scholarly journals Energy and protein intakes are associated with stunting among preschool children in Central Jakarta, Indonesia: a case-control study

2021 ◽  
Vol 27 (1) ◽  
pp. 081-091
Author(s):  
Sandra Fikawati ◽  
◽  
Ahmad Syafiq ◽  
Rienzy Kholifatur Ririyanti ◽  
Syilga Cahya Gemily ◽  
...  

Introduction: Stunting is a major nutritional problem in Indonesia. The prevalence of stunting in DKI Jakarta province was relatively high at 27.5% in 2013 and 17.7% in 2018. This study aims to describe nutrient intakes of children aged 25-30 months and to determine the proportional differences in nutrient intakes between stunting and normal children in Central Jakarta, Indonesia. Methods: A case-control study with a total sample of 121 children aged 25-30 months was conducted in Gambir and Sawah Besar sub-districts, Central Jakarta, where the prevalence of stunting was high. All children were exclusively breastfed for at least four months and had similar socio-economic levels. Data collected included height measurement, questionnairebased interview, and 24-hour food recall. T-test and chi-square test were used to investigate the differences between two groups and logistic regression was used in multivariate analysis. Results: Factors associated with stunting were energy intake (AOR=6.0; 95% CI=1.0-35.0) and protein intake (AOR=4.0; 95% CI=1.1-15.5) after controlling for fat, carbohydrate, vitamin C, iron, and zinc intakes. The percentage of children with energy intake below the recommendation was much higher in stunted children (86.1%) compared to normal children (43.5%). Similarly, the percentage of children with protein intake below the recommendation was very much higher among stunted children (30.6%) compared to 8.2% in normal children. Conclusion: Children who lacked energy and protein intakes were at a higher risk of stunting than children who had sufficient intakes. Macronutrient intakes are important and should be consumed in sufficient quantities every day to prevent stunting.

2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 39-44
Author(s):  
Ermawati Ermawati ◽  
Hafni Bachtiar

Prolap organ panggul merupakan kondisi yang mempengaruhi kualitas hidup wanita. Prolaps organ panggul ini dapat disebabkan oleh perlukaan sewaktu proses persalinan, proses penuaan, komposisi jaringan pada seorang wanita, batuk- batuk kronis, atau sering melakukan pekerjaan berat. Pengenalan dini prolaps terkait dengan prognosis pemulihan anatomik dan fungsional organ panggul. Hingga kini, penerapannya dalam dunia klinis belum banyak sehingga pelatihan dan pembelajaran lebih lanjut tentang pelvic organ prolapse quantification (POPQ) jelas diperlukan. Penelitian ini dilakukan dengan metode case control study di polikilinik Obgin RSUP. Dr. M. Djamil Padang mulai bulan September 2013 sampai jumlah sampel terpenuhi sebanyak 98 orang. Dengan 49 orang kelompok kontrol dan 49 orang kelompok kasus .Analisis dilakukan untuk menilai hubungan usia, paritas, pekerjaan dan indek massa tubuh dengan kejadian prolap organ panggul berdasarkan skor POPQ. Data disajikan dalam bentuk tabel. Data diuji dengan t test dan chi square test. Jika p<0,05 menunjukan hasil yang bermakna. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian prolap organ panggul dengan (p<0,05) dan OR 27,871.terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian prolap organ panggul dengan (p<0,05) dan OR 52,970.Dari analisa statistik pekerjaan tidak bisa di uji secara statistik.indek massa tubuh tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap kejadian prolap organ panggul.(p>0,05)


2020 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 107-119
Author(s):  
Swaidatul Masluhiya AF ◽  
Irma Irma

Masalah kesehatan masyarakat yang cukup seriuspada kelompok usia balita sampai saat ini adalah kejadian malnutrisi, hal iniberdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik balita. Malnutrisi juga dapat menyebabkan balita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Beberapa faktor penyebab malnutrisi diantaranya faktor makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak, faktor ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah sindrom penyakit tropis merupakan prediktor terjadinya gizi kurang pada balita. Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan rancangan Case Control Study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan ibu dan balita yang ada di daerah pesisir kecamatan Nambo Kota Kendari denganteknik simple randam sampling di dapatkan jumlah sampel  sebanyak 164 orang yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan perbandingan 1:1. Data dianalisis secara statistik dengan uji Chi square pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dengan mempertimbangkan nilai Odd Ratio dan nilai Confidence Interval. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sindrom penyakit tropis (diare dengan р-value = 0,001 dan OR = 4,162, batuk – batuk dengan р-value = 0,001 dan OR = 3,552,ISPAnon pneumoni dengan р-value = 0,004 dan OR = 3,003) merupakan faktor prediktor terjadinya malnutrisi pada balita sedangkan infeksi cacing dengan р-value = 0,056 dan OR= 1,773 bukan merupakan faktor prediktor terjadinya malnutrisi pada balita di daerah pesisir Kecamatan Nambo Kota Kendari


