukuran keluarga. Pasangan dengan istri yang bekerja 1,273 kali lebih mungkin dibandingkan mereka yang tidak bekerja untuk memiliki ukuran keluarga ≤ 4. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa delapan variabel merupakan faktor-faktor yang memengaruhi ukuran keluarga pada pasangan usia subur di Indonesia. Delapan faktor tersebut adalah jenis tempat tinggal, status kekayaan, lama kohabitasi, jenis kelamin anak lengkap, penggunaan kontrasepsi, pendidikan suami, usia istri, dan status pekerjaan istri.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 85-105
Author(s):  
Elga Andina ◽  
Fieka Nurul Arifa

To date, the implementation of education in Indonesia could not be separated from the problems of teacher governance, non-permanent or honorary teachers, and bureaucratic reforms that affect the quality of education and the working climate within. In an effort to improve the quality of public services by the State Civil Apparatus (ASN), the Ministry of Education and Culture agrees with the Ministry of State Apparatus Utilization and Bureaucratic Reform, as well as the Ministry of Finance to change the recruitment system for government teachers from the recruitment of Candidates for Civil Servants (CPNS) to the recruitment of Government Employees with Work Agreements (PPPK), which in its implementation still leaves several problems with various parties’ pros and cons. This qualitative research uses data from related stakeholders meetings with Commission X DPR RI on January 2021, supported by secondary data from mass media and webinars that discuss the issue of PPPK teachers’ recruitment to answer the following question: how can teachers’ recruitment strategy with PPPK solve the problems of (1) improvement of teachers’ management; (2) solving the issue of honorary teachers; and (3) bureaucratic reform by improving the quality of public services by the State Civil Apparatus (ASN)? It can be concluded that there is a need for a total improvement in the teacher selection and recruitment system, namely (1) based on need; (2) candidates are produced by Teachers Training Institution in supply to field's demand; (3) prioritizing competence and qualifications.  AbstrakPenyelenggaraan pendidikan di Indonesia hingga saat ini belum lepas dari persoalan tata kelola guru, guru honorer, dan reformasi birokrasi yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan dan iklim kerja di dalamnya. Dalam upaya peningkatan kualitas layanan publik oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepakat dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kementerian Keuangan untuk mengubah sistem rekrutmen guru pegawai pemerintah dari penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dalam pelaksanaannya masih menyisakan beberapa masalah dan pro kontra berbagai pihak. Penelitian kualitatif ini menggunakan data rapat stakeholder terkait dengan Komisi X DPR RI selama bulan Januari 2021 dilengkapi data sekunder dari media massa dan webinar yang membahas mengenai isu rekrutmen guru PPPK guna menjawab pertanyaan: bagaimana strategi rekrutmen guru dengan PPPK dapat menyelesaikan permasalahan (1) perbaikan tata kelola guru; (2) penyelesaian isu guru honorer; dan (3) reformasi birokrasi dengan peningkatan kualitas layanan publik oleh ASN? Dapat disimpulkan bahwa perlu ada perbaikan total dalam sistem seleksi dan rekrutmen guru, yaitu: (1) berdasarkan kebutuhan; (2) calon guru diproduksi oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan sesuai dengan kebutuhan di lapangan; dan (3) mengutamakan kompetensi dan kualifikasi.


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 47-62
Author(s):  
Rahmi Yuningsih