2021 ◽  
Vol 10 (14) ◽  
pp. 3177
Author(s):  
Edyta Szymanska ◽  
Maciej Dadalski ◽  
Joanna Sieczkowska-Golub ◽  
Dorota Jarzebicka ◽  
Monika Meglicka ◽  
...  

Background: Infusion reactions (IRs) are the most common adverse events (AEs) of infliximab (IFX) treatment in patients with inflammatory bowel disease (IBD). Prophylactic premedication (PM) with corticosteroids or antihistamines prior to IFX infusions has been used in clinical practice, but its efficacy is not known. The aim of this study was to assess the influence of steroid PM on IR incidence in pediatric patients with IBD receiving IFX. Methods: We performed a case–control study that included pediatric patients with IBD receiving IFX. Patients were divided into four subgroups according to the agent and PM they received: Remicade (original drug) + PM, and two biosimilars—Reshma +/− PM, and Flixabi—PM. At our site, until 2018, PM with steroids was used as a part of standard IFX infusion (PM+); however, since then, this method has no longer been administered (PM−). IRs were divided into mild/severe reactions. Differences between subgroups were assessed with the appropriate chi-square test. Multivariate logistic regression was used to assess associations between PM and IR incidence, correcting for co-medication usage. Results: There were 105 children (55 PM+, 44 male, mean age 15 years) included in the study who received 1276 infusions. There was no difference between the PM+ and PM− subgroups, either in incidence of IR (18.2% vs. 16.0% of patients, p > 0.05) or in percentage of infusions followed by IR (2.02% vs. 1.02% of infusions, p > 0.5). The OR of developing IR when using PM was 0.34, and the difference in IRs ratio in PM+ and PM− patients was not statistically significant (95% CI, 0.034–1.9). There were 11/18 (61.1%) severe IRs (anaphylactic shock) reported in all patients (both PM+ and PM−). Conclusion: At our site, the incidence of IR was low, and PM did not decrease the incidence of IR in pediatric patients with IBD receiving IFX. These results indicate that PM with steroids should not be a standard part of IFX infusion to prevent IR.


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 20-28
Author(s):  
Miftahul Jannah ◽  
Asnawi Abdullah ◽  
Melania Hidayat ◽  
Qatratul Asrar

Latar Belakang: Pneumonia merupakan pembunuh utama balita di seluruh dunia. Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Banda Aceh tahun 2018, jumlah balita penderita Pneumonia meningkat setiap tahunnya. Kasus Pneumonia balita yang paling banyak terdapat di UPTD Puskesmas Banda Raya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada Balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh tahun 2019. Metode: Penelitian ini menggunakan desain Case Control Study atau Retrospective Study. Penelitian ini menggunakan total populasi dengan jumlah sampel adalah 142 anak balita berusia 12–59 bulan. Data dianalisis secara Univariat dan Bivariat. Analisis Bivariat menggunakan Uji Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95% (p value0.05). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah luas ventilasi rumah (OR=15.81; CI 95%=4.70-53.12; p value=0.0001); sedangkan umur balita (OR=1.15; CI 95%=0.54-2.43; p value=0.705); jenis kelamin (OR=1.11; CI 95%=0.57-2.16; p value=0.737); pengetahuan ibu (OR=0.38; CI 95%=0.12-1.24; p value=0.112); dan kepadatan hunian (OR=1.80; CI 95%=0.78-4.13; p value=0.163), tidak terbukti secara signifikan sebagai faktor risiko pneumonia balita di UPTD Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh. Kesimpulan: Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia balita adalah luas ventilasi rumah. Oleh karena itu diperlukannya sanitasi lingkungan yang sehat sebagai upaya preventif terhadap kejadian Pneumonia, serta memperbaiki pola perilaku hidup bersih dan sehat.