Information and communication technology has had an impact on the food and drug online market. However, not all food and drugs in the online market have permits and other requirements that can threaten public health. Against something that is detrimental to society and requires protection from the government, it requires public policy to overcome. In the implementation, public policy requires the role of the bureaucracy, the private sector, and community groups. This paper examines efforts to protect public health against online markets of food and drug from the perspective of the roles of the government, the private sector, and the community. The research approach used is qualitative with a descriptive analysis method. The data collection technique was carried out by means of a literature study. The government has limited resources in monitoring online markets that do not recognize geographic boundaries. The private sector has a role in creating integrated programs that support policies and pay attention to consumer rights. The community also plays a role in increasing awareness and reporting to the marketplace and BPOM on illegal products. Several suggestions, among others, need to increase the socialization of regulations; making technical regulations and pharmaceutical service standards in the online market of drugs; improvement of communication, information, and education; increasing The National of Drug and Food Control resources and increasing the role of the marketplace in filtering every product sold. In addition, it will accelerate the discussion of the drug and food control draft which is included in the Prolegnas 2021. AbstrakKemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah berdampak pada meningkatnya kegiatan jual beli obat dan makanan daring di tengah masyarakat. Pandemi Covid-19 mengubah cara masyarakat mendapatkan obat dari cara konvensional menjadi daring. Namun, tidak semua obat dan makanan yang diedarkan daring memiliki izin edar dan memenuhi persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat. Sementara itu, kebijakan pengawasan terhadap obat dan makanan yang diedarkan daring tersebar dalam berbagai peraturan perundangan. Dalam implementasinya, suatu kebijakan publik memerlukan peran dari pihak birokrasi (pemerintah), pihak swasta, dan kelompok masyarakat. Tulisan ini mengkaji upaya pelindungan kesehatan masyarakat terhadap peredaran obat dan makanan daring dari perspektif peran pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan. Pemerintah memiliki sumber daya terbatas dalam mengawasi peredaran obat dan makanan daring yang tidak mengenal batas geografi. Pihak swasta berperan dalam membuat program terintegrasi yang mendukung kebijakan dan memperhatikan hak-hak konsumen. Masyarakat juga berperan dalam meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan kepada pihak lokapasar maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap produk ilegal. Saran perbaikan kebijakan, antara lain: perlu peningkatan sosialisasi peraturan; pembuatan peraturan teknis dan standar pelayanan kefarmasian dalam peredaran daring obat; peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi; peningkatan sumber daya BPOM; dan peningkatan peran lokapasar dalam menyaring setiap produk yang dijual. Selain itu, mempercepat pembahasan RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) yang masuk Prolegnas Prioritas 2021. RUU POM diharapkan menjadi payung hukum dalam pengawasan obat dan makanan termasuk peredaran daring.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 121-134
Author(s):  
Yulia Indahri

Environmental education (EE) is an integration of environmental understanding with formal or informal education. EE is expected to help students gain understanding on the awareness and knowledge about the environment to further shape student attitudes. From these understanding, skills and abilities will emerge so that students can actively participate and become agents in solving environmental problems. The concept of EE itself can be traced back to the 18th century, although globally, those engaged in the environmental sector began to strive to develop a more measurable EE concept since the 1970s. The legal basis also varies, with application models that adapt to each distinctive environment. Adiwiyata is a form of EE managed by the government through the integration of two important ministries, namely the ministry that deals with environmental issues and the ministry that deals with education. This study was intended to find out whether Adiwiyata was in accordance with the EE concept that was agreed upon globally. In particular, the implementation of the Adiwiyata Program in Surabaya City is the focus of this paper based on the results of research on the environment in 2019 which have been published. The environmental awareness of Adiwiyata School in Surabaya City is quite high and the concept developed by the Surabaya City Government is very solid that involves all parties.AbstrakPendidikan lingkungan hidup (PLH) merupakan pengintegrasian pemahaman lingkungan hidup dengan pendidikan formal atau pendidikan informal. PLH diharapkan dapat membantu siswa memperoleh kesadaran dan pengetahuan mengenai lingkungan hidup untuk selanjutnya dapat membentuk sikap siswa. Dari pemahaman tersebut akan muncul keterampilan dan kecakapan sehingga siswa dapat berpartisipasi aktif dan menjadi agen dalam memecahkan masalah lingkungan. Konsep PLH sendiri dapat ditelusuri sampai abad ke-18, walaupun secara global, mereka yang bergerak di bidang lingkungan hidup mulai berupaya untuk menyusun konsep PLH yang lebih terukur sejak tahun 1970-an. Dasar hukumnya pun beragam, dengan model penerapan yang menyesuaikan dengan lingkungan masing-masing. Adiwiyata merupakan salah satu bentuk PLH yang dikelola pemerintah dengan mengintegrasikan dua kementerian penting, yaitu kementerian yang menangani masalah lingkungan hidup dan kementerian yang menangani pendidikan. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah Adiwiyata sudah sesuai dengan konsep PLH yang disepakati secara global. Secara khusus, pelaksanaan Program Adiwiyata di Kota Surabaya menjadi fokus dari tulisan ini berdasarkan hasil penelitian tentang lingkungan di tahun 2019 yang telah dibukukan. Kesadaran lingkungan Sekolah Adiwiyata di Kota Surabaya sudah cukup tinggi dan konsep yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sangat solid dengan melibatkan semua pihak.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 229-242
Author(s):  
Fellyanus Habaora ◽  
Jefirstson Richset Riwukore ◽  
Hilda Manafe ◽  
Yohanes Susanto ◽  
Tien Yustini