2020 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 16
Author(s):  
Siti Lestari ◽  
Dyah Dwi Astuti ◽  
Fachriza Malika Ramadhani

Asfiksia perinatal merujuk pada kekurangan oksigen selama persalinan, sehingga berpotensi menyebabkan kematian dan kecacatan. WHO memperkirakan  4 juta anak terlahir dengan asfiksia setiap tahun, dimana 1 juta di antaranya meninggal dan 1 juta anak bertahan hidup dengan gejala sisa neurologis yang parah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko fetal dan tali pusat pada asfiksia neonatal.Penelitian dilakukan di lakukan di RS Dr Moewardi Surakarta dengan pendekatan  quantitative retrospective case control study. Data diambil dari rekam medis antara  tahun 2013-2018. Penelitan ini melibatkan  264 neonatal yang terdiri dari 88 kelompok kasus dan 176  kelompok control. Kelompok kasus adalah bayi dengan diagnosa  asfiksia yang  dilakukan analisis terhadap faktor risiko fetal, sedangkan bayi yang tidak mengalami asfiksia dijadikan  kelompok kontrol. Hasil analisis statistik uji Chi-Square dan Fisher Exact ditemukan bahwa  kelahiran prematur (OR 2,07 CI 95% P 0,02), persalinan dengan tindakan (OR 3,61 CI 95% P 0,00), berat bayi (OR 2,85 CI 95% P 0,00), posisi janin (OR 2,37 CI 95% P 0,05), tali pusat ( QR 3,071 CI 95%  P 0,01)  berisiko terhadap insiden asfiksia perinatal. Air ketuban yang bercampur meconium (OR 1,51 CI 95% P 0,16) tidak memiliki risiko  dengan Asfiksia perinatal. Kesimpulan: Risiko terhadap insiden asfiksia perinatal  meliputi kelahiran prematur, persalinan dengan tindakan, berat bayi, posisi janin,  dan tali pusat.Perinatal asphyxia refers to a lack of oxygen during labor, which has the potential to cause death and disability. WHO estimates  4 million children born with asphyxia each year, in  which 1 million dies and 1 million survive with severe neurological sequelae. This study aims to analyze fetal and umbilical risk factors in neonatal asphyxia.This research is a quantitative retrospective case-control study, which was conducted at The Dr. Moewardi  hospital,  Surakarta. Data was taken from  medical records from 2013-2018. The case group was patients diagnosed  asphyxia, while those who did not experience asphyxia were treated as a control group.  A total of 264  samples, consisting of 88 case group respondents and 176 control group respondents. Statistical analysis Chi- Square and Fisher Exact found that preterm birth (OR 2.07 CI 95% P 0.02), labor with instrument or complication (OR 3.61 CI 95% P 0.00), infant weight (OR 2.85 CI 95% P 0, 00), fetal position (OR 2.37 CI 95% P 0.05), umbilical cord (QR 3.071 CI 95% P 0.01) are at risk for the incidence of perinatal Asphyxia. The amniotic fluid mixed with meconium (OR 1.51 CI 95% P 0.16) has no risk with perinatal asphyxia.The risk factors of incidences of perinatal asphyxia were  preterm birth, labor with instrument or complication, baby weight, fetal position and umbilical cord. 


Author(s):  
Alireza Teimouri ◽  
◽  
Noor Mohammad Noori ◽  
Ali Khajeh ◽  
◽  
...  

A temperature-related seizure is a febrile seizure that affects the QT interval. The purpose of this study was to evaluate the changes in the QT interval caused by febrile convulsion compared with healthy children. Method This case-control study considered the distribution of 180 children equally shared between patients and controls. The study was conducted at the "Ali Ebne Abi Talib" Hospital in Zahedan, Iran. The disease diagnosed and confirmed based on standard definitions of febrile convulsion. QT interval measured by ECG and interpreted by a pediatric cardiologist and collected data were analyzed with SPSS 19 considering 0.05 as significant error. Results Among the ECG parameters, HR, R in aVL, S in V3, LVM, QTd, QTc and QTcd were significantly different in children with febrile convulsion compared to the peers. From those who had abnormal QTd, FC children were more frequented but not significant (CHI SQUARE=1.053, p=0.248), when children with FC were more in abnormality regarding QTc (CHI SQUARE=13.032, p<0.001) and QTcd (CHI SQUARE=21.6, P<0.001) significantly. In children with FC, those who were aged less than 12 months, had the highest level of HR but not significant (CHI SQUARE=4.59, p=0.101). Similar trends occurred for R in aVL and S in V3 that were higher in the age group >24 months (p>0.05). LVM had the highest value in the age group of >24 months significantly (CHI SQUARE= 52.674, P<0.001) and the other QT parameters were same in Fc children with different age groups (P>0.05). Conclusion From the study concluded that dispersion corrected QT, corrected QT and dispersion QT changed significantly in children with febrile convulsion in comparing with the healthy children but with constant values in children with FC in different age groups.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 20-29
Author(s):  
Safun Rahmanto ◽  
Khaiyatul Aisyah