Kupang is the most corrupt city based on a survey by Transparency International Indonesia. The problem is what are the causes of corruption in Kupang City? and what are the strategies the Kupang City Government could adopt to prevent and eradicate corruption in its regions? This research identifies corruption behavior based on terminology, behavioral factors, a mode that is often used to commit corruption, and what must be done to overcome it The method used in this research was an explanatory method using secondary data. Qualitative analysis was then conducted using SWOT analysis. Results showed that corruption is an action to enrich themselves, their families, groups, and corporations by violating rules, norms, and human rights through the exploitation of economic, political, socio-cultural, and environmental resources by maximizing the potential of their resources (position, network, and power). Factors that cause corruption are individual motivations and poor government organization systems and will increase the influence of corruption if it is supported by an environment in which individuals and poor systems are located. Based on this, the strategies that can be carried out by Kota Kupang Government are to immediately carry out an MoU with law enforcement institutions; to use electronic or online systems for all financial transactions within the government; to form a task force against extortion in the government; to enforce financial reporting for all officials within the government; to have a more efficient government budget for a dual and unnecessary function to open access for public monitoring through electronic database, and to have an integrity pact-based performance measurement. AbstrakPenelitian ini mengidentifikasi perilaku korupsi berdasarkan terminologi, faktor penyebab perilaku, modus yang sering dilakukan untuk melakukan korupsi, dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah penelitian eksplanatif menggunakan data sekunder. Kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukan bahwa korupsi adalah tindakan untuk memperkaya diri, keluarga, kelompok, dan korporasinya dengan cara melanggar aturan, melanggar norma, melanggar hak asasi manusia melalui eksploitasi sumberdaya ekonomi, politik, sosial budaya, dan lingkungan hidup dengan memaksimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki (jabatan, jaringan, dan kekuasaan). Faktor penyebab korupsi adalah motivasi individu dan sistem organisasi pemerintah yang buruk, dan akan semakin meningkat pengaruh korupsi jika didukung oleh lingkungan dimana individu dan sistem yang buruk berada. Berdasarkan hal tersebut maka strategi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang adalah segera melakukan Memorandum of Understanding dengan lembaga penegakan hukum, segala transaksi keuangan di pemerintahan menggunakan transaksi elektronik atau online, pemerintah membentuk gugus tugas pemberantasan pungli di pemerintahan, memberlakukan pelaporan keuangan pada pejabat di lingkup pemerintahan, efisiensi anggaran pemerintahan yang ganda fungsi dan tidak bermanfaat, membuka akses pemantauan publik melalui base data elektronik, dan pengukuran kinerja berbasis pakta integritas.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 171-183
Author(s):  
Vira Amalia Bakti ◽  
Fadlurrahman Fadlurrahman

Purworejo Regency is the second-highest disaster-prone area in Central Java Province. From the 494 villages and sub-districts in Purworejo Regency, around 90% are areas prone to natural disasters such as typhoons, landslides, and floods. One of the efforts in disaster management is coordination between stakeholders. On this basis, this study aims to analyze the coordination of the Regional Disaster Management Agency (BPBD) of Purworejo Regency and to find out the factors that encourage successful coordination between BPBD and other institutions in disaster management. The approach used is a qualitative method, with data collection techniques by interview, observation, and documentation. The informant selection technique used was purposive sampling with four informants. The results showed that coordination of BPBD of Purworejo Regency in the pre, during, and the post-disaster condition is good enough to overcome the disasters seen through the basic coordination mechanism (vertical and horizontal). However, coordination still faces obstacles, for example, there are community and private organizations that do not coordinate with the BPBD of Purworejo Regency during disasters. The factors that drive successful coordination include meeting forums (physical and non-physical), transparency in decision making, evaluation with stakeholders, and the use of decentralization for stakeholders.AbstrakKabupaten Purworejo merupakan daerah rawan bencana tertinggi kedua di Provinsi Jawa Tengah. Dari 494 desa dan kelurahan di Kabupaten Purworejo, sekitar 90% merupakan daerah rawan bencana alam seperti puting beliung, tanah longsor, dan banjir. Salah satu usaha dalam manajemen penanggulangan bencana yakni melakukan koordinasi antarpihak. Atas dasar tersebut, studi ini bertujuan untuk menganalisis koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo serta mengetahui faktor-faktor pendorong keberhasilan koordinasi antara BPBD dengan instansi/lembaga lainnya dalam penanggulangan bencana. Pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif dengan metode pengumpulan data secara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling,dengan jumlah informan sebanyak empat orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi BPBD Kabupaten Purworejo pada kondisi pra, saat, dan pascabencana sudah cukup baik untuk menanggulangi bencana, yang terlihat melalui mekanisme dasar koordinasi (vertikal dan horizontal). Namun koordinasi masih mengalami hambatan, misalnya: adanya organisasi masyarakat dan pihak swasta yang tidak melakukan koordinasi dengan BPBD saat terjadi bencana. Faktor-faktor pendorong keberhasilan koordinasi di antaranya: adanya forum pertemuan (fisik dan nonfisik), transparansi dalam penciptaan keputusan, evaluasi secara bersama para pihak, dan dukungan desentralisasi penanganan bencana di setiap instansi sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) masing-masing pihak.


2020 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 199-214
Author(s):  
Anih Sri Suryani

Sanitation development in Indonesia refers to the Sustainable Development Goals, which in 2030 is targeted to ensure the availability and management of clean water and sustainable sanitation for all. The existence of the Covid-19 pandemic has made the clean water and sanitation sector very important in breaking the Covid-19 chain. This paper aims to describe the achievement of sanitation development targets in Indonesia and examine the empirical practice of implementing sanitation during the Covid-19 pandemic. Qualitative methods are used to assess the sanitation sector according to the sixth SDGs Target, namely: clean water and proper sanitation both before the pandemic and during the pandemic. The results of the study show that until 2019, before the pandemic, access to drinking water, wastewater, and sanitation services had been achieved quite well. However, the reduction in open defecation (BABS) and the improvement of clean and healthy living behavior (PHBS) have not been optimal. When the Covid-19 pandemic consumption of clean water increases, attention to wastewater treatment increases, and there are changes in people's behavior to live cleaner lives.AbstrakPembangunan sanitasi di Indonesia mengacu pada Sustainable Development Goals di mana pada tahun 2030 ditargetkan dapat menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua. Adanya pandemi Covid-19  menjadikan sektor  air  bersih dan sanitasi sangatlah penting dalam memutus mata rantai Covid-19. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan capaian target pembangunan sanitasi di Indonesia dan mengkaji praktik empiris penyelenggaraan sanitasi pada saat pandemi Covid-19. Metoda kualitatif digunakan untuk mengkaji sektor sanitasi sesuai dengan Target SDGs keenam, yaitu: air bersih dan sanitasi layak, baik sebelum pandemi maupun saat pandemi. Hasil kajian menunjukkan bahwa hingga 2019, sebelum pandemi akses terhadap air minum, air limbah dan layanan sanitasi telah tercapai dengan cukup baik. Namun penurunan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) belum optimal. Saat pandemi Covid-19 konsumsi air bersih meningkat, perhatian pada pengolahan air limbah meningkat, dan ada perubahan perilaku masyarakat untuk hidup lebih bersih.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document