ABSTRAK Latar belakang : Osteoartritis merupakan salah satu penyakit degenerative yang ditandai dengan hilangnya tulang rawan articular dan terjadi peradangan sinovial yang menyebabkan kekakuan sendi, nyeri dan kehilangan mobilitas sendi. Ada banyak faktor risiko osteoarthritis lutut, salah satunya  adalah riwayat cidera lutut. Cidera lutut menurunkan kestabilan sendi lutut pada bantalan beban tubuh. Cidera lutut meningkatkan risiko osteoarthritis pada area kontak tibiofemoral dan tekanan pada  cidera meniscal, sehingga menyebabkan unstabil sendi berupa ligament sprain dan lesi pada chondral atau dengan mengganggu sistem neuromuskular. Individu dengan riwayat trauma sendi 3-6 kali lebih berpotensi terjadinya osteoarthritis lutut. Dalam 5 tahun cedera, lutut mengalami perubahan struktural seperti, perubahan komposisi tulang rawan, dan perubahan pada struktur  ulang. Tujuan Penelitian : Menganalisis hubungan antara riwayat cidera lutut terhadap pasien yang berpotensi osteoarthritis lutut di Puskesmas Dinoyo Kota Malang.  etode Penelitian : Desain penelitian menggunakan Case Control Study dengan jumlah sampel 120 responden di Puskesmas Dinoyo Kota Malang yang  diambil dengan metode Simple Random Sampling. Pengambilan data untuk mengetahui riwayat cidera lutut dinilai dengan kuesioner OA Risk C dan wawancara mendalam. Potensi adanya osteoarthritis lutut dinilai menggunakan pemeriksaan fisik, skala jette dan data sekunder dari Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Hasil : Hasil penelitian dengan uji Chi-Square terhadap Riwayat cidera lutut dikaitkan dengan osteoarthritis lutut dalam penelitian ini didapatkan nilai signifikan lebih kecil dari alpha 5% (0,00 < 0,05) dengan Odds Ratio [OR= 5,82 (95% CI 2,54-13,35)]. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat cidera lutut terhadap pasien yang berpotensi osteoarthritis lutut di Puskesmas Dinoyo Kota Malang dan orang yang  memiliki riwayat cidera lutut berpeluang 5  kali lebih besar menderita osteoarthritis lutut daripada orang yang tidak memiliki riwayat cidera lutut.  


Author(s):  
Siti Silafati ◽  
Yasnani Yasnani ◽  
Renni Meliahsari

Rematik merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat (MSU)pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler merupakan pemicu utamaterjadinya peradangan atau inflamasi kejadian rematik. Penyakit rematik ini merupakan salah satu penyakityang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Data Puskesmas Wuna menunjukkan jumlah kasuspenyakit rematiki tergolong cukup tinggi. Pada tahun 2016 yaitu 364 kasus (30,46%), tahun 2017 yaitu 382kasus (31,97%), dan pada tahun 2018 sebanyak 449 kasus (37,57%). Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit rematik di wilayah kerja PuskesmasWuna Kecamatan Barangka Kabupaten Muna Barat Tahun 2019. Metode penelitian yang digunakan adalahmetode penelitian kuantitatif dengan rancangan case control study. Populasi adalah semua pasien rematiktercatat pada rekam medik di Puskesmas Wuna selama Bulan Mei hingga Oktober tahun 2019 sebanyak 204 pasien dengan jumlah sampel sebanyak 116 responden terdiri dari 58 sebagai sampel kasus dan 58 sebagai sampel kontrol yang diperoleh menggunakan teknik proportional random sampling. Data dianalisis secaraunivariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antaraaktivitas fisik (p=0,000 dan nilai OR=5.884) dengan kejadian penyakit rematik. Tidak terdapat hubungan antaraasupan purin (p=0.155 dan OR=1.989.) dan IMT (p= 0.565 dan OR=0.820) dengan kejadian penyakit rematik.Kata Kunci : Penyakit Rematik, Asupan Purin, Aktivitas Fisik, IMT. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